Saturday, July 20, 2019

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI* _(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

MANHAJ SIRAH NABAWIYAH SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI*
_(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)_

Oleh: Yuana Ryan Tresna


Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya aktivitas thalab al-nushrah. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal: (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi (termasuk thalab al-nushrah) juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang statusnya shahih.

*Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits*
Imam Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,
ﻭﺗﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﻦ ﺃﻫﻢ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺍﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﻪ، ﻷﻧﻬﺎ ﺗﺤﻮﻱ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ، ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻟﻪ ﻭﺃﻗﻮﺍﻟﻪ ﻭﺳﻜﻮﺗﻪ ﻭﺃﻭﺻﺎﻓﻪ، ﻭﻫﺬﻩ ﻛﻠﻬﺎ ﺗﺸﺮﻳﻊ ﻛﺎﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻓﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺟﺰﺀﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻣﺎ ﺻﺢ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻭﺩﺭﺍﻳﺔ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً، ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻫﺬﺍ ﻓﻀﻼً ﻋﻦ ﺍﻻﻗﺘﺪﺍﺀ ﺑﺎﻟﺮﺳﻮﻝ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻣﺄﻣﻮﺭﻭﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ { ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ } . ﻓﺎﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺗﺘﺒﻌﻬﺎ ﺃﻣﺮ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.
Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,
ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺪﺍﻣﻰ ﻛﺎﻧﺖ ﻃﺮﻳﻘﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺗﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ، ﻭﻗﺪ ﺑﺪﺃ ﺍﻟﻤﺆﺭﺧﻮﻥ ﺷﻔﻮﻳﺎً، ﻭﺑﺪﺃ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻷﻭﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﺷﺎﻫﺪ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃﻭ ﺳﻤﻊ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﺭﻭﺍﻫﺎ ﻳﺮﻭﻳﻬﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ، ﻭﺗﺤﻤﻠﻬﺎ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺠﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻌﺪﻩ، ﻭﻗﻴّﺪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ ﻛﺎﻟﺘﻲ ﺗُﺮﻯ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺘﻰ ﺍﻵﻥ، ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺭﺃﻳﻨﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻳﺒﺪﺀﻭﻥ ﻓﻲ ﺟﻤﻊ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﺿﻢ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﺗﺪﻭﻳﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺑﺬﻛﺮ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﺮﺍﻭﻱ، ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ، ﺗﻤﺎﻣﺎً ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻧُﻘّﺎﺩﻩ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻓﻮﺍ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻟﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﺍﻟﻤﺮﺩﻭﺩﺓ ﺑﻤﻌﺮﻓﺘﻬﻢ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ . ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﺎﻟﺴﻴﺮﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺻﺤﻴﺤﺎً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352 (
“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dla’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)

Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,
ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﺆﻟﻔﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺣﺪﻳﺜﺎً، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻳﺴﺮﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﻘﻂ ﺩﻭﻥ ﺫﻛﺮ ﺭﻭﺍﺗﻬﺎ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻻ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻛﺘﺒﻬﻢ ﻛﻤﺼﺪﺭ ﻟﻠﺴﻴﺮﺓ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﻳﺤﻘﻖ ﻋﻨﺪ ﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ﻟﻸﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻣﻦ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻮﺛﻮﻗﻴﻦ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻳُﺴﺘﺸﻬﺪ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺑﻞ ﻳُﺮﺟﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺩﺛﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﻤﺮﻭﻳﺔ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ، ﺃﻭ ﺇﻟﻰ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻷﻥ ﺃﺧﺒﺎﺭ ﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨّﺔ ﻻ ﺗﺆﺧﺬ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﺤﻴﺤﺔ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 352-353 (
“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)

*Pengujian Sirah Nabawiyah*

Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.

Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.

Dalam Kitab Tahzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq. Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.

Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.

Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.
Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah.

Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.

Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .

Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.

Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.

Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.

*Mendudukkan Tarikh Islam*

Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.

Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,

ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻫﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺤﺚ، ﻷﻥ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ، ﻷﻥ ﻫﻨﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﺋﻊ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺗﺠﺪﺩﺕ ﺑﺘﺠﺪﺩ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ، ﻭﻋﻮﻟﺠﺖ ﻣﺸﺎﻛﻞ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ، ﻓﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻣﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻊ . ﻭﺇﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﻣﻦ ﺷﺆﻭﻥ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ، ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ، ﻭﺍﻟﺨﺮﺍﺝ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﻛﻮﻥ ﺍﻷﺭﺽ ﻋﺸﺮﻳﺔ ﺃﻡ ﺧﺮﺍﺟﻴﺔ، ﺃﻱ ﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﺻﻠﺤﺎً ﻭﺃﻳﻬﺎ ﻓﺘﺢ ﻋﻨﻮﺓ، ﻭﺍﻷﻣﺎﻥ، ﻭﺍﻟﻬﺪﻧﺔ، ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻐﻨﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﻔﻲﺀ ﻭﺃﺭﺯﺍﻕ ﺍﻟﺠﻨﺪ، ﻭﻣﺎ ﺷﺎﻛﻞ ﺫﻟﻚ، ﻛﻠﻪ ﺣﻮﺍﺩﺙ ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺻﺎﺭﺕ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ، ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻻﺗﺨﺎﺫ ﻣﺎ ﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.

ﻭﻻﻋﺘﺒﺎﺭ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ﺣﻜﻤﺎً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ، ﻭﻟﻼﺋﺘﻨﺎﺱ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺮﺍﺷﺪﻳﻦ، ﻣﻦ ﺗﺴﻴﻴﺮ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﺍﻹﺩﺍﺭﺓ ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺳﺔ . ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺁﺗﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻘﻠﻴﺔ ﺣﻜﻢ، ﻭﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻬﻢ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻋﻴﺔ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ، ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻭ ﺫﻣﻴﻴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 355 (
“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)

*Terdapat pada Kitab Hadits*

Sirah adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan waktu mulai dari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan wafatnya. Hanya saja isinya atau fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk (meski tidak semua). Oleh karena itu penerimaan pada beberapa peristiwa yang dikabarkan dalam sirah adalah sudah pada level talaqathu al-'ulama bil qabul. Suatu yang para ulama telah menerimanya.

Kita bisa mengkaji terhadap beberapa kitab sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh al-Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh al-Kamil, Ansab al-Asyraf Al Baladzuri, Muruj al-Dzahab al-Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk. Maka pada konteks ini, menguji keshahihan fragmen-fragmen khabar dalam kitab sirah yang juga ada dalam Kutub Mashadir al-Ashliyyah (kitab induk hadits) adalah dengan kembali kepada pendapat para ulama hadits ketika melakukan takhrij dan pengujian sanad-sanad hadits.

*Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani*

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah, bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits (termasuk sirah nabawiyah)? Berikut uraiannya:
Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.

ﻳُﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻤﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺮﺍﻭﻳﺘﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺳَﻠِﻢَ ﻣﻦ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻭﺧﻮﺍﺭﻡ ﺍﻟﻤﺮﻭﺀﺓ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻤﺘﻴﻘﻆ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﻐﻔﻞ، ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﻟﺮﻭﺍﻳﺘﻪ ﺇﻥْ ﺭﻭﻯ ﻣِﻦ ﺣﻔﻈﻪ، ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻟﻜﺘﺎﺑﺘﻪ ﺇﻥ ﺭﻭﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻭﻣﺎ ﻳﺤﻴﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ، ﺇﻥ ﺭﻭﻱ ﺑﺎﻟﻤﻌﻨﻰ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 329 (
“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻭﻁ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺑﺄﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺪﻻً ﺿﺎﺑﻄﺎً، ﺗُﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ ﺑﻐﺾ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﻣﺬﻫﺒﻪ ﻭﻓﺮﻗﺘﻪ، ﺇﻻ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻔﺮﻗﺘﻪ ﺃﻭ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﻟﻠﻔﺮﻗﺔ ﻭﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻻ ﺗﺠﻮﺯ . ﺃﻣّﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻳﺸﺮﺡ ﺍﻷﻓﻜﺎﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺘﺒﻨﺎﻫﺎ ﺑﺎﺩﻟﺘﻬﺎ، ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻘﺒﻞ ﺭﻭﺍﻳﺘﻪ، ﻷﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺩﺍﻋﻴﺎً ﻟﻺﺳﻼﻡ ﻭﻫﺬﺍ ﻻ ﻳﻄﻌﻦ ﺑﺮﻭﺍﻳﺘﻪ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 332 (
“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-defini
si tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ : ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺼﻞ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺑﻨﻘﻞ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﺘﻬﺎﻩ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 337 (
“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ . ﺃﻱ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻳُﺘَّﻬﻢ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺷﺎﺫﺍً . ﻭﻫﻮ ﻧﻮﻋﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﺭﺟﺎﻝ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﻟﻢ ﺗﺘﺤﻘﻖ ﺃﻫﻠﻴﺘﻪ، ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻐﻔﻼً ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺨﻄﺄ، ﻭﻻ ﻫﻮ ﻣﺘﻬﻤﺎً ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ . ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﺘﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻪ ﺁﺧﺮ ﻓﻴﺨﺮﺝ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﺷﺎﺫﺍً ﺃﻭ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﺛﺎﻧﻴﻬﻤﺎ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻠﻎ ﺩﺭﺟﺔ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻹﺗﻘﺎﻥ، ﻭﻻ ﻳُﻌﺪ ﻣﺎ ﻳﻨﻔﺮﺩ ﺑﻪ ﻣﻨﻜﺮﺍً، ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﺷﺎﺫﺍً ﻭﻻ ﻣﻌﻠﻼً . ﻓﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻋﺪﻝ ﻗﻞ ﺿﺒﻄﻪ ﻣﺘﺼﻞ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻠّﻞ ﻭﻻ ﺷﺎﺫ . ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).
ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ ﻓﻴﻪ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﻻ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً . ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 338 (
“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻫﻤﺎ ﺍﻟﻠﺬﺍﻥ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻬﻤﺎ، ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﻻ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻘﺒﻮﻻً ﺃﻭ ﻣﺮﺩﻭﺩﺍً ﻫﻮ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 339 (
“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangka
n banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.
ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 342 (
“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya.

Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)
Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺭﺩ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 345 (
“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻓﻴﻜﻔﻲ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻠﻪ ﻇﻨﻴﺎً . ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻓﺈﻧﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺼﻠﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ ﺍﻵﺣﺎﺩ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺩﻟﻴﻼً ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺃﻧﻪ ﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ . ﺇﻻ ﺃﻥ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺤﺎً ﺃﻭ ﺣﺴﻨﺎً ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﺪﻳﻪ ﺍﻷﻫﻠﻴﺔ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ . ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺭﻭﺍﺓ ﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻳُﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻏﻴﺮ ﺛﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ، ﺃﻭ ﻳﻌﺘﺒﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻟﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ، ﻭﻣﻌﺮﻭﻓﻴﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻭﺻﺤﺖ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺃﺧﺮﻯ . ﻭﻫﻨﺎﻟﻚ ﻃﺮﻕ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻌﺾ ﻭﺻﺤﺖ ﻋﻨﺪ ﺁﺧﺮﻳﻦ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻢ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻃﻌﻨﻮﺍ ﺑﻬﺎ، ﻭﺍﻋﺘﺒﺮﻫﺎ ﻣﺤﺪﺛﻮﻥ ﺁﺧﺮﻭﻥ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻃﻌﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻗﺒﻠﻬﺎ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﺍﺣﺘﺠﻮﺍ ﺑﻬﺎ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 346 (
“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

ﻓﻴﺠﺐ ﺍﻟﺘﺄﻧﻲ ﻭﺍﻟﺘﻔﻜﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﻗﺪﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻌﻦ ﻓﻴﻪ ﺃﻭ ﺭﺩﻩ . ﻭﺍﻟﻤﺘﺘﺒﻊ ﻟﻠﺮﻭﺍﺓ ﻭﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ ﻳﺠﺪ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻛﺜﻴﺮﺍً، ﻭﺍﻷﻣﺜﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺟﺪﺍً . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 347 (
“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangka
n suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﺄﻱ ﺣﺪﻳﺚ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺘﺒﺮﺍً ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺴﺘﻮﻓﻴﺎً ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ، ﻭﻳﻌﺘﺒﺮ ﺩﻟﻴﻼً ﺷﺮﻋﻴﺎً ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ . ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ‏( ﺹ : 350 (
“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

*Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan*

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,
ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﻄﻠﻘﺎً
Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻄﺄ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻃﺮﻕ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﺯﺩﺍﺩ ﺿﻌﻔﺎً ﺇﻟﻰ ﺿﻌﻒ .
Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,
ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻔﺴﻖ ﺭﺍﻭﻳﻪ ﺃﻭ ﺍﺗﻬﺎﻣﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻌﻼً
Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),
ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﻣﺨﺮّﺟﻪ ﻭﺍﺷﺘﻬﺮ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﺪﺍﺭ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﻳﺴﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ
dengan kesimpulan,
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳُﺤﺘﺞ ﺑﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ .

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺷﺮﻃﺎً ﻓﻲ ﻗﺒﻮﻝ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺳﻨﺪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻔﻪ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ . ﺇﺫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺁﺧﺮ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻨﺺ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳُﺮﻭﻯ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺟﻪ . ﻓﻤﻦ ﻭﺟﺪ ﺣﺪﻳﺜﺎً ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻭﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻀﻌﻒ ﺍﻟﻤﺘﻦ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻘﻴﻴﺪ
Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,
ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺫ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻱ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﻭ ﻏﻴﺮﻩ . ﻷﻥ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﻳُﻘﺒﻞ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﻩ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻳُﺤﺘﺞ ﺑﻪ
Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyya
h al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341),

menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

ﻓﻼ ﻳﺮﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺳﻨﺪﻩ ﻭﺭﻭﺍﺗﻪ ﻭﻣﺘﻨﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ، ﺃﻱ ﻣﺘﻰ ﻛﺎﻥ ﺣﺴﻨﺎً ﺑﺄﻥ ﻛﻞ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺘﻮﺭ ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﺳﻲﺀ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻘﻮﻯ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ ﺗﺮﺟﺢ ﻗﺒﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ، ﺃﻱ ﺑﺮﺍﻭٍ ﻇﻦ ﺗﻔﺮﺩﻩ، ﺃﻭ ﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ، ﻓﻼ ﻳﺘﻨﻄﻊ ﻓﻲ ﺭﺩ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﻳﻤﻜﻦ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺣﺴﺐ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﻟﺮﺍﻭﻱ ﻭﺍﻟﻤﺘﻦ . ﻭﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻌﻤﻠﻪ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﻱ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮﻝ، ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻮﻑ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺴﻦ
Perhatikan ungkapan berikut,
ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻤﺘﺎﺑﻊ ﺃﻭ ﺷﺎﻫﺪ
Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.
Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha'ifannya tidak parah.

*Metode Dakwah Nabi dan Thalab al-Nushrah*

Mengikuti metode dakwah Nabi dapat dilakukan dengan memahami kitab sirah dan kitab-kitab hadits. Tergambar secara jelas bagaimana tahapan dawah Nabi sebelum hijrah. Mulai tahapan pertama hingga tahapan terakhir. Termasuk di dalamnya adalah aktivitas thalab al-nushrah di akhir tahapan kedua jika tahapan dakwah dibagi menjadi tiga (marhalah tatsqif, marhalah tafa'ul ma'a al-ummah dan istilam al-hukm). Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,

ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﺒﻴﻪ ﺑﻄﻠﺐ ﺍﻟﻨﺼﺮﺓ . ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ‏( ﺝ 7/ ﺹ 220 ‏) : ﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺃﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﻋﻠﻲِّ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺇِﻟَﻰ ﻣِﻨَﻰ ‏» ﻭﺭﻭﻯ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ : ‏« ﻟَﻤَﺎ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺮَﺽَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﺧَﺮَﺝَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺩَﻓَﻌْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺠْﻠِﺲٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺠَﺎﻟِﺲِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ‏» ﻭﺍﻟﻌﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻳﻌﻨﻲ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺩﻋﻮﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺅﺳﺎﺀ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﻞ ﻟﻴﻘﺪﻣﻮﺍ ﺍﻟﺤﻤﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﺴﻨﺪ ﻟﻪ ﻭﻟﺪﻋﻮﺗﻪ . ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ‏( ﺹ : 56 (
Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.
Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha'sha'ah berikut,
ﺃﺭﺃﻳﺖَ ﺇﻥْ ﻧَﺤْﻦُ ﺑَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻙَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻙَ، ﺛُﻢَّ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻚَ، ﺃَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻟَﻨَﺎ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻙَ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻀَﻌُﻪُ ﺣَﻴْﺚُ ﻳَﺸَﺎﺀُ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ : ﺃﻓَﺘُﻬﺪَﻑ ﻧﺤﻮﺭُﻧﺎ ﻟِﻠْﻌَﺮَﺏِ ﺩُﻭﻧَﻚَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻇْﻬَﺮَﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻟِﻐَﻴْﺮِﻧَﺎ ! ﻟَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔَ ﻟَﻨَﺎ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻙَ؛ ﻓَﺄَﺑَﻮْﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺳﻴﺮﺓ ﺍﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ‏( 2/ 272 (
“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)

Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nushrahnya:

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﺑﻴﻦ ﺿﺮﺗﻴﻦ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﻫﺎﺗﺎﻥ ﺍﻟﻀﺮﺗﺎﻥ ‏» ؟ ﻗﺎﻝ : ﺃﻧﻬﺎﺭ ﻛﺴﺮﻯ ﻭﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺃﺧﺬﻩ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻛﺴﺮﻯ ﻻ ﻧﺤﺪﺙ ﺣﺪﺛﺎ ﻭﻻ ﻧﺆﻭﻱ ﻣﺤﺪﺛﺎ، ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺭﻯ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺪﻋﻮ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻤﺎ ﺗﻜﺮﻫﻪ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﻧﺆﻭﻳﻚ ﻭﻧﻨﺼﺮﻙ ﻣﻤﺎ ﻳﻠﻲ ﻣﻴﺎﻩ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﻌﻠﻨﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﻣﺎ ﺃﺳﺄﺗﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩ ﺇﺫ ﺃﻓﺼﺤﺘﻢ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ، ﻭﺇﻥ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻦ ﻳﻨﺼﺮﻩ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﺣﺎﻃﻪ ﻣﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺟﻮﺍﻧﺒﻪ ‏» ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ‏( 2/ 297 ‏) , ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﻻﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ‏( 1/ 88 ‏) , ﻛﻨﺰ ﺍﻟﻌﻤﺎﻝ ‏( 12/ 521 (
“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).

Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.

Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad. Thalab al-nushrah untuk tujuan kedua

*Catatan Akhir*
Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah.

Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’. Adapun manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah, syaikh Taqiyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.
Bandung, 8 Oktober 2018
# CatatanTambahan
# DirasahSyariyyah_4
@raudhah tsaqafiyyah

No comments: