Friday, June 24, 2022

KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH

 KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH


Oleh: Ust Yuana Ryan Tresna, M.Ag

(Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah)


Khalifah dan Khilafah


Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,


 أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).


Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian...”


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain dan ia berkomentar, "Hadits ini sahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.


Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, "Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.


Kemudian Beliau bersabda, "Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa’ur Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.


Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imamah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.


Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,


الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به


Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.[1]


Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,


الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا


Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.[2]


Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,


الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا


 Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.[3]


Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,


الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …


…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.[4]


Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar[5], lalu Al-Ghazali menegaskan,


الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع


Al-dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[6]


Konsep al-Dar


Bahasan tersebut di atas terkait dengan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan adanya sistem Khilafah. Adapun terkait dengan konsep negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan Islam, para ulama membahas dalam bahasan al-Dar.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أُدْعُهُمْ  إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ


"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul  Islam   yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”


Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,


"Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar al-Syirk telah dihalalkan".[7] 


Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'i. Sedangkan penduduk Dar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya[8].


Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasannya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al-Hijrah dan Dar al-Islam.  Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."[9]


Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Dar al-Islam, adalah istilah syar'i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan Dar al-Kufr.


Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka.   Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. 


Al-Kasa’i di dalam kitab Bada’i' al-Shana’i', mengatakan,


"Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dar Kufr (negeri kufur)  bisa berubah menjadi Dar al-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana.  Mereka berbeda pendapat mengenai Dar al-Islam; kapan ia bisa berubah menjadi Dar al-Kufr?  Abu Hanifah berpendapat; Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Dar al-Kufr.  Ketiga, kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, "Dar al-Islam berubah menjadi Dar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.”[10]


Di dalam Hasyiyah Ibnu 'Abidin atas kitab Al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, disebutkan, "Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dar Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat.  Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."[11]


Dengan demikian Dar al-Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim. Dar al-Kufr adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.


Al-Dar dan Tatanegara Modern


Konsep Dar al-Islam tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara modern. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain adalah:


• Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi, jika  ada batas wilayah negara yang jelas.


• Hukum jihad fi sabilillah. 

Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39.


• Hukum perjanjian antar negara. 

Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr (lihat QS. At-taubah: 4)


• Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. (Lihat QS. Ali Imran: 200)


• Hukum hijrah. 

Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” 


Imam Bukhari meriwayatkan hadits, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.


Kesimpulan


Mengatakan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam namun bukan sebuah sistem tatanegara, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a'lam.


Bandung, 9 Rabi'ul Awwal 1441 H


*) Disadur dari kata pengantar (sambutan) penulis pada Buku "Fiqih Khilafah dalam Madzhab Syafi'i"


===

[1] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5

[2] Al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15

[3] Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Juz 7, hlm. 289

[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.

[5] Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128.

[6] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, Imam al-Qal’i al-Syafi’i, Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi, dan lainnya.

[7] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 60.

[8] Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital, juz 1, hlm. 661

[9] Abu Yusuf, al-Kharaj, hlm. 155-156.

[10] Al-Kasa’i, Bada’i' al-Shana’i', juz 7, hlm. 130.

[11] Hasyiyyah Ibnu 'Abidin, juz 3, hlm. 390


------------

Thursday, June 23, 2022

Hidup Indah dalam Naungan Khilafah

 Hidup Indah dalam Naungan Khilafah

____________________________________  


Hampir seratus tahun setelah penghapusannya, nyaris tiada lagi di dunia saat ini yang pernah melihat realitas Negara Khilafah.  Banyak orang yang bicara tentang Khilafah. Mirip orang-orang buta meraba gajah yang belum dikenal seutuhnya.  Yang meraba kakinya mengira gajah itu mirip pohon.  Yang meraba perutnya mengira gajah itu mirip dinding.  Yang meraba ekornya mengira gajah itu mirip cambuk.  Demikianlah seterusnya.


Pertama: Ada yang mengira Khilafah sekadar mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi).  Karena Nabi saw. tak memberikan petunjuk bagaimana memilih penggantinya, maka tak ada prosedur baku suksesi ini. Berarti caranya terserah kita. Mau monarki boleh. Mau demokrasi tak masalah. Semuanya islami.  Ini diyakini oleh KH Ma’ruf Amin dan Prof. Mahfud MD.


Kedua: Ada yang menganggap Khilafah itu hanya ada di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), karena tak diakui kalangan Syiah.  Karena Aswaja itu yang beraqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, maka mereka yang tak jelas berakidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, bila bicara Khilafah, tak perlu digubris.  Ini sepertinya keyakinan Buya Yahya.


Ketiga: Ada yang berpegang pada dalil bahwa Khalifah itu hak Quraisy.  Jadi Turki saja tidak sah. Apalagi kita. Jadi tidak usah dibahas. Itu bukan urusan kita.  Ini antara lain sikap Prof. Azyumardi Azra.


Keempat: Sikap di atas dipersempit lagi dengan dalil lain bahwa Khilafah itu cuma 30 tahun. Setelahnya adalah kerajaan.  Jadi menurut mereka, tak ada jejak khilafah di Nusantara, karena dari Umayah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah itu bukan Khilafah.  Ini antara lain sikap Prof. KH Said Agil Siradj, meski bertentangan dengan kata pengantar beliau pada Ensiklopedi Tematik Islam karya Dr. Syafi’i Antonio tahun 2012.


Kelima: Sejumlah ahli hukum tata negara seperti Prof. Jimly Asshidiqie menyebut Khilafah adalah theokratik. Theokratik adalah semua sistem pemerintahan yang didasari agama.  Menurut dia, sistem theokratik tak lagi dapat mengikuti modernitas. Makin ditinggalkan. Jadi bicara khilafah itu setback ke masa lalu.


Keenam: Khilafah adalah negara non nation-state dengan pemerintahan non demokratik.  Karena itu sistem ini jelas anti Pancasila, karena bertentangan dengan asas negara bangsa (diklaim ada di sila-3) dan asas demokrasi (diklaim ada di sila-4).  Ini antara lain pendapat Wiranto sewaktu menjadi Menkopolhukam. Karena itu ormas yang mempropagandakan Khilafah layak dibubarkan.


Ketujuh: Khilafah adalah sistem pemerintahan yang mewujudkan maqashid syari’ah.  Ini antara lain pendapat Prof. Ahmad Zahro dari UIN Sunan Ampel.  Namun menurut dia, NKRI sudah mewujudkan seluruh maqashid syari’ah itu. Jadi hakikatnya NKRI sudah Khilafah.


Kedelapan: Khilafah itu adalah negeri yang berdiri berdasarkan tauhid.  Jadi yang penting kuatkan tauhid dulu, bersihkan dari bid’ah-bid’ah. Insya Allah Khilafah akan tegak dengan sendirinya. Jadi tidak usah bicara Khilafah dulu.  Ini sikap sebagian kalangan salafi.


Kesembilan: Khilafah itu janji Allah. Pasti akan tegak kembali.  Tetapi janji itu ya tidak harus tergesa-gesa. Dulu bisyarah Nabi saw. bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan juga realisasinya baru 830 tahun kemudian. Jadi tak usah ngotot harus sekarang. Tergesa-gesa itu tidak baik.  Ini antara lain pendapat KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha).


Kesepuluh: Khilafah itu kemanusiaan, karena Allah ciptakan Adam sebagai Khalifatul fil Ardh (QS 2:30), pemimpin kemanusiaan.  Jadi jangan memusuhi Khilafah, karena itu misi penciptaan manusia di bumi.  Ini pendapat Emha Ainun Najib (Cak Nun).


Kesebelas: Khilafah itu negara besar ideologis multinasional.  Jadi bila sekarang ada ‘Kekhilafahan’ Amerika atau ‘Kekhilafahan’ Eropa, mengapa tak boleh memperjuangkan Kekhilafahan Islam?  Ini pendapat Prof. Daniel M Rasyid, cendekiawan Muslim yang juga guru besar ITS Surabaya.


Aneka persepsi ini sering menyebabkan diskusi tidak “nyambung”. Berlanjut ke debat kusir. Bahkan ke intimidasi dan persekusi.


Dalam tulisan ini, penulis ingin menggunakan deskripsi berikut ini:


 


Khilafah adalah sistem penerapan seluruh syariah Islam yang terkait dengan publik yang fardhu kifayah, yang hanya berjalan efektif dengan kehadiran negara. Khilafah sekaligus metode mempersatukan umat Islam sedunia dan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Di dalamnya ada berbagai sistem seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, hubungan internasional, dll. Jadi tak cuma sistem pemerintahan, apalagi cuma suksesi. Kekuasaan dalam Khilafah ada pada umat. Keamanan negara di tangan kaum Muslim. Khalifahlah yang bertanggung jawab memilih dan menerapkan salah satu pendapat fikih Islam yang paling kokoh dalil syar’i maupun manat al-hukmi-nya. Semua ditujukan untuk kebaikan seluruh alam. Tak hanya bangsa tertentu, golongan tertentu, bahkan tak hanya untuk manusia.


 


“Epistemologi Turats”


Kita wajib berpikiran terbuka. Tidak terjebak pada “epistemologi peraba gajah”.  Kita tak boleh berhenti pada gambaran Khilafah seperti dalam sejarah bani Umayah hingga Utsmaniyah, yang mungkin saja bias pemuja atau pencela.  Kita wajib merujuk pada warisan Nabi saw. dan salafus shalih yang ada dalam kitab-kitab turats. Menemukan konsep yang komprehensif dan memproyeksikan di kehidupan modern.  Inilah “epistemologi turats”.  Dengan metode ini kita akan menyimpulkan bahwa hanya Khilafahlah negara yang ideal.


Pertama: Khilafah adalah satu-satunya negara saat seluruh syariah Islam diterapkan secara kaffah. Umat beragama lain pasti dilindungi.  Islam pasti diterapkan karena ini menyatu dalam definisi.  Khilafah adalah negara yang menerapkan syariah Islam. Kekuasaannya di tangan kaum Muslim.  Begitu Islam disingkirkan, atau kedaulatannya tergadai kepada asing, maka otomatis negara itu tak lagi disebut Khilafah.  Ketika suatu hukum Islam yang qath’i dihapus, Khalifah juga kehilangan legitimasinya dan wajib dipecat.


Dalam Khilafah umat beragama lain (ahlul dzimmah) pasti dilindungi. Ini adalah perintah syariah. Namun demikian, kewajiban negara menjaga agama (Hifzh ad-Din). Termasuk menjaga agama adalah:  memfasilitasi dakwah; memfasilitasi dan memberi kesempatan shalat fardhu bagi setiap Muslim di manapun; memfasilitasi shaum Ramadhan; menarik dan mendistribusikan zakat; memfasilitasi haji dan umrah; mencegah munculnya kasta rahbaniyah (kerahiban Islam); memperlakukan sesuai syariah orang-orang murtad, yaitu dengan menyadarkannya, dan bila perlu hingga menghukumnya mati.  Dengan cara ini tak ada lagi yang berani menista agama, atau mengolok-olok Nabi saw., dengan alasan apapun.


Kedua: Menjaga harta (Hifzh al-Mal) kaum Muslim. Ini berarti ekonomi yang diberlakukan juga hanya ekonomi syariah. Bukan lagi “dual sistem”, yakni ekonomi syariah dan konvensional (kapitalis atau sosialis) bersama-sama.


Ekonomi syariah berlaku tak hanya dalam perbankan, pegadaian dan asuransi; tetapi seluruh aktivitas ekonomi.  Dari pengelolaan sumberdaya alam (air, tanah, udara, energi, mineral, hutan, laut); pengumpulan modal (pembentukan perusahaan, perbankan, investasi, pasar modal); ketenagakerjaan, sistem perdagangan domestik dan internasional, hingga moneter (sistem & alat pembayaran) dan fiskal (sistem penganggaran & perpajakan).


Yang ingin diciptakan adalah ekonomi real yang terdistribusi adil, mengayomi orang-orang majinal, serta sejahtera berkelanjutan.  Urusan pangan, sandang dan papan yang minimal dan layak dijamin oleh Negara.  Negara bekerja keras agar setiap lelaki akil balig yang sanggup bekerja, juga sehat, terdidik dan merasa aman. Dengan itu mereka bisa mencari nafkah dan mencukupi keluarganya.  Baru bila mereka tak mampu, Negara hadir, langsung maupun tidak.


Infrastruktur produksi dan distribusi ekonomi adalah kewajiban Negara.  Mekanisme non ekonomi seperti nafkah, zakat, infak dan wakaf juga digiatkan dan didukung negara melalui infrastruktur adminsitrasinya. Negara memiliki informasi akurat tentang siapa dan di mana bertanggung jawab atas siapa saja; atau siapa dalam tanggungan siapa.


Bila ada suami meninggalkan istrinya begitu saja, atau ayah menyia-nyiakan anaknya, Negara pasti menemukannya dan memaksa memenuhi tanggung-jawabnya. Ini jejaring keluarga yang dioptimalkan Negara.  Baru bila ada yang memang sebatang kara, atau seluruh kerabatnya miskin juga, maka Negara membantu langsung.  Negara juga membantu ketika ada orang yang kesulitan mengembalikan barang temuannya, menagih piutangnya, atau melaksanakan wasiat maupun hak warisnya.


Harta juga dilindungi dari seluruh distorsi, baik distorsi yang bisa dikehendaki seperti riba dan judi, maupun yang umumnya tidak dikehendaki seperti korupsi, pencurian dan perampokan.  Negara menerapkan pembuktian terbalik atas penyelenggara Negara yang kekayaannya di luar kewajaran.  Namun, hukuman yang keras pada pelaku kriminal ini adalah langkah terakhir dari syariah untuk melindungi harta.


Ketiga: Pergaulan sosial yang diberlakukan tidak hanya sebatas asesori dengan busana syar’i.  Menjaga nasab (Hifzh an-Nasab) secara terhormat adalah kewajiban syariah yang juga dibebankan pada Negara.  Bahkan Negara dengan informasi kependudukan yang dimiliki, dapat menjembatani rakyatnya yang ingin menikah, dan membantunya hingga memiliki keluarga yang utuh dan menghasilkan generasi yang shalih.  Negara bahkan memfasilitasi perempuan yang ingin fokus pengasuhan anak (hadhanah), menyiapkan tempat khusus menyusui, atau memberikan tunjangan pengasuhan.


Media massa didorong mempromosikan keluarga yang sakinah, hidup bertetangga dan keluarga besar yang saling silaturahmi. Bukan mengekspos perselingkuhan, skandal-skandal artis atau kekerasan di rumah tangga.  Negara menjaga kehormatan (Hifzh al-Iffah) setiap warga, Muslim maupun ahludz-dzimmah.


Negara mempromosikan sikap menahan diri meski benar, sikap menutupi aib pribadi setiap warga, sikap sabar pada cobaan, sikap tawadhu’ meski berprestasi, hingga sikap kesatria atas kesalahan.  Negara juga memfasilitasi konsultasi warga yang menghadapi masalah.


Negara memberikan sanksi kepada orang yang mengolok-olok; bahkan mengancam hukuman berat kepada para pelaku perzinaan, penuduh perzinaan yang tak sanggup membawa 4 saksi, perkosaan, LGBT, bahkan pembuat dan penyebar pornografi dan pornoaksi.


Keempat: Dalam administrasi pemerintahan, diberlakukan sistem yang mudah, murah dan cepat.  Pelayanan terhadap rakyat bersifat pro-aktif. Tidak hanya menunggu keluhan atau laporan.  Kontrol umat atas para penguasa didorong, dengan semangat yang sama seperti para Sahabat mengawasi Khulafaur Rasyidin.


Khilafah adalah negara dengan kedaulatan hukum ada pada Asy-Syari’ (Allah SWT), kekuasaan eksekutif ada pada umat melalui penguasa pilihannya, dan aktivitas koreksi atas eksekutif adalah jihad terbaik.  Ini aktivitas menjaga negara (Hifzh ad-Dawlah).


Negara bisa menerapkan cara-cara modern dalam menjaring tokoh-tokoh yang mewakili umat dalam Majelis Umat, bahkan menggunakan teknologi tercanggih yang praktis dalam Pemilu calon khalifah.  Yang jelas seluruh calon khalifah wajib memenuhi syarat-syarat in’iqad, yaitu: Muslim, laki-laki, aqil (tidak gila), balig (dewasa), adil (tidak fasiq), merdeka (bukan budak/boneka) dan mampu (memiliki kompetensi minimum dan bersedia).


Negara menjaga kesatuan negeri Islam dengan memperlakukan semuanya dengan baik. Tidak rasis atau elitis.  Negara mempromosikan dan memfasilitasi musyawarah, memfasilitasi munculnya partai-partai politik berasas Islam, dan memfasilitasi ijtihad baik dalam hukum maupun teknologi untuk memberikan solusi aneka persoalan baru.


Negara menerapkan politik dakwah terhadap negara kafir, baik dengan hardpower maupun softpower.  Untuk itu Negara mengembangkan industri pendukung jihad, membantu berhijrah kaum tertindas di negeri lain, hingga berjihad untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah.


Kelima: Dalam hukum & peradilan.  Tak ada yang lebih diharapkan dalam sebuah negara kecuali kepastian hukum yang adil.  Dalam demokrasi, parlemen atau legislatif dapat mengubah UU apapun, bahkan UUD sesuai hawa nafsu mereka.  Namun dalam Islam, hal-hal qath’i yang tertanam dalam al-Quran dan hadis mutawwatir tak bisa diubah siapapun.  Perubahan hanya dimungkinkan pada penafsiran yang berbeda pada hal-hal yang zhann, atau ijtihad pada berbagai persoalan baru.  Adapun seperti hak-hak minoritas (ahludz-dzimmah) itu tidak bisa dibatalkan hingga Hari Kiamat.


Dengan hukum yang baik, negara akan menjaga akal sehat (Hifzh al-‘Aql).  Ketika seluruh rakyat terdidik, baik dalam syakhsiyah Islam maupun sains dan teknologi, maka tugas negara menegakkan hukum jauh lebih mudah.  Saat iklim rasional berkembang di masyarakat, negara meninggalkan segala yang tidak memiliki dalil atau dasar ilmiah, suara ulama dan ilmuwan didengar, maka angka kepatuhan hukum akan meningkat.


Segala hal yang bertentangan dengan akal sehat seperti khamr, narkoba, pornografi dan perdukunan diberantas sampai ke akar-akarnya.


Keenam: Dalam aspek keamanan, diberlakukan perlindungan yang menyeluruh, baik di dalam maupun di luar negeri, atas setiap warga negara dan seluruh Muslim.  Setiap warga negara Khilafah yang dalam perjalanan di dalam maupun di luar negeri tidak perlu memikirkan asuransi.  Negara yang menjaminnya. Demikian pula warga asing yang dibolehkan berkunjung ke negeri Khilafah.  Bahkan perlindungan ini juga dinikmati oleh Muslim warga negara asing, sebagaimana dulu terjadi pada masa Abassiyah.  Kalau mereka dilecehkan, apalagi disakiti, bala tentara Khilafah siap datang menyelamatkannya.


Khilafah juga mengantisipasi terhadap segala bencana yang mungkin terjadi di seluruh wilayahnya. Negara proaktif mengecek bangunan-bangunan publik agar tahan gempa, bebas banjir, aman dari kebakaran, dan juga potensi bencana lainnya.  Bahkan bencana iklim global yang nyaris luput dari perhatian, yang berakibat punahnya flora dan fauna, juga diperhatikan.  Rakyat juga terus dibimbing untuk selalu peduli dan tanggap bencana.


Menjaga kehidupan (Hifzh an-Nafs) itu kewajiban negara.  Dengan sistem ekonomi, negara menjamin setiap penduduk bebas dari kelaparan.  Dengan sistem kesehatan negara melindungi rakyat dari ancaman penyakit.  Dengan Qadhi Hisbah juga mengawasi agar pangan yang beredar hanya yang halal dan thayyib.


Bahkan anak yatim, kaum lansia, penyandang diffabilitas, serta dhuafa dan fakir-miskin semua dipastikan kehidupan dan keamanannya agar tidak terlantar atau dieksploitasi para penjahat, termasuk mafia organ tubuh.


Di dalam negeri negara juga menjaga keamanan (Hifzh al-Amn) dengan mendamaikan perselisihan/konflik horizontal, memfasilitasi persaksian yang benar saat dibutuhkan, tetap berlaku adil sekalipun terhadap orang-orang yang dibenci, menyediakan peradilan yang fair, menghukum pengacau/teroris, hingga mengatasi pemberontakan (bughat) dengan cara-cara persuasif.


Seperti inilah gambaran Khilafah yang dicita-citakan.


WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]

Wednesday, June 22, 2022

Anak muda islam

 PANTAS MEREKA TAKUT


Ustadz.Budi Ashari


Anak-anak muda yang membahayakan. Para teroris hadir. Sel-sel baru bermunculan. Pengajian-pengajian sumbernya. Masjid pusatnya. Terutama masjid sekolah-sekolah dan kampus. Kumpulan mereka perlu diwaspadai dan diawasi.


Lihatlah pola yang menggiring secara bertahap tapi pasti.Hasilnya sangat terlihat. Para orangtua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan saat melihat anaknya liburan dari pesantrennya, karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”


Efek buruk dan jahat ini merasuki otak dan hati para orangtua tanpa disadari. Dan anehnya, para orangtua lebih nyaman melihat anaknya bergaul tanpa batas. Itulah yang dianggap wajar. Mereka senang melihat anaknya menghabiskan waktu untuk melamun, karena dianggapnya sedang puber. Aneh...


Dan akhirnya para orangtua tanpa disadari memberi ‘wejangan’, “Hati-hati kalau ngaji di masjid.” Anak-anak muda yang rumit memilah jenis pengajian, akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di kafe, nongkrong di jalanan, bahkan tempat-tempat dosa. Dan mereka pun jauh dari masjid.


Luar biasa bukan...rencana jahat menjauhkan generasi muda dari masjid. Karena mereka sadar, tapi kita tidak sadar. Mereka tahu, tapi kita tidak tahu. Mereka membaca sejarahnya, kita tidak. Bahwa kebangkitan Islam itu berawal dari kebangkitan anak-anak mudanya.


Dengarkan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya saat menjelaskan tentang kata: Fityah (pemuda), dalam Surat Al Kahfi,


“...Untuk itulah kebanyakan yang menyambut (seruan) Allah dan Rasul Nya shallallahu alaihi wasallam adalah pemuda. Adapun orang-orang tua dari Quraisy, kebanyakan mereka tetap bertahan dalam agama mereka dan tidak masuk Islam kecuali sedikit saja.”


Untuk lebih menjelaskan kalimat tersebut, mari kita baca tulisan DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh, Dosen Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menuliskan data usia mereka yang masuk Islam di masa dakwah rahasia Nabi (sepanjang 3 tahun), dalam buku beliau Khawatir wa taammulat fis sirotin nabawiyyah, h. 125-129. Beliau mengambilnya dari dari Majalah Al Wa’yu Al Islamy, Edisi 77. Perlu diingat di awal, jika ada perbedaan tentang usia dalam buku-buku siroh adalah merupakan hal yang wajar. Di sini dinukilkan apa adanya dari buku tersebut:


1. Ali bin Abi Thalib 8 tahun

2. Zubair bin Awwam 8 tahun

3. Thalhah bin Ubaidillah 12 tahun

4. Arqam bin Abil Arqam 12 tahun

5. Abdullah bin Mas’ud Menjelang 15 tahun

6. Said bin Zaid Belum 20 tahun

7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun

8. Mas’ud bin Rabi’ah 17 tahun

9. Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun

10. Shuhaib Ar Rumi belum 20 tahun

11. Zaid binHaritsah menjelang 20 tahun

12. Utsman bin Affan sekitar 20 tahun

13. Thulaib bin Umair sekitar 20 tahun

14. Khabbab bin Art sekitar 20 tahun

15. Amir bin Fuhairoh 23 tahun

16. Mush’ab bin Umair 24 tahun

17. Miqdad bin Aswad 24 tahun

18. Abdullah bin Jahsy 25 tahun

19. Umar bin Khattab 26 tahun

20. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun

21. Utbah bin Ghazwan 27 tahun

22. Abu Hudzaifah bin Utbah sekitar 30 tahun

23. Bilal bin Rabah sekitar 30 tahun

24. Khalid bin Said sekitar 30 tahun

25. Amr bin Said sekitar 30 tahun

26. Ayyasy bin Abi Rabi’ah sekitar 30 tahun

27. Amir bin Rabi’ah sekitar 30 tahun

28. Nu’aim bin Abdillah sekitar 30 tahun

29. Utsman bin Madz’un sekitar 30 tahun

30. Abdullah bin Madz’un 17 tahun

31. Qudama bin Madz’un 19 tahun

32. Saib bin Madz’un sekitar 10 tahun

33. Abu Salamah bin Abdul Asad sekitar 30 tahun

34. Abdurahman bin Auf sekitar 30 tahun

35. Ammar bin Yasir antara 30-40 tahun

36. Abu Bakar 37 tahun

37. Hamzah bin Abdul Muthalib 42 tahun

38. Ubaidah bin Harits 50 tahun

39. Amir bin Abi Waqqash masuk Islam setelah urutan orang ke-10

40. As Sail bin Utsman syahid di perang Yamamah (11 H) umurnya masih 30 tahun


Dan ini kalimat DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh,


Walau Quraisy terus menerus melakukan teror dan intimidasi terhadap orang-orang lemah..tetapi anak-anak muda itu justru mengumumkan keislaman mereka, dengan konsekuensi yang sedang menanti mereka berupa kesulitan hidup...dan terkadang harus mati!


Deretan angka-angka di atas menunjukkan kebenaran kalimat Ibnu Katsir bahwa kebesaran Islam ini lebih banyak ditopang oleh anak-anak muda.


Sebenarnya, skenario menjauhkan cara pandang yang benar terhadap generasi muda bukan hanya dilakukan sekarang dengan pola seperti ini. Berbagai cara dan pola telah lama mereka laksanakan.Mereka menyusupkan dengan perlahan tapi pasti berbagai teori racun. Targetnya jelas: menjauhkan anak-anak muda dari kebaikan mereka dan masjid mereka.


Seperti berbagai penelitian yang menyampaikan bahwa remaja adalah usia kerusakan, kegundahan, keguncangan, krisis, kenakalan. Pelajaran ini benar-benar tertanam pada orangtua. Sehingga, lagi-lagi mereka meyakini bahwa remaja harus melalui semua masalah itu. Jika ada anaknya yang baik-baik saja dan tidak melalui kekacauan itu, orangtua akan berkata, “Apa anak saya tidak normal ya?”


Lihatlah sebuah skenario besar dalam rentang puluhan bahkan ratusan tahun. Dan mereka berhasil meracuni pemikiran para pendidik dan orangtua muslim.

Padahal pemuda begitu positif dalam bahasa ayat, hadits dan ulama. Sehingga perlu sebuah upaya besar untuk membalik cara pandang tersebut sekaligus memberi obat dari masalah yang dihadapi oleh para pemuda kita. (nantikan modul dan pelatihannya dari parentingnabawiyah)


Pemuda adalah kekuatan, inspirasi, kreatifitas, ledakan ruhiyah, ketegaran, kesegaran, enerjik, karya besar dan penopang peradaban Islam.

Monday, June 20, 2022

Tidak ada contohnya oran beriman hidup di luar kepemimpinan Nabi

 TIDAK ADA CONTOHNYA ORANG BERIMAN HIDUP DI LUAR KEPEMIMPINAN NABI ATAU KHALIFAH


(Kritik Khilmus | Edisi 21)

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Sudah puluhan kali saya mendengar pernyataan dan membaca tulisan dari Khalifah palsu dan warga Khilmus ; "Tidak ada contohnya orang / orang-orang beriman hidup diluar kepemimpinan Nabi atau khalifah".

Kali ini diwakili oleh Abu Jiddan :

======mulai=====
Abu Jiddan :
Tidak ada contohnya orang beriman hidup diluar kepemimpinan Nabi atau kholifah
=====selesai=====

JAWABAN SAYA :

Apa mereka tidak ngerti fase mulkan jabriyyah (fase tidak ada khilafah)
atau fase tidak ada jamaatul muslimin dan tidak pula ada imamnya, dimana keduanya terdapat di dua hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah. Di fase itu orang-orang beriman dalam bernegaranya tidak dipimpin oleh khalifah, tapi oleh raja dan presiden.

Rata-rata warga khilmus itu pas-pasan dalam ilmu agama terkait sistem khilafah, maka mereka mudah sekali dibohongi oleh khalifah palsunya.

Somoga link di bawah bisa menambah pemahaman agama terkait khilafah dan jamaatul muslimin bagi warga Khilmus :

1. Makna hadits Hudzaifah terkait fase kepimpinan umat Islam;
https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/02/makna-hadits-hudzaifah-terkait-fase.html?m=1

2. Mendudukkan makna hadits Hudzaifah terkait kebaikan dan keburukan atau fase tidak ada Jamaatul Muslimin dan tidak pula ada Imam Jamaatul Muslimin:
https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/03/mendudukan-makna-hadits-hudzaifah-bin.html?m=1

3. Khilafah ala minhajin nubuwwah pada hadits Hudzaifah adalah Umar bin Abdul Aziz?!
https://abulwafaromli.blogspot.com/2016/05/khilafah-minhajin-nubuwwah-pada-hadis.html?m=1

MENGKLAIM KHILAFAH ALA MINHAJIN NUBUWWAH, TAPI TIDAK MENGIKUTI SUNNAH NABI DAN SUNNAH KHULAFA ROSYIDIN

Ini juga logika ngawur Khilmus :

=====mulai=====
Abu Jiddan :
Bagaimana bisa muncul yang palsu lalu yang asli muncul sesudahnya?
Bukankah secara akal sehat yang kedua pasti mencontoh yang pertama. Tolong anda jangan terlalu ambisius untuk membenarkan pendapat anda sendiri tanpa menggunakan akal anda.
=====mulai=====

JAWABAN SAYA :

Khilmus itu benar-benar telah mengklaim khilafah ala minhajin nubuwwah. Sedang khilafah ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Nabi adalah khilafahnya Alkhulafa Arrosyidin. Ini berarti khilafah pertama karena diikuti oleh khilmus. Berarti juga khilmus itu yang terakhir karena mengikuti yang peetama. Berbeda ketika khilmus mengaku khilafah ala minhajil baraja, maka khilmus yang pertama dan yanh asli. Lalu ketika ada khilafah ala minhajil baraja yang kedua yang tidak sama dengan yang pertama, maka itu yang palsu. Semoga bisa dipahami. Karena kalau tidak mengikuti khilafah rosyidah atau alkhulafa arrosyidin sebagai pemilik khilafah ala minhajin nubuwah, maka sebenarnya khilmus itu ikut khilafah siapa?

Sungguh, bukan khilafah palsu kalau tidak dusta dan menipu. Khilmus mengklaim mengikuti Nabi atau nubuwwah sejak baru diutusnya, sejak belum mendapat kekuasaannya. Tapi Khilmus tidak mengikuti sunnah Nabi, karena sudah berani mengambil bai'at dari orang-orang yang sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan hakiki atau otonomi. Ini adalah berdusta atas nama Nabi. Nabi tidak pernah mengambil bai'at in'iqod dari sahabat yang tidak memiliki wilayah kekuasaan hakiki seperti sahabat muhajirin di fase Mekkah. Juga Nabi tidak pernah mengambil bai'at ta'at sebelum punya kekuasaan hakiki.

Khilmus mengklaim sebagai khilafah ala minhajin nubuwwah. Tapi khilmus tidak mengikuti sunnah Alkhulafa Arrosyidin sebagai pemilik khilafah ala minhajin nubuwwah dalam mengambi bai'at in'iqod maupun bai'at ta'at setelah memiliki kekuasaan hakiki, dalam menerapkan Islam secara kaffah dan dalam melakukan futuhat guna menambah wilayah kekuasaannya.

Dengan dua dusta di atas, Khilmus terus menerus mengajak ummat untuk berbaiat, mendengar dan ta'at kepada khalifah palsunya, bahkan menarik berbagai infak dari warganya. Khilmus juga telah memakai simbol-simbol atau nama-nama struktur khilafah dalam struktur administrasinya.

Selanjutnya Khilmus khilafah palsu itu benar-benar sedang mempraktekkan kepalsuannya, yaitu dengan menganggap salah, sesat sampai syirik kepada umat Islam yang menolak bergabung kepadanya. Sungguh terlalu! Bersegeralah bertaubat wahai saudara-saudaraku!

TERAKHIR :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al harrani rh berkata :
بل الواجب خلافة النبوة، لقوله صلى الله عليه وسلم : عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فكل بدعة ضلة، بعد قوله : من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا. وهذا أمر وتحضيض على لزوم سنة الخلفاء، وأمر بالاستمساك بها، وتحذير من المحدثات المخالفة لها، وهذا الأمر منه والنهي دليل بين في الوجوب.
"Tetapi yang wajib adalah Khilafah Nubuwwah ('alâ minhâjin nubuwwah), berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Beepegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin setelahku, pegang teguh dan genggam erat-eratlah ia. Dan jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap bid'ah itu sesat", yaitu setelah beliau bersabda: "Barang siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku nanti akan menjumpai perselisihan yang banyak". Ini merupakan perintah dan anjuran keras untuk menetapi sunnah para khalifah tersebut (khulafa' rasyidin), dan perintah untuk berpegang teguh padanya, serta peringatan atas perkara-perkara bid'ah yang menyalahinya (menyalahi sunnah khulafa rasyidin). Adanya perintah sekaligus larangan dari beliau ini merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa khilafah itu wajib." (Ibnu Taimiyyah, Alkhilafah Walmulk, hlm 28).

Walhasil, berkhilafah itu harus jujur, tidak dusta dan tidak menipu. Berkhilafah ala minhajin nubiwwah harus benar-benar mengikuti sunnah Nabi saw dan sunnah Alkhulafa' Arrosyidin. Semoga bermanfaat. Aamiin.

 

KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH

 KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH


Oleh: Ust Yuana Ryan Tresna, M.Ag

(Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah)


Khalifah dan Khilafah


Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,


 أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).


Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian...”


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain dan ia berkomentar, "Hadits ini sahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.


Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, "Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.


Kemudian Beliau bersabda, "Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa’ur Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.


Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imamah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.


Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,


الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به


Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.[1]


Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,


الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا


Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.[2]


Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,


الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا


 Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.[3]


Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,


الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …


…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.[4]


Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar[5], lalu Al-Ghazali menegaskan,


الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع


Al-dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[6]


Konsep al-Dar


Bahasan tersebut di atas terkait dengan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan adanya sistem Khilafah. Adapun terkait dengan konsep negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan Islam, para ulama membahas dalam bahasan al-Dar.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أُدْعُهُمْ  إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ


"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul  Islam   yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”


Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,


"Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar al-Syirk telah dihalalkan".[7] 


Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'i. Sedangkan penduduk Dar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya[8].


Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasannya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al-Hijrah dan Dar al-Islam.  Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."[9]


Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Dar al-Islam, adalah istilah syar'i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan Dar al-Kufr.


Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka.   Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. 


Al-Kasa’i di dalam kitab Bada’i' al-Shana’i', mengatakan,


"Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dar Kufr (negeri kufur)  bisa berubah menjadi Dar al-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana.  Mereka berbeda pendapat mengenai Dar al-Islam; kapan ia bisa berubah menjadi Dar al-Kufr?  Abu Hanifah berpendapat; Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Dar al-Kufr.  Ketiga, kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, "Dar al-Islam berubah menjadi Dar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.”[10]


Di dalam Hasyiyah Ibnu 'Abidin atas kitab Al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, disebutkan, "Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dar Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat.  Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."[11]


Dengan demikian Dar al-Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim. Dar al-Kufr adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.


Al-Dar dan Tatanegara Modern


Konsep Dar al-Islam tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara modern. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain adalah:


• Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi, jika  ada batas wilayah negara yang jelas.


• Hukum jihad fi sabilillah. 

Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39.


• Hukum perjanjian antar negara. 

Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr (lihat QS. At-taubah: 4)


• Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. (Lihat QS. Ali Imran: 200)


• Hukum hijrah. 

Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” 


Imam Bukhari meriwayatkan hadits, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.


Kesimpulan


Mengatakan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam namun bukan sebuah sistem tatanegara, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a'lam.


Bandung, 9 Rabi'ul Awwal 1441 H


*) Disadur dari kata pengantar (sambutan) penulis pada Buku "Fiqih Khilafah dalam Madzhab Syafi'i"


===

[1] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5

[2] Al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15

[3] Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Juz 7, hlm. 289

[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.

[5] Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128.

[6] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, Imam al-Qal’i al-Syafi’i, Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi, dan lainnya.

[7] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 60.

[8] Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital, juz 1, hlm. 661

[9] Abu Yusuf, al-Kharaj, hlm. 155-156.

[10] Al-Kasa’i, Bada’i' al-Shana’i', juz 7, hlm. 130.

[11] Hasyiyyah Ibnu 'Abidin, juz 3, hlm. 390


------------

Sunday, June 19, 2022

JOGJA TOLAK KHILAFAH ? AHISTORIS

 *JOGJA TOLAK KHILAFAH ? AHISTORIS !*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik


_"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki"_


*[Kutipan Pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada Kongres Umat Islam Indonesia/KMII ke VI di Yogyakarta, 12 Februari 2015]*


Baru saja beredar kabar, aksi bentang Bendera merah putih berukuran tiga kali sembilan puluh meter yang diarak warga Yogyakarta di kawasan Tugu Pal Putih. Mereka mengklaim sebagai Warga Yogyakarta yang menggelar aksi tolak khilafah, radikalisme, dan terorisme. (19/6).


Aksi menolak terorisme dikaitkan dengan Khilafah, adalah framing jahat yang tidak memiliki bukti empirik dan kausalitas secara logika. Secara empirik, tidak ada aksi kekerasan menggunakakan pendekatan teror dan senjata, yang merusak fasilitas publik, membunuh rakyat hingga tentara dan polisi bermotif ingin mendirikan Khilafah. 


Apa yang dilakukan OPM di Papua, yang melakukan kekerasan menggunakakan pendekatan teror dan senjata, yang merusak fasilitas publik, membunuh rakyat sipil hingga aparat TNI Polri, motifnya adalah disintegrasi, ingin memerdekakan Papua. Bukan ingin mendirikan Khilafah.


Sejumlah bahan peledak, senjata AK 47, ratusan amunisi yang ditemukan di Bandung milik orang etnis China, juga bukan untuk tujuan mendirikan Khilafah. Lantas apa dasarnya mengaitkan terorisme dengan Khilafah ?


Secara logika, Khilafah adalah ajaran Islam. Bagaimana mungkin, Islam yang rahmatan lil 'alamin disamakan dengan terorisme ?


Begitu juga dengan radikalisme. Yang menumpuk hutang secara radikal dan brutal hingga lebih dari Rp 7000 triliun bukan Khilafah. Yang ganas dan radikal mengkorupsi dana E KTP hingga bantuan pesantren Rp 2,5 triliun, juga bukan Khilafah.


Mengkhawatirkan ideologi trans nasional ?demokrasi yang diterapkan di negeri ini juga ide trans nasional, bukan produk pemikiran anak Bantul. Kapitalisme yang mencengkeram negeri ini, juga ideologi trans nasional.


Apalagi, mengatasnamakan warga yogyakarta menolak Khilafah, jelas ahistoris. Patut diduga, ini klaim warga yogyakarta abal-abal. Sebab, sejarahnya yogyakarta itu terhubung dengan Khilafah.


Pada saat Pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakartapada Rabu (12/2/2015), dihadapan Wapres Jusuf Kalla dan peserta kongres, Sri Sultan Hamengkubuwono X menjelaskan tentang hubungan Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. Kekhalifahan Utsmani adalah kesultanan terakhir yang membawahi seluruh kerajaan umat Islam di dunia runtuh pada 1924.


Sri Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, menegaskan Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa. Keraton Yogyakarta adalah kelanjutan dari Kesultanan Demak. 


Lah kok tiba-tiba ada secuil orang mengklaim warga yogyakarta menolak Khilafah. Jelas, mau memutarbalikan sejarah. Ingat JAS MERAH. JANGAN LUPAKAN SEJARAH.


Kita tentu lebih percaya keterangan resmi dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menegaskan sejarahnya Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari Khilafah. Ketimbang gerombolan liar yang mengklaim warga yogyakarta tapi anti Khilafah. [].

Saturday, June 18, 2022

MENGENAL APA ITU GHARIZAH (NALURI

 MENGENAL APA ITU GHARIZAH (NALURI)


Naluri adalah potensi alami yang ada pada diri manusia untuk menjaga dan melestarikan kelangsungan hidupnya, kelangsungan spesiesnya agar mendapat petunjuk mengenai adanya Al khaliq (Sang Pencipta).


Sebagaimana yang kita ketahui, naluri tidak dapat di indera secara langsung. Beda dengan akal yang kita miliki saat ini, ia mampu mengindera eksistensinya melalui penampakan-penampakannya.


Sebenarnya ada banyak pendapat mengenai jenis-jenis naluri pada manusia misal seperti rasa takut, keibuan, kebapakan, kasih sayang, ingin memiliki, ingin tahu, dan masih banyak lagi. 


Namun Menurut pendapat Syaikh Taqiyuddin An Nabhani semua itu hanyalah penampakan atau menifestasi dari tiga jenis naluri di bawah ini di antaranya :


1. Gharizah al-baqa’ (Naluri mempertahankan diri)


Adapun wujud naluri mempertahankan diri ini terlihat saat manusia mempertahankan dirinya, membela tanah air dan tempat kelahirannya, keinginan memimpin, menguasai dan mendominasi orang lain, dan sebagainya (Abdurrahman, 2015). 

Setiap manusia mempunyai keinginan untuk memiliki, 

merasa takut, berani, senang berkelompok dan berbagai aktifitas sejenis, yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri.

Rasa takut ini bukanlah naluri keinginan untuk memiliki, bukan naluri berani, dan bukan juga naluri senang dan berkelopok, bukan naluri dst. Namun semua ini hanyalah manifestasi atau penampakan dari Gharizah al-baqa’ (naluri mempertahankan diri) (Rodhi, 

2012).


2. Gharizah al-nau’ (Naluri melestarikan keturunan)


Adapun tujuan dari penciptaan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan (An Nabhani, 2015).

Namun, sekalipun naluri melestarikan jenis ini

dapat dipuaskan oleh manusia dengan sesama jenisnya misal antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita dan dapat pula dipuaskan dengan binatang atau dengan sarana-sarana lain. Akan tetapi cara semacam itu tidak akan mungkin dapat mewujudkan tujuan diciptakannya naluri tersebut kecuali pada satu kondisi saja, yaitu pemenuhan naluri tersebut oleh seorang wanita dengan seorang pria atau sebaliknya (An Nabhani, 2015).


3. Gharizah al-tadayyun (Naluri beragama)


Gharizah al-tadayyun (Naluri beragama) yang membangkitkannya adalah berpikir tentang ayat-ayat Allah SWT, hari kiamat, atau sesuatu yang berkolerasi dengannya, bisa dengan melihat keindahan ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi. (Ismail, 2004) 

Adapun manifestasi atau wujud dari naluri ini adalah untuk menyucikan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai Sang Pencipta atau Sang pengatur segala sesuatu yang diilustrasikan sebagai manifestasi Sang Pencipta. Terkadang takdis nampak dengan manifestasi yang sebenarnya maka menjadi ibadah, terkadang pula nampak dengan gambaran paling minim yaitu berupa penghormatan dan pengagungan. (An Nabhani, 2015)


Copast tulisan kak Hayya Alal Falah II

Thursday, June 16, 2022

Membahas thariqul iman

 Saat membahas Thariqul Imam Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yg merupakan pembahasan akidah, lantas dimana posisi Akidah 50 nya aswaja (20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, 1 sifat jaiz Allah, 4 sifat wajib rasul, 4 sifat mustahil rasul, 1 sifat jaiz rasul) dan posisi Tauhid nya Salafi (tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid asma wa shifat)? Sebab, ini yg paling banyak dipahami mayoritas kaum muslim seperti ini.


***


Pertanyaan semacam ini termasuk pertanyaan tak terduga. Maksudnya, tidak diduga akan ditannyakan dalam diskusi. Dan kemarin ada liat diskusi yg mirip-mirip dengan tema nya itu. Alhamdulillah saat itu bisa menjawab walau harus berpikir keras.


Pertama, apa yang kita bahas dalam bab thariqul iman adalah tentang bagaimana kita itu beriman, bagaimana kita mengimani Allah, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, serta segala yang diberitakan oleh Allah maupun rasul-Nya, dan membahas tentang konsekuensi atau dampak dari keimanan-keimanan itu terhadap tindak tanduk atau tingkah laku manusia dalam hidup di dunia. Jadi yang dibahas dalam bab thariqul iman ini adalah bagaimana cara beriman, dan jika sudah beriman lantas apa konsekuensinya bagi manusia. Begitu. 


Karena itulah kalimat pertama yang sampaikan penulisnya adalah "bagaimana membangkitkan manusia", yaitu bangkit dari yang semula berperilaku "tanpa keimanan" menuju perilaku "dengan dasar keimanan". Sebab, dari pembahasan thariqul iman ini kita jadi paham dan menyadari bahwa kita itu berasal atau diciptakan oleh Allah, kita itu terikat dengan-Nya (dengan aturan-aturan-Nya), kita itu memiliki misi di dunia yaitu untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan kita, dan dari pertanggungjawaban itu kita akan berakhir di surga atau di neraka, maka berperilakulah baik di dunia dengan menjalankan syariat-Nya. Inilah sebenarnya isi dari bab thariqul iman, yaitu iman yang berdampak pada amal perbuatan. Simpel.


Kedua, adapun berkaitan dengan tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid asma' wa shifat; juga tauhid untuk mengimani sifat wajib dan sifat mustahil Allah, juga sifat jaiz-nya, ini semua sebenarnya pembahasan "lebih lanjut" dari pembahasan thariqul iman. Sebab, thariqul iman adalah membahas bagaimana kita beriman, dan bagaimana konsekuensi iman terhadap perilaku manusia, yang dengan itu, maka manusia menjadi bangkit. Begitu. Dilihat dari sisi bangkitnya manusia (dari yang semula berperilaku "tanpa keimanan" menjadi berperilaku "atas dasar keimanan"), maka pembahasan thariqul iman ini saja sebenarnya sudah mencukupi untuk membangkitkan manusia, sekalipun tanpa perlu pembahasan "lebih lanjut". Mohon maaf, pemahaman ini jangan diartikan bahwa kita itu merendahkan atau menganggap rendah konsep akidah aswaja atau ketauhidan salafi. Sama sekali tidak. 


Ketiga, pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah, asma wa sifat; juga terkait sifat wajib dan mustahil allah atau sifat jaiz-nya, ini semua adalah pembahasan terkait akidah yang muncul setelah kemunculan mutakallimin atau ahli kalam. Sebelumnya, pembahasan seperti ini belum dikenal. Pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat itu didengungkan pertama kali (sebagai sebuah konsep ketauhidan) oleh Imam Ibnu Taimiyah al-Harrani, yang kemudian diteruskan oleh murid beliau Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan di masa modern digencarkan lagi oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab. Tentang hal ini bisa dipelajari sendiri secara lebih lanjut di buku-buku yang membahas tentang hal tersebut.


Adapun ketauhidan berkaitan dengan akidah aswaja (ahlussunah wal jamaah) yang membahas sifat Allah, seperti 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil Allah, juga sifat jaiz-Nya; juga 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil rasul, serta 1 sifat jaiz rasul; konsep akidah semacam ini banyak dianut di kalangan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Tentang hal ini juga bisa dipelajari sendiri secara lebih lanjut. 


Dua pembahasan terkait tauhidnya Ibnu Taimiyah dengan Abu Hasan al-Asy'ari, memang di kalangan pendukungnya sering terlihat kurang akur, saling bertentangan satu sama lain, walau sama-sama mengaku sebagai ahlussunah.


Hanya saja, pembahasan di dalam bab thariqul iman ini memang tidak difokuskan pada pembahasan tentang sifat Allah, kuasa Allah. Tidak. Akan tetapi pembahasan tentang thariqul iman ini lebih difokuskan untuk mengaitkan antara akidah dengan kebangkitan manusia, kebangkitan umat. Karena itu, penulisnya (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani) menghindari pembahasan yang rawan konflik seperti ini. Penulisnya sendiri memiliki pandangan khusus terkait pembahasan sifat Allah. Tentang hal ini bisa dibahas di buku-buku beliau yang lain seperti Syakhshiyyah al-Islamiyah misalnya. Akan tetapi, pembahasan tentang hal ini disinggung sedikit di bab qadha dan qadar, yang merupakan bab lanjutan setelah bab thariqul iman. Jadi, pembahasan seputar sifat Allah (walau masih seputar akidah) lebih tepat bukan dibahas di bab thariqul iman, malah lebih pas dibahas di bab qadha qadar.


Di bab qadha dan qadar sendiri, penulisnya (Syaikh an-Nabhani) mengkritik Ahlussunah yang inginnya menyelesaikan konflik antara Muktazilah dan Jabbariyah seputar qadha dan qadar (yang bisa meluas ke sifat Allah), namun justru membikin konsep sendiri yang menurut Syaikh an-Nabhani malah membingungkan.


Uniknya, ada beberapa teman ahlussunah versi salafi yang seringkali marah dan mengkritik Syaikh an-Nabhani, karena merasa dikritik di bab qadha dan qadar itu. Padahal, yang dikritik Syaikh an-Nabhani itu bukan ahlussunah versi salafi atau Ibnu Taimiyah, tapi ahlussunah nya Abu Hasan al-Asy'ari.


Ketiga, apa pun itu pembahasannya, sungguh sangat tidak layak jika kemudian harus berakhir konflik atau kericuhan di antara sesama saudara satu akidah, yaitu akidah Islam. Justru Syaikh an-Nabhani mengambil sikap terbaik di antara semuanya, yaitu membahas akidah dalam kaitannya dengan kebangkitan manusia atau kebangkitan umat. Dan memang itulah yang dibutuhkan umat saat ini, yaitu bangkit dari kondisi yang tidak islami menuju kondisi yang islami, bangkit dari peradaban buruk menuju peradaban mulia dengan Islam. Inilah yang sebenarnya jauh lebih dibutuhkan umat sekarang. Bukannya menyibukkan diri dengan pembahasan yang malah memancing keributan di dalam internal kaum muslim. Justru faktanya umat jadi tersibukkan sendiri dengan "pertikaian" di antara mereka dalam persoalan akidah. Padahal ada banyak persoalan yang lebih penting untuk dihadapi umat daripada saling bertikai di antara saudara.


Kembali pada pertanyaan di atas : dimana posisi tauhidnya salafi dan akidahnya aswaja dalam pembahasan thariqul iman? Jawabannya adalah sebagai berikut.


Bahwa kaum muslim harus meyakini atau mengimani Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, Pemberi rezeki, Yang maha menghidupkan dan mematikan.. (tauhid rububiyah)


Bahwa kaum muslim harus meyakini atau mengimani bahwa Allah adalah Zat Yang esa, hanya yang berhak disembah dan diibadahi.. (tauhid uluhiyah)


Bahwa sifat Allah itu tidak serupa dengan makhluk (tauhid asma wa sifat)


Bahwa Allah itu memiliki sifat wajib sepeti wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu bi nafsihi, wahdaniyah, sama', bashar, dll.. Juga sifat mustahil seperti adam, huduts, fana, qiyamuhu li ghairihi, mumatsalatu li hawaditsi, ta'addud, karahah, jahlun, dll.. Atau sifat jaiz bahwa Allah boleh melakukan apa saja dan meninggalkan apa saja yang mumkin.. 


Ya, itu semua adalah keyakinan. Penulisnya sendiri dalam thariqul iman berpandangan bahwa akidah wajib ditetapkan berdasarkan dalil qath'i yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. Karena itu, membahas konsep tauhid apapun (entah itu tauhidnya salafi atau akidahnya aswaja) selama ditetapkan berdasar dalil qath'i maka tidak ada persoalan.


Dan dalam bab thariqul iman, Syaikh an-Nabhani sebenarnya lebih memilih membahas akidah yang dikaitkan dengan kebangkitan umat (iman yang berpengaruh pada perilaku seorang muslim), bukan sedang membahas akidah yang dikaitkan dengan konsep-konsep seperti di atas.


Wallahu a'lam.

MENJAWAB SYUBHAT AKIDAH HIZBUT TAHRIR TIDAK SAMA DENGAN AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH*

 *MENJAWAB SYUBHAT AKIDAH HIZBUT TAHRIR TIDAK SAMA DENGAN AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH*


_KH. Syamsuddin Ramadhan_


Sebagian penebar syubhat menyatakan bahwa ’aqidah Hizbut Tahrir tidak sama dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahkan condong kepada Mu’tazilah.  Sebagian lagi berusaha mengesankan, bahkan menyatakan dengan sharih bahwa Hizbut Tahrir adalah kelompok sesat karena memiliki ’aqidah yang bertentangan dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.  Dengan mengutip beberapa kitab mutabannat, seperti Kitab Nidzam al-Islaam, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah Juz 1, dan lain-lain, mereka ingin membuktikan bahwa apa yang mereka nyatakan itu memang benar merupakan bentuk kesesatan pemikiran Hizbut Tahrir. 


Ada pula yang menyatakan bahwasanya Hizbut Tahrir menolak qadla` dan qadar.  Sebagian lain menyatakan bahwasanya pandangan Hizbut Tahrir tentang perbuatan manusia tidak sama dengan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyyah) sehingga dengan prematur menyematkan kesesatan pada Hizbut Tahrir.


Sebagian lagi menyatakan bahwasanya seseorang baru absah disebut ahlus sunnah wal jama’ah jika dalam bidang ’aqidah mengikuti paham Asy’ariyah dan Maturidiyah, sedangkan dalam bidang fikih mengadopsi salah satu dari Imam empat madzhab, dan mengikuti tasawwuf mu’tabar.   

 

Jawab:


Adapun pernyataan "aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah ahlus sunnah wal jama’ah",  harus diperjelas terlebih dahulu apa hakekat yang dituju oleh pernyataan tersebut, agar ia bisa ditanggapi dengan tepat, dan tidak salah sasaran.


Kemungkinan pertama; jika yang dimaksud ”aqidah” di sini adalah pokok ’aqidah atau ushuluddin, maka statment di atas jelas-jelas keliru.   Bahkan, bila yang dituju dari statement [’aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah] adalah perbedaan dalam perkara ushuluddin, maka pembuat statement di atas secara sadar atau tidak sadar telah melakukan ”pengkafiran” terhadap anggota-anggota Hizbut Tahrir, tanpa melakukan konfirmasi, tabayyun, dan diskusi terlebih dahulu.   Perbuatan semacam ini jelas-jelas tercela, bahkan bisa-bisa kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri.  


Sesungguhnya, seluruh kaum Mukmin –termasuk di dalamnya Hizbut Tahrir--- tidak pernah berselisih pendapat dalam perkara-perkara ’aqidah atau ushuluddin yang ditetapkan berdasarkan dalil ’aqliy dan dalil naqliy yang qath’iy, seperti keimanan terhadap eksistensi Allah, keesaaan Allah, sucinya Allah dari sifat-sifat kurang, Allah tidak memiliki sekutu, anak, isteri, dan lain sebagainya.  Begitu pula keimanan terhadap al-Quran sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi saw, kemaksuman Nabi Mohammad saw, hari kiamat, malaikat-malaikat, dan keimanan terhadap qadla’ dan qadar, dan perkara-perkara qath’iy lainnya.  Di dalam Kitab-kitab Mutabannat, Hizbut Tahrir telah merumuskan pokok-pokok keimanan yang wajib diyakini oleh seluruh kaum Muslim.  ’Allamah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy rahimahullah menyatakan:


"العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيماناً. إذ لا يكون تصديقاً جازماً إلا إذا كان ناجماً عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقاً فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيماناً. وعليه فلابد أن يكون التصديق عن دليل حتى يكون جازماً أي حتى يكون إيماناً. ومن هنا كان لابد من وجود الدليل على كل ما يُطلب الإيمان به حتى يكون التصديق به إيماناً. فوجود الدليل شرط أساسي في وجود الإيمان بغض النظر عن كونه صحيحاً أو فاسداً..." 

"'Aqidah Islaamiyyah adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab SuciNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, serta qadla' dan qadar, baik buruknya dari Allah swt.  Makna "al-iman" adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi'  'an daliil" (pembenaran yang bersifat pasti, berkesesuaian dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil)".  Sebab, jika "tashdiiq" (pembenaran) tidak ditunjang oleh dalil, maka "tashdiiq" seperti ini tidak disebut dengan "iman".  Pasalnya, sebuah pembenaran (tashdiiq) tidak akan menjadi pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiq al-jaazim), kecuali muncul dari dalil. Jika sebuah pembenaran tidak memiliki dalil (bukti), maka pembenaran tersebut tidak memiliki kepastian.  Pembenaran yang tidak ditunjang oleh dalil hanya akan menjadi pembenaran terhadap suatu khabar dari khabar-khabar yang ada; dan tidak dianggap sebagai iman.  Oleh karena itu, sebuah pembenaran (tashdiiq), baru dianggap pembenaran yang bersifat pasti atau iman, jika pembenaran tersebut ditunjang oleh dalil.  Atas dasar itu,  adanya sebuah dalil yang menunjang setiap perkara yang wajib diimani, sehingga sebuah "tashdiiq" disebut dengan "iman"; merupakan sebuah keharusan.  Keberadaan dalil merupakan syarat asasi dalam keimanan, tanpa memandang apakah keimanan itu shahih atau fasid..." [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 29.  Bandingkan dengan Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966, hal.56; Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dhann fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22]


Jika realitas ‘aqidah Hizbut Tahrir seperti di atas, lalu bagaimana bisa dinyatakan ‘aqidah Hizbut Tahrir –maksudnya perkara ushuluddin-- tidak sama dengan ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah? 


Kemungkinan kedua, jika yang dimaksud ”’aqidah” adalah perselisihan pendapat ulama ahlus sunnah dalam masalah-masalah ”’aqidah” yang terkandung dalam dalil-dalil dhanniy, maka adanya perbedaan pandangan dalam perkara-perkara ”keyakinan yang dhanniy” tersebut merupakan perkara yang lumrah dan wajar.   Para ulama mu’tabar kadang-kadang berbeda pendapat dalam perkara-perkara keimanan yang dalilnya dhanniy.  Semampang perbedaan pendapat tersebut bersumber dari perbedaan pendapat dalam memahami dalil-dalil dhanniy, tidak ada alasan bagi seorang Muslim menghukumi saudaranya yang berbeda pandangan dengan dirinya dengan predikat fasiq, dhalim, sesat, kafir, atau keluar dari gugusan ahlus sunnah wal jama’ah.   Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah tasmiyah termasuk bagian surat al-Fatihah atau tidak; [Lihat, salah satunya di dalam Kitab al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran karya Imam Qurthubiy al-Maliki, dan lain-lain], dan juga perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ”keyakinan” yang dalilnya dhanniy.  


Hizbut Tahrir sendiri, sejauh pengamatan al-faqir, tidak membahas perkara-perkara keimanan yang disangga oleh dalil-dalil dhanniy.   Pasalnya, Hizbut Tahrir tidak memfokuskan diri pada debat dan diskusi dalam perkara-perkara khilafiyyah (mukhtalafu fiih), tetapi ia konsens berjuang di tengah-tengah umat untuk menegakkan kembali syariat Islam secara kaaffah dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah.  Selain itu, perkara ’aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.   Memperdebatkan dalil-dalil dhanniy, lebih-lebih lagi yang berbicara mengenai persoalan keimanan, selain tidak produktif, jika akan memancing terjadinya perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim.    Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bukan tidak peduli atau bodoh dalam perkara-perkara semacam ini, namun, Hizbut Tahrir tidak mengangkat masalah ini di ranah diskusi semata-mata karena menghindari perpecahan dan friksi di tengah-tengah kaum Muslim –khususnya masyarakat awam; serta agar umat tetap fokus pada persoalan-persoalan yang lebih penting, yakni mendirikan Khilafah agar syariat Islam terterapkan secara sempurna. 


Kemungkinan ketiga; jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah kelompok yang berjalan di atas sunnah dan hidup di bawah naungan seorang pemimpinan (Khalifah); atau  jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah pemahaman dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan  para shahabat,  maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Hizbut Tahrir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gugusan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.  Begitu pula jika yang dimaksud ahlus sunnah wal jama’ah adalah pandangan dan metode berfikir yang digariskan fukaha, seperti Imam Malik, Imam Syafi’iy, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama-ulama mu’tabar lain dalam memahami ayat-ayat Shifat,  maka kami nyatakan dengan tegas bahwasanya Hizbut Tahrir masuk dalam gugusan mereka, dan sejalan dengan pemikiran dan pandangan mereka tanpa pernah menyimpang sedikitpun.   Bahkan pandangan ’aqidah dan metodologi berfikir Hizbut Tahrir dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihat mengikuti pandangan dan  metodologi berfikir para fukaha mu’tabar.   Oleh karena itu, statement [’aqidah Hizbut Tahrir berbeda dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah] jelas-jelas tuduhan dusta dan salah –jika yang dimaksud ’aqidah seperti kemungkinan ketiga. 


Kemungkinan keempat, jika yang dimaksud Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang menjadikan pemikiran Imam Asy’ari dan Imam Maturidiy sebagai anutan, serta anjuran untuk mengikuti pandangan keduanya agar sah disebut ahlus sunnah wal jama’ah, maka [dengan merujuk penjelasan ulama-ulama mu’tabar dan pendapat Hizbut Tahrir yang terdapat di dalam kitab-kitab mutabannat], al-faqir perlu menjelaskan beberapa point penting yang relevan dengan syubhat tersebut; yakni: (1) dalam konteks ushuliy, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim, bahwasanya acuan (dalil) untuk merumuskan pokok-pokok ‘aqidah bukanlah pendapat ulama, akan tetapi dalil ‘aqliy dan naqliy (al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas).  Pendapat ulama bukanlah dalil dan tidak boleh dijadikan dalil.  Begitu pula metode yang harus diadopsi untuk merumuskan prinsip atau perkara ‘aqidah, termasuk di antaranya metode memahami ayat-ayat yang berbicara tentang Asma` wa Shifat dan qadla’ qadar, haruslah metode yang diajarkan Nabi saw kepada para shahabat, yakni metode al-Quran yang didasarkan pada penginderaan (manhaj al-Quran ‘ala asaas al-hissi) bukan metode filsafat atau ilmu kalam yang diadopsi dari filosof-filosof Yunani.  Begitu pula penisbahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, harus dikembalikan kepada sumber nisbah, yakni Nabi saw dan para shahabat, bukan selain mereka. 


Memang benar, bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan melakukan ijtihad dan istinbath, diwajibkan untuk mengikuti seorang mujtahid atau ulama yang adil (taqlid).  Pasalnya, tidak semua orang mampu memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah Nabi saw.    Hanya saja, dalam persoalan-persoalan ’aqidah, para ulama sepakat bahwa “taqlid” dalam masalah 'aqidah adalah haram.  Di dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah juz 1, Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menyatakan:


والتقليد في العقيدة لا يجوز لأن الله قد ذم المقلدين في العقيدة، قال تعالى { وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ } وقال تعالى { وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ } . أما التقليد في الأحكام الشرعية فجائز شرعاً لكل مسلم، قال تعالى { فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ } .

”Taqlid dalam ’aqidah tidak boleh (haram), sebab, Allah swt mencela orang-orang yang taqlid dalam ’aqidah.  Allah swt berfirman: [Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"[TQS Al-Baqarah (2): 170]  Allah swt berfirman: [Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”.[TQS Al-Maidah (5):104]  Adapun taqlid dalam hukum-hukum syariat, maka hal itu boleh secara syar’iy bagi setiap Muslim.  Allah swt berfirman:[Artinya: ” maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. [TQS An Nahl (16): 43]


Pendapat seperti ini juga merupakan pendapat ulama-ulama mu’tabar.  Imam Qurafiy dalam Kitab Tanqiih al-Ushuul fi ’Ilm al-Ushuul menyatakan:


ولا يجوز التقليد في أصول الدين لمجتهد ولا للعوام عند الجمهور لقوله تعالى:{ ولا تقف ما ليس لك به علم } ولعظم الخطر في الخطأ في جانب الربوبية بخلاف الفروع فإنه ربما كفر في الأول ويثاب في الثاني جزما. انتهى

”Tidak boleh (haram) taqlid dalam masalah ushuul al-diin baik mujtahid maupun orang awam, berdasarkan Firman Allah swt: [Artinya: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.[TQS Al-Israa` (17):36].  Dan juga karena besarnya bahaya (jika terjatuh) dalam kesalahan pada sisi Rububiyyah (Ketuhanan); berbeda dengan furuu’.  Sesungguhnya kadang-kadang kafir pada yang pertama (--jika salah dalam perkara ushuluddin), dan diberinya pahala bagi yang kedua (masalah furu’) merupakan kepastian (meskipun salah dalam perkara ijtihadiyah atau furu’.pentj)”.[Imam Qurafiy, Tanqiih al-Ushuul fi ’Ilm al-Ushuul, ]


Imam Baidlawiy saat menafsirkan surat Yunus ayat 68 menyatakan:

 

{أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ} توبيخ وتقريع على اختلافهم وجهلهم. وفيه دليل على أن كل قول لا دليل عليه فهو جهالة وأن العقائد لا بد لها من قاطع وأن التقليد فيها غير سائغ. انتهى.

“[Artinya:”Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? [TQS Yunus (10):86]; ini adalah celaan dan teguran atas perselisihan mereka dan ketidaktahuan mereka.  Di dalamnya terkandung dalil yang menunjukkan bahwa setiap perkataan yang tidak ada dalil di atasnya, maka ia adalah kebodohan, dan juga menunjukkan bahwa perkara-perkara ‘aqidah harus bersumber dari yang pasti (dalil qath’iy), dan taqlid dalam perkara-perkara ‘aqidah tidak diperbolehkan. Selesai”. [Imam Baidlawiy, Tafsir Baidlawiy, Surat Yunus 68]. 


Jika taqlid dalam perkara ‘aqidah diharamkan, lantas bagaimana bisa dinyatakan kaum Muslim harus taqlid dengan pendapat ulama tertentu dalam persoalan-persoalan ‘aqidah? 


Memang benar, perkara-perkara sulit, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat, tidak semua orang sanggup memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya.  Dalam konteks seperti ini, kaum Muslim awam tidak dibebani oleh syariat untuk mengkaji dan mendalaminya.  Imam Al-Raziy menyatakan:


القيد الرابع : ليس من شرط الإيمان التصديق بجميع صفات الله عزّ وجلّ؛ لأن الرسول عليه السلام كان يحكم بإيمان من لم يخطر بباله كونه تعالى عالماً لذاته أو بالعلم ، ولو كان هذا القيد وأمثاله شرطاً معتبراً في تحقيق الإيمان لما جاز أن يحكم الرسول بإيمانه قبل أن يجربه في أنه هل يعرف ذلك أم لا . فهذا هو بيان القول في تحقيق الإيمان ، فإن قال قائل : ها هنا صورتان : الصورة الأولى : من عرف الله تعالى بالدليل والبرهان ولما تم العرفان مات ولم يجد من الزمان والوقت ما يتلفظ فيه بكلمة الشهادة . فههنا إن حكمتم أنه مؤمن فقد حكمتم بأن الإقرار اللساني غير معتبر في تحقيق الإيمان ، وهو خرق للإجماع ، وإن حكمتم بأنه غير مؤمن فهو باطل؛ لقوله عليه السلام : « يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان » وهذا قلب طافح بالإيمان ، فكيف لا يكون مؤمناً؟ الصورة الثانية : من عرف الله تعالى بالدليل ووجد من الوقت ما أمكنه أن يتلفظ بكلمة الشهادة ولكنه لم يتلفظ بها فإن قلتم إنه مؤمن فهو خرق للإجماع ، وإن قلتم ليس بمؤمن فهو باطل؛ لقوله عليه السلام : « يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من الإيمان » ولا ينتقي الإيمان من القلب بالسكوت عن النطق . والجواب : أن الغزالي منع من هذا الإجماع في الصورتين ، وحكم بكونهما مؤمنين ، وأن الامتناع عن النطق يجري مجرى المعاصي التي يؤتى بها مع الإيمان .


Batasan keempat; tashdiq  terhadap semua sifat Allah swt tidak termasuk persyaratan iman. Sebab, Rasulullah saw tetap mengakui keimanan orang yang tidak mengetahui apakah Allah Mengetahui karena DzatNya sendiri atau karena IlmuNya.   Seandainya tashdiq terhadap semua sifat Allah termasuk syarat pentahqiqan iman, lalu mengapa Rasulullah saw mengakui keimanan orang tersebut, padahal beliau saw belum mengujinya apakah ia telah mengetahui semua sifat Allah atau belum?   Ini adalah penjelasan mengenai pentahqiqan iman.  Jika ada orang bertanya terhadap dua buah kasus;  pertama; ada orang yang telah mengetahui Allah sw dengan dalil dan bukti.  Setelah pengetahuan itu sempurna, orang tersebut meninggal, namun ia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat.  Dalam kasus ini, jika orang tersebut anda hukumi Mukmin, maka anda pun mengakui bahwa pengakuan lisan (iqraar al-lisaan) bukanlah faktor penentu keimanan.  Dan pendapat ini menyalahi konsensus (ijma').  Namun, jika anda menghukumi dirinya bukan Mukmin, maka inipun bathil; berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah."  Qalbu di dalam hadits ini telah berisi iman.  Lantas, bagaimana mungkin ia tidak termasuk orang Mukmin?  Kedua, ada orang yang mengetahui Allah swt berdasarkan dalil, dan ia masih memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun ia tidak mengucapkannya.  Jika anda menyatakan bahwa ia Mukmin, maka ini telah menyalahi konsensus.  Jika anda katakan ia bukan Mukmin, maka perkataan itu bathil, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah".  Padahal, iman itu tidak akan hilang dari hati, meskipun tidak diucapkan.  Jawabnya: sesungguhnya Imam al-Ghazaliy menolak ijma' dalam dua kasus ini.  Dan ia menghukumi orang yang berada dalam dua keadaan itu sebagai orang Mukmin; sedangkan keengganan untuk mengucapkannya (melafadzkan syahadat) terkategori perbuatan maksiyat setelah hadirnya iman".    


Hanya sebagian kecil ulama yang membolehkan taqlid dalam masalah 'aqidah, yaitu, 'Ubaidullah bin al-Hasan al-'Anbariy, kelompok Hasyawiyah, dan Ta'limiyyah.  Sebagian yang lain malah berpendapat wajibnya bertaqlid dalam masalah 'aqidah.  Menurut mereka al-nadhr (pengamatan) dan ijtihad dalam masalah 'aqidah adalah haram. 


Dituturkan bahwasanya Imam al-Raziy dalam kitab al-Mahshuul dari mayoritas fuqaha menyatakan taqlid dalam masalah 'aqidah adalah boleh, tetapi Ibnu Hajib tidak menuturkan pendapat ini kecuali dari al-'Anbariy saja.


Adapun jumhur 'ulama berpendapat bahwa taqlid dalam masalah aqidah adalah haram.   Abu Ishaq dalam Syarah al-Tartiib menuturkan tentang kesepakatan para ahli ilmu dari berbagai golongan mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah.    Abu al-Husain bin al-Qaththaan menyatakan, "Kami tidak melihat adanya ikhtilaf  dalam hal haramnya taqlid dalam masalah tauhid."    Ibnu al-Sam'aniy menuturkan, bahwa seluruh ahli ilmu kalam dan sekelompok fuqaha telah sepakat mengenai haramnya taqlid dalam masalah 'aqidah.    Menurut Imam al-Haramain, dalam al-Syaamil, tak seorangpun yang berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah kecuali kelompok Hanabilah.  Sedangkan menurut Imam al-Isyfirainiy, yang berpendapat bolehnya taqlid dalam masalah 'aqidah hanyalah ahli dzahir.


Menurut Imam Syaifuddin al-Amidiy al-Hanbaliy tsumma al-Syafi’iy rahimahullah ta’ala, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah.  Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Syafi'iy, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Hanbal.   


Adapun alasan-alasan yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut:


Alasan pertama, pengamatan dan penelitian adalah wajib, sedangkan taqlid meniadakan kewajiban untuk melakukan pengamatan dan penelitian.  Atas dasar itu, taqlid merupakan perbuatan haram, karena telah meninggalkan kewajiban untuk mengamati dan meneliti.    Dalil wajibnya melakukan pengamatan dan penelitian adalah firman Allah swt,


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan."[TQS Al-Baqarah (2):164] 


Rasulullah saw bersabda, "Celakalah bagi siapa saja yang membaca ayat ini, namun tidak pernah memikirkan isinya".   Hadits ini merupakan ancaman bagi siapa yang meninggalkan pengamatan dan pengkajian.  Oleh karena itu, pengamatan dan pengkajian merupakan kewajiban.


Alasan kedua; menurut Imam al-Amidiy, para ulama salaf berkonsensus mengenai wajibnya makrifat kepada Allah swt, baik dalam hal yang boleh bagi Allah dan apa yang tidak boleh bagi Allah swt.   Barangkali ada yang mengatakan, bahwa makrifat kepada Allah juga bisa ditempuh dengan taqlid.  Pendapat ini tertolak karena alasan-alasan berikut ini; (1) orang yang memberikan fatwa dalam masalah 'aqidah tidaklah maksum, dan tidak boleh dianggap maksum.   Karena ia tidak maksum, maka berita yang disampaikannya tidak wajib untuk diimani.   Jika berita yang disampaikannya tidak wajib diimani, berarti berita yang disampaikannya tidak berfaedah kepada ilmu (keyakinan).  (2) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan), tentunya bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu huduts (baru atau diciptakan) akan memperoleh keyakinan sama seperti orang yang mengikuti pendapat bahwa alam semesta itu qadam (awal atau pertama kali).  Padahal hal semacam ini adalah sesuatu yang mustahil; sebab dua keyakinan semacam ini tidak mungkin dikompromikan.   (3) sekiranya taqlid itu menghasilkan ilmu (keyakinan), padahal keyakinan dalam masalah seperti  itu kadang-kadang bersifat dlaruriy atau nadzariy: tentunya keyakinan (ilmu) tersebut tidak boleh bersifat dlaruriy.   Jika tidak bersifat dlaruriy, tentunya akan terjadi perbedaan di kalangan manusia.  Padahal dalam masalah 'aqidah tidak boleh ada perbedaan.  


Alasan ketiga,  al-Quran mencela taqlid dalam masalah 'aqidah, namun tidak dalam masalah syariat.   Adapun nash yang melarang taqlid dalam masalah 'aqidah adalah sebagai berikut;


بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ (.) وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (.) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ءَابَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati pada bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan mengikuti jejak mereka.  Dan demikianlah bahwa Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun di suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati pada bapak kami menganut suatu  agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.  (Rasul itu) berkata, : Apakah (kamu akan mengikutinya juga), sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kami dapati yang dianut oleh bapak-bapak kalian?" Ayat ini mencela orang-orang yang bertaqlid dalam masalah keyakinan; dan masih banyak ayat-ayat lain yang mencela taqlid dalam masalah 'aqidah. 


Selain itu, berpikir menyangkut masalah aqidah adalah mudah, sebab, dalil-dalil yang berkenaan dengan aqidah sangat jelas (tidak perlu ijtihad).   Imam Ahmad menyatakan, "Tanda yang menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang adalah taqlid kepada orang lain dalam masalah aqidah".


Menurut Abu Manshur,  para 'ulama berbeda pendapat mengenai orang yang beraqidah dengan jalan taqlid, atau tidak memahami dalil-dalilnya.  Mayoritas 'ulama berpendapat, mereka tetap Mukmin yang akan mendapatkan syafa'at, namun berpredikat fasiq, dikarenakan meninggalkan istidlal (proses berdalil).    Pendapat semacam ini dipegang oleh mayoritas ulama hadits.  Imam al-Asy'ariy dan mayoritas Mu'tazilah menyatakan; seseorang tidak akan mendapat predikat Mukmin hingga ia meninggalkan taqlid.


Namun, Imam Syaukani membantah pendapat itu dengan menyatakan, bahwa mereka tetap Mukmin dan tidak boleh digelari dengan gelar fasiq.  Sebab, syariat tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya.  


Lantas, apakah bisa diterima secara syar’iy tindakan mengajak atau mendorong kaum Muslim untuk taqlid dalam perkara ‘aqidah; sementara itu mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah justru melarangnya?  


Statement yang menyatakan bahwa “seseorang baru sah disebut ahlus sunnah wal jama’ah” setelah ia mengikuti (taqlid) pandangan Imam Asy’ari dan Imam Maturidiy dalam persoalan ’aqidah, sesungguhnya merupakan statement yang ”tidak sepenuhnya benar”, dan harus dirinci dan didudukkan secara proporsional agar tidak menyalahi kaedah-kaedah mapan yang telah digariskan ulama ahlus sunnah wal jama’ah.   Alasannya: (1) jalan penetapan ’aqidah (itsbat ’aqidah) itu mudah dan setiap orang pasti sanggup menempuhnya secara mandiri, khususnya itsbat tentang eksistensi Allah swt, kenabian Nabi Mohammad saw, dan keberadaan al-Quran sebagai Kalamullah.  Tiga perkara ini merupakan pokok ’aqidah Islamiyyah yang mendasari semua perkara ’aqidah, yang mana para ulama mu’tabar melarang taqlid di dalamnya.  Atas dasar itu, keimanan seorang Mukmin terhadap tiga perkara ini tidak boleh karena taqlid (mengikuti pendapat ulama), tetapi karena berfikir mandiri.   Kemandirian berfikir dalam perkara ’aqidah meniscayakan adanya kemudahan bagi seluruh kaum Muslim, baik yang pandai maupun awam.  Seandainya seseorang baru absah disebut ahlus sunnah wal jama’ah setelah mengikuti pandangan Imam Asy’ari dan Maturidiy, tentu ini akan sangat menyulitkan kaum Muslim, khususnya kaum awam.  Hal ini tentu menyalahi kaedah-kaedah dasar yang telah digariskan sejak masa Nabi saw dan para shahabat.  (2) Adapun dalam konteks memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah yang berbicara mengenai ’aqidah; dalam hal ini ada dua ranah.  Jika nash-nash tersebut qath’iy dilalah, maknanya bisa dipahami dengan mudah tanpa membutuhkan curahan tenaga dan kesulitan yang besar.  Sebab, makna yang terkandung di dalam nash-nash tersebut amat jelas, tidak multi tafsir, dan juga tidak membutuhkan penalaran yang njlimet; dan tidak ada ijtihad dalam nash-nash qath’iy dilalah.   Contohnya adalah nash-nash yang bertutur tentang keesaaan Allah, keberadaan hari kiamat, surga dan neraka, malaikat, jin, setan, dan sebagainya.  Adapun jika makna yang terkandung di dalam nash-nash tersebut musykil (sulit) dan membutuhkan kemampuan (kafaah) yang lebih, maka orang awam tidak dibebani untuk mengetahuinya terlalu rinci dan mendalam.  Ia bisa taqlid, atau mengikuti penjelasan ulama mu’tabar mengenai makna yang terkandung dalam nash tersebut.  Bahkan, ia tidak diperkenankan menafsirkan sendiri nash-nash dhanniy tersebut.  Sebab, ia tidak memiliki kemampuan dan kelayakan yang memadai.   Hanya saja, pemaknaan terhadap nash-nash dhanniy tersebut ---khususnya ayat-ayat Shifat--, harus tunduk di bawah ketentuan penafsiran yang lurus, yakni dipahami dengan cara taslimiy (tunduk patuh), dengan tidak mempertanyakan kaifiyyah dan mahiyyahnya.


Point kedua, metode filsafat yang digunakan ulama ahlu kalam untuk membahas ayat-ayat Asma` wa Shifat bukanlah metode yang selamat.  Sejauh pengamatan dan pengkajian al-faqir, Hizbut Tahrir berpandangan bahwasanya metode memahami al-Quran dan Sunnah –termasuk di dalamnya nash-nash yang bertutur tentang Asma` wa Shifat, harus didasarkan pada metode syar’iy yang ditempuh para shahabat dan para fukaha (manhaj al-fuqahaa), seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy, dan Imam Ahmad bin Hanbal, bukan ta`wil atau tafsir versi mutakallimiin yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani.


