Saturday, March 25, 2023

Penjelasan KH. Hasyim Asy'ari seputar Syariah Islam dan Kesatuan Umat

 Penjelasan KH. Hasyim Asy'ari seputar Syariah Islam dan Kesatuan Umat


Dinukil dari kitab al-Inhadh: 


اشرح لكم الخطوات التي يجب ان نخطاها نحو الهدف الاعظم والغاية القصوى وهي اقامة الشريعة السلامية على المذاهب الاربعة ...

"Saya jelaskan kepada Anda sekalian langkah - langkah yang wajib kita tempuh menuju target lebih besar dan tujuan lebih tinggi yaitu 'penegakan Syariah Islam berdasarkan Madzhab Yang Empat' ..."


الخطوة الاولى تأليف القلوب وتوحيد الاراء والتحاب في الله لعل أبلغ وصف وضعه نبينا محمد صلى الله عليه وسلم لوحدة الامة الاسلامية هو مثل المؤمنين في تراحمهم وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد اذا اشتكى منه عضو تداعي له سائر الجسد الحمى والسهر ...

"Langkah pertama, mendekatkan hati, menyatukan pendapat dan saling mencintai karena Allah. Bentuk penyifatan tertinggi yang ditetapkan Nabiyyuna Muhammad صلى الله عليه وسلم tentang Kesatuan Umat Islam ialah 'permisalan kaum mukminin dalam saling berkasih sayang, saling mencintai dan saling bersikap lembut seperti tubuh yang satu, apabila sakit salah satu anggota maka anggota lainnya akan merasakan demam dan terjaga' ..."


ان سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه قبل وفاته دعا عليا وعثمان وطلحة والزبير وابن عوف وابن ابي وقاص رضوان الله تعالى عليهم وكلفهم التشاور فيمن يخلفه في الامارة والامامة وامرهم اذا اجمعوا على شخص وخالف احد منهم هذا الاجماع ان اضربوا عنقه ...


"Bahwa Sayyiduna Umar ibn al-Khatthab رضي الله عنه sebelum wafatnya memanggil Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, Ibn Auf dan Ibn Abi Waqqash رضوان الله تعالى عليهم dan mentaklif mereka untuk bermusyawarah tentang 'siapa yang akan menggantikan beliau dalam urusan Imarah dan Imamah' serta memerintahkan mereka apabila sudah ber-Ijma' atas seseorang dan salah satu dari mereka menyalahi Ijma' ini supaya menjatuhkan sanksi bunuh kepadanya ..."


فالواجب يقضى علينا ان نسعي الى ايجاد الوحدة والائتلاف وسبيل ذلك هو ان نقوي ملكة التسامح والتراحم والتعاون فيما بيننا.


"Wajib ditetapkan atas kita untuk kita berusaha menuju terwujudnya kesatuan dan kedekatan (hati) dan jalan hal itu ialah memperkuat tasamuh (saling pengertian), saling berkasih sayang dan saling menolong terhadap urusan diantara kita".


___________


Syaikh Hasyim Asy'ari رحمه الله menjadikan proses pemilihan Khalifah dimasa Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama sebagai dalil karena merupakan bagian dari Ijma' Sahabat bahwa Kesatuan Umat wajib diutamakan dan mereka yang memecah - belah layak untuk disanksi hukuman mati, memperjelas hadits "Tubuh yang Satu" yang dinukil sebelumnya. Wallahu A'lam.


Abdurrahman al-Khaddami

Jumat, Akhir Dzulhijjah 1443 H menuju Muharram 1444 H / 29 Juli 2022

Saturday, March 18, 2023

PANDANGAN SYAIKH 'ATHA BIN KHALIL ABU AR RASYTAH TERKAIT RUKYAT HILAL DAN POSISI HISAB ASTRONOMIS

 PANDANGAN SYAIKH 'ATHA BIN KHALIL ABU AR RASYTAH TERKAIT RUKYAT HILAL DAN POSISI HISAB ASTRONOMIS


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/03/pandangan-syaikh-atha-bin-khalil-abu-ar.html?m=1


Ditanyakan kepada Al 'Alim Al Ushul Syaikh 'Atha' bin Khalil Abu Ar Rasytah tentang rukyat hilal dan bagaimana posisi hilal astronomis. Lantas, bagaimana dengan orang yang berpuasa dengan sandaran keduanya (rukyat hilal dan hisab astronomis)? Maka dijawab oleh Syaikh 'Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah sebagai berikut.


***


PERTAMA,


Yang dijadikan sandaran dalam puasa Ramadhan, sesuai dalil-dalil yang ada, adalah rukyat hilal.


Diantaranya:

(صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ) 

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh hari."


Adapun yang dijadikan sandaran oleh mereka yang menggunakan hisab astronomis berupa dalil-dalil yang mereka pandang, maka menurut pendapat kami, semua itu tertolak dan tidak bisa diberlakukan atas masalah tersebut. Dalil paling masyhur yang mereka sebutkan ada dua, yaitu sebagai berikut.


Pertama: hadis Rasul saw

(إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا. رواه البخاري)

"Kami adalah umat yang ummiyyah, kami tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu." (HR al-Bukhari)


Hadis ini, meski di dalamnya ada washfun mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman), yaitu kata "ummiyyah" yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal menurut mafhum (yakni andai bukan umat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan hisab), hanya saja, ini tidak benar sesuai ketentuan dalam ushul.


Sebab, ini adalah mafhum yang diabaikan. Karena, sifat "ummiyah" untuk menyatakan kondisi pada galibnya. Orang arab mayoritasnya ummiy. Ditambah lagi bahwa mafhum (pemahaman) tersebut telah dibatalkan oleh nash, yaitu hadis,

(فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين. [البخاري])

"Jika kalian tertutup mendung maka genapkanlah hitungan tiga puluh." (HR al-Bukhari)


Tidak disebutkan bersamanya batasan. Artinya, jika rukyat hilal tidak mungkin dilakukan karena langit tertutup mendung atau hujan, yakni suatu sebab yang menghalangi rukyat, maka hukum syara’ telah ditetapkan dengan menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari, sehingga sekalipun hilal muncul (ada), akan tetapi tertutup mendung, dan tidak terlihat oleh pandangan. Atas dasar itu, maka yang diterapkan adalah manthuq, dan mafhum harus diabaikan.


Ini fakta tentang syarat beramal dengan mafhum dalam kebanyakan kondisi, bahwa mafhum itu diabaikan, jika dinyatakan untuk menyatakan kondisi galibnya. Atau, jika dibatalkan oleh nash, misalnya, Allah berfirman,

(وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ) 

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan." (TQS al-Isra’: 31)


Takut kemiskinan (khasyyah imlaq) merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun), yaitu khasyyatul faqri (takut kemiskinan). Demikian juga pernyataan itu menunjukkan kondisi pada galibnya. Mereka membunuh anak-anak karena takut miskin. Kemudian bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan dengan nash,

(وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ) 

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam." (TQS an-Nisa’: 93)


Oleh karena itu, mafhum ini diabaikan. Tidak bisa dikatakan bahwa "yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan, dan menjadi halal jika ia membunuhnya karena kaya!" Akan tetapi pembunuhan itu tetap haram dalam dua kondisi itu, baik karena kemiskinan ataupun karena kaya. 


Demikian juga ayat,

(لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً) 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda." (TQS Ali Imran: 130)


Kata adh'afan mudha'afatan (berlipat ganda) merupakan washfun mufhimun (sifat yang memberikan pemahaman), dan demikian juga menyatakan kondisi pada galibnya. Mereka mengambil riba berlipat ganda. Kemudian mafhum ini diabaikan dengan nash,

(وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا) 

"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah: 275)


Oleh karena itu, mafhum ini diabaikan. Tidak bisa dikatakan "yang haram adalah riba yang banyak/berlipat ganda, sedangkan riba yang sedikit maka boleh!" Akan tetapi, berapa pun banyaknya riba, adalah haram, sebab mafhum (adh'afan mudha'afatan) diabaikan seperti yang kami katakan.


Begitulah. Jadi, mafhum kata "ummiyah" pada hadis di atas diabaikan seperti yang sudah kami jelaskan, yaitu bahwa rukyat hilal jika terhalang mendung atau hujan, maka wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari, baik kita mengetahui hisab (perhitungan) ataupun tidak mengetahui.


KEDUA,


Pendapat mereka, jika hisab dijadikan sandaran untuk penetapan waktu-waktu shalat, dan jika demikian, maka penetapan waktu puasa juga disandarkan pada hisab, maka jawaban hal itu adalah sebagai berikut.


Siapa yang menelaah dalil-dalil yang menyatakan tentang puasa, maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari dalil-dalil yang menyatakan tentang shalat. Artinya, dalil yang digunakan untuk penetapan puasa dan shalat itu berbeda. Puasa dikaitkan dengan berbuka dan dengan rukyat.


(مَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) 

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (TQS al-Baqarah: 185)


«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»

"Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal."


Jadi, berdasarkan dalil-dalil di atas, rukyat adalah hukum.


Sementara, dalil-dalil tentang shalat telah dikaitkan dengan terealisasinya waktu.


(أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ)

"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir." (TQS al-Isra’: 78)


(إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا) 

"Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian."


Jadi, shalat itu bergantung pada terealisirnya waktu. Maka, dengan wasilah apapun Anda tetapkan waktu, maka Anda harus shalat. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu tergelincirnya matahari, atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan segala sesuatu atau yang semisalnya seperti yang ada di dalam hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat; jika Anda lakukan semua itu dan Anda tetapkan waktu shalat; maka shalatnya sah.


Jika Anda tidak melakukan semua itu, akan tetapi Anda menghitungnya secara astronomis lalu Anda tahu bahwa waktu tergelincirnya matahari, atau jam sekian, lalu Anda lihat jam tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan; maka shalat telah sah. Hal ini karena Anda telah menetapkan waktu dengan wasilah apa saja. 


Sebab, Allah swt meminta Anda shalat karena sudah masuk waktunya shalat, dan menyerahkan Anda penetapan masuknya waktu shalat tanpa menentukan tatacara penetapan itu.  


Sedangkan puasa, ini berbeda. Dalam penetapan puasa, Allah meminta Anda untuk berpuasa dengan rukyat. Jadi, Allah membatasi sebab untuk Anda.


Inilah pendapat kami (Syaikh 'Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah) dalam masalah ini. Hisab astronomis tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan puasa dan berbuka Ramadhan, akan tetapi yang harus dijadikan sandaran adalah rukyat.


KETIGA,


Adapun bagaimana puasa orang yang menggunakan hisab astronomis; jika mereka berpuasa pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadhan sesuai rukyat, maka itu adalah puasa yang sah. Sebaliknya jika mereka melewatkan satu hari dari Ramadhan sesuai rukyat, maka mereka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan mereka wajib mengqadha’nya.


Ini yang kami yakini, kami jelaskan kepada masyarakat. Dan kami tidak memiliki kekuasaan memaksa mereka atas pendapat kami.  Melainkan kami jelaskan kepada mereka dengan uslub yang baik dan hikmah yang baik.


Kami tidak menjadikan masalah tersebut dalam bentuk benturan pendapat, tetapi kami gariskan garis yang lurus di samping garis yang bengkok. Dan Allah swt adalah Maha Memberi Petunjuk kepada jalan yang lurus.


KEEMPAT,


Sedangkan pendapat sebagian orang bahwa mengikuti rukyat akan bisa menyulitkan berpuasa, misalnya saja, kadang orang berpuasa pada hari terakhir Ramadhan, kemudian dia diberi berita bahwa hari itu ternyata adalah hari Idul Fitri. Dan seandainya ia berbuka pada awal Ramadhan lalu orang lain datang dan berkata "hilal telah terlihat jadi hari ini adalah Ramadhan", begitu... Dan kemudian yang seperti ini dikatakan sulit...


Jawaban hal itu adalah sebagai berikut.


Justru masalahnya lebih mudah. Begini. Seorang muslim berpuasa dan berbuka/mengakhiri Ramadhan sesuai pengetahuannya tentang rukyat hilal setelah ia mencarinya. Jika ia berpuasa atau berbuka berdasarkan tidak adanya rukyat hilal menurutnya, kemudian datang orang yang memberitahunya hilal telah terlihat, maka ia harus mengikutinya. Sederhana sekali. Sebegitu sederhananya.


Hal ini ditetapkan dengan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar,

«غُمَّ عَلَيْنَا هِلاَلُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً، فَجَاءَ رَكِبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهَدُوْا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَلَ بِاْلأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَفْطِرُوْا ثُمَّ يَخْرُجُوْا لِعَيْدِهِمْ مِنْ الْغَدِّ»

"Hilal syawal tertutup mendung bagi kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan mereka bersaksi di hadapan Nabi saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka, kemudian mereka keluar untuk melaksanakan shalat Idul Fitri mereka keesokan harinya." (HR Ahmad)


Pada masa dahulu, sampainya berita rukyat dari wilayah lain, tidak mudah, seperti yang terjadi pada Rasulullah saw. Berita rukyat dari delegasi yang datang ke Madinah sampai kepada Rasulullah saw ketika sudah siang dimana Rasul dan kaum muslimin di Madinah berpuasa sebab mereka tidak melihat hilal. Ketika delegasi itu memberitahu Rasul saw tentang rukyat hilal, Rasul saw pun memerintahkan kaum muslimin berbuka. Hari itu adalah hari terakhir Ramadhan.


Saat itu, Rasul saw berpuasa dengan menggenapkan hitungan bulan Sya'ban karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal di Madinah. Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di wilayah lain, maka beliau memerintahkan para sahabat berbuka, sebab hari itu adalah hari pertama bulan Syawal. Artinya, itu hari raya Id, dan bukan penggenapan Ramadhan.


Jadi, ini perkara yang justru mudah. Setiap daerah mencari berita rukyat. Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka hendaknya berpuasa atau berbuka. Dan jika datang berita rukyat hilal, maka berita itu harus dijadikan sandaran, sebab hadis tersebut merupakan seruan untuk semua orang "shumu li ru'yatihi" (berpuasalah karena melihat hilal).


Jadi, jika dikatakan ini adalah perkara yang sulit dan tidak praktis, saya justru bertanya, mengapa tidak praktis? Jika penduduk Australia mencari rukyat hilal Syawal dan mereka tidak melihatnya, dan tidak sampai berita kepada mereka bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka mereka hendaknya berpuasa. Begitu. Lalu, jika datang kepada mereka berita rukyat hilal pada hari itu, maka mereka harus berbuka, sebab hari itu adalah Id seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Begitu. Sebegitu mudahnya menerapkan hukum ini.


Dan lagi, sungguh sekarang ini pengkabaran berita bisa sampai dengan mudah dan cepat karena kemajuan sains dan teknologi. Maka, tidak ada alasan yang membenarkan bagi seorang muslim yang ingin mencari kebenaran dalam ibadahnya.


KELIMA,


Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal, maka itu benar. Memang benar. Namun jika dikatakan bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyat hilal, maka itu tidak benar. Sebab, para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu terjadinya kelahiran hilal, sehingga terlihatnya setelah tenggelam matahari. 


Meski demikian, kita tidak berpuasa dan berbuka menurut "hakikat" kelahiran hilal, melainkan menurut rukyatnya (terlihatnya). Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh."


Kadang kala, hilal Ramadhan itu sudah ada, tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat, maka hitungan bulan Sya’ban digenapkan tiga puluh hari, sesuai dalil di atas.


Jadi, waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil. Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu shalat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat, niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar.


Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil shalat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat,

«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا…»

"Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian.."


Wallahu a'lam.

Friday, March 10, 2023

Benarkah Ibn ‘Aqil Menyatakan Nabi Tidak Membangun Pemerintahan

 Tanya Jawab

Benarkah Ibn ‘Aqil Menyatakan Nabi Tidak Membangun Pemerintahan?


4 Maret 2023


Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman


Muslimah News, TANYA JAWAB — Soal:


Ada yang mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. itu tidak mensyariatkan politik dan wahyu pun tidak menurunkan ihwal politik. Benarkah Ibn ‘Aqil menyatakan demikian? Kalau iya, apa dan bagaimana konteksnya? Berikutnya, benarkah Nabi Muhammad saw. tidak mensyariatkan politik, dan wahyu pun tidak menjelaskan ihwal politik?


Jawab:


Pertama: Pernyataan Abû al-Wafâ’ ibn ‘Aqîl (w. 513 H/1119 M) harus dikutip dengan lengkap. Dengan itu kita tahu bunyi teks dan konteksnya dengan tepat. Ini sebagai bagian dari amanah ilmu. Dalam kalimatnya, beliau menyatakan,


اَلسِّيَاسَة مَا كَانَ مِنَ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَه أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْه الرَّسُولُ صلى الله عليه وسلم وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ


“Politik (siyasah) adalah semua tindakan, yang dengan itu manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun hal itu belum pernah disyariatkan oleh Rasulullah saw. dan tidak diturunkan oleh wahyu.”1


Konteks penjelasan tersebut harus dipahami, kemudian dibaca secara utuh, sebagaimana pembahasan para fukaha pada masa lalu. Tidak dipahami dalam konteks logika orang sekarang yang menolak syariat karena akibatnya fatal.


Ibn ‘Aqil menyatakan,


فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ (لَا سِيَاسَة إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ) أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْع فَصَحِيحٌ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ. فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُه عَالِمٌ بِالسِّيَرِ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ الله وَجْهَهُ الزَّنادِقَةُ فِي الْأَخَادِيدِ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .


“Jika yang Anda maksud dengan pernyataan Anda, (Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat), dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh syariat, maka itu benar. Namun, jika yang Anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para Sahabat Nabi. Para Khulafaurasyidin telah banyak melakukan kebijakan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh siapa saja yang menguasai sirah. Kebijakan pembakaran semua mushaf (pada zaman ‘Utsman) semata-mata pendapat yang dibangun berdasarkan kemaslahatan. Demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan ‘Umar bin Al-Khathab yang pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.”2


Jadi, konteks pembahasannya terkait topik ‘siyasah’ (politik). Sejauh mana politik dibahas oleh syariat. Bukan syariat tidak membahas politik atau bahkan wahyu tidak menjelaskan politik. Itulah yang sebenarnya yang dibahas oleh Ibn ‘Aqil.


Perlu dicatat juga bahwa nas syariat, yaitu Al-Qur’an dan Sunah, tidak menggunakan istilah ‘siyasah’ kecuali dengan konotasi ri’aayah as-syu’uun (mengurusi urusan [masyarakat]). Ini sebagaimana yang digunakan dalam hadis Nabi saw.,


كَانَتْ بَنُوْ إِسَرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءِ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ


“Dulu Bani Israil diurus (urusannya) oleh para nabi. Ketika seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguhn setelah aku tidak ada lagi nabi. Yang ada adalah para khalifah hingga jumlahnya banyak.” 3


Dalam hadis ini Nabi saw. menggunakan istilah “tasuusuhum al-anbiyaa” (mereka diurus oleh para nabi). Makna kata “siyaasah” dengan konotasi bahasa inilah yang juga digunakan oleh syariat. Oleh karena itu, para ulama, ketika membahas masalah politik, menggunakan konotasi tersebut. Ibn Jarîr ath-Thabarî (w. H), ketika menjelaskan alasan mengapa ‘Umar bin al-Khaththâb ra. menjadikan urusan Khilafah kepada enam orang yang beliau pilih, menyatakan,


لَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الإِسْلاَمِ أَحَدٌ لَهُ مِنَ الْمَنْزِلَةِ فِي الدِّيْنِ وَالْهِجْرَةِ وَالسَّابِقَةِ وَالْعَقْلِ وَالْعِلْمِ، وَالْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ؛ مَا لِلسِّتَّةِ الَّذِيْنَ جَعَلَ عُمَرُ الأَمْرَ شُوْرَى بَيْنَهُمْ


“Tidak ada seorang pun kaum muslim yang mempunyai kedudukan dalam agama, hijrah, senioritas, intelektual, ilmu, dan pengetahuan tentang politik sebagaimana yang dimiliki oleh enam orang sahabat yang ‘Umar jadikan urusan musyawarah di antara mereka.” 4


Ibn Hajar rahimahullah juga menggunakan kata siyaasah dengan konotasi tersebut,


وَالَّذِيْ يَظْهَرُ مِنْ سِيْرَةِ عُمَرَ فِي أُمَرَائِهِ الَّذِيْنَ كَانَ يُؤَمِّرُهُمْ فِي الْبِلاَدِ أَنَّهُ كَانَ لاَ يُرَاعِي الأَفْضَلَ فِي الدِّيْنِ فَقَطْ، بَلْ يَضُمُّ إِلَيْهِ مَزِيْدَ الْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَة مَعَ اِجْتِنَابِ مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ مِنْهَا


“Yang tampak dari sirah ‘Umar ketika beliau mengangkat para pemimpin, yang beliau angkat untuk menjadi pemimpin di daerah, beliau tidak hanya memperhatikan yang paling baik agamanya, tetapi termasuk pengetahuannya yang lebih dalam politik, selain menjauhi apa yang menyalahi syariat.”5


Oleh karena itulah beberapa tindakan yang dilakukan oleh para Khulafaurasyidin ra. yang termasuk kategori “siyasah”, sebagaimana yang dibahas oleh Ibn ‘Aqil di atas, adalah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, ia mengangkat ‘Umar bin al-Khaththab untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah, setelah meminta pandangan penduduk Madinah.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Umar. Ia mengangkat enam orang sahabat terbaik untuk memusyawarahkan siapakah yang paling layak menggantikan dirinya, bukan dengan menunjuk satu orang sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Ia membakar semua mushaf, lalu menjadikan satu mushaf sebagai Mushaf Imam. Mushaf itu ia gandakan menjadi tujuh mushaf untuk disebarkan ke beberapa kota demi menghindari perpecahan dan konflik di tengah-tengah umat.


Begitu juga apa yang dilakukan oleh ‘Umar. Ia pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj karena ketampanannya bisa menjadi fitnah bagi kaum wanita, padahal Nashr tidak bersalah. Namun, hal itu semata demi mewujudkan kemasalahatan, yaitu menjaga kesucian jiwa, dan mencegah mudarat, yaitu terjadinya perzinaan. Semua itu bagian dari tindakan politik, yang sebelumnya tidak dicontohkan.


Oleh karena itu, di kalangan fukaha ada dua pandangan tentang ranah politik ini. Pertama: Sebagaimana yang disampaikan oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil di atas,6


اَلسِّيَاسَة مَا كَانَ مِنَ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْه الرَّسُولُ صلى الله عليه وسلم وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ


“Politik (siyasah) adalah semua tindakan, yang dengan itu manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun hal itu belum pernah disyariatkan oleh Rasulullah saw. dan tidak diturunkan oleh wahyu.”


Meski demikian, beliau memberikan batasan, yakni,


مَا لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الْوَحْيُ


“…selama tidak menyalahi apa yang dinyatakan oleh wahyu.” 7


Pandangan senada dengan apa yang dinyatakan oleh Ibn ‘Aqil adalah apa yang disampaikan oleh Ibn Nujaim al-Hanafi (w. H) ketika membahas sanksi untuk perbuatan zina,


وَظَاهِرُ كَلاَمِهِمْ هَاهُنَا أَنَّ السِّيَاسَةَ هِيَ فِعْلُ شَيْءٍ مِنَ الْحَاكِمِ لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا، وَإِنْ لَمْ يَرِدْ بِذَلِكَ الْفِعْلُ دَلِيْلٌ جُزْئِيٌّ


“Dari redaksi pernyataan mereka di sini tampak bahwa politik (siyasah) adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang penguasa demi kemaslahatan yang menurut dia tepat, sekalipun itu tidak dinyatakan oleh dalil juz’i (untuk kasus tersebut).”8


Kedua: Pandangan yang melihat ranah politik dipersempit dan dibatasi dalam urusan jinayah atau sanksi yang berat. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Alauddin ath-Tharablusi al-Hanafi,


السِّيَاسَةُ شَرْعٌ مُغَلَّظٌ


“Politik itu merupakan syariat yang diperberat.”


Berangkat dari pembahasan konotasi politik dan ranahnya, sebagaimana yang dibahas oleh para fukaha di atas, maka mereka kemudian membagi politik, dari aspek sumber atau rujukannya, menjadi dua. Pertama: Siyasah Diniyyah (politik syariat). Kedua”: Siyasah ‘Aqliyyah (politik produk akal manusia).


Ibn Khaldun telah menjelaskan tentang keharusan adanya peraturan perundang-undangan politik yang ditetapkan dalam negara, yang diterima oleh semua pihak. Oleh karena itu, beliau menyatakan,


فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الْقَوَانِيْنُ مَفْرُوْضَة مِنَ الْعُقَلاَءِ وَأَكَابِرِ الدَّوْلَةِ وَبُصَرَائِهَا كَانَتْ سِيَاسَة عَقْلِيَّةً، وَإِنْ كَانَتْ مَفْرُوْضَةً مِنَ الله بَشَارِعٍ يُقَرِّرُهَا وَيُشَرِّعُهَا كَانَتْ سِيَاسَة دِيْنِيَّةً


“Ketika perundang-undangan ini ditetapkan dari (akal) kaum intelektual, para pemuka dan cerdik pandai negara, maka ia disebut Siyasah ‘Aqliyyah (politik produk akal manusia). Jika ia ditetapkan dari Allah, dengan syariat yang ditetapkan dan disyariatkan, maka ia merupakan politik syariat.”9


Berangkat dari sini, maka Ibn Khaldun pun menjelaskan konotasi kekuasaan politik (al-Mulk as-Siyasi) dengan menyatakan,


اَلْمُلْكُ السِّيَاسِيُّ هُوَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظَرِ الْعَقْلِيِّ فِي جَلْبِ الْمَصَالِحِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَدَفْعِ الْمَضَارِّ، وَالْخِلاَفَةُ هِيَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظَرِ الشَّرْعِيِّ فِي مَصَالِحِهِمْ الأُخْرَوِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ الرَّاجِعَةِ إِلَيْهَا


“Kekuasaan politik itu membawa semua orang mengikuti pandangan (kebijakan) akal dalam mengupayakan kemaslahatan duniawi serta mencegah kemudaratan. Khilafah itu membawa semua orang untuk mengikuti pandangan (kebijakan) syariat mengenai kemasalahatan dunia dan akhirat dengan kembali padanya.” 10


Dari sini sebenarnya sejak dulu para ulama sudah memahami konotasi politik dan ranahnya dengan tepat dan presisi. Lebih jauh, mereka menjelaskan bahwa Siyasah Syar’iyyah (politik syariat) itu, sebagaimana umumnya problem kehidupan yang dihadapi para fukaha, menghadapi dua masalah: Pertama, masalah yang telah dijelaskan oleh nas syariat. Kedua, masalah yang belum dinyatakan secara spesifik dan tegas di dalam nas-nas syariat.


Khilafah, sebagai bentuk negara, sistem pemerintahan, dan strukturnya, misalnya, termasuk masalah yang telah dinyatakan oleh nas. Adapun kebijakannya untuk merespons berbagai perkembangan zaman dikembalikan pada ijtihad Khalifah. Nah, dalam konteks ini, nalar para fukaha itu sudah sangat jelas.


Di sini mereka membedakan politik menjadi dua. Pertama: Ketentuan syariat yang bersifat global (syara’i’ kulliyah). Dalam konteks ini Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa syariat ini tidak berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat.


Kedua: Ketentuan politik yang bersifat parsial (siyasah juz’iyyah), yang mengikuti kemaslahatan tertentu, yang bisa berubah, sesuai dengan konteks waktu dan tempatnya.


Jadi, jelaslah apa dan bagaimana konteks pembahasan yang disampaikan oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil di atas. Dengan demikian, apa yang diklaim oleh orang yang mencatut pernyataan beliau itu jelas keliru dan salah alamat. Dengan kata lain, makna pemikiran yang dimaksud oleh Abu al-Wafa’ Ibn ‘Aqil tidak bisa dijangkau, atau dipahami dengan baik sehingga kesimpulannya jadi keliru.


Masalah berikutnya: Apakah Nabi saw. tidak mendirikan negara, bentuk dan sistem pemerintahan? Menjawab pertanyaan ini sebenarnya jauh lebih mudah. Penyebabnya, warisan dan jejaknya tidak bisa dihapus. Selain bukti empiris dan historis, juga ada bukti normatif.


Baca, misalnya, kitab Al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah, karya Imam Al-Mawardi, atau karya Imam Al-Farra’. Baca kitab As-Siyaasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyyah. Baca kitab Rawdhatu ath-Thaalibiin wa ‘Umdah al-Muftin, karya Imam an-Nawawi, Bab Bughaat dan Imaamah.


Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, warisannya dilanjutkan oleh para sahabat. Oleh karena itu, ijmak sahabat, yang dinyatakan oleh para ulama usul fikih sebagai perkara qath’i, tidak mungkin ditolak. Baca Al-Bahr al-Muhiith, karya Imam az-Zarkasyi. Wallahualam. [MNews/Rgl]


Catatan kaki:


1 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


2 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


3 HR Muslim


4 Lihat, Ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk


5 Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari


6 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


7 Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, Juz II/649; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasati asy-Syar’iyyah, hal. 17.


8 Lihat, Ibn Nujaim, Al-Asybah wa an-Nadhair, hal. ; Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar


9 Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah


10 Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah

HADITS TENTANG KEBOLEHAN MUSIK

 HADITS TENTANG KEBOLEHAN MUSIK


Hadits Aisyah ra.


عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: (دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم) (فِي أَيَّامِ مِنًى) (-وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ بِالْمَدِينَةِ-) (وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ) (-وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ-) (تَضْرِبَانِ بِدُفَّيْنِ) (وَتُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ) (يَوْمٌ قُتِلَ فِيهِ صَنَادِيدُ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ) (فَاضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْفِرَاشِ, وَحَوَّلَ وَجْهَهُ) (وَتَسَجَّى بِثَوْبِهِ) (فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ رضي الله عنه) (فَانْتَهَرَهُمَا) (وَقَالَ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟) (فَكَشَف رَسُولُ اللهِ عَنْ وَجْهِهِ وَقَالَ: دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ) (إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا, وَهَذَا عِيدُنَا) (قَالَتْ: فَلَمَّا غَفَلَ, غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا)


Aisyah ra. berkata: (Ali menjumpai Rasulullah saw. sewaktu di hari-hari Mina –Tasyriq-) (Saat itu Nabi saw. berada di Madinah) (dan aku memiliki dua gadis anshar) (keduanya bukan penyanyi prefesional) (keduanya menaboh rabana) (dan menyanyikan syair-syair yang menggambarkan perang Bua’ts) (di hari terbunuhnya para tokoh Aus dan Khazraj) (Lalu Nabi pun berbaring di atas tikarnya sambil memalingkan wajahnya) (dan bertutupkan selembar kain) (Lalu Abu Bakar tiba dan membentak kedua penyanyi itu) (seraya berkata: Kenapa ada seruling setan di rumah Rasul?) (Lalu Nabi menyingkap tabir kain dari wajahnya seraya bersabda: Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, ini adalah hari raya) (Sesungguhnya pada setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita). (Aisyah berkata:  Ketika Abu Bakar lengah, lalu aku mendorong keduanya keluar rumah).


Hr. Bukhari: 907, 909, 944, 2750, 3337; Muslim: 892; Nasai: 1593, 1597; Ibnu Majah: 1898; dan Ahmad: 24095, 24585, 25072.


dalam hadis yng diriwayatkan imam al-bukhari melalui jalur aisyah, diceritakan tentang budak-budak perempuan yg bernyanyi di rumah nabi muhammad SAW pada momen hari raya Id.


ada abu bakar ketika itu dan di sisi aisyah ada dua orang budak yg sedang bersenandung. Isi senandungnya mengingatkan pada peristiwa pembantaian kaum anshar dlm perang bu'ats.


aisyah mengatakan dlm hadis itu, bahwa kedua budak tersebut tak begitu pintar bersenandung.

lalu abu bakar datang dan membentak kedua penyanyi itu seraya berkata : 

"kenapa ada seruling setan dirumah Rasul?"


kita sekarang bertanya...

apa yg menyebabkan abu bakar marah kepada kedua penyanyi itu & berkata seruling setan ? 


kira-kira apa jawaban anda ?

pertama... abu bakar tidak suka kedua penyanyi itu bernyanyi. 

kedua... abu bakar meminta kedua penyanyi itu menghentikan nyanyianya. 


maka maksud dari perkataan abu bakar adalah melarang mereka berdua menyanyi.


Lantas apa jawaban Rasulullah saat itu ?

beliau menjawab dengan jelas dan gamblang :


                          دعهما يا اب بكر 

      "biarkanlah keduanya wahai abu bakar"


biarkanlah apa ? 

maksudnya BIARKANLAH MEREKA BERDUA MENYANYI JANGAN DILARANG.


perkataan rasulullah dapat disimpulkan bahwa beliau tidak melarang justeru malah meminta abu bakar untuk membiarkan mereka berdua meneruskan menyanyi. 


lagi pula apabila musik atau nyanyian itu tidak diperbolehkan tentu sejak awal rasulullah saw menolak kedatangan budak-budak tersebut.


bagi mereka yang mengharamkan musik selalu terfokus dengan perkataan dari abu bakar yang menyebut musik sebagai "seruling setan".


tapi mereka tidak mencari tahu dalam hadits diatas kenapa abu bakar marah dan menyebut seruling setan ?


dalam hadits diatas kedua budak kedua gadis tersebut dikatakan : و ليستا بمغنيتين (keduanya bukan penyanyi profesional) & keduanya hanya penabuh gendang. 


bisa jadi abu bakar mengatakan seruling setan sebab suara keduanya tidak enak didengar yng memang bukan penyanyi sungguhan karena mereka hanya penabuh rebana. 


atau bisa jadi abu bakar menyebutnya seruling setan karena isi syair tsb tentang perang buats yang menggambarkan cerita pembataian kaum anshar apalagi saat adalah hari raya ied. 


tapi apapun itu terlepas perkataan abu bakar, hal yang tidak bisa dibantahkan pada hadits ini adalah TIDAK ADA LARANGAN RASULULLAH MENYANYI YANG DIRIINGI ALAT MUSIK. 


Ini point yang penting...


(Ustad Maaher At-Thuwailibi)

Wednesday, March 8, 2023

WAJIB MENDENGAR & TAAT PADA PEMIMPIN MESKIPUN BERHATI SETAN ?

 WAJIB MENDENGAR & TAAT PADA PEMIMPIN MESKIPUN BERHATI SETAN ?


( Meluruskan Gagal Faham Terhadap Sebuah Hadits )


PAHAMI baik-baik dan baca dengan cermat. 


Orang kalau sudah berjenggot, bergamis, atau bercelana cingkrang (diatas mata kaki), lalu ngomongnya pakai dalil qur’an dan hadits, apalagi ngomongnya di TV atau Radio tertentu; langsung dianggap sudah pasti benar, langsung dianggap ‘oh ini ahlus sunnah sejati’; sehingga kalau ada berbeda dengan yang disampaikannya ini, berarti ‘salah’ atau ‘sesat’.


Demikianlah diantara fenomena keterpurukan intelektual yang sedang menimpa sebagian kaum muslimin dewasa ini, padahal kebenaran itu bukan sekedar di ukur dengan yang namanya DALIL, tetapi juga perlu ISTIDLAL (cara menggunakan dalil).


Artinya, ketika dalil sudah benar, lalu bagaimana cara menggunakan dalil itu agar pemahaman dan pengamalan terhadap dalil itu juga benar. Inilah garis lurus syari’at/manhaj salaf yang sesungguhnya.


Kalau hanya terpesona dengan orang yang menyampaikan pakai dalil, maka syi’ah pun punya dalil, khawarij kuburiyyun bani klenik dan mu’tazilah juga punya dalil, kelompok sesat jabariyyah dan murji-ah pun juga pakai dalil. 


Lalu kenapa mereka tetap sesat?


Ya, karena bukan dalil nya yang salah, melainkan cara mereka menggunakan dalil (ISTIDLAL) itulah yang salah sehingga menjadikan mereka sesat dan menyesatkan.


Mari kita bahas dengan cermat.


Segelintir orang memaksakan ummat ini untuk MENTAATI PEMIMPIN (PENGUASA) MESKIPUN BERHATI SETAN dalilnya:


Pertama:

Hadits dari ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, di riwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﺃُﻭْﺻِﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّﻭَﺟَﻞَّ , ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺄَﻣَّﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻋَﺒْﺪٌ ﺣﺒﺸﻲ .


“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah (memimlin) kalian adalah seorang hamba sahaya (budak hitam)”.


Kedua:

Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, diriwayatkan Imam Muslim. Rasulullah bersabda,


ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃَﺋِﻤَّﺔٌ ﻟَﺎ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ ﺑِﻬُﺪَﺍﻱَ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﻨُّﻮﻥَ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲ، ﻭَﺳَﻴَﻘُﻮﻡُ ﻓِﻴﻬِﻢْ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮﺏُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ ﻓِﻲ ﺟُﺜْﻤَﺎﻥِ ﺇِﻧْﺲٍ، ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ : ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺻْﻨَﻊُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﺇِﻥْ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺖُ ﺫَﻟِﻚَ؟، ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻭَﺗُﻄِﻴﻊُ ﻟِﻠْﺄَﻣِﻴﺮِ، ﻭَﺇِﻥْ ﺿُﺮِﺏَ ﻇَﻬْﺮُﻙَ، ﻭَﺃُﺧِﺬَ ﻣَﺎﻟُﻚَ ﻓَﺎﺳْﻤَﻊْ ﻭَﺃَﻃِﻊْ .


“Nanti setelahku ini akan ada seorang pemimpin yang tidak berpetunjuk dengan petunjukku (dalam teori) dan tidak pula bersunnah dengan sunnahku (dalam praktek). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia”.

Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada Al-MIR (pemimpin) itu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.”

-selesai-


Baik, kita bahas..


#PERTAMA:

DUA HADITS tersebut diatas yang sering menjadi dalil untuk dua hal:


1. Membenarkan adanya kepemimpinan TIDAK MEMAKAI SYARI’AT di muka bumi;

2. Mewajibkan mendengar dan taat kepada kepemimpinan itu, meskipun ia berhati setan, harta kita diambil, punggung kita dipukul.


Hadits-hadits tersebut selalu diulang-ulang oleh para penjilat penguasa (mulukiyyah/murji’ah gaya baru), tetapi anehnya hadits-hadits tentang para syuhada’ yang terbunuh melawan pemimpin zhalim tidak pernah mereka bahas, tidak pernah mereka dengang-dengungkan.


Padahal sabda Nabi,

 “jihad yang paling afdhal adalah amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpin zalim”. ini juga kan hadits shahih, sebagaimana hadits-hadits yang mereka nukil diatas, dan itu di praktekkan oleh Salafus Shalih, tetapi kenapa tidak pernah mereka bahas?


Disinilah letak standar ganda nya para penyembah mulk (penguasa) itu. Syari’at (Al-Qur’an & As-Sunnah) menjadi keset di bawah kaki mereka demi kekuasaan, demi ketebaran nama, demi banyaknya jamaah..


#KEDUA:

Baginda Rasulullah ‘Alaihi Shalawatu Wa Salam bersabda :


ﺇﻥ ﺃُﻣِّﺮ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻋﺒﺪٌ ﻣُﺠﺪَّﻉٌ ﺃﺳﻮﺩُ ، ﻳﻘﻮﺩُﻛﻢ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻓﺎﺳﻤَﻌﻮﺍ ﻟﻪ ﻭﺃَﻃﻴﻌﻮﺍ ” .


“Jika kalian di pimpin oleh seorang hamba sahaya yang hitam berambut keriting, yang memimpin kalian DENGAN KITAB ALLAH, maka taatlah kepadanya”.

( ini hadits shahih riwayat Imam Muslim )


Perhatikan hadits ini dengan cermat. Sabda Rasulullah, “Maka Taatlah kalian selama ia memimpin dengan KITABULLAH…sekali lagi: DENGAN KITABULLAH.


Nah, inilah hadits yang menjelaskan (atau tafsir) dari hadits yang sering mereka nukil diatas. Harusnya di korelasikan dalil-dalil yang ada, jangan ambil separoh-separoh. hancur agama ini jika cara mereka beristidlal seperti itu.


Pertanyaan saya..apakah sama pemimpin yang memimpin berdasarkan KITABULLAH, dengan pemimpin yang memimpin berdasarkan UNDANG-UNDANG SEKULER?


Apalagi Undang-undang sekuler itu dijadikan asas tunggal dan ideologi bangsa/negara?


Yang kita bahas sekarang adalah hukumnya, undang-undangnya. Yang mana, mau tidak mau kita harus akui bahwa undang-undang yang ada saat ini bukanlah undang-undang ISLAM.


#KETIGA:

Dalam batas syari’at, ada dua poin penting yang sering DISEMBUNYIKAN oleh kaum mulukiyyun (penjilat penguasa) ini, yaitu:


1. Ketaatan mutlak itu hanya berlaku untuk Allah dan Rasul-Nya; sehingga kepada Ulil Amri/

pemerintah yang berhukum pada Syariat pun, ketaatan itu sifatnya terbatas (tidak mutlak);


2. Memberikan hak ketaatan mutlak (sekalipun harta kita diambil, punggung kita dipukuli) kepada orang-orang sekuler, anti Syariat atau menolak Syariat. ini tentu sangat MUSTAHIL. tidak mungkin Allah Ta’ala memberikan hak istimewa kepada kepemimpinan yang menentang-Nya dan menentang Rasul-Nya.


Dalilnya, Nabi bersabda:


ﺇﻥَّ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮَ ﻓﻲ ﻗﺮﻳﺶٍ ، ﻻ ﻳُﻌﺎﺩﻳﻬﻢ ﺃﺣﺪٌ ﺇﻻ ﻛﺒَّﻪ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻬِﻪ ، ﻣﺎ ﺃﻗﺎﻣﻮﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦَ


“Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan kaum muslimin) adalah dari Quraisy, tidak ada seorangpun yang menentangnya kecuali akan di campakkan oleh Allah wajahnya di neraka, selama MEREKA MEMIMPIN DENGAN MENEGAKKAN DIN”.

(Ini hadits Shahih riwayat Imam Bukhari dari sahabat Muawiyyah Bin Abi Sufyan Radhiyallahu’anhuma)


Perhatikan: Sabda Rasulullah, meskipun yang memimpin adalah kaum Quraisy, maka WAJIB MENTAATAINYA selama MEREKA MENEGAKKAN DIN (AGAMA).. sekali lagi..selama mereka menegakkan DIIN.


Dari sabda Nabi ini sangat jelas bagi orang-orang berakal bahwa SYARAT MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN, ITU TIDAK BERSIFAT MUTLAK. Ini sudah terlalu capek kami bahas berulang-ulang..mereka saja hanya muter-muter disitu.


Oleh karenanya, menjadikan dua hadits diatas sebagai dalil untuk “mendengar dan taat” kepada kepemimpinan TIDAK ISLAMI (tidak berlandaskan Al-Qur’an & As-Sunnah), ini adalah pengkhianatan besar kepada Allah, Rasul, dan Syari’at-Nya.


Sejak kapan para MUWAHHIDIN (AHLI TAUHID SEJATI) diperintah tunduk kepada kepemimpinan TANPA Syariat? 


Sejak kapan? 


Mana dalilnya? 


Mana praktek Salaf terhadapnya?


#KEEMPAT:

Dalam hadits ke-dua diatas, ada kata “laa yahtaduna bi hadyi” (mereka berpetunjuk tidak dengan petunjukku) dan “laa yastanuna bi sunnati” (mereka bersunnah tidak dengan Sunnahku). Kata-kata tersebut TIDAK BERMAKNA SECARA MUTLAK MEREKA MENINGGALKAN SYARI’AT..tapi bermakna mereka melakukan bid’ah. Karena di sana ada kata “yahtaduna” (berpetunjuk) dan “yastanuna” (bersunnah); artinya mereka masih menetapi PETUNJUK dan SUNNAH, namun tidak sesuai dengan apa yang Nabi lakukan/contohkan. 


Kalau mereka benar-benar meninggalkan Syariat, tentunya Nabi memakai kalimat “yakfuruna bi ayatillah wa sunnati nabiyih” (mereka kufur atas ayat Allah dan Rasul-Nya).

Kemudian di sana juga ada kata ﺍﻷﻣﻴﺮ (pakai alif lam ma’rifat sebagai bentuk mu’ayyan) yang artinya pemimpin..yang mana kata “Al-Amir” disini maknanya khusus, tidak umum. Artinya, itu kepemimpinan ISLAM, yang dibatasi hukum Syariat; karena asal kepemimpinan dalam Islam adalah TAAT SYARIAT.


Di sana juga ada kata “as sam’u wat tho’ah”. yang mana kata-kata seperti ini dalam Al-Qur’an sering disebut “sami’na wa atho’na”. Kata-kata ini adalah KHAS KETAATAN kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak berlaku bagi yang lain. Karena ia mengandung konsekuensi IMAN, seperti yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 285. Kata-kata ini HARAM dikeluarkan dari jalur KEIMANAN.


#KELIMA:

Setelah kita menjama’kan (mengkorelasikan) hadits-hadits tentang wajibnya mendengar dan taat pada ULIL AMRI, maka kembalikan pemahaman tentang Ulil Amri itu kepada para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Artinya, baca dan lihat penjelasan para Ulama dan Imam-imam Ahlus Sunnah terkait makna Ulil Amri dan penjelasan mereka tentang siapa dan bagaimana Ulil Amri itu. Sehingga tidak MAIN COMOT.


ULIL AMRI adalah ;


#SATU:

Didalam kitab fathul qadir 1/556, Imam Syaukani Rahimahullah mengatakan:


ﻭﺍﻷﻭﻟﻰ ﺍﻷﻣﺮ : ﻫﻢ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻭﺍﻟﺴﻼﻃﻴﻦ، ﻭﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻭﻻﻳﺔ ﻃﺎﻏﻮﺗﻴﺔ

“Ulil Amri adalah para imam, penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang Syar’i (yakni sesuai syariat) bukan kekuasaan Thoghut”.


#KEDUA:

Dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqolatun Mutanawwi’ah 1/ 117 cetakan Daarul Qasim lin Nasyr-Riyadh, Syaikh Bin Baz Rahimahullah mengatakan :


ﻷﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺣﺎﻛﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻳﺼﺢ ﻣﻨﻪ ﺍﻹﺟﺘﻬﺎﺩ، ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺣﺎﻛﻢ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻜﺎً ﺃﻭ ﺭﺀﻳﺲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻳﺔ ﻳﺴﻤﻲ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺑﺸﺮﻉ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻳﻠﺰﻣﻬﻢ ﺑﻪ، ﻭﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺑﻴﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ .


“…Karena tidaklah setiap pemimpin di namakan seorang alim yang sehingga dibenarkan ia berijtihad, sebagaimana tidaklah setiap pemimpin, baik itu kedudukannya sebagai raja atau presiden di namakan “AMIRUL MUKMININ” (Ulil Amri), karena yang di namakan “AMIRUL MUKMININ (Ulil Amri) hanyalah seseorang “yang berhukum di antara rakyatnya dengan SYARI’AT ALLAH”

dan mengharuskan mereka atas itu, dan melarang mereka untuk menyelisihinya. Inilah yang telah di ketahui di antara Ulama Islam dan di kenal di kalangan mereka”.

-selesai-


Ini kata Syaikh Bin Baz, loch


MANHAJ MULUKIYYAH/MURJI-AH adalah “manhaj main comot yang penting aman” asal sudah jadi pemimpin, berkuasa, dengan cara apapun, maka ia langsung dianggap Ulil Amri dan wajib mendengar serta mentaatinya. sebagaimana ‘fatwa’

Ibrahim Ar-Ruhaili..


Kalau begitu, kafir Belanda yang menguasai indonesia selama 350 tahun (dalam jajahannya), antum anggap Ulil Amri dong?


Sehingga konsekuensi logisnya -dari buah fikir sungsang seperti ini- para pahlawan kemerdekaan itu “khawarij” semua??


Demikian pula Israel Yahudi yang sampai detik ini menguasai palestina (dalam jajahannya), Bashar Asad di Suriah di anggap Ulil Amri dong? 


Karena mereka berkuasa disana.. , sehingga konsekuensi logisnya -dari buah fikir prematur ini- Mujahidin dan semua pejuang Palestina dan Suriah itu “khawarij” semua ???


Wallahul musta’an. 


Semoga Allah menyelematkan ummat ini dari faham bebal kehinaan, kebodohan dan kesesatan pemikiran serta fitnah di akhir zaman.


#Tauhid Manhaj & Aqidah

TAK ADA YANG MENCINTAI INDONESIA

 TAK ADA YANG MENCINTAI INDONESIA


Oleh Moeflich H. Hart 


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena cintanya itulah, para ulama awal masuk ke Nusantara, mengislamkan negeri ini dan membawanya "min adz-dzulumāti ilā an-nūr" (dari kegelapan kepada cahaya pentunjuk), sehingga yang tadinya penduduk Nusantara yang menyembah dewa-dewa beralih menjadi menyembah Tuhan yang benar, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah menyiramkan hidayah di bumi Nusantara setelah ajaran-Nya didakwahkan oleh para ulama utusannya sebagai warāsatul anbiyā.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah negeri ini berada di bawah pemerintahan kesultanan² Islam, dengan kontrol dan bimbingan para ulama, mereka tidak sudi dan melakukan perlawanan bahkan pemberontakan ketika negeri subur nan berkah ini akan dikuasai oleh orang-orang kafir, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang, bangsa-bangsa asing kulit putih yang datang bergantian ingin menguasai negeri, merampas dan merampok kekayaan alamnya.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena kehendak bernegara sendiri (zelf-bestuur) agar penduduk Nusantara tidak terus berada dalam penguasaan kolonial asing, agar bermarwah, berharga diri dan bisa menentukan nasibnya sendiri, pertama kali disuarakan oleh seorang guru bangsa dan pemimpin Islam, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, dalam acara National Congress, NATICO-1 Central Sarekat Islam, 17-24 Juni 1916 di Bandung. Setelah diawali HOS Tjokroaminoto dan SI, kemudian ide zelf-bestuur itu terus menguat menjadi gerakan kemerdekaan seluruh komponen bangsa hingga bebas merdeka tahun 1945.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah Indonesia merdeka, dalam perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI, yang tadinya syariat Islam sudah disahkan sebagai Piagam Jakarta, untuk diberlakukan pada umat Islam Indonesia, agar negeri ini berkah dan diridhai, meneruskan kesultanan² Islam sebelumnya, sebagai hasil musyawarah bersama seluruh founding fathers dan tokoh-tokoh bangsa, tetapi kemudian, aspirasi yang sangat prinsipil dalam kehidupan umat itu, dengan sangat getir, pahit dan luka yang dalam, rela dihapuskan kembali demi untuk menghindari perpecahan negeri yang baru merdeka, demi keutuhan bangsa, demi kebersamaan semua dan demi toleransi yang tak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia. Padahal, perpecahan itu baru kekhawatiran, belum tentu terjadi. Umat Islam Indonesia memang luar biasa, sangat tak pantas mereka diajari toleransi, justru pada Islamlah yang lain harus belajar toleransi.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena ketika kerakusan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme ingin kembali melalui agresi militer Belanda dan Inggris, disambut oleh seruan Resolusi Jihad dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari, 22 Oktober 1945 dan kemudian pekikan takbir "Allahu Akbar" Bung Tomo dan para ulama dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang sekitar 6.000 - 16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah peristiwa G 30 S/PKI, kemudian PKI dibubarkan oleh Presiden Soeharto dan dilarang hidup kembali oleh konstitusi melalui TAP XXV/MPRS/1966, umat Islamlah yang paling kuat anti PKI-nya untuk menjaga konstitusi dan mempertahankan Pancasila agar tidak diutak-atik menjadi Trisila.  PKI adalah ideologi anti-Tuhan yang terbukti menghalalkan segala cara, membunuh dengan sadis tujuh jenderal pahlawan revolusi.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena tak akan ada NKRI tanpa Mosi Integral Natsir 3 April 1950. Alias, tak akan ada NKRI tanpa peran dan jasa tokoh Islam. Mohammad Natsir adalah pemimpin Partai Islam Masyumi dan figur Islam yang sangat menonjol. Saat itu, sebagai pemimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS, ia ditugaskan oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk berkeliling melakukan lobi-lobi guna menyelesaikan berbagai krisis rasa persatuan di berbagai daerah. 


Dari hasil keliling daerah itu, Natsir berkesimpulan negara-negara bagian itu akan membubarkan diri alias berpisah dengan Republik Indonesia. Dengan lobi-lobi politiknya yang berpengaruh, Natsir mengajak dan meyakinkan mereka untuk bersatu dalam kesatuan negara yang baru 5 tahun berdiri. Demi menggolkan tujuan itu, ia kemudian merumuskan Mosi Integral yang disampaikan di Parlemen Sementara RIS, 3 April 1950. Mosi itu diterima dan negara-negara bagian itu akhirnya bersedia mengikatkan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak itulah NKRI dikenang sebagai hasil dari ”Mosi Integral Natsir." Menuduh umat Islam anti NKRI adalah kedunguan akut yang tak membaca sejarah. Rasa nasionalis yang didasari kebodohan.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena negara merdeka yang dijalankan tanpa pelaksanaan syariat Islam bagi umat Islam, negeri ini kemudian berjalan tanpa keberkahan. Yang awalnya ekonomi koperasi Pancasila jadi kapitalisme liberal, tadinya demokrasi Pancasila jadi demokrasi liberal. Hingga era reformasi, ketidakadilan sosial, ekonomi dan hukum terasa dimana-mana. Pancasila hanya tulisan dan slogan bukan bukti dan pengamalan. "Pancasila itu gak ada, manaa...? Yang ada hanya tulisan dan burung Garuda," kata budayawan Sudjiwo Tedjo. 


Hutang besar numpuk, negara lemah, kedaulatan terancam bahaya. Bawah sadarnya, umat Islam itu mengatakan dengan penuh keyakinan, kalau Piagam Jakarta dulu (Pancasila Bersyari'ah) tidak diubah, Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Pasti ada keberkahan dari langit karena negaranya shaleh menjamin pelaksanaan pelaksanaan syariat Islam alias hukum Tuhan. Tuhan pun akan sayang, melindungi Indonesia, keamanan dan kesejahteraannya, melimpahkan barokah rizki-Nya. Baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

 

Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena kini saat kedaulatan negara terancam, umat Islam dan para ulamalah yang paling sadar dan konkret berjuang dengan selalu mengingatkan dan menegur pemerintah dan negara untuk kembali pada Pancasila yang murni dan konsekuen, yang malah dimusuhi tak henti-henti dengan cap radikal karena negara malah mengabdi pada oligarki. 


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena aspirasi syariat Islam terus-menerus diperjuangkan justru untuk menyelamatkan negeri dari kehancuran dan sebagai tanggung jawab yang tinggi pada bangsa dan negara. Umat Islam sangat yakin, agama itu way of life, jalan keselamatan seperti selama ini diamalkan secara pribadi-pribadi,  tapi tanggungjawab ini malah dituduh radikal dan berbahaya. Asing bin Aseng sangat senang dengan tuduhan ini. Mereka joget riang gembira, melakukan tos tangan, tertawa sambil minum beer dan arak. 


Tuduhan-tuduhan radikal itu adalah kesadaran para penuduhnya sendiri di bawah sadar yang ketakutan pada ajaran agamanya sendiri akibat agamanya tidak dihayati dan dijiwai. Sehatkah berpikir, agama diturunkan untuk merusak kehidupan dan membuat kekacauan padahal selama itu juga justru yang mereka anut? Dalam kekacauan pikiran, absennya akal sehat dan kelemahan penghayatan itu, masuklah bisikan² syetan berupa kecurigaan² tak beralasan dan ketakutan terhadap gambaran agamanya sendiri yang dipompakan dari luar yang disebut Islam phobia. 


Dan yang menderita dari ketaksadaran dan kegelapan pikiran itu adalah umat Islam lagi sebagai mayoritas yang selama ini justru paling terdepan dalam tanggungjawab dan pembelaannya terhadap negeri. Ini bukan ilusi tapi fakta sosial politik sepanjang sejarah Indonesia, sejak era kolonial hingga zaman revolusi kemerdekaan. 


Sedangkan bangsa dan negara ini akan kacau, terpecah belah, bila agama dominan dalam kehidupan publik dan politik, itu adalah pikirannya Snouck-Hurgronje-isme yang mengendap dalam bawah sadar benak publik yang tak menghayati agama. Terpecah belah itu justru sekarang, sejak pilpres 2014 masyarakat terbelah dalam stigma sebutan cebong-kampret, kadrun-PKI, terus-terusan bertengkar panas sesama warga negara, tak ada kehangatan dan keakraban rakyat antar kelompok, yang semuanya ditepuk tangani dengan meriah oleh oligarki.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena atas seluruh jasa, kontribusi dan peran umat Islam dalam membangun negara dan merawatnya, tetap berdo'a dengan tulus dan kecintaan dengan do'anya Nabi Ibrahim AS: "Rabbij'al hādzā baladan āmina!" (Tuhanku, jadikanlah ini negeri, negeri yang aman sentosa).***

Saturday, March 4, 2023

WALISONGO ITU SIAPA? DARI MANA?

 WALISONGO ITU  SIAPA? DARI MANA?  


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/03/walisongo-itu-siapadari-mana.html?m=1


Baca biar gagal tidak paham...


Walisongo Adalah Utusan Khalifah Utsmaniyah101dunia - Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Kondisi ini tidak lepas dari peranan para ulama yang disebut sebagai Walisongo (sembilan wali). Sedikit orang yang mengetahui siapa sebenarnya Walisongo dan berasal dari mana kah mereka.


Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam.


Pada tahun 1404 M (808 H) Sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah dengan maksud untuk meminta sejumlah ulama agar diberangkatkan ke pulau Jawa. Para ulama yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kemampuan dalam segala bidang agar nantinya akan memudahkan proses penyebaran Islam.


Dengan keterangan di dalam kitab tersebut kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Walisongo adalah para ulama yang sengaja diutus Sultan pada masa kekhalifahan Utsmani. Saat itu terdapat 6 angkatan keberangkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Jadi jumlah sebenarnya bukan sembilan ulama tetapi jauh lebih banyak.

Angkatan satu dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim asal Turki yang berangkat pada tahun 1400an. Beliau adalah ulama yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan sistem pengairan. Dengan berbekal keahlian tersebut maka beliau menjadi peletak dasar berdirinya kesultanan di pulau Jawa dan juga berhasil memajukan pertanian di pulau ini.

Angkatan pertama ini juga terdiri dari dua orang ulama yang berasal dari Palestina yaitu Maulana Hasanuddin dan Sultan Aliudin. Dua orang ulama ini berdakwah di Banten dan mendirikan kesultanan Banten. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banten yang merupakan keturunan dari Sultan Hasanuddin memiliki hubungan secara biologis dengan rakyat Palestina.


Selain itu ada Syekh Ja'far Shadiq yang diberi julukan sebagai Sunan Kudus dan Syarif Hidayatullah yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Kedua ulama ini juga berasal dari Palestina. Dalam proses dakwah beliau, Sunan Kudus membangun sebuah kota di Jawa Tengah yang kemudian disebut kota Kudus. Nama kota tersebut berasal dari kata Al Quds (Jerusalem).


Masyarakat Nusantara pertama kali mengenal Islam pada abad 7 Masehi atau abad 1 Hijriah. Pengaruh Islam sangat besar pada situasi politik saat itu. Dengan semakin berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ketika itu, maka bermunculan lah berbagai kerajaan dan kesultanan Islam seperti Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang, Ternate, Tidore, Bacan (Maluku), Pontianak, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Kutai, Sambas, Banjar, Pasir, dan Sintang.


Sedangkan kesultanan yang berdiri di Jawa di antaranya adalah Demak, Pajang, Cirebon, dan Banten. Di Sulawesi, syariat Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Daerah Nusa Tenggara hukum Islam diterapkan dalam kesultanan Bima.


•Perjalanan Dakwah Wali Songo


Sebelum tiba di tanah Jawa, pada umumnya para ulama ini singgah terlebih dahulu di Pasai. Penguasa Samudera Pasai yang hidup pada tahun 1349-1406 Masehi, Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah adalah orang yang mengantarkan Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.


Sejak tahun 1463 Masehi semakin banyak ulama Jawa yang menggantikan ulama yang telah wafat atau berhijrah ke tempat lain. Para ulama pengganti tersebut di antaranya:


- Raden Paku (Sunan Giri)


Beliau adalah putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu yang merupakan putri dari Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan. 


- Raden Said (Sunan Kalijaga)


Beliau adalah putra Bupati Tuban, Adipati Wilatikta atau disebut juga Raden Sahur. Berdasarkan sejarah masyarakat Cirebon, julukan Kalijaga berasal dari nama salah satu desa di Cirebon bernama Kalijaga. Saat Raden Said bermukim di desa tersebut, beliau sering berdiam diri dengan berendam di kali (jaga kali).


- Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)


Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Nama Bonang berasal dari nama sebuah desa di Rembang. 


- Raden Qasim Dua (Sunan Drajad)


Seperti halnya Sunan Bonang, beliau juga adalah putra Sunan Ampel. Dengan demikian Sunan Drajad adalah saudara dari Sunan Bonang.


Para ulama diberi gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian dan berarti Tuanku, maka dapat disimpulkan bahwa saat itu dakwah Islam telah berjalan dengan baik dan mendapat kehormatan dari kalangan pembesar Kerajaan Majapahit.


•Para Ulama Penyebar Agama Islam Di Nusantara


Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:


1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.

2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.

4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.

5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.

6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.

7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.

8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.

9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.


Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir

4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina

8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina

9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.


Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir

4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :


1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :


1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


•Hubungan Kesultanan Nusantara Dengan Kerajaan Islam di Turki dan Arab


Hubungan antara kerajaan Islam Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah juga dapat diketahui dari keterangan seorang sejarahwan, Bernard Lewis, yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1563 Masehi pembesar kerajaan Aceh mengutus seseorang ke Istanbul guna meminta bantuan melawan Portugis. Dia berusaha meyakinkan Khilafah bahwa raja-raja di kawasan tersebut telah bersedia memeluk Islam jika Khalifah Utsmaniyah mau menolong mereka.


Namun sayangnya pada saat itu Kekhalifahan Utsmaniyah sedang mengalami berbagai permasalahan genting yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria dan mangkatnya Sultan Sulaiman Agung. Setelah terhambat selama dua bulan akhirnya mereka membentuk sebuah armada perang yang terdiri dari 19 unit kapal perang dan beberapa kapal pengangkut persenjataan dan persediaan untuk dikirim ke Aceh.


Hal yang disayangkan adalah sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Kapal yang tiba di Aceh hanya dua unit saja dan langsung digunakan untuk mengusir Portugis. Catatan Sejarah mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai arsip dokumen negara Turki dan buku-buku yang ditulis oleh sejarahwan dunia.


Selain itu dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri juga disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer dari Khalifah Utsmaniyah berupa senjata disertai pengajar yang khusus dikirim untuk mengajarkan cara pemakaiannya.


Kaitan antara kesultanan Banten dengan kerajaan di Timur Tengah juga dapat terlihat dari gelar-gelar kehormatan yang diberikan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara. Gelar tersebut di antaranya:


- Kesultanan Banten


Abdul Qadir dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.


- Kesultanan Mataram


Pangeran Rangsang memperoleh gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami dari Syarif Mekah pada tahun 1641 Masehi.


Pada tahun 1652 hubungan antara kesultanan Aceh dan Turki juga semakin erat dengan adanya pengiriman utusan Aceh ke Turki dalam upaya meminta bantuan meriam. Khalifah Utsmaniyah mengirim 500 orang pasukan Turki untuk mengawal pengiriman meriam dan amunisi. 


Selanjutnya pada tahun 1567, Sultan Salim II mengirim armada ke Sumatera. Melihat kedekatan antara kaum muslimin di Nusantara dengan Kekhalifahan Utsmaniyah, seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, mengatakan, "Di kota Mekah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslim di Nusantara."


Menjelang abad modern pun hubungan tersebut masih terjalin baik, terbukti pada akhir abad 20 konsulat Turki di Jakarta pernah membagikan Al Quran atas nama Sultan Turki. Istanbul juga pernah mencetak tafsir Al Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili. Pada halaman depan tafsir al Quran tersebut tertulis "Dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam." Pada saat itu yang disebut Sultan Turki adalah Khalifah yang merupakan pemimpin Khilafah Utsmaniyah berpusat di Turki.


Snouck Hurgronje juga pernah mengatakan bahwa pada umumnya rakyat di Indonesia terutama mereka yang tinggal di pelosok daerah di seluruh tanah air, memandang Stambol (sebutan untuk Khalifah Utsmaniyah) masih sebagai raja bagi seluruh orang mukmin yang saat itu kekuasaannya agak berkurang karena adanya penguasaan orang kafir di Indonesia.


Melihat fakta-fakta sejarah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa memang Nusantara pada jaman dahulu adalah bagian dari khilafah baik saat kekuasaan Khilafah Abbasiyah Mesir maupun Khilafah Utsmaniyah Turki.


Berdasarkan bentuk kekhalifahan saat itu, Syarif Mekah adalah seorang gubernur pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk daerah Hijaz. Karena itu penganugerahan gelar sultan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam dan bukan gelar semata. 


•Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia


Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang ditargetkan akan diberi dakwah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan disampaikan kepada Khalifah.


Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus dakwah Islam dan menjadi bagian dari Khilafah?


Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.


Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. 4 tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni tersebut merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.


Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China.


Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.


Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Umumnya mereka mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat terkenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.


Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.


Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.


Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa saat itu.


Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri berhasil mendidik ribuan santri yang akhirnya dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.


•Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah


Pada masa penjajahan, Belanda berusaha menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekuler melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama.


Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial Belanda.


Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.


Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.


Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.


Demikianlah, syariat Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekuler. Hukum-hukum sekuler ini terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَأَشْغِلِ الظَّالِمِينَ بِالظَّالِمِينَ، وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِينَ وَعلَى الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين


#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah


#KhilafahAjaranIslam #IslamRahmatanLilAlamin

#DemokrasiSistemKufur

#DemokrasiWarisanPenjajah


#tintasiyasi

https://t.me/abulwafaromli

abulwafaromli.blogspot.com