Saturday, July 27, 2019

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Selanjutnya Abdurrohim Arief (Idrus Ramli) dan yang seideologi dengannya dari golongan salafi salathin mengatakan ;
"An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah.
Bukti lain dari hal tersebut ialah tulisan an-Nabhani tentang sejarah qadha dan qadar yang menurutnya tidak pernah dibahas pada masa tabi'in, sahabat atau bahkan masa nubuwah. Yang membawa dan menjadikannya topik pembahasan adalah para ahli kalam, tepatnya setelah filsafat masuk ke dalam peradaban Islam. Pemakaian nama qadha dan qadar sendiri tidak dikenal pada abad pertama hijriyah (nubuwah, sahabat dan tabi'in). Dan tidak ada nash shahih dengan menggunakan nama tersebut.

Tampak sekali kekacauan an-Nabhani di sini. Dalam al-I'tiqad 'alal-Madzhab as-Salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, al-Hafidz al-Kabir Abi Bakar Muhammad bin al-Husain al-Baihaqi setidaknya telah mencatat lebih dari 20 hadis Nabi SAW mengenai pembahasan qadha dan qadar, baik itu yang muncul dari pertanyaan sahabat atau berupa bantahan terhadap perdebatan orang-orang musyrik. Begitu pula pembahasan permasalahan ini pada masa sahabat dan tabi'in. Kita ambil contoh perdebatan Sayidina Umar ketika gagal memasuki Syam untuk menghindari virus (wabah) yang menyebar luas di negeri tersebut [HR al-Bukhari-Muslim].

Lebih naïf lagi pernyataan an-Nabhani tentang kedua kalimat tersebut yang menurutnya tidak pernah digunakan pada abad pertama hijriyah. Padahal, di samping melalui berbagai riwayat Imam al-Baihaqi tadi, hadis Jibril telah dianggap cukup untuk menjawab klaim an-Nabhani. Tidak seorangpun mengingkari kashahihan hadis Jiblil riwayat Muslim ini. Meskipun riwayat tersebut ditengarai ahad dari segi sanad, namun para muhadditsin sepakat bahwa hadis Jibril merupakan bagian dari hadis yang mutawatir fil-ma'na. Kehadirannya sebagai landasan akidah bersifat qath'i. Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31).

MEMBONGKAR PAT :

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani mendistorsi Sejarah?

Apakah Abdurrohim Arief tidak malu mengatakan; "An-Nabhani hanya merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. Atau seperti yang saya katakan di muka bahwa an-Nabhani sebenarnya minim akan pengetahuan sejarah".
Bagaiman dia bisa menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah merevisi akidah Muktazilah, mendistorsi sejarah dan minim pengetahuan sejarah!? Sedangkan dia sendiri (Abdurrohim Arief) sama sekali tidak memahami pembahasan kitab asy-Syakhshiyyah-nya, terutama pada pembahasan masalah qadha dan qadar, qadha, dan qadar di mana ketiga pembahasan tersebut harus dipisahkan, tidak boleh dicampur-aduk.

Abdurrohim Arief dengan perkataannya itu laksana orang gila yang menertawakan orang waras, atau laksana orang bodoh yang membodoh-bodoh orang alim. Kalau dia termasuk ahlil-ilmi, seharusnya mengerti bahwa semua pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani meskipun tidak sama dengan pandangan ulama lain adalah pandangan islami dan tidak keluar dari Islam, karena semua pandangannya berdasarkan dalil-dalil yang mujma' 'alaih, yaitu; al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijmak dan Qiyas Syar'iy. Apalagi beliau terkenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap peradaban Barat yang kapitalis dan peradaban Timur yang komunis. Karena perbedaan pandangan yang terjadi di antara para ulama, lebih-lebih para mujtahid, adalah fithriy. Maka yang harus dilihat dan diteliti adalah argument dan dalil-dalil yang melatar belakangi terjadinya pandangan tersebut, bukan pandangannya yang berbeda dengan pandangan ulama lain.

Kalau kita mau meneliti cara istinbath (penggalian hukum) yang dipakai oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, maka kita harus membaca dulu usul fikih sebagai alat istinbath yang dipakai oleh beliau, yaitu as-Syakhshiyyah juz 3 secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong dan tidak direkayasa. Pertanyaannya, sudahkah Abdurrohman Arief [M Idrus Ramli] melakukannya, sehingga ia berani mengatakan dengan sangat provokatif dan ngawur; "Meskipun bersalaman termasuk masalah furu'iyah dan masih dalam lingkaran madzhab empat, namun metodologi yang digunakan oleh ulam empat tidak sama dengan proses penggalian hukum yang telah ditempuh an-Nabhani. Sehingga, ketika konsep mereka dikembangkan tidak sampai melahirkan hukum-hukum ngawur seperti yang telah terjadi pada madzhab Hizbut Tahrir. Perbedaan manhaj inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai penyimpangan hukum syari'ah di tubuh organisasi ini" [Ijtihad edisi 31 hal 8].

Selanjutnya ada kesalahan yang sangat patal pada perkataan Abdurrohim Arief berikutnya. Atau memang benar seperti yang telah saya katakan di atas bahwa M Idrus Ramli yang menjelma menjadi Abdurrohim Arief adalah sosok muslim yang paling jago dalam hal 'Merekayasa, Berdusta, Memitnah dan Memprovokasi' seperti idolanya, yaitu Abdullah Harori yang di Hijaz kata sebagian sumber yang bertemu saya telah dijuluki 'Syaikhul Fattan'. Dan beberapa waktu yang lalu M Idrus Ramli telah jalan-jalan dan wira-wiri bersama orang kepercayaan Abdullah Harori dalam rangka menyebarkan fitnah dengan berkedok menjaga akidah Aswaja.

Padahal yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang tidak pernah dibahas pada masa Nabi SAW dan sahabat (bukan masa tabi'in, karena mutakallimin itu telah muncul pada masa tabi'in) adalah masalah qadha dan qadar dengan nama (ismun) serta substansi(musamma)nya yang datang dari peradaban [filsafat] Yunani, di mana asas pembahasannya adalah pekerjaan hamba (af'alul 'ibad), apakah hamba dipaksa (majbur) dalam pekerjaannya atau diberi pilihan (mukhtar). Bukan qadha dan qadar yang datang dari peradaban Islam, yang telah diperbincangkan pada qurun pertama hijriyah di mana asas pembahasannya adalah ilmu, irodah dan masyiah Allah SWT. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya telah memisahkan pembahasan qadha dan qadar menjadi tiga bab, yaitu bab qadha dan qadar, bab qadha, dan bab qadar, dimana ketiganya dibahas dengan sangat mendetail dan akurat, dan dengan redaksi yang mudah dipahami. Dan ini adalah bukti bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sangat memahami dan mengerti sejarah.

Karena perkataan Abdurrohim Arief telah dibangun berdasarkan asumsi yang salah, atau sengaja merekayasa, atau (dalam istilah manthiqnya) bardasarkan muqaddimah shughro atau kubro yang salah, atau yang direkayasa, maka dapat dipastikan natijahnya juga salah, atau rekayasa. Padahal fakta yang terjadi bukan hanya salah atau rekayasa, tetapi ia telah menjadikan kesalahan atau rekayasanya sebagai alat untuk memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan HIzbut Tahrir. Bahkan ia telah menggunakan keberhasilan Imam Baihaki mencatat lebih dari 20 hadis terkait qadha dan qadar, perdebatan Sayyidina 'Umar ketika gagal memasuki Syam karena ada wabah Tha'un di sana dan hadis Jibril yang keduanya juga terkait qadar, untuk mendukung natijahnya yang salah, dengan menambahkan kebohongan perkataannya; "Berbeda dengan an-Nabhani yang menyatakan hadis ini ahad secara muthlak hingga ia meragukan qadha dan qadar sebagai bagian dari rukun iman".

Padahal di kitabnya beliau tidak mengatakan khabar ahad muthlaqan (hadis ahad secara mutlak), seperti halnya term Mujtahid dan Mujtahid Muthlaq, tetapi hanya mengatakan khabar ahad dan tidak menyinggung mutawatir bilmakna sama sekali. Juga beliau tidak pernah meragukan qadha dan qadar bagian dari akidah, karena menurut pandangan beliau akidah itu tidak boleh diambil dari sesuatu yang meragukan. Padahal di semua kitabnya beliau benar-benar telah menjadikan qadha dan qadar bagian dari akidah islamiyah. Ini berarti beliau tidak meragukannya.

Sejatinya tuduhan tersebut hanyalah kesimpulan Abdurrohim Arief sendiri. Lalu semuanya dipakai untuk menghantam Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. Maka tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa tuduhan miring tersebut adalah bentuk rekayasa, dusta, fitnah dan provokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir. (Abulwafa Romli).

No comments: