Tuesday, July 23, 2019

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN MENURUT IMAM AN-NAWAWI DALAM KITABNYA “AR-RAUDHAH”*

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Batasan “Ghibah”

“Ghibah” adalah menyebut seseorang di belakang, tentang apa yang tidak disukainya.
[Lihat, al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 304].
Hukum asal “Ghibah” adalah haram.

Keharaman ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﺛْﻢٌ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠَﺴَّﺴُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻐْﺘَﺐ ﺑَّﻌْﻀُﻜُﻢ ﺑَﻌْﻀًﺎ ۚ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻩُ ۚ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺭَّﺣِﻴﻢٌ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Q.s. al-Hujurat: 12]

Makna “Ghibah” dinyatakan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ﺃَﺗَﺪْﺭُﻭْﻥَ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻐِﻴْﺒَﺔُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﺍَﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ . ﻗَﺎﻝَ : ﺫِﻛْﺮُﻙَ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﺑِﻤَﺎ ﻳُﻜْﺮِﻩُ . ﻗِﻴْﻞَ : ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﺃَﺧِﻲْ ﻣَﺎ ﺃَﻗُﻮْﻝُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻘُﻮْﻝُ ﻓَﻘَﺪْ ﺍِﻏْﺘَﺒْﺘَﻪُ، ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺑَﻬَﺘَّﻪُ .
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka [para sahabat] menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Baginda saw. bersabda, “Ketika kamu menyebut saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika apa yang aku katakan itu memang ada pada saudaraku.” Baginda saw. menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu memang ada padanya, maka kamu benar-benar telah melakukan ghibah kepadanya. Jika apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, maka kamu benar-benar telah memfitnahnya.” [Hr. Muslim]

Menurut al-Hasan, sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi,

“Ghibah” itu ada tiga bentuk. Semuanya disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu “Ghibah”, “Ifk” dan “Buhtan”. “Ghibah” adalah membicarakan saudaramu, yang memang faktanya seperti itu. Sedangkan “Ifk” adalah membicarakannya, sebagaimana informasi yang sampai kepadamu tentang dirinya. Adapun “Buhtan” adalah membicarakannya yang tidak sesuai dengan faktanya. [Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, hal. Juz II/2878-2879]

“Ghibah” yang Dibolehkan
Dalam kitab, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, dan al-Adzkar, Imam an-Nawawi menyatakan,

“Ghibah” itudibolehkan karena ada enam alasan. Saya telah menjelaskannya dengan berbagai bukti, apa yang terkait dengannya, dan beberapa jalan keluarnya dalam bagian akhir kitab al-Adzkar:

Pertama, mengadukan kezaliman. Boleh bagi orang yang dizalimi untuk mengadukan kezaliman kepada Sultan [Khalifah], Qadhi [hakim] dan yang lain, yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan dari pelaku yang telah mezaliminya. Maka, dia bisa mengatakan, “Saya telah dizalimi Si Fulan. Dia telah melakukan begini kepada saya.”

Kedua, meminta bantuan untuk mengubah kemunkaran, mengembalikan orang yang maksiat agar kembali ke jalan yang benar. Maka dia bisa mengatakan kepada siapa saja yang diharapkan, dengan kemampuannya, bisa menghilangkan kemunkaran. “Si Fulan telah melakukan perbuatan begini, maka cegahlah dia dari perbuatan itu.” Atau sejenisnya.
Ketiga, meminta fatwa. Misalnya, mengatakan kepada Mufti, “Saya telah dizalimi Si Fulan, atau ayahku, atau saudaraku begini. Apakah dia berhak melakukan itu, atau tidak?

Lalu, bagaimana caranya saya bisa melepaskan diri dari kezalimannya, dan mengelakkan kezalimannya terhadap diriku?” dan sejenisnya.
Begitu juga, dia mengatakan, “Isteriku telah melakukan begini denganku.” Atau, “Suamiku telah memukulku, dan mengatakan kepadaku begini.”
Semuanya ini boleh, karena dibutuhkan. Untuk lebih berhati-hati, hendaknya dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang, suami, atau orang tua dengan tindakannya begini?” Meski demikian, jika dinyatakan secara definitif juga boleh. Berdasarkan hadits Hindun, dalam Shahih Bukhari dan Muslim, “Abu Sufyan itu orang yang pelit..” [al-Hadits].
Keempat, memberi peringatan kepada kaum Muslim akan keburukannya. Itu antara lain tampak pada beberapa aspek:

Antara lain, menyatakan cacat orang yang memang cacat, baik perawi, saksi maupun pengarang. Itu boleh berdasarkan ijmak, bahwa wajib, karena untuk melindungi syariah.

Antara lain, jika Anda diminta pendapat seseorang tentang keluarganya, syarikah, titipannya, atau titipan orang padanya, atau mu’amalahnya dengan pihak lain, maka Anda wajib menyebutkan kepadanya apa yang Anda tahu tentangnya sebagai nasihat.
Jika tujuan tersebut tercapai dengan Anda mengatakan, “Kamu tidak pantas bermu’amalah dengannya, atau berkeluarga dengannya, atau jangan melakukan ini, atau sejenisnya.” Jika menambah dengan menyebut keburukannya tidak cukup, jika tujuannya tidak tercapai, kecuali dengan terus terang secara definitif, maka sebutkanlah sebagai bentuk nasihat.
Antara lain, jika Anda melihat seseorang membeli barang yang cacat, atau budak yang tukang mencuri, pezina, atau pemabuk, lalu Anda mengingatkan pembelinya, jika dia belum mengetahuinya, sebagai bentuk nasihat, bukan untuk tujuan menyusahkan atau merusaknya.

Antara lain, Anda melihat orang yang belajar fiqih, bolak-balik mendatangi orang fasik dan ahli bid’ah untuk menjadikannya rujukan ilmu, Anda mengkhawatirkan bahaya orang itu, maka Anda wajib memberi nasihat kepadanya, dengan menjelaskan keadaannya dengan tujuan untuk memberi nasihat.

Antara lain, orang yang mempunyai kekuasaan, yang tidak menunaikannya sebagaimana mestinya, karena memang tidak mampu, atau fasik. Anda mengingatkannya kepada orang yang mempunyai kemampuan menjadi penguasa, agar bisa menggantikannya, atau dia mengetahui keadaannya, tetapi tidak menjadikannya sebagai pelajaran, atau mengharuskannya untuk meluruskannya.
Kelima, orang yang mendemonstrasikan kefasikan, atau bid’ahnya, seperti minum khamer, menyita harta milik masyarakat, menarik pajak, mengendalikan perkara-perkara yang batil, maka boleh disebutkan apa yang dia demonstrasikan itu, sedangkan yang lain tidak boleh, kecuali ada alasan lain.

Keenam, memperkenalkan nama. Jika orang itu dikenal dengan gelar, seperti al-A’masy [rabun], al-A’raj [pincang], al-Arzaq, al-Qashir [pendek], dan sebagainya. Boleh mengenalkannya dengan gelar itu. Tapi, haram menyebut gelar tersebut, jika dimaksud untuk melecehkannya. Jika bisa memperkenalkan dengan gelar lain, tentu lebih baik.

Inilah ringkasan apa yang diperbolehkan tentang “Ghibah”. Wallahu a’lam. [Lihat, Imam an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, juz III/192-193; al-Adzkar, hal. 235]

Khatimah

Ini ketentuan tentang “Ghibah” yang diperbolehkan, menurut Imam an-Nawawi.
Mengenai rincian dalilnya telah beliau uraikan dalam kitab al-Adzkar [Lihat, al-Adzkar, hal. 235-236].

Bahkan, dalam penjelasannya, Imam an-Nawawi juga menyatakan, pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, dan ulama’ lain. Wallahu a’lam.

No comments: