Wednesday, December 13, 2023

10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani

 10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani


1. Nama lengkapnya adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim, P4le5t1na.


2. Masa kecil beliau mendapat didikan ilmu dan agama dari ayahnya seorang syaikh yang faqih fid din, dan juga dari kakeknya yaitu Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani, seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani.


3. Syaikh Taqiyuddin telah hafal Al Qur'an sejak usia 13 tahun.


4. Beliau memulai pendidikannya di sekolah dasar negeri di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sekolah di Akko untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah.


5. Pada tahun 1928 Syaikh Taqiyuddin meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang.


6. Tahun berikutnya beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.


7. Pada tahun 1940, Beliau diangkat sebagai Musyawir (Pembantu Qadhi) hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi di Mahkamah Ramallah.


8. Pada tahun 1948, beliau kembali ke Palestina dan diangkat sebagai Qadhi (Hakim) di Mahkamah Syar'iyah Al Quds.


9. Sejak remaja Syaikh Taqiyuddin sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani. Pengalaman itulah yang mengantarkannya mendirikan partai politik berasas Islam, H1zbut Tahrir di Al Quds (Yerusalem) pada tahun 1953.


10. Syekh Taqiyuddin An Nabhani meninggal dunia pada tahun 1398 H/ 1977 M dan dimakamkan di Al Auza'i Beirut.


Inilah sekilas tentang sosok Syaikh Taqiyuddin An Nabhani rahimahullata'ala. Semoga beliau berada diposisi yang tinggi bersama Rasulullah  ﷺ dan para Sahabat. Semoga beliau menjadi imam atas umat yang sedang meneruskan perjuangan beliau. Aamiin.

Monday, December 11, 2023

hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn)

 Hukum Uang Tanda Jadi (Hāmisy Jiddiyyah) dan Bedanya dengan DP (‘Urbūn)


KH M Shidiq Al Jawi


Tanya:


 Ustaz, mohon dijelaskan hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn) dengan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? (Hamba Allah)


Jawab:


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah earnest money. Definisi uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli, sebagai tanda keseriusan untuk melakukan akad jual beli, dengan ketentuan jika akad jual belinya terjadi, uang tanda jadi akan mengurangi total harga, dan jika akad jual belinya tidak terjadi, uang tanda jadi itu wajib dikembalikan oleh calon penjual kepada calon pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) hukumnya boleh (jā’iz) asalkan memenuhi empat syarat sebagai berikut.


Pertama, uang tanda jadi diberikan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli.


Kedua, uang tanda jadi statusnya adalah titipan (wadī’ah) di tangan calon penjual, jadi uang itu tidak boleh di-tasharruf-kan (dimanfaatkan) oleh calon penjual, misalnya digunakan untuk berjual beli, dijadikan gaji karyawan, dan sebagainya.


Ketiga, uang tanda jadi itu mengurangi total harga jika calon pembeli jadi melakukan akad jual beli.


Keempat, uang tanda jadi wajib dikembalikan kepada calon pembeli jika calon pembeli itu tidak jadi membeli (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) ini mempunyai persamaan dan perbedaan dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn).


Persamaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn) adalah bahwa uang tanda jadi dan DP sama-sama akan mengurangi total harga jika akad jual belinya terjadi atau tidak dibatalkan oleh pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Adapun perbedaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn), terdapat dalam tiga hal sebagai berikut.


Pertama, perbedaan dari segi waktunya, apakah sebelum atau sesudah akad jual beli. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) diberikan saat pra-akad (sebelum terjadinya akad jual beli) (qabla injāzi al-bay’).


Sedangkan DP (urbūn) diberikan pasca-akad atau bersamaan saat akad (berbarengan atau sesudah terjadinya akad jual beli) (ma’a injāzi al-bay’ aw ba’dahu) (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Kedua, perbedaan dari segi terjadi perpindahan hak milik (naqlul milkiyyah, transfer of ownership) atau tidak. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) jika diberikan, sifatnya adalah titipan (amanah), yaitu wadī’ah, di tangan pihak penjual. Artinya, uang tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dan dengan demikian pihak penjual tidak boleh melakukan tasharruf (pemanfaatan) uang tersebut, misalnya digunakan untuk berjual beli sesuatu, atau untuk menyewa sesuatu, atau diberikan sebagai gaji karyawan, dsb.


Adapun DP (urbūn), jika diberikan, sudah menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian pihak penjual berhak melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap uang DP tersebut (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115-116).


Ketiga, perbedaan dari segi jika akad jual beli tidak terjadi atau dibatalkan. Jika akad jual beli tidak terjadi, uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) wajib hukumnya dikembalikan oleh penjual kepada pembeli. Hal itu karena uang tanda jadi itu sebenarnya belum menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian, penjual wajib mengembalikannya jika akad jual beli tidak terjadi.


Adapun DP (urbūn), jika akad jual belinya dibatalkan pembeli, DP itu sudah menjadi hak milik pihak kedua (penjual) sehingga oleh karenanya, tidak dikembalikan oleh penjual kepada pembeli (yakni, DP hangus). (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118). Wallahualam.[]

Wednesday, December 6, 2023

BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

 BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

  

Oleh : asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah


Sesungguhnya akad-akad di dalam Islam itu tidak rumit dan bukan tidak jelas. Tetapi akad-akad di dalam Islam itu mudah dan jelas dan telah dijelaskan di dalam syara’ secara jelas:


1- Penjual suatu barang haruslah pemilik barang itu, lalu dia tawarkan untuk dijual. Pembeli melihatnya dan jika dia menerima maka terjadikan akad, dan jika tidak, maka barang itu tetap milik pemiliknya itu. Tidak sahnya jual beli barang yang tidak dimiliki oleh penjualnya adalah tidak boleh di dalam Islam. Di antara dalil-dalilnya:


Dari Hakim bin Hizam, ia berkata:


«قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ مِنْهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنْ السُّوقِ»، فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ» رواه أحمد


“Aku katakan: “ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku memintaku menjual apa yang bukan milikku yang aku jual, kemudian aku membelinya dari pasar”. Beliau bersabda: “jangan engkau jual apa yang bukan milikmu”. (HR Ahmad).


2- Semisal itu, seandainya Khalifah ingin mendistribusikan kepemilikan umum kepada masyarakat, atau mendistribusikan kepada masyarakat makanan dari kepemilikan negara, dan masing-masing orang mengetahui bagiannya, maka orang tidak boleh menjual bagiannya lebih dahulu sebelum dia menerimanya dari negara.


Dan ini yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah saw:


Imam Malik telah mengeluarkan dari Nafi’ bahwa:


أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ ابْتَاعَ طَعَاماً أَمَرَ بِهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلنَّاسِ، فَبَاعَ حَكِيمٌ الطَّعَامَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: (لَا تَبِعْ طَعَاماً ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ)


Hakim bin Hizam membeli makanan yang diperintahkan oleh Umar bin al-Khaththab untuk orang-orang, lalu Hakim menjual makanan itu sebelum dia menerimanya dan hal itu sampai kepada Umar bin al-Khaththab maka Umar mengembalikannya kepadanya dan Umar berkata: “jangan engkau jual makanan yang engkau beli sampai engkau menerimanya”.


Imam Malik telah mengeluarkan bahwa bahwa telah sampai kepadanya bahwa:


أَنَّ صُكُوكاً خَرَجَتْ لِلنَّاسِ فِي زَمَانِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ مِنْ طَعَامِ الْجَارِ، فَتَبَايَعَ النَّاسُ تِلْكَ الصُّكُوكَ بَيْنَهُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا، فَدَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَرَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَقَالَا: (أَتُحِلُّ بَيْعَ الرِّبَا يَا مَرْوَانُ؟ فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ، وَمَا ذَاكَ؟ فَقَالَا: هَذِهِ الصُّكُوكُ تَبَايَعَهَا النَّاسُ ثُمَّ بَاعُوهَا قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا. فَبَعَثَ مَرْوَانُ الْحَرَسَ يَتْبَعُونَهَا يَنْزِعُونَهَا مِنْ أَيْدِي النَّاسِ وَيَرُدُّونَهَا إِلَى أَهْلِهَا)


Shukuk (cek) telah keluar untuk orang-orang pada zaman Marwan bin al-Hakam berupa makanan yang disimpan di al-Jâri (tempat di pantai yang di situ makanan dikumpulkan dan disimpan), lalu orang-orang memperjualbelikan shukuk (cek) itu di antara mereka sebelum mereka menerimanya, maka Zaid bin Tsabit dan seseorang dari shahabat Rasulullah saw masuk menemui Marwan bin al-Hakam, keduanya pun berkata: “Apakah engkau menghalalkan jual beli riba ya Marwan?” Marwan berkata: “Aku berlindung kepada Allah, apa itu?” Keduanya berkata: “shukuk (cek) ini diperjualbelikan orang-orang dan mereka menjualnya sebelum mereka menerimanya (makanan)”. Maka Marwan pun mengirim para penjaga untuk menelusuri shukuk (cek) itu, mereka ambil dari tangan orang-orang dan mereka kembalikan kepada pemiliknya”.


3- Tetapi muncul di negeri-negeri kaum Muslim lembaga-lembaga yang melakukan trik terhadap syara’ dan menyebut dirinya sendiri “islâmiy” seperti bank yang disebut “islamiy”. Lembaga itu bermuamalah secara haram tetapi tidak dengan cara ribawi seperti muamalah bank-bank ribawi, tetapi dia berjalan dengan cara haram yang lain:


a- Jika Anda pergi ke bank konvensional, Anda ingin utang, maka bank memberi Anda (utang) dengan bunga ribawi tertentu. Tetapi jika Anda pergi ke bank yang disebut “islamiy” dan Anda ingin utang, maka bank itu memberi Anda utang tanpa tambahan, tetapi karena bank manapun bukanlah lembaga yang membantu orang karena Allah, maka dia menginginkan tambahan, tetapi tidak secara gamblang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional, sebab bank itu namanya islamiy! Dia tidak ingin bermuamalah dengan riba yang haram dengan pengharaman yang diketahui hingga oleh orang umum sekalipun. Melainkan bank itu berkata kepada Anda: “untuk apa Anda ingin utang?” Lalu Anda katakan: “untuk membeli mobil atau barang tertentu … sementara saya tidak memiliki harganya”. Maka bank berkata kepada Anda: “baik, kami belikan mobil (barang) itu dan kami bayar harganya secara kontan dan kami jual kepada Anda secara kredit dengan tambahan begini” dan dibuat kesepakatan dengan Anda sebelum bank membelinya. Artinya, jual beli antara bank dengan Anda secara angsuran (kredit) telah terjadi dan ditandatangani akadnya dan menjadi mengikat sebelum bank membeli barang tersebut, dan berikutnya Anda terikat untuk mengambilnya setelah bank membelinya. Artinya, akad jual beli telah dilakukan sebelum pemilikan bank atas barang itu. Anda tidak membelinya setelah bank memilikinya dan menawarkannya kepada Anda sehingga Anda bisa setuju atau tidak setuju. Melainkan di sini Anda tidak mampu menolaknya sebab pada asalnya barang itu dibeli untuk Anda bukan untuk bank. Jadi itu merupakan jual beli apa yang tidak dimiliki dan itu secara syar’iy tidak boleh… Tetapi, seandainya bank itu punya showroom mobil miliknya dan menawarkannya kepada orang-orang, dan dia jual kepada orang yang ingin secara angsuran (kredit) niscaya sah lah jual beli tersebut. Hanya saja bank bukanlah pedagang dengan makna yang telah dikenal, tetapi bank menginginkan keuntungan atas harta yang dia bayarkan. Maka bukannya bank itu mengambil bungan ribawi yang tidak sesuai dengan namanya yang “islâmiy”, malahan bank mendapatkannya dan lebih banyak dari itu melalui muamalah yang tidak syar’iy, yaitu jual beli apa yang tidak dimiliki yang diharamkan di dalam Islam!


b- Mereka menyebutnya “murâbahah”, padahal itu bukanlah demikian. Jual beli murâbahah secara syar’iy adalah Anda pemilik barang dan Anda tawarkan untuk dijual, lalu pembeli datang dan menawar harganya kepada Anda, maka Anda katakan kepadanya “beri saya untung sekian atas apa yang Anda beli itu”, lalu dia sepakat setelah dia menelaahnya atas harga yang bebankan untuk pembeliannya dan dia merasa tenteram dengan itu. Lalu dia membayar harga ini dan keuntungan yang Anda berdua sepakati. Seperti yang Anda lihat, barang itu dimiliki oleh penjual ketika dia menawarkannya kepada pembeli. Jelas bahwa ini bukan yang ditransaksikan oleh bank yang disebut islâmiy itu atau lembaga-lembaga serupa.


c- Kadang-kadang mereka menyebutnya “wa’dun -komitmen-“ dan bukan “bay’un -jual beli-“ dan ini rancu! Dan itu perkataan yang tidak benar. Sebab al-wa’du -komitmen- atau al-muwâ’adah -komitmen timbal balik- itu tidak bersifat mengikat. Tetapi di dalam muamalah bank, dia (wa’dun) itu bersifat mengikat. Kesepakatan dibuat sebelum bank memiliki barang. Oleh karena itu, orang tidak berkata kepada bank setelah bank memiliki mobil itu, orang itu mengatakan “saya tidak ingin membeli”. Ini tidak mungkin terjadi di dalam muamalah bank. Sebab akad telah terjadi sebelum pembeliannya (oleh bank), dan itu bersifat mengikat dan bukanlah wa’dun -komitmen-. Adapun al-wa’du bi al-bay’i -komitmen menjual- atau al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- maka itu tentu saja tidak bersifat mengikat.


Al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- adalah tidak bersifat mengikat. Melainkan yang mengikat itu adalah akad yang dilakukan dengan ijab dan qabul. Dan ini telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Yang terjadi di antara bank dan orang itu adalah akad jual beli yang mengikat bagi orang itu. Jadi jual beli secara riil dan praktis telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Dalilnya bahwa bank ketika memiliki mobil tersebut, orang itu tidak bisa menolak untuk membelinya. Ini menyalahi hukum syara’ yang menjelaskan jual beli di dalam Islam.


d- Dan kadang-kadang mereka menyebutnya pembelian dan bukan penjualan dan bahwa orang itu adalah orang yang menyuruh membeli (âmiru bi asy-syirâ`i). Dia berkata kepada bank, “beli untukku mobil …. “. Ini juga merupakan perkataan yang rancu. Sebab muamalah ini dengan sifat ini merupakan wakalah, yakni bahwa orang itu mewakilkan kepada bank dalam membeli untuknya mobil itu dengan harga sekian dengan imbalan upah tertentu untuk bank sebagai wakil membeli… Tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Sebab mobil itu dicatatkan dengan nama bank. Jadi bank lah yang membelinya dari show room. Dan bank menjualnya dengan angsuran (kredit) untuk orang itu. Dan mobil itu tetap dicatatkan dengan nama bank sampai orang itu membayar harganya yang disebut angsuran. Mobil itu tidak dicatatkan dengan nama orang itu. Dan bank adalah wakil orang itu dalam membeli dengan imbalan upah tertentu, tetapi tidak demikian sama sekali … Itu dari semua aspek bukanlah wakalah. Seandainya orang itu mampu secara finansial dan dia ingin mewakilkan kepada bank untuk membelikan mobil untuknya dengan upah sekian, seandainya orang itu mampu secara finansial atas yang demikian niscaya dia tidak datang ke bank tetapi niscaya dia lebih afdhal secara pengalaman dalam membeli dan lebih ringan upah (biaya)nya dari bank …


Oleh karena itu apa yang mereka namakan jual beli seperti itu tidak boleh. Ringkasnya, bahwa muamalah ini tidak boleh secara syar’iy.


Sungguh membuat saya takjub, komentar salah seorang mereka seputar bank islamiy. Dia mengatakan bahwa bank konvensional menarik harta orang-orang yang tidak peduli dengan transaksi dengan riba. Tinggallah orang-orang yang agamis (relijius) yang tidak bermuamalah dengan riba dan harta mereka tetap berada di luar bank-bank konvensional. Bank-bank yang disebut “islâmiy” lah yang menarik harta orang-orang yang agamis, dengan bank-bank ini memanfaatkannya dengan cara bukan riba yang pengharamannya diketahui oleh orang umum. Bank itu memanfaatkannya dengan cara muamalah yang tidak syar’iy. Tetapi mudah meyakinkan orang-orang sederhana bahwa itu berasal dari syara’ seperti dicari untuknya sebutan di dalam syara’ seperti al-murâbahah misalnya, dan itu tidak jelas seperti riba tetapi kadang tidak diketahui oleh banyak orang yang agamis sehingga mereka menduga kebolehannya.


Adapun tentang menempatkan harta sebagai amanah pada bank penjelasannya sebagai berikut :


Al-wasîlah ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-. Benar hal itu berlaku atas segala hal, baik perbuatan individual seperti seseorang melakukan secara sepihak, atau perbuatan dari dua pihak, yakni akad … Melainkan pembedanya adalah bahwa ketika Anda melakukan wasilah yang mengantarkan kepada yang haram, Anda bertanggungjawab atas keharaman ini. Dan ketika Anda menjadi satu pihak di dalam akad maka keharaman itu terjadi pada pihak yang menempuh wasilah yang mengantarkan kepada yang haram itu. Dan jika kedua pihak menempuh jalan ini maka dosanya atas keduanya.


Dan penempatan harta Anda sebagai amanah, yakni rekening giro tanpa bunga ribawi di bank, maka jika dalam dugaan kuat Anda bahwa bank akan menggunakan rekening giro Anda dalam riba maka tidak boleh Anda tempatkan amanah ini “rekening giro” pada bank tersebut. Hanya saja bank memisahkan antara amanah-amanah dengan bunga ribawi dan rekening giro tanpa bunga ribawi. Adapun harta yang ditempatkan dengan bunga maka digunakan dalam riba dan tidak diragukan dalam hal itu. Adapun rekening giro maka kadang digunakan, kadang dari rekening giro Anda atau dari rekening selain Anda. Hal itu karena rekening giro bisa ditarik kapan saja oleh pemiliknya … Oleh karenanya, itu menyerupai menempatkan amanah pada orang fasik. Jika Anda terpaksa untuk melakukan itu maka tidak ada dosa atas Anda. Dosa terhadapnya jika dia menggunakan amanah itu bukan pada tempatnya selama Anda tidak mengetahui hal itu atau rela. Begitulah bank, jika Anda tahu bahwa bank menggunakan rekening giro Anda di dalam riba maka tidak boleh.


Dan tentu saja yang lebih afdhal, Anda tidak menempatkannya di bank atau pada orang fasik itu. Tetapi semua ini jika bank itu terakadkan secara shahih, seperti merupakan milik individu, atau milik negara, atau syirkah yang islamiy, atau syirkah musâhamah (PT) yang terakadkan bagi pelakunya … dan bukan syirkah musâhamah (PT) yang memiliki akad yang batil. Dan jika tidak, maka bermuamalah dengannya adalah tidak boleh dalam semua kondisi.


Saudaramu,

Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah

Wednesday, November 15, 2023

Membongkar Fitnah mantan

 MEMBONGKAR FITNAH SANG MANTAN (14) 


*Khilafah Janji Allah & Bisyaroh Rasulullah*


(Maaf agak panjang, tapi memuaskan, sambungan dari edisi sebelumnya) 


Oleh : Abul wafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2023/11/membongkar-fitnah-sang-mantan-14.html?m=1


Kedua :


Dalil yang pasti (qoth'i tsubut dan qoth'i dalalah) bahwa Khilafah Janji Allah dalam surat An-Nur ayat 55 di atas, itu dikokohkan dengan bisyaroh (berita gembira) dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah bersabda :


تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَت


"Sedang ada (daulah) nubuwwah di tengah kalian, dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah ala minhajin nubuwwah, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada mulkan 'adhdhon (kekuasaan yang zalim / khilafah umawiyyah, abbasiyyah dan 'utsmaniyah), dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada mulkan jabriyyah (kekuasaan yang diktator / sejak berakhirnya khilafah 'utsmaniyah, 3 Maret 1924), dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada, kemudian, Allah mengangkatnya jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah ala minhajin nubuwwah". Kemudian Nabi pun diam". (HR Ahmad).


Alhaitsamy berkata: “HR Ahmad, Bazar dan Thabrani dalam Al-Awsath, dan Rijalnya adalah Tsiqat”. (Aly bin Abu Bakar Alhaitsamy, Majma’uz Zawaaid wa Mamba’ul Fawaaid, Daar arroyaan litturaats, Daar alkitaabil ‘Araabi, Alqahiroh, berut, 1403 H, 5/189).


Lalu apa dan bagaimana menurut Muafa terkait hadits ini? 


Menurut Muafa pada tulisannya seri ke (3) sampai seri ke (6), 

https://www.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795052592005366/ 

https://web.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795596571950968 

https://www.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795629815280977 

https://www.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795637101946915

terkait hadits Imam Ahmad dan perkataan Habib bin Salim, bahwa pase ke lima itu adalah pase Umar bin Abdulaziz. Dan Muafa menuturkan ibarot, bahwa Harmalah bin Yahya bertutur,


سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يَقُولُ: الْخُلَفَاءُ خَمْسَةٌ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ (آداب الشافعي ومناقبه (ص: 145)


“Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, khulafa’ (rasyidin) itu ada lima; Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu anhum” (Āḍābu al-Syāfi‘ī wa Manāqibuhu hlm 145). Dan pada seri ke (7) https://www.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795644871946138

Muafa menuturkan ibarot, bahwa Abbad bin As-Sammak berkata,


سَمِعْتُ سُفْيَانَ، يَقُولُ: الْخُلَفَاءُ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمَنْ سِوَاهُمْ فَهُوَ: مُبْتَزٌ (آداب الشافعي ومناقبه (ص: 146)


“Aku mendengar Sufyan berkata, khulafa’ (rosyidin) adalah; Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Selain mereka adalah mubtazz” (Āḍābu al-Syāfi‘ī wa Manāqibuhu hlm 145). Dan Muafa berkata; "Malahan, menurut informasi Ibnu Rojab, BANYAK IMAM yang berpendapat bahwa Umar bin Abdul Aziz termasuk khālifah rāsyid dan itu didasarkan hadis riwayat Ahmad tentang 5 fase itu. Ibnu Rajab berkata,


ونصَّ كثيرٌ من الأئمَّة على أنَّ عمر بنَ عبد العزيز خليفةٌ راشد أيضاً، ويدلُّ عليه ما خرَّجه الإمام أحمد من حديث حُذيفة (جامع العلوم والحكم ت ماهر الفحل (2/ 775)


“Banyak para imam menyatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah khālifah rāsyid juga. Yang menunjukkan hal itu adalah riwayat yang ditakhrij oleh Imam Ahmad dari hadis Hudzaifah” (Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, juz 2 hlm 775).


Jadi sangat jelas kegagalan Muafa dalam memahami banyaknya para ulama yang memasukkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam jajaran Alkhulafa' Arrosyidun. Sehingga menurutnya bahwa fase kepemimpinan kelima, yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah, itu harus jatuh ke khilafahnya Umar bin Abdul Aziz. Bukan setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyyah di Turki. 


Sesungguhnya terdapat perbedaan antara khilafah ala minhajin nubuwwah dan antara khulafa' rosyidun (para khalifah yang rosyid). Khilafah ala minhajin nubuwwah mengharuskan di dalamnya ada Khulafa' Rosyidun. Tetapi khulafa' rosyidun tidak harus ada di dalam khilafah ala minhajin nubuwwah. Khulafa' rosyidun bisa ada di dalam khilafah ala minhajil muluk (mulkan 'adhdhon), seperti Umar bin Abdul Aziz dan lainnya, seperti para khalifah rosyid dalam hadits dua belas khalifah versi Imam Suyuthi dalam kitabnya, Târîkh al-Khulafâ’. Ketika menjelaskan hadits 12 orang khalifah; 


ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﺳَﻤُﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ : ﺇِﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘَﻀِﻲ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤْﻀِﻲَ ﻓِﻴﻬِﻢْ ﺍﺛْﻨَﺎ ﻋَﺸَﺮَ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً 

ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﻗُﺮَﻳْﺶٍ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ


Dari Jabir bin Samuroh berkata: “Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya perkara agama ini tidak akan selesai sehingga berlalu pada mereka (kaum muslimin) dua belas khalifah yang semuanya dari Quraisy”. (HR Muslim), 


maka Imam Suyuthi (Tarikhul Khulafa’, juz 1, hal. 83, Maktabah Syamilah) berkata ;


ﻭﻗﻴﻞ : ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﺛﻨﻲ ﻋﺸﺮ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﻣﺪﺓ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﺘﻮﺍﻝ ﺃﻳﺎﻣﻬﻢ ﻭﻳﺆﻳﺪ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﺪﺩ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪﻩ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺨﻠﺪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺗﻬﻠﻚ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻛﻠﻬﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﺎﻟﻬﺪﻯ ﻭﺩﻳﻦ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻨﻬﻢ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﻮﻟﻪ " ﺛﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻬﺮﺝ " ﺃﻱ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﺍﻟﻤﺆﺫﻧﺔ ﺑﻘﻴﺎﻡ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﺪﺟﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﺍﻧﺘﻬﻰ

ﻗﻠﺖ : ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﻘﺪ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺛﻨﻲ ﻋﺸﺮ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﻴﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻫﺆﻻﺀ ﺛﻤﺎﻧﻴﺔ ﻭﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻀﻢ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺍﻟﻤﻬﺘﺪﻱ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺳﻴﻴﻦ ﻷﻧﻪ ﻓﻴﻬﻢ ﻛﻌﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻓﻲ ﺑﻨﻲ ﺃﻣﻴﺔ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ ﻟﻤﺎ ﺃﻭﺗﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﺑﻘﻰ ﺍﻻﺛﻨﺎﻥ ﺍﻟﻤﻨﺘﻈﺮﺍﻥ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺁﻝ ﺑﻴﺖ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

(Terjemahkan sendiri...) 


Jadi khalifah rosyid itu bisa ada di mulkan 'adhdhon, yaitu khilafah umawiyyah, khilafah abbasiyyah dan khilafah utsmaniyah yang tidak dijumpai oleh Imam Suyuthi. Dan seandainya Imam Suyuthi menjumpainya, maka cara menghitung 12 khalifah kemungkinan akan berbeda, dengan mengurangi dan menambah, seperti menambahkan khalifah dari khilafah utsmaniyyah. 


Dan terkait problem memasukkan Umar bin Abdul Aziz dan lainnya ke dalam barisan khulafa' rosyidun yang membuat bingung para ulama dan pengikutnya, sehingga mereka menamai khilafahnya dengan khilafah ala minhajin nubuwwah kedua seperti dalam hadits Imam Ahmad; saya temukan jawabannya dari ulama yang memahami problem tersebut. Dan ia adalah Imam Taqiyyuddin An-Nabhani rh. Beliau berkata :


أن المراد بالخلفاء الراشدين كل خليفة راشد، وليس هؤلاء الأربعة وحدهم. وأما حديث أن الخلافة ثلاثون سنة فلا دلالة فيه على أنهم وحدهم الراشدون، فكل خليفة راشد يدخل في هذا الحديث، فيدخل فيه مثلا عمر بن عبد العزيز


"Bahwa yang dikehendaki dengan Alkhulafa' Arrosyidun adalah setiap khalifah yang rasyid, bukan hanya empat khalifah. Sedang hadits bahwa khilafah itu tiga puluh tahun, maka tidak berarti hanya merekalah yang rasyid. Tetapi setiap khalifah yang rasyid bisa masuk kedalam hadits itu (hadits وعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ), seperti Umar bin Abdul Aziz. 


وأما قولهم إن العرف خصصه بالأئمة الأربعة فإنه لا قيمة فيه، لأن العرف المعتبر في دلالة الكلمات أو ما يسمى بالحقيقة العربية هو عرف أهل اللغة، وليس عرف الناس. وعرف أهل اللغة لم يطلق كلمة الخلفاء الراشدين على هؤلاء الأربعة حتى يقال حقيقة عرفية، وإنما أطلقها عرف طارئ عند غير أهل اللغة، وهذا لا قيمة له؛ لذلك ظل معنى كلمة الخلفاء الراشدين عاما يشمل كل خليفة راشد


Adapun perkataan manusia bahwa 'uruf (tradisi) telah men-takhshish-nya (hadits wa'alaikum bissunnatiy wasunnatil khulafaair rosyidiin) dengan empat imam (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), maka tidak memiliki nilai sama sekali. Karena 'uruf yang dinilai dalam makna kalimat, atau yang dinamakan haqiqoh 'urfiyyah, ialah 'urufnya ahli lughat, bukan 'urufnya manusia. 'Urufnya ahli lughat tidak mengucapkan kata Alkhulafa' Arrosyidun terhadap empat imam sehingga bisa dinamakan haqiqoh 'urfiyyah. Tetapi telah mengatakannya 'uruf yang datang dari selain ahli lughat dan ini tidak memiliki nilai. Karena itu, makna kalimat Alkhulafa' Arrosyidun tetap umum mencakup setiap khalifah yang rosyid ". (Asy-Syakhshiyyah Al-Islaamiyyah, 3/312, cet. 3, 2005).


Dari sisi lain, seandainya benar, kenapa banyak ulama dahulu menyatakan bahwa khilafah ala minhajin nubuwwah kedua itu jatuh pada khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, karena para ulama tersebut berada di dalam lingkaran pembatas zamannya, yaitu zaman mulkan 'adhdhon, dan belum masuk ke dalam lingkaran mulkan jabriyyah. Sehingga lingkaran pembatas itu yang membatasi ilmu dan makrifat mereka terhadap waktu datangnya khilafah ala minhajin nubuwwah kedua. Sedang Imam Taqiyyuddin telah keluar dari lingkaran mulkan 'adhdhon itu dan telah berada di lingkaran mulkan jabriyyah seperti kondisi sa'at ini. Sehingga ilmu dan makrifat Imam Taqiyyuddin dengan perkembangan zaman serta tantangannya itu melampaui ilmu dan makrifat para ulama terdahulu. Imam Taqiyyuddin makrifat terhadap fase mulkan jabriyyah yang sesungguhnya, sedang ulama dahulu makrifatnya terhadap mulkan jabriyyah keliru, karena menganggap khilafah sebelum Umar bin Abdul Aziz sebagai mulkan jabriyyah. Imam Taqiyyuddin menunggu dan berjuang untuk tegaknya khilafah ala minhajin nubuwwah kedua, sedang ulama dulu diam dari perjuangan ini, karena bagi mereka khilafah ala minhajin nubuwwah kedua telah berlalu seiring berlalunya Umar bin Abdul Aziz. Jadi Imam Taqiyyuddin telah memecahkan kebuntuan dan kebingungan umat akan makna dan waktu datangnya khilafah ala minhajin nubuwwah kedua. 


Dan seandainya benar bahwa khilafah ala minhajin nubuwwah kedua itu adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, maka akan muncul banyak pertanyaan dan kejanggalan, lalu khilafah abbasiyyah dan utsmaniyyah itu khilafah apa?, khulafa' rosyidun sebelum dan setelah Umar bin Abdul Aziz dalam haidts 12 khalifah itu masuk ke sistem pemerintahan apa, apa ada mulkan adhdhon kedua dan ketiga juga? Kemudian Imam Mahdi yang dalam hadits disebut sebagai khalifah itu di dalam khilafah apa, apa munkin ada khilafah ala minhajin nubuwwah ketiga?, dan seterusnya. Maka pernyataan Imam Taqiyyuddin An-Nabhani diatas adalah jawabannya. 


Dan pada seri ke (10) Muafa menyatakan :

===== m u a f a =====

Lagipula hadis-hadis yang menyebut al-Mahdi itu tidak semuanya menyebut sebagai khalifah. Ada yang hanya menyebutnya sebagai amir. Ada yang hanya menyebutnya yalī (يلي) yang memberi kesan hanya mengurus pemerintahan saja. Ada yang menyebutnya tanpa gelar apapun. Jadi, saat al-Mahdi muncul sekalipun tidak bisa dipastikan pemerintahannya seperti apa. Apalagi jika memahami khalifah dalam hadis Nabi ﷺ yang menyebut al-Mahdi itu sebagai suksesor saja, karena makna khalifah memang bisa dimaknai suksesor. Ini malah semakin menguatkan bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan sebelum al-Mahdi sudah ada khalifah atau bahwa al-Mahdi adalah khalifah.

Ada riwayat daif yang menyebut sebelum al-Mahdi akan ada sejumlah anak khalifah rebutan sesuatu yang berharga. Ini riwayat yang tidak bisa diterima untuk menunjukkan ada kekhilafahan sebelum al-Mahdi. Jika ini dipaksakan untuk diterima, maknanya malah makin tidak baik. Karena berarti perjuangan menegakkan khilafah adalah perjuangan pembentukan kekuasaan korup, rusak, penuh asap, penuh kezaliman, penuh kerusakan dan penuh fitnah! (bersambung ke bagian 11)

للهم أعذنا من مضلات الفتن

https://www.facebook.com/groups/751471239696835/permalink/795898958587396

===== s e l e s a i =====


Muafa terlalu berhalusinasi. Ini jawaban telaknya :


3 HADITS MENUNJUKKAN SEBELUM IMAM MAHDI SUDAH BERDIRI KHILAFAH


Pertama, Hadits Tentang Kemunculan Imam Mahdi Ketika Ada Perselisihan Setelah Wafatnya Khalifah Sebelumnya.


عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : يَكُونُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيُخْرِجُونَهُ وَهُوَ كَارِهٌ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيَظْهَرُونَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةُ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيمَةَ كَلْبٍ فَيَقْسِمُ الْمَالَ وَيَعْمَلُ فِى النَّاسِ بِسُنَّةِ نَبِيِّهِمْ -صلى الله عليه وسلم- وَيُلْقِى الإِسْلاَمُ بِجِرَانِهِ إِلَى الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِينَ ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ. رواه أبو داود وأحمد والطبراني وابن حبان وأبو يعلى والحاكم.


Dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW dari Nabi SAW beliau bersabda; ”Akan ada perselisihan pada saat matinya seorang khalifah. Maka keluarlah seorang laki-laki dari penduduk kota Madinah berlari menuju Makkah. Orang-orang dari penduduk Makkah mendatanginya, lalu mereka mengeluarkan laki-laki itu sedang laki-laki itu membencinya. Kemudian mereka membaiat laki-laki itu di antara rukun [Yamani] dan Maqam [Ibrahim], lalu dikirimkan kepadanya satu pasukan lalu pasukan itu ditenggelamkan di Baida yang terletak antara Makkah dan Madinah. Maka tiba-tiba orang-orang melihat laki-laki itu didatangi oleh para Abdal dari Syam dan kelompok-kelompok dari Irak lalu mereka membaiat laki-laki itu di antara rukun [Yamani] dan Maqam [Ibrahim]. Lalu muncullah seorang laki-laki dari golongan Quraisy yang paman-pamannya dari suku Kalb, kemudian dia [Imam Mahdi] mengirimkan kepada mereka satu pasukan lalu pasukan itu pun mengalahkan mereka. Itu adalah pasukan suku Kalb, dan adalah suatu kerugian bagi siapa saja yang tidak mempersaksikan ghanimah dari Kalb itu. Kemudian dia [Imam Mahdi] mengamalkan di tengah manusia sunnah Nabi mereka dan menyebarkan Islam ke seluruh bumi. Dan dia [Imam Mahdi] akan tinggal selama tujuh tahun lalu [meninggal dan] disalatkan oleh kaum muslimin.”(HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 4/175 no 4288; Musnad Ahmad, 6/316 no 26731; At-Thabrani, Al–Mu’jam Al–Ausath, no 1153; Shahih Ibnu Hibbān, 15/160 no 6757; Musnad Abu Ya’lā, 12/369 no 6940; Al-Hakim, Al–Mustadrak, Juz 4 no 8328).


Imam Al-Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawā’id (Juz 7 hlm. 318) menegaskan bahwa hadits tersebut statusnya adalah hadits shahih, dengan perkataannya:

رَوَاه الطَّبَرَانِيُّ فِي الأَوْسَطِ وَرِجالُهُ رِجالُ الصَّحيحِ

”Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath dan para periwayatnya adalah periwayat-periwayat hadits shahih.” (rawāhu at-thabrāni fi al-ausath wa rijāluhu rijālush shahih). (Lihat : Muhammad Al-Syuwaiki, Al-Thariq Ila Daulah Al-Khilāfah, hlm. 57; Hisyam Abdur Rahim Sa’id & Muhammad Hisyam Abdur Rahim, Mausu’ah Ahadits Al-Fitan wa Asyrāth As-Sā’ah, Riyadh : Jihad Al-Ustadz & Maktabah Al-Kautsar, cetakan ke-2, 1429 H, hlm. 688; Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh, Al-Mausu’ah fi Al-Fitan wa Al-Malāhim wa Asyrath As-Sā’ah, Kairo : Muassah Al-Mukhtar, cetakan ke-1, 2006/1425, hlm. 620).


Kedua, Hadits Bahwa Imam Mahdi Akan Menjadi Khalifah Yang Banyak Menyebarkan Harta.

عن أبي سعيد رضي الله عنه قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم: يَكونُ خَليفَةُ مِنْ خُلَفائِكُمْ فِي آخِرِ الزَّمانِ يَحْثو الْمَالَ وَلَا يَعُدُّهُ. رواه الإمام أحمد ومسلم

Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, dia berkata; ”Telah bersabda Rasulullah SAW; "Akan ada seorang khalifah dari khalifah-khalifah yang ada di tengah kamu di akhir zaman, yang akan memberikan harta, dan dia benar-benar tidak akan menghitung-hitungnya.” (HR Ahmad dan Muslim).


Pada hadits ini jelas bahwa Imam Mahdi adalah seorang khalifah diantara khalifah-khalifah umat Islam. 


Ketiga, Hadits Yang Menunjukkan Bahwa Imam Mahdi Akan Muncul Setelah Ada Konflik Di Antara Tiga Orang Anak Laki-Laki Khalifah.


عن ثوبان رضي الله عنه ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ ، كُلُّهُمْ ابْنُ خَلِيفَةٍ ، ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلًا لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ – ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا لَا أَحْفَظُهُ – فَقَالَ : فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ ، فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ. رواه ابن ماجه في ” السنن ” (رقم/4084)، والبزار في ” المسند ” (2/120)، والروياني (رقم/619)، والحاكم في ” المستدرك ” (4/510)، ومن طريقه البيهقي في دلائل النبوة


Dari Tsauban RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda; ”Akan ada tiga orang yang saling berperang memperebutkan harta karun kalian ini. Ketiganya adalah putra khalifah, kemudian tidak akan ada yang menang di antara mereka. Lalu datanglah panji-panji hitam dari arah timur, dan mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang belum pernah ada suatu kaum pun yang memerangi kalian seperti itu –lalu [kata periwayat hadits] Nabi SAW menyebutkan sesuatu yang aku tidak menghafalnya— maka jika kamu melihat dia, baiatlah dia walau pun kamu harus merangkak di atas salju, karena dia itu adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah, no. 4084; Al-Bazzar, Musnad Al-Bazzār, 2/120; Ar-Rauyāni (no. 619); Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/510; Al-Baihaqi dalam Dalā’ilun Nubuwwah).


Syekh Nashiruddin Al-Albani menyimpulkan setelah menyebutkan 3 (tiga) hadits Nabi di atas :


وَهَذِهِ الأَحاديثُ وَرَدَتْ فِي الفَتْرَةِ اَلَّتِي تَسْبِقُ ظُهُوْرَ الْمَهْدِيِّ ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوْدِ خُلَفاءَ وَخِلَافَةٍ قَبْلَ ظُهُوْرِ الْمَهْدِيِّ وَنُزُوْلِ الْمَسِيْحِ – عَلَيْهُ السَّلامُ. إِشَاعَةً إِنَّ الخِلافَةَ لَا تَقومُ إِلَّا بِظُهُوْرِ الْمَهْدِيِّ وَنُزُوْلِ عِيْسَى يَشِيْعُ فِي الأُمَّةِ ظاهِرَةُ التَّوَاكُلِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ ، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ ، واللَّهُ أَعْلَمُ .


“Hadits-hadits ini terjadi pada masa yang mendahului munculnya Imam Mahdi AS, hal ini menunjukkan khalifah-khalifah dan Khilafah itu akan ada, sebelum munculnya Imam Mahdi AS dan sebelum turunnya Nabi Isa AS. Isu yang menyebar di tengah umat bahwa Khilafah tidak akan tegak kecuali dengan munculnya Imam Mahdi AS dan dengan turunnya Nabi Isa AS, sesungguhnya adalah fenomena sikap pasrah, lemah, dan malas. Na’ūzhu billāh min dzālik. (https://www.alalbany.org/fatwa-108).


Terakhir :


Dengan membaca 12 seri tulisan Muafa, serta membaca dua edisi tulisan saya membongkar fitnah sang mantan, maka nampak jelas bahwa Muafa hanya pandai berasumsi dan berhalusinasi yang menunjukan hawa nafsu kebenciannya terhadap Imam Taqiyyuddin, Hizbut Tahrir dan para aktivisnya. Lebih dari itu, Muafa telah memposisikan dirinya sebagai penghalang tegaknya khilafah ala minhajin nubuwwah kedua. Bahkan lebih dari itu, Muafa telah memposisikan dirinya sebagai pembatal syariat. Ia secara terang-terangan telah memposisikan dirinya sebagai musuh Islam dan kaum muslimin, layaknya Syaikh Ali Abdur Rozik dengan buku al-Islam wa Ushul al-Hukminya, agen intelektual Inggeris, yang kemudian seluruh gelarnya dicabut oleh Universitas Al-Azhar Cairo.


Wallahu A'lam bish Showab

Semoga bermanfaat aamiin

Friday, October 27, 2023

Pemilu dalam islam ,haikat dan hukumnya

 *PEMILU DALAM ISLAM :*

*HAKIKAT DAN HUKUMNYA*


Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi


*Adakah Pemilu dalam Islam?*


Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah Pemilu (intikhabat) itu ada dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.


Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.


Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-‘ashlî). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang -dari perbuatan pokok- yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).


Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:



Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240).


Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati Jahiliah”. Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).


Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.


Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya (‘adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).



*Pemilihan Khulafaur Rasyidin*



Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-thâ‘at (atau bay’ah ‘ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).


Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):



Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umumnya umat kepada khalifah.



Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlâf/‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi: (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat kepada khalifah.



Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.



Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.


Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari 4 (empat) langkah:


(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.


(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.


(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.


(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.



*Pemilihan Anggota Majelis Umat*



Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).


Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).



*Samakah Pemilu dalam sistem Khilafah dengan Pemilu dalam sistem Demokrasi?*



Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).


Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh, secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).



Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya‘b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).



Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).


Jelaslah, pemilu dalam sistem Khilafah, walaupun ada kemiripan, tetap tidak sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi saat ini. Ibaratnya adalah seperti babi dan sapi. Keduanya memang ada kemiripannya, misalnya sama-sama berkaki empat. Tapi yang pertama haram sedang yang kedua halal. Perbedaan-perbedaan pemilu dalam sistem demokrasi dan khilafah itulah yang wajib kita cermati, agar kita tidak terjerumus dalam dosa karena ikut-ikutan terlibat dalam praktik sistem demokrasi yang kufur.[]


Wallahu a’lam.

Friday, October 13, 2023

Apabila anak anda bertanya palestina

 *25 INFORMASI PENTING TENTANG PALESTINA UNTUK ANAK*


#Oleh: Dr. Jasim Al-Muthawwa’#


Apabila anak Anda bertanya kepada Anda, mengapa Anda memberikan perhatian kepada Palestina dan selalu mengikuti berita Baitul Maqdis? Apa yang anda bicarakan? Apa jawaban Anda? Saya sarankan pembaca sebelum menyelesaikan tulisan ini berhenti sejenak dan memikirkan jawaban yang akan diungkapkan kepada anak andai ditanya pertanyaan ini.


Anda bisa menggunakan (25) informasi penting ini untuk diketahui anak-anak kita tentang Palestina dan Baitul Maqdis, sehingga mereka tahu mengapa kita peduli terhadap Palestina dan apa yang terjadi di sana, dan saya menyarankan pembaca untuk membacakan artikel kepada anak-anaknya, atau mengirim link ke mereka melalui (WhatsApp) agar membacanya sehingga mereka mengetahui walaupun kita sibuk dengan urusan dunia, namun Palestina tetap masalah kita pertama setelah berperan menyadarkan kaum muslimin dan mengajari mereka.


(1) Ceritakan kepada anak Anda, “Wahai anakku, sesungguhnya Palestina adalah tempat tinggal para Nabi. 


(2)Nabi kita Ibrahim AS hijrah ke Palestina. 


(3)Nabi Luth AS diselamatkan oleh Allah dari azab yang turun pada kaumnya menuju bumi yang diberkahi, bumi Palestina. 


(4)Nabi Daud AS tinggal di Palestina dan membangun mihrabnya, 


(5)dan Nabi Sulaiman AS memerintah seluruh  dunia dari Palestina, kisahnya yang populer dengan semut dan berkata :

 “Hai semut masuklah ke tempat tinggal kalian” ,  tempat yang disebut dengan wadi an-naml (lembah semut) di Palestina dekat (‘Asqalan). 


(6)Di Palestina juga terdapat mihrab   Zakaria AS , 


(7)sebagaimana Musa AS meminta kaumnya memasuki Bumi Muqaddasah,  ia menamakan dengan Al-Muqaddasah, yakni (suci)  dari syirik, dan dijadikan tempat tinggal para Nabi. 


(8)Banyak mukjizat yang terjadi di dalamnya  diantaranya 


(9)kelahiran Nabi Isa dari ibunya Maryam, seorang gadis kecil tanpa suami, dan Allah mengangkatnya ketika Bani Israil sepakat untuk membunuhnya. 


(10)Di Palestina Maryam menggoyang batang pohon kurma setelah kelahirannya dalam kondisi paling lemahnya wanita.


(11)Termasuk tanda-tanda akhir zaman di Palestina, Isa akan turun di menara putih,

 

(12)dan akan membunuh Dajjal di gerbang Lod Palestina, 


(13)dan itu adalah tanah Mahsyar dan Mansyar, 


(14)dan Ya’juj dan Ma’juj akan dibunuh di bumi Palestina di akhir zaman, serta banyak cerita lain terjadi di Palestina, 


(15)diantaranya kisah Thalut dan Jalut.


(16)Anak saya bertanya, “Bagaimana dengan Nabi ﷺ  dan hubungannya dengan Palestina?” 

Saya jawab, “Dulu kiblat pada awal diperintahkannya shalat menghadap ke Palestina, dan ketika Nabi hijrah ke Madinah malaikat Jibril turun dan beliau sedang shalat, Jibril memerintahkan untuk mengubah kiblat dari Baitul Maqdis ke Mekah Al-Mukarramah lalu masjid tempat beliau shalat dinamakan masjid Dzulqiblatain (dua kiblat). 


(17)Demikian juga ketika Rasulullah melakukan Isra’, beliau pergi ke Baitul Maqdis  sebelum Mi’raj ke langit. Inilah terminal pertama 


(18)Beliau berhenti setelah berangkat dari Mekah menuju langit, dan beliau menjad imam shalat para Nabi, karenanya tempat ini menjadi maqar para Nabi. 


(19)Abu Dzar Ra, bertanya kepada Rasullah, “Masjid mana yang pertama diletakkan oleh Allah dimuka bumi?” Beliau menjawab, “Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana?” Beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.” Aku bertanya lagi, “Berapa jarak antara keduanya?” Beliau menjawab, “Empat puluh tahun.” Kemudian beliau bersabda, “Dimanapun shalat menjumpaimu maka shalatlah, dan bumi bagi kalian adalah masjid.” 


(20)Wahai anakku, Apakah kamu tahu bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra.  meskipun sibuk dengan masalah kemurtadan orang-orang Arab di Jazirah Arab dengan memobilisasi pasukan untuk memerangi mereka agar kembali ke Islam yang benar, beliau tidak membatalkan pasukan yang diperintahkan Nabi untuk pergi ke Syam, meskipun membutukan kekuatan untuk mengembalikan stabilitas Jazirah. 


(21)Apakah kamu tahu masa keemasan penaklukan Islam di masa Umar Al-Faruq Ra, beliau tidak pernah keluar dari Madinah untuk merayakan penaklukan (pembukaan) negeri kecuali Palestina, beliau pergi ke sana sendiri dan membukanya dengan damai, shalat di dalamnya dan menerima kunci untuk menyelamatkan orang-orang Nasrani dari penindasan orang-orang Romawi saat itu. 


(22)Kemudian dibuka lagi oleh Shalahuddin di hari bersejarah tahun 583 H hari Jumat bertepatan dengan tanggal 27 Rajab, tanggal yang sama dengan malam mi’rajnya Nabi ke langit melalui Baitul Maqdis. Ini merupakan kesamaan yang ajaib dimana Allah memudahkan pengembalian Al-Quds kepada pemiliknya sama seperti waktu Isra’ dan Mi’raj.


(23)Anak saya  bertanya, “Kenapa dinamakan Baitul Maqdis dengan nama ini?” Saya menjawab, “Nama ini telah ada sebelum turunnya Al-Qur'an, ketika Al-Qur’an diturunkan ia disebut Masjid Al-Aqsha, dan dinamakan Baitul Maqdis karena kesuciannya yang istimewa. Karena itu, tanah Palestina dan Syam adalah tanah Ribath, telah syahid di dalamnya 5000 dari kalangan para sahabat mulia, mereka antusias untuk membuka Baitul Maqdis dan membebaskannya dari penindasan Romawi. 


(24)Para syuhada’ masih berguguran sampai hari ini, inilah tanah para syuhada’ dan tanah ribath.”


(25)Anakku  berkata, “Jadi pentingnya Masjid Al-Aqsha dan bumi Syam seperti pentingnya Haramain, Mekkah dan Madinah, bukankah seperti itu yah?” 

Saya menjawab, “Ya, anakku. Allah ﷻ mengumpulkan keduanya dalam firman-Nya :

“Demi buah Tin dan buah Zaitun. Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota Mekah ini yang aman.” (At-Tin: 1-3). 


Ibnu Abbas berkata: At-Tin adalah negeri Syam, Az-Zaitun negeri Palestina, bukit Sinai adalah gunung di mana Allah berbicara kepada Musa AS  di Mesir, dan al-Balad al-Amin adalah Mekah Al-Mukarramah. 

Allah ﷻ berfirman :

“Dan sungguh kami telah tetapkan dalam kitab-kitab setelah di catat di Lauh Mahfuzh bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang shaleh.” (Al-Anbiya’: 105) 


salah satu tafsirnya bahwa umat Muhammad mewarisi tanah suci.


Anakku berkata, “Sekarang aku paham pentingnya Palestina dan Masjid Al-Aqsha, sebagaimana aku paham bahwa shalat didalamnya dilipatgandakan menjad 500 kali lipat, apakah ini benar?” Saya menjawab, “Ya, itu benar, dan jangan kamu lupakan anak-anak palestina dan penduduknya dari do’amu. Semoga Allah memberkahimu nak.” 


*Kuttab Al-Fatih Surabaya*


***


Jika ada yang bertanya pada anda tentang palestina, katakanlah, 


"Di Palestina ada syahid, 

yang ditolong oleh tenaga medis yang syahid, 

diiringi ke pemakaman oleh yang syahid 

lalu di sholatkan oleh yang syahid. 


Palestina adalah negeri subur yang di sirami  oleh darah syuhada."


***

Thursday, October 12, 2023

*Palestina Tanah Yang (Pernah) Dijanjikan*

 *KRONOLOGI SEJARAH PALESTINA*


(tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah, tahun 1996 – Silahkan diupdate jika ada informasi terbaru)


oleh Fahmi Amhar


*Palestina Tanah Yang (Pernah) Dijanjikan*


*2000 SM – 1500 SM*: Ibrahim as. melahirkan Ismail as. (Bapak bangsa Arab) dan Ishak as. Ishak melahirkan Ya’kub as. alias Israel. Ya’kub punya anak Yusuf as, yang ketika kecil dibuang oleh saudaranya, namun belakangan menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ketika dilanda paceklik, Ya’kub as. sekeluarga atas undangan Yusuf berimigrasi ke Mesir. Populasi anak keturunan Israel (bani Israel atau bangsa Israel) membesar.


*1550 SM – 1200 SM*: Politik di Mesir berubah. Bani Israel dianggap problem, dan akhirnya oleh Fir’aun statusnya diubah menjadi budak.


*1200 SM – 1100 SM*: Musa as. memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di padang Sinai menuju tanah yang dijanjikan, bila mereka taat kepada Allah. Namun saat mereka diperintah memasuki Filistin (Palestina), mereka membandel dan mengatakan:


“Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi ada orang-orang yang gagah perkasa di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. (QS. 5:24)


Akibatnya mereka dikutuk dan hanya berputar-putar saja di sekitar Palestina. Belakangan agama Musa as disebut “Yahudi” – menurut nama salah satu marga Israel yang paling banyak berketurunan, yakni Yehuda, dan bani Israel -tanpa memandang warga negara atau tanah air- disebut juga orang-orang Yahudi.


*1000 SM – 922 SM*: Daud as. mengalahkan Goliath dari Filistin. Palestina berhasil direbut. Daud dijadikan raja. Wilayah kerajaannya membentang dari tepi Nil hingga Efrat di Iraq. Sekarang ini Yahudi tetap memimpikan kembali kebesaran Israel raya Raja Daud. Bendera Israel adalah dua garis biru (Nil dan Efrat) dan bintang Daud. Daud diteruskan Sulaiman as. Masjidil Aqsha dibangun.


*922 SM – 800 SM*: Sepeninggal Sulaiman Israel dilanda perang saudara yang berlarut, hingga kerajaan tersebut terbelah dua: utara bernama Israel beribukota Samaria dan selatan bernama Yehuda beribukota Yerusalem.


*800 SM – 600 SM*: Karena kerajaan Israel sudah terlalu durhaka kepada Allah swt. maka kerajaan itu dihancurkan lewat tangan kerajaan Asyiria.


Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini hawa nafsu mereka, maka sebagian rasul-rasul itu mereka dustakan atau mereka bunuh. (QS. 5:70)


Hal ini juga bisa dibaca di Bible: Kitab Raja-raja ke-I 14:15, dan Kitab Raja-raja ke-II 17:18.


*600 SM – 500 SM*: Kerajaan Yehuda dihancurkan lewat tangan Nebukadnezar dari Babylonia. Dalam Bible Kitab Raja-raja ke-II 23:27 dinyatakan bahwa mereka tidak mempunyai hak lagi atas Yerusalem. Mereka diusir dari Yerusalem dan dipenjara di Babylonia.


*500 SM – 400 SM*: Cyrus Persia meruntuhkan Babylonia dan mengijinkan bani Israel kembali ke Yerusalem.


*330 SM – 322 SM*: Israel diduduki Alexander Agung dari Macedonia (Yunani). Ia melakukan Hellenisasi terhadap bangsa-bangsa taklukannya. Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi Israel, sehingga nantinya Injil pun ditulis dalam bahasa Yunani, dan bukan dalam bahasa Ibrani.


*300 SM – 190 SM*: Yunani dikalahkan Romawi. Maka Palestina pun dikuasai imperium Romawi.


*1 – 100*: Nabi Isa as. (Yesus) lahir, kemudian menjadi pemimpin gerakan melawan penguasa Romawi. Namun selain dianggap subversi oleh penguasa Romawi (dengan ancaman hukuman tertinggi yaitu disalib), ajaran Yesus sendiri ditolak oleh para rabi Yahudi. Namun setelah Nabi Isa Alaihissalam diangkat atas kehendak Nya, bangsa Yahudi memberontak terhadap Romawi.


*Palestina area bebas Yahudi*


*100 – 300*: Pemberontakan berulang. Akibatnya Palestina dihancurkan dan dijadikan area bebas Yahudi. Mereka dideportasi keluar Palestina dan terdiaspora ke segala penjuru imperium Romawi. Namun demikian tetap ada sejumlah kecil pemeluk Yahudi yang tetap bertahan di Palestina. Dengan masuknya Islam serta dipakainya bahasa Arab di kehidupan sehari-hari, mereka lambat laun terarabisasi atau bahkan masuk Islam.


*313*: Pusat kerajaan Romawi dipindah ke Konstantinopel dan agama Kristen dijadikan agama negara.


*500 – 600*: Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia (di antaranya di Khaibar dan sekitar Madinah), kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dan Persia.


*619*: Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan ruhani: Isra’ dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan Mi’raj ke langit. Rasulullah menetapkan Yerusalem sebagai kota suci-3 ummat Islam, sholat di masjidil Aqsha dinilai 500 kali dibanding sholat di masjid yang lain selain masjidil Haram dan masjid Nabawi. Masjidil Aqsha juga menjadi kiblat ummat Islam sebelum dipindah ke ka’bah.


*622*: Hijrah nabi ke Madinah dan pendirian negara Islam (yang seterusnya disebut khilafah). Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk Yahudi di Madinah dan sekitarnya, yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.


*626*: Pengkhianatan Yahudi dalam perang Ahzab (atau perang parit) dan berarti melanggar Piagam Madinah. Sesuai dengan aturan di Kitab Taurat mereka sendiri, mereka dibunuh atau diusir.


*Palestina di bawah Daulah Islam*


*638*: Di bawah Umar bin Khattab, seluruh Palestina dimerdekakan dari penjajah Romawi. Seterusnya seluruh penduduk Palestina, *muslim maupun non muslim, hidup aman di bawah khilafah. Kebebasan beragama dijamin*.


*700 – 1000*: Wilayah Islam meluas dari Asia Tengah, Afrika hingga Spanyol. Di dalamnya, bangsa Yahudi mendapat peluang ekonomi dan intelektual yang sama. Ada beberapa ilmuwan yang terkenal di dunia Islam yang sesungguhnya adalah orang Yahudi.


*1076*: Yerusalem dikepung tentara salib dari Eropa. Karena pengkhianatan kaum munafik (sekte Drusiah yang mengaku Islam tapi ajarannya sesat), pada 1099 tentara salib berhasil menguasai Yerusalem dan mengangkat seorang raja Kristen. Penjajahan ini berlangsung hingga 1187, sampai Salahuddin al Ayubi membebaskannya, setelah ummat Islam yang terlena sufisme yang sesat bisa dibangkitkan kembali.


Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. …(QS. 13:11)


*1453*: Setelah melalui proses reunifikasi dan revivitalisasi wilayah-wilayah khilafah yang tercerai berai setelah hancurnya Bagdad oleh tentara Mongol (1258), khilafah Utsmaniyah di bawah Muhammad Fatih menaklukkan Kontantinopel, dan mewujudkan nubuwwah Rasulullah. 700 tahun lebih kaum muslimin berlomba untuk menjadi mereka yang diramalkan Rasul dalam hadits berikut:


Hari kiamat tak akan tiba sebelum tanah Romawi di dekat al-A’maq atau Dabiq ditaklukkan. Sepasukan tentara terbaik di dunia akan datang … Maka mereka bertempur. Sepertiga dari mereka akan lari, dan Allah tak akan memaafkannya. Sepertiga lagi ditakdirkan gugur sebagai syuhada. Dan sepertiga lagi akan menang dan menjadi penakluk Konstantinopel. (HR Muslim, no. 6924)


*1492*: Andalusia sepenuhnya jatuh ke tangan Kristen Spanyol (reconquista). Karena cemas suatu saat ummat Islam bisa bangkit lagi, maka terjadi pembunuhan, pengusiran dan pengkristenan massal. Hal ini tak cuma diarahkan pada muslim namun juga pada Yahudi. Mereka lari ke wilayah khilafah Utsmaniyah, di antaranya ke Bosnia. Pada 1992 raja Juan Carlos dari Spanyol secara resmi meminta maaf kepada pemerintah Israel atas holocaust 500 tahun sebelumnya.


*1500-1700*: Kebangkitan pemikiran di Eropa, munculnya sekularisme (pemisahan gereja – negara), nasionalisme dan kapitalisme. Mulainya kemajuan teknologi modern di Eropa. Abad penjelajahan samudera dimulai. Mereka mencari jalur alternatif ke India dan Cina, tanpa melalui daerah-daerah Islam. Tapi berikutnya mereka didorong semangat kolonialisme / imperialisme.


*1529*: Tentara khilafah berusaha menghentikan arus kolonialisme / imperialisme serta membalas reconquista langsung ke jantung Eropa dengan mengepung Wina, namun gagal. Tahun 1683 kepungan ini diulang, dan gagal lagi. Kegagalan ini terutama karena tentara Islam terlalu yakin pada jumlah dan perlengkapannya.


… yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai. (QS. 9:25)


*Barat memperalat Yahudi*


*1798*: Napoleon berpendapat bahwa bangsa Yahudi bisa diperalat bagi tujuan-tujuan Perancis di Timur Tengah. Wilayah itu secara resmi masih di bawah khilafah.


*1831*: Untuk mendukung strategi “devide et impera” Perancis mendukung gerakan nasionalisme Arab, yakni Muhammad Ali di Mesir, dan Pasya Basyir di Libanon. Khilafah mulai lemah dirongrong oleh nasionalisme.


*1835*: Sekelompok Yahudi membeli tanah di Palestina, dan lalu mendirikan sekolah Yahudi pertama di sana. Sponsornya adalah milyuner Yahudi Inggris, Sir Moshe Monteveury, anggota Free Masonry. Ini adalah pertama kalinya sekolah berkurikulum asing di wilayah khilafah.


*1838*: Inggris membuka konsulat di Yerusalem yang merupakan perwakilan Eropa pertama di Palestina.


*1849*: Kampanye mendorong imigrasi orang Yahudi ke Palestina. Pada masa itu jumlah Yahudi di Palestina baru sekitar 12000. Pada tahun 1948 jumlahnya sudah 716700, dan pada 1964 sudah hampir 3 juta.


*1882*: Imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang berselubung agama, simpati dan kemanusiaan bagi penderitaan Yahudi di Eropa saat itu.


*1891*: Para penduduk Palestina mengirim petisi kepada khalifah, menuntut dilarangnya imigrasi besar-besaran ras Yahudi ke Palestina. Sayang saat itu khilafah sudah “sakit-sakitan” (dijuluki “the sick man at Bosporus”), dekadensi pemikiran meluas, walau Sultan Abdul Hamid sempat membuat terobosan dengan memodernisir infrastruktur, termasuk memasang jalur kereta api dari Damaskus ke Madinah via Palestina !! Sayang, sebelum selesai, Sultan Abdul Hamid dipecat oleh Syaikhul Islam (Hakim Agung) yang telah dipengaruhi Inggris. PD-I meletus, dan jalur kereta tersebut dihancurkan.


*Zionisme*


*1896*: Theodore Herzl merampungkan sebuah doktrin baru Zionisme sebagai gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi Israel. Mereka mendapat inspirasi untuk “bekerjasama” dengan negara-negara besar (Amerika, Inggris, Perancis, Rusia) dalam realisasinya. Sebaliknya negara-negara besar itu berkepentingan dengan sumber alam di wilayah itu, dan memerlukan “agen” untuk melemahkan ummat Islam di sana.


*1897*: Theodore Herzl menggelar kongres Zionis dunia pertama di Basel, Swiss. Peserta Kongress-I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa ummat Yahudi tidaklah sekedar ummat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi ummat Yahudi -walaupun secara rahasia- pada “tanah yang bersejarah bagi mereka”. Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah protektorat Uganda atau di Amerika Latin! Di kongres itu, Herzl menyebut, zionisme adalah jawaban bagi “diskriminasi dan penindasan” atas ummat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenal kembali, bahwa nasib ummat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan ummat Yahudi sendiri. Di depan Kongres Herzl berkata: “Dalam 50 tahun akan ada negara Yahudi !!!” Apa yang direncanakan Herzl menjadi kenyataan pada 1948.


*1916*: Perjanjian rahasia Sykes-Picot oleh sekutu – (Inggris, Perancis, Rusia) dibuat saat meletusnya PD-I, untuk mencengkeram wilayah-wilayah Arab dari khilafah Utsmaniyah dan membagi-bagi di antara mereka. PD-I berakhir dengan kemenangan sekutu. Inggris mendapat kontrol atas Palestina. Di PD-I ini, Yahudi Jerman berkomplot dengan sekutu untuk tujuan mereka sendiri (memiliki pengaruh atau kekuasaan yang lebih besar).


*1917*: Menlu Inggris keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, dalam deklarasi Balfour, memberitahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina dalam membantu pembentukan tanah air Yahudi. Lima tahun kemudian Liga Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) memberi mandat ke Inggris untuk menguasai Palestina.


*Setelah Hancurnya Khilafah Islam*


*1924*: Mustafa Kemal Ataturk – seorang Turki yang terdidik oleh Free Masonry, menganggap kemunduran khilafah itu karena Islam. Ia merasa jalan keluarnya adalah nasionalisme dan sekularisme seperti yang telah berhasil di Barat. Bersama tentara yang seide, ia merebut kekuasaan dan mengumumkan bahwa khilafah bubar. Dengan itu maka tidak ada lagi ikatan antar ummat Islam sedunia yang akan “take care” bila ada satu bumi Islam jatuh dalam penderitaan. Nasionalisme menggantikan solidaritas Islam (ukhuwah Islamiyah).


*1938*: Nazi Jerman menganggap bahwa pengkhianatan Yahudi Jerman adalah biang keladi kekalahan mereka pada PD-I yang telah menghancurkan ekonomi Jerman. Maka mereka perlu “penyelesaian terakhir” (Endlösung). Ratusan ribu dikirim ke kamp konsentrasi atau lari ke luar negeri (terutama ke USA). Sebenarnya ada etnis lain serta kaum intelektual yang berbeda politik dengan Nazi yang bernasib sama, namun setelah PD-II Yahudi lebih berhasil menjual ceritanya karena menguasai banyak surat kabar atau kantor berita di dunia.


*1944*: Partai buruh Inggris yang sedang berkuasa secara terbuka memaparkan politik “Membiarkan orang-orang Yahudi terus masuk ke Palestina, jika mereka ingin jadi mayoritas. Masuknya mereka akan mendorong keluarnya pribumi Arab dari sana”. Kondisi Palestina memanas.


*1947*: PBB merekomendasikan pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan Israel.


*1948 14 Mei*: sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara Israel, melakukan agresi bersenjata terhadap rakyat Palestina yang masih lemah, jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dll. Palestinian Refugees menjadi tema dunia. Namun Israel menolak existensi rakyat Palestina ini, dan menganggap mereka telah memajukan areal yang semula kosong dan terbelakang. Timbullah perang antara Israel dengan negara-negara Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin Arab sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris, maka Israel mudah merebut daerah Arab Palestina yang telah ditetapkan PBB.


*Setelah Negara Israel Berdiri*


*1948 2 Desember*: Protes keras Liga Arab atas tindakan USA dan sekutunya berupa dorongan dan fasilitas yang mereka berikan bagi imigrasi zionis ke Palestina. Pada waktu itu, Ikhwanul Muslimin (IM) di bawah Hasan Al-Bana mengirim 10000 mujahidin untuk berjihad melawan Israel. Usaha ini kandas bukan karena mereka dikalahkan Israel, namun karena Raja Farouk yang korup dari Mesir takut bahwa di dalam negeri, IM bisa kudeta. Akibatnya, tokoh-tokoh IM dipenjara atau dihukum mati.


*1952*: Para perwira Mesir di bawah Jamal Abdul Nasser melakukan kudeta terhadap Raja Farouk.


*1953*: Harakah Islam Hizbut Tahrir berdiri di Yerusalem dengan tujuan mengembalikan kehidupan Islam ketengah masyarakat dan membentuk khilafah Islam yang menerapkan sistem Islam dan membebaskan seluruh dunia dari penghambaan kepada selain Allah. Metode yang ditempuh dalam membentuk khilafah adalah dakwah untuk merubah opini masyarakat.


*1956*: Nasser menasionalisasikan terusan Suez. Hal ini membangkitkan harga diri pada bangsa Arab, sehingga tak sedikit yang kemudian “memuja” Nasser.


*1956 29 Oktober*: Israel dibantu Inggris dan Perancis menyerang Sinai untuk menguasai terusan Suez.


*1964*: Para pemimpin Arab membentuk PLO (Palestina Liberation Organitation). Dengan ini secara resmi, nasib Palestina diserahkan ke pundak bangsa Arab-Palestina sendiri, dan tidak lagi urusan ummat Islam. Masalah Palestina direduksi menjadi persoalan nasional.


*1967*: Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syiria selama 6 hari dengan dalih pencegahan. Israel berhasil merebut Sinai dan jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara musuhnya karena informasi dari CIA. Sementara itu angkatan udara Mesir ragu membalas serangan Israel, karena Menhan Mesir ikut terbang dan memerintahkan untuk tidak melakukan tembakan selama dia di udara.


*1967 Nopember*: Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomor 242, untuk perintah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam perang enam hari, pengakuan semua negara di kawasan itu dan penyelesaikan secara adil masalah pengungsi Palestina.


*1969*: Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai ketua komite eksekutif PLO dengan markas di Yordania.


*1970*: Berbagai pembajakan pesawat sebagai publikasi perjuangan rakyat Palestina membuat PLO dikecam oleh opini dunia, dan Yordania dikucilkan. Karena ekonomi Yordania sangat tergantung dari USA, maka akhirnya Raja Hussein mengusir markas PLO dari Yordania. PLO pindah ke Libanon.


*1973 6 Oktober*: Mesir dan Syiria menyerang pasukan Israel di Sinai dan dataran tinggi Golan pada hari puasa Yahudi Yom Kippur. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Oktober. Mesir dan Syria hampir menang, kalau Israel tidak tiba-tiba dibantu USA. Anwar Sadat terpaksa berkompromi, karena dia cuma “siap untuk melawan Israel, namun tidak siap berhadapan dengan USA”. Arab membalas kekalahan itu dengan menutup keran minyak. Akibatnya harga minyak melonjak pesat.


*1973 22 Oktober*: Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 338, untuk gencatan senjata, pelaksanaan resolusi 242 dan perundingan damai di Timur Tengah.


*Ditipu sejak Camp David*


*1977*: Pertimbangan ekonomi (perang memboroskan kas negara) membuat Presiden Mesir Anwar Sadat pergi ke Israel tanpa berkonsultasi dengan Liga Arab. Ia menawarkan perdamaian, jika Israel mengembalikan seluruh Sinai. Negara-negara Arab merasa dikhianati. Karena politiknya ini, belakangan Sadat dibunuh (1982).


*1978 September*: Mesir dan Israel menandatangani perjanjian Camp David yang diprakarsai USA. Perjanjian itu menjanjikan otonomi terbatas kepada rakyat Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Sadat dan PM Israel Menachem Begin dianugerahi Nobel Perdamaian 1979. Namun Israel tetap menolak perundingan dengan PLO dan PLO menolak otonomi. Belakangan, otonomi versi Camp David ini tidak pernah diwujudkan, demikian juga otonomi versi lainnya. Dan USA sebagai pemrakarsanya juga tidak merasa wajib memberi sanksi, bahkan selalu memveto resolusi PBB yang tak menguntungkan Israel.


Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti keinginan mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. 2:120)


*1979*: Ayatullah Khumaini memaklumkan Revolusi Islam di Iran yang menumbangkan rezim korup pro Barat Syah Reza Pahlevi. Referendum menghasilkan pembentukan Republik Islam, yang salah satu cita-citanya adalah mengembalikan bumi Palestina ke ummat islam dengan menghancurkan Israel. Iran mensponsori gerakan anti Israel “Hizbullah” yang bermarkas di Libanon.


*1980*: Israel secara sepihak menyatakan bahwa mulai musim panas 1980 kota Yerusalem yang didudukinya itu resmi sebagai ibukota.


*1980*: Pecah perang Iraq-Iran selama 8 tahun. Perang ini direkayasa oleh Barat untuk melemahkan gelombang revolusi Islam dari Iran. Negara-negara Arab dipancing fanatisme sunni terhadap Iran yang syiah. Iraq mendapat bantuan senjata yang luar biasa dari Barat.


*1982*: Israel menyerang Libanon dan membantai ratusan pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila. Pelanggaran atas batas-batas internasional ini tidak berhasil dibawa ke forum PBB karena veto USA. Belakangan Israel juga dengan enaknya melakukan serangkaian pemboman atas instalasi militer dan sipil di Iraq, Libya dan Tunis.


*Intifadhah*


*1987*: Intifadhah, perlawanan dengan batu oleh orang-orang Palestina yang tinggal di daerah pendudukan terhadap tentara Israel mulai meledak. Intifadhah ini diprakarsai oleh HAMAS, suatu harakah Islam yang memulai aktivitasnya dengan pendidikan dan sosial.


*1988 Desember*: USA membenarkan pembukaan dialog dengan PLO setelah Arafat secara tidak langsung mengakui existensi Israel dengan menuntut realisasi resolusi PBB no. 242 pada waktu memproklamirkan Republik Palestina di pengasingan di Tunis.


*1990 Agustus*: Invasi Iraq ke Kuwait. Arafat menyatakan mendukung Iraq. Terjadi lagi perpecahan antar Arab. Perang ini juga direkayasa Barat untuk melemahkan Iraq, yang setelah perang dengan Iran arsenalnya dinilai terlalu besar dan bisa membahayakan Israel. Dan Barat sekaligus bisa lebih kuat menancapkan pengaruhnya di negera-negara Arab. Pemerintah diktatur di negara-negara Arab ditakut-takuti dengan “Islam fundamentalis”.


*1991 Maret*: Presiden USA George Bush menyatakan berakhirnya perang teluk-II dan membuka kesempatan “tata dunia baru” bagi penyelesaian konflik Arab-Israel.Yasser Arafat menikahi Suha, seorang wanita Kristen. Sebelumnya Arafat selalu mengatakan “menikah dengan revolusi Palestina”.


*1993 September*: PLO-Israel saling mengakui existensi masing-masing dan Israel berjanji memberi hak otonomi kepada PLO di daerah pendudukan. Motto Israel adalah “land for peace” (=tanah untuk perdamaian). Pengakuan itu dikecam keras dari pihak ultra-kanan Israel maupun kelompok di Palestina yang tidak setuju. Namun negara-negara Arab (Saudi Arabia, Mesir, Emirat dan Yordania) menyambut baik perjanjian itu. Mufti Mesir dan Saudi mengeluarkan “fatwa” untuk mendukung perdamaian. Setelah kekuasaan di daerah pendudukan dialihkan ke PLO, maka sesuai perjanjian dengan Israel, PLO harus mengatasi segala aksi-aksi anti Israel. Dengan ini maka sebenarnya PLO dijadikan perpanjangan tangan Yahudi.

Yasser Arafat, Yitzak Rabin dan Shimon Peres mendapat Nobel Perdamaian atas usahanya tersebut.


*1995*: Rabin dibunuh oleh Yigal Amir, seorang Yahudi fanatik. Sebelumnya, di Hebron, seorang Yahudi fanatik membantai puluhan muslim yang sedang sholat shubuh. Hampir tiap orang dewasa di Israel, laki-laki maupun wanita, pernah mendapat latihan dan melakukan wajib militer. Gerakan Palestina yang menuntut kemerdekaan total menteror ke tengah masyarakat Israel dengan bom “bunuh diri”. Dengan ini diharapkan usaha perdamaian yang tidak adil itu gagal. Sebenarnya “land for peace” diartikan Israel sebagai “Israel dapat tanah, dan Arab Palestina tidak diganggu (bisa hidup damai)”.


*1996*: Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai kanan, yang berarti kemenangan Yahudi yang anti perdamaian. Netanyahu mengulur-ulur pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia menolak adanya negara Palestina. Palestina agar tetap sekedar daerah otonom di dalam Israel. Ia bahkan ingin menunggu / menciptakan konstelasi baru (pemukiman di daerah pendudukan, bila perlu perluasan ke Syria dan Yordania) untuk sama sekali membuat perjanjian baru. USA tidak senang bahwa Israel jalan sendiri di luar garis yang ditetapkannya. Namun karena lobby Yahudi di USA terlalu kuat, maka Bill Clinton harus memakai agen-agennya di negara-negara Arab untuk “mengingatkan” si “anak emasnya” ini. Maka sikap negara-negara Arab tiba-tiba kembali memusuhi Israel. Mufti Mesir malah kini memfatwakan jihad terhadap Israel. Sementara itu Uni Eropa (terutama Inggris dan Perancis) juga mencoba “aktif” jadi penengah, yang sebenarnya juga hanya untuk kepentingan masing-masing dalam rangka menanamkan pengaruhnya di wilayah itu. Mereka juga tidak rela bahwa USA “jalan sendiri” tanpa “bicara dengan Eropa”.


*Khatimah*


Negara Israel adalah kombinasi dari sedang lemahnya ummat Islam, oportunisme Zionis Yahudi serta rencana Barat untuk mengontrol bumi dan ummat Islam.


Di Palestina berhasil didirikan negara Yahudi setelah sebelumnya ummat Islam berhasil diinflitrasi dengan pikiran-pikiran yang tidak islami, sehingga dapat dipecah belah bahkan sampai dilenyapkan khilafahnya.


Nabi berkata: Kunci Timur dan Barat telah ditunjukkan Allah untukku dan kekuasaan ummatku akan mencapai kedua ujungnya. Telah kumohon kepada Rabbku agar ummatku tidak dihancurkan oleh kelaparan maupun oleh musuh-musuhnya. Rabbku berkata: Apa yang telah Ku-putuskan tak ada yang bisa merubahnya. Aku menjamin bahwa ummatmu tak akan hancur oleh kelaparan atau oleh musuh-musuhnya, bahkan jika seluruh manusia dari segala penjuru dunia bekerja bersama-sama untuk itu. Namun di antara ummatmu akan ada yang saling membunuh atau memenjarakan. (HR Muslim no. 6904)


Karena itu baik strategi Zionis maupun Barat adalah menimbulkan permusuhan di kalangan ummat Islam sendiri. Namun sementara itu sesungguhnya Zionis atau Barat sendiri juga saling bersaing demi kepentingannya. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat.


Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (QS. 59:14)


Yang jelas, sang perampok Israel tidak bisa diusir dalam kondisi ummat Islam dewasa ini. Terlebih dahulu mereka harus menata aqidah dan menegakkan khilafah. Bukan PLO dan bukan negara-negara Arablah yang akan membebaskan kembali Palestina dan Yerusalem, namun ummat Islam bersama khilafahnya yang berhak melakukan tugas mulia itu, serta (insya Allah) memenuhi salah satu nubuwwat Rasulullah berikut ini:


Tidak datang hari Kiamat, sebelum kamu memerangi kaum Yahudi, hingga mereka lari ke belakang sebuah batu, dan batu itu berkata: “ada orang Yahudi di belakangku, datanglah, dan bunuhlah” (HR Bukhari Vol. 4 Kutub 52 no. 176 dan HR Muslim no. 6985)


Nubuwwah ini sepertinya baru akan terjadi di zaman “internet of things”, yang baru akan tiba, di mana rumah kita, sejak dari pintu hingga tong sampah, semua “ber-chip”, dan bisa berkomunikasi dengan manusia.

Wednesday, October 4, 2023

Qadha’ Bisa Ditolak Dengan Doa?

 Qadha’ Bisa Ditolak Dengan Doa?


Soal:


Bagaimana mendudukan hadis, “La Yuraddu al-Qadha’u illa bi ad-Du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadha’ kecuali doa)? Di sisi lain, Qadha’ dan Qadar itu sudah ditetapkan oleh Allah di Lauhul Mahfuzh. Lalu bagaimana doa bisa mengubah Qadha’? Bukankah ini artinya menolak ilmu Allah?


 


Jawab:


Jawaban ini saya kutip dari jawaban al-‘Alim al-Jalil Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah.


Pertama: Memang benar ada banyak dalil, baik dari al-Quran dan as-Sunnah, yang terkait dengan kedudukan doa di dalam Islam. Misalnya firman Allah SWT:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠

Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sungguh orang-orang yang menyombong-kan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina.” (QS Ghafir [40]: 60).

 


Al-Hakim telah mengeluarkan riwayat dalam Al-Mustadrak, dari Abu Hurairah ra., berkata: Rasulullah saw. bersabda:


لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى الله مِنْ الدُّعَاء

Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari doa (HR al-Hakim).

 


Imam Ahmad telah mengeluarkan riwayat di dalam Musnad-nya dari Abu Said, bahwa Nabi saw. bersabda:


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إذا نكثر. قال: الله أكثر.

“Tidaklah seorang Muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan pemutusan hubungan kekerabatan kecuali Allah memberi dia satu dari tiga hal: disegerakan untuk dia (pengabulan) doanya; disimpan untuk dia di akhirat; atau dialihkan dia dari keburukan semisalnya.” Mereka berkata, “Kalau begitu kami memperbanyak doa.” Nabi saw. bersabda, “Allah lebih banyak lagi membalas.” (HR Ahmad).

 


Kedua: Jika terdapat dalil qath’i tentang topik tertentu yang kebetulan terdapat dalil zhanni yang sahih dalam topik yang sama, namun memiliki hukum yang berbeda, maka harus dilakukan kompromi terhadap kedua dalil yang “seolah” bertentangan tersebut. Dalam kaidah ushul dinyatakan i’mal ad-dalilayn awla min ihmal ahadihima (menggunakan dua dalil lebih baik daripada mengabaikan salah satu di antara keduanya).


Namun, jika tidak bisa dikompromikan, dalil qath’i yang harus dimenangkan, dan dalil zhanni yang sahih itu harus ditolak secara dirayah [makna]. Namun, jika dalil zhanni-nya dha’if, maka dalil zhanni ini ditolak karena ke-dha’if-annya.


Ketiga: Seluruh dalil tentang Qadha’ atau Qadar memiliki makna, bahwa perkara tersebut telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah di Lawh al-Mahfuzh. Artinya, perkara tersebut pasti akan terjadi. Allah SWT berfirman:


وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨

Ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (QS al-Ahzab [33]: 38).

 


Makna “qadar[an]” di sini adalah perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak zaman ‘azali.  Makna “maqdûr[an]” adalah pasti terjadi. Jadi “qadr[an] maqdûr[an]” artinya keputusan yang pasti terjadi.


وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٍ ٦١

Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (tercatat) dalam kitab yang nyata (Lawh al-Mahfuzh) (QS Yunus [10]: 61).

عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِۖ لَا يَعۡزُبُ عَنۡهُ مِثۡقَالُ ذَرَّةٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَآ أَصۡغَرُ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرُ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٣

Tidak ada tersembunyi dari Allah sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lawh al-Mahfuzh) (QS Saba’ [34]: 3).

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lawh al-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh yang demikian adalah mudah bagi Allah (QS al-Hadid [57]: 22).

 


Keempat: Dengan mengkaji dan mendalami dalil-dalil tentang Qadha’ atau Qadar, tampak bahwa apa yang sudah ditetapkan Allah itu pasti akan terjadi. Jadi, apa yang ada di dunia ini pasti telah ditetapkan oleh Allah di Lawh al-Mahfuzh. Apa yang Allah tetapkan pasti akan terjadi dan tidak ada ruang untuk menghindar.


Kelima: Lantas bagaimana dengan hadis, “La yaruddu al-Qadha’ illa ad-du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadha’ kecuali doa)? Atau hadis, “La yaruddu al-Qadaru illa ad-du’a” (Tidak ada yang bisa menolak Qadar [takdir] kecuali doa)? Padahal, keduanya tampak seperti kontradiksi?


Dengan usaha keras mengkompromikan kedua dalil yang tampak kontradiksi di atas, dan ternyata tidak bisa dikompromikan, maka jawabannya adalah sebagai berikut:


Hadis “La yaruddu al-Qadaru illal ad-Du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadar [takdir] kecuali doa) harus ditolak secara dirayah (makna). Alasannya, ini bertentangan dengan fakta bahwa apa yang telah ditetapkan atau diputuskan di Lawh al-Mahfuzh itu pasti terjadi. Tidak ada ruang untuk dihindari, apalagi diubah. Artinya, Qadar di sini tidak bisa dihapus dari Lawh al-Mahfuzh.


Karena itu, yang lebih tepat adalah dengan membawa makna hakiki Qadar dalam hadis “La yaruddu al-Qadaru illal ad-du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadar [takdir] kecuali doa) ke makna majazi. Maksudnya, sekalipun yang disebut adalah Qadar, atau Qadha’, maksud yang sebenarnya adalah dampak dari Qadar, atau Qadha’. Bukan mengubah Qadar, atau Qadha’-nya itu sendiri. Jadi, yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah dampak dari Qadar atau Qadha’, bukan Qadar, atau Qadha’-nya itu sendiri. Ini sebagaimana yang kita katakan, “Anbatat al-ardhu mathar[an] (Bumi menumbuhkan hujan).” Kita menyebutkan sebab “mathar[an]”. Padahal yang kita maksud adalah musabab (akibat), yakni hasilnya (tumbuhan).


Ketika Qadar, atau Qadha’, itu menimpa orang Mukmin (misalnya sakit, kehilangan seorang anak, harta benda, mengalami musibah tertentu, dan sebagainya), maka doa bisa menolak dampak dari hal-hal ini. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis al-Hasan bin Ali ra., yang berkata, “Rasulullah saw. mengajarkanku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam doa Qunut shalat witir:


اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ … وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ

Ya Allah, tunjukilah aku pada orang yang Engkau beri petunjuk…dan jagalah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan.

 


Jika seorang Mukmin berdoa kepada Allah, dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi keburukan (dampak) Qadha’, maka Allah akan meringankan dia dari dampak Qadha’ tersebut, dan Allah akan membantu dia sehingga kuat dan sabar menanggung cobaan tersebut. Hidupnya akan menjadi baik meskipun terjadi Qadha’ tersebut menimpa dirinya. Jadi, Allah meringankan dampak Qadha’ atas dirinya dan meringankan kejadiannya, seolah-olah doanya (secara majazi) telah menolak Qadha’ tersebut, bahwa Allah membantu dirinya untuk sabar menanggung cobaan atas dirinya.


Lihatlah, betapa banyak orang yang tertusuk duri yang kecil saja, kemudian dia menjadi down, lemah, mengeluh dan berputus asa. Sebaliknya, betapa banyak orang yang ditimpa musibah yang berat, tetapi lisannya senantiasa basah zikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya agar menjaga diirnya dari keburukan musibah dan dampaknya. Lalu dia bersabar dan keadaannya pun tetap lurus. Seolah-olah doanya telah menolak musibah itu secara majazi.


Begitulah hadis itu bisa dipahami, bahwa Qadar pasti terjadi, tetapi doa seorang Mukmin dengan benar dan ikhlas bisa menolak dampak Qadar itu terhadap dirinya, yakni meringankan dan membantu dirinya bersabar menanggung musibah serta meringankan beban musibah itu. Setelah itu kehidupannya menjadi lebih baik, seolah-olah musibah itu tidak terjadi. Begitulah yang di-rajih-kan oleh al-‘Alim Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.


Keenam: Untuk menambah faidah, beliau mengutip apa yang beliau tulis dalam buku, At-Taisir fi Ushul at-Tafsir, sebagai berikut:


 


Makna pemenuhan doa, bukanlah perubahan dalam Qadar, atau perubahan tulisan di Lawh al-Mahfuzh, atau perubahan di dalam ilmu Allah. Pemenuhan itu tidak berarti bahwa Allah tidak mengetahui permintaan (doa) hamba-Nya dan pemenuhan Allahuntuk doa itu, dan berikutnya tidak tercatat di Lawh al-Mahfuzh. Namun, Allah mengetahui dan mencatatnya sejak ‘azali.


Sesungguhnya Qadar itu adalah ilmu Allah, yakni catatan di Lawh al-Mahfuzh dan semua yang ada/terjadi telah tertulis di dalamnya sejak ‘azali. Jadi, Allah mengetahui bahwa Fulan akan berdoa kepada-Nya. Jika Allah telah menetapkan pemenuhannya, maka ditulis bahwa Fulan akan meminta kepada-Nya begini, begitu, dan bahwa ini akan terjadi begini dan begitu. Jadi, doa itu bukanlah pembuatan baru yang tidak ada di ilmu Allah, atau tidak tertulis di Lawh al-Mahfuzh. Demikian juga pemenuhan itu. Namun, semuanya yang ada/terjadi telah dicatat di Lawh al-Mahfuzh. Jadi, Allah mengetahui yang gaib; mengetahui ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh hamba. Segala sesuatu telah ditulis lebih dulu sejak ‘azali. Jadi, doa dan pemenuhan doa, bukan di atas ilmu Allah, tetapi keduanya telah dicatat di Lawh al-Mahfuzh menurut ketentuannya sebagaimana akan terjadi. Jadi Allah Mahatahu yang gaib dan yang tampak.


لَا يَعۡزُبُ عَنۡهُ مِثۡقَالُ ذَرَّةٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٣

Tidak ada tersembunyi dari Allah sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi (QS Saba’ [34]: 3).

 


Beliau juga mengutip apa yang dinyatakan dalam Syarh as-Sunnah, karya Abu Muhammad al-Husain al-Baghawiy asy-Syafi’iy (w. 516 H):


 


Telah memberitahu kami Abdul Wahid bin Ahmad al-Malihi, dari Abdullah bin Abi al-Ja’di, dari Tsauban yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:


لا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلا الدُّعَاء

Tidak ada yang bisa menolak al-Qadar kecuali doa.

 


Saya katakan: Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, “Kontinunya seseorang berdoa membuat baik bagi dirinya al-qadha’ yang terjadi sehingga seolah-olah doa menolaknya.”


Kami juga mengutip apa yang dinyatakan di Mirqâtu al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, karya Abu al-Hasan Nuruddin al-Mula al-Harawi al-Qari (w. 1014 H):


 


Sabda Rasul saw:


لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاء

Tidak ada yang menolak al-Qadha’ kecuai doa.

 


Qadha’ adalah perkara yang telah ditetapkan, atau yang dimaksudkan penolakan Qadha’, jika yang dimaksudkan adalah makna hakikinya, adalah memudahkannya dan mempermudah perkara tersebut sehingga seolah-olah tidak turun.


 


Dari sini bisa dipahami bahwa doa tidak bisa mengubah Qadha’ dan Qadar, tetapi bisa mengubah dampak dari keduanya. Hanya saja, ini terkait dengan Qadha’ dan Qadar yang tampak, dan sudah terjadi. Adapun apa yang gaib, dan belum terjadi, sama-sama masih tidak jelas bagi manusia. Termasuk, dampak dari Qadha’ dan Qadar berikutnya. Karena itu doa diperintahkan, sebagai bentuk husnuzhan [berharap] kepada Allah SWT.


Di sinilah kita memahami konteks nasihat Imam as-Syafii kepada muridnya, yang terkenal slow leaner, agar meminta ilmu kepada Allah. Setelah itu Rabi’ bin Sulaiman benar-benar menjadi trasmitter mazhab Syafii. Al-Buwaithi sendiri mengutip penjelasan gurunya melalui Rabi’ bin Sulaiman. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]