Berikut ini akan kami ketengahkan pandangan Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’iy, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal, tentang ayat-ayat Asma` wa Shifat, serta metode (manhaj) berfikir mereka dalam memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang kami sarikan dari sebuah adikarya luhung dari al-’Alim al-’Allamah Syaikh ’Izzuddin’Hisyam bin Abdul Karim al-Badraniy, Asmaa`u al-Allah wa Shifatuhu (Manaahij al-Adillah fi Bahts Asmaa`i al-Allah wa Shifaatihi). 


Imam Abu Hanifah rahimahullah


Imam Abu Hanifah ra menolak pandangan kaum al-Musyabbihah (kelompok yang mendiskripsikan Shifat Allah sebagaimana shifat yang dimiliki makhlukNya) dan al-Mu’aththilah (kelompok yang menafikan Shifat-shifat Allah) tentang Asmaa`u al-Allah dan ShifatNya.  Di dalam Kitab Tahdziib al-Tahdziib dituturkan:


أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه

”Telah mendatangi kami dari timur, dua pemikiran menjijikkan, Jahm yang Mu’aththil dan Muqatil yang Musyabbih”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Tahdziib al-Tahdziib, Juz 32/283. Maktabah Syamilah.  Lihat juga Imam Khathib al-Baghdadiy, Tarikh al-Baghdad, Juz 13/164].  


Dari pernyataan Imam Abu Hanifah di atas, tampak jelas bahwa perdebatan tentang Asma` dan ShifatNya dalam bentuk seperti apa yang dilakukan oleh kelompok musyabbih atau mu’aththil, tidak pernah dikenal sebelumnya.  Perdebatan dua kelompok tersebut mengenai ayat-ayat Shifat merupakan perkara baru, dan bertentangan dengan ”urf umum” kaum Muslim sebelumnya.  Perkataan beliau [telah mendatangi kami dari timur] menunjukkan bahwasanya pendapat kelompok musyabbih dan mu’aththil serta metodologi mereka dalam menafsirkan al-Quran, khususnya ayat-ayat Shifat adalah perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya. 


Imam Abu Hanifah juga berkata:


أَفْرَطَ جَهْمُ فِي النَّفْيِ حَتَّى قَالَ: إنَّ اللهَ لَيْسَ بِشَئٍ، وَأَفْرَطَ مُقَاتِلُ فِي الإثْبَاتِ حَتَّى جَعَلَ للهَ تَعَالَى مِثْلَ خَلْقِهِ

”Jahm berlebih-lebihan dalam penafian, sampai-sampai ia berkata, ”Sesungguhnya Allah tidak memiliki apa-apa”. Sedangkan Muqatil berlebih-lebihan dalam penetapan (istbat), sampai-sampai ia menjadikan Allah seperti makhlukNya”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Baariy].


Pernyataan Imam Abu Hanifah ”[berlebih-lebihan/afrath]” menunjukkan bahwa kelompok musyabbih dan mu’aththil tidak bisa berinteraksi dengan nash-nash al-Quran secara proporsional sesuai dengan topiknya.  Pernyataan Imam Abu Hanifah juga menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan metodologi dua kelompok itu dalam memahami nash-nash al-Quran, serta tidak menyetujui tata cara istidlal keduanya terhadap ayat-ayat Shifat. Menurut beliau, dua kelompok tersebut telah terjatuh pada ifrath wa tafrith (berlebih-lebihan hingga melampaui batas). 


Imam Malik rahimahullah


Adalah Imam Malik rahimahullah, Imam Daar al-Hijrah, beliau bersikap sangat keras kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang tatacara istiwaa` Allah swt di ’Arsy.  Beliau mendapati dari penanya sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya.  Seolah-olah beliau disambar petir karena kebodohan dan kelancangan si penanya.   Tidak hanya itu saja, beliau rahimahullah menganggap penanya tatacara istiwaa` sebagai ahli bid’ah, dan memerintahkan agar orang itu keluar dari majelisnya.  


Dituturkan dari ’Ali bin al-Rabi’ al-Tamimiy al-Muqriy, bahwasanya ia berkata, ”Telah meriwayatkan kepada kami ’Abdullah bin Abi Dawud: Telah meriwayatkan kepada kami, Salamah bin Syabib: Telah meriwayatkan kepada kami, Mahdiy bin Ja`far dari Ja’far bin ’Abdullah, bahwasanya ia berkata:


جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى  قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال  فسرى عن مالك فقال الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج 

”Seorang  laki-laki mendatangi Malik bin Anas, seraya bertanya, ”Ya Aba ’Abdillah, Yang Maha Rahman bersemayam di atas ’Arsy, lalu bagaimana cara Dia bersemayam? Perawi berkata, ”Tidaklah aku menyaksikan  Imam Malik mendapati sesuatu sebagaimana ia mendapati dari pernyataannya, dan beliau ra mengucurkan keringat.  Perawi berkata, ”Orang-orang pun tertunduk dan menantikan apa yang akan datang dari beliau.  Perawi berkata lagi, ”Lalu, datanglah ketenangan dari Imam Malik, seraya beliau berkata, ”Tatacaranya tidak diketahui, dan istiwaa`Nya tidaklah majhul (tidak diketahui), dan iman kepadanya adalah kewajiban, dan bertanya tentang tatacara istiwa`Nya adalah bid’ah.  Sesungguhnya aku khawatir kamu akan menjadi sesat”.  Beliau memerintahkan agar orang itu keluar dari majelisnya”. 


Berdasarkan fragmen cerita di atas dapat disimpulkan bahwasanya pemahaman keliru terhadap nash-nash syariat yang membuat Imam Malik mencucurkan keringat adalah adanya ikhtilath al-lisaan (tumpangsuh lisan) pada mufrad al-lughah dan adanya kekeliruan dalam memahami khithab dan dilalah-nya.  Orang yang bertanya tentang tatacara istiwaa` Allah swt, sesungguhnya telah mendatangkan uslub, pemikiran, dan pemahaman yang belum pernah dikenal oleh orang Arab.  Inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Hanifah dalam perkataan beliau yang masyhur:


أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه

”Telah mendatangi kami dari timur, dua pemikiran menjijikkan, Jahm yang Mu’aththil dan Muqatil yang Musyabbih”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, Tahdziib al-Tahdziib, Juz 32/283. Maktabah Syamilah.  Lihat juga Imam Khathib al-Baghdadiy, Tarikh al-Baghdad, Juz 13/164; ].  


Orang yang bertanya tentang tatacara istiwaa`, terlintas dalam pikirannya bahwa makna yang dimaksud oleh kata istiwaa` adalah makna bahasa yang dimiliki lafadz itu.  Dengan kata lain, ia memahami bahwa makna istiwaa` adalah makna dhahir yang bisa dicerap oleh indera; yang salah satu maknanya adalah bertempatnya jisim di atas jisim yang lain, dan menetap di atasnya.  Makna seperti ini dimungkinkan menurut bahasa Arab, dan juga dimungkinkan bila dipahami berdasarkan dalalah  (penunjukkan) yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut dalam posisi berdiri sendiri (mufrad) dan terpisah dari kalimat yang lengkap.   Kata istiwaa` juga mungkin dipahami seperti itu, jika kita mengeluarkan kata tersebut dari pemahaman syariah pada dalalah yang ditunjukkan dalam pemikiran dan keyakinan pada topik ini.  Orang yang bertanya tentang tata cara istiwaa` memahami makna istiwaa` dengan makna-makna seperti itu.  Hanya saja, pemahaman tersebut tidak bisa membantu dirinya untuk memahami keraguan seputar tatacara bersemayam dan berdiam di ’Arsy  yang terkandung dalam dalalah lafadz tapi tidak terkandung dalam pemahaman akal, hingga akhirnya ia mengajukan pertanyaan.


Imam Malik tidak membiarkan pertanyaan itu tanpa ada jawaban.  Bahkan, beliau menjawab pertanyaan itu diiringi kemarahan, karena hal itu akan mempengaruhi masyarakat awam.  Imam al-Lalika`iy di dalam Syarah al-Sunnah, dengan sanad sampai kepada Imam Malik ra, bahwasanya beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban:


الاسْتِوَاءُ مَذْكُورٌ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالإيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

”Istiwaa` itu madzkuur (disebutkan), tatacaranya tidak bisa dipahami dengan akal, iman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentang istiwa` adalah bid’ah”. 


Makna [al-istiwaa` madzkuur] adalah istiwaa` itu ditetapkan bagi kita dengan jalan sam’iy wa naqliy, yakni ia diketahui telah disebutkan, namun tidak diketahui dalam pikiran.  Oleh karena itu, orang yang berakal tidak akan bertanya tatacara istiwaa’, bentuk, dan maknanya.  Sebab, hal itu merupakan perkara yang tidak diketahui akal, karena ketidaktahuan kita dan begitu sedikitnya pengetahuan kita.  Selain itu, terdapat nash yang menjelaskan tentang kelemahan kita dalam membahas perkara-perkara tersebut (Dzat Allah).  Allah swt berfirman:


لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (103)

”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. TQS Al-An’aam (6):103]  


Keimanan terhadap Istiwaa` adalah wajib dengan cara taslim (berserah diri sepenuhnya).  Sebab, istiwaa` diinformasikan oleh nash qath’iy, sedangkan menanyakan tatacaranya adalah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah). 


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya pembahasan dan pengkajian tentang Asma` dan Shifat Allah swt di masa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bukanlah topik yang mendapatkan perhatian khusus, bahkan cenderung tidak dipedulikan.  Alasannya, pembahasan kedua topik tersebut merupakan perdebatan filsafat yang tidak pernah dikenal bahkan bertentangan dengan tradisi berfikir lurus kaum Muslim.  Pembahasan mengenai Asma` dan Shifat Allah merupakan pembahasan tentang Dzat Allah swt.  Sedangkan mendiskusikan atau membahas Dzat Allah swt, hukumnya terlarang.  Kaum Muslim wajib membatasi diri sebatas apa yang disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah. 


Imam Syafi’iy rahimahullah


Sesungguhnya di masa beliau rahimahullah, penakwilan serampangan terhadap al-Quran --khususnya terkait dengan ayat-ayat Shifat-- telah mencapai taraf ghuluw dan jur’ah (berlebih-lebihan dan gegabah).  Penakwilan al-Quran tidak lagi memperhatikan “urf umum” kaum Muslim sebelumnya.  Adapun sikap Imam Syafi’iy, tampak jelas dalam perkataan beliau:


آمَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ

“Aku beriman kepada apa yang datang dari Allah swt di atas makna yang maksud oleh Allah swt, dan beriman kepada apa yang datang dari Rasulullah saw, di atas makna yang dikehendaki Rasulullah saw”. 


Beliau rahimahullah menegaskan bahwa beliau beriman kepada apa yang datang dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw dengan keimanan taslim, yakni keimanan yang berasal dari sikap berserah diri sepenuhnya, bukan keimanan yang berasal dari ijtihad dan perdebatan antara wajibnya itsbat (penetapan) atau nafiy (penafian); dan juga keimanan yang tidak berasal dari perselisihan antara pengakuan dan pengingkaran; dan juga bukan keimanan yang berasal dari diskusi kebahasaan, apakah maknanya harus dibawa ke arah pengertian hakikiy atau ke arah pengertian majaziy.   Iman yang dimaksud Imam Syafi’iy bukanlah iman seperti ini, yakni keimanan yang menjadikan topik –ayat-ayat Shifat— sebagai bahan ijtihad dan perdebatan.  Iman yang dimaksud adalah keimanan terhadap semua apa yang datang dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw dengan keimanan taslim sebatas apa yang disebutkan dan dijelaskan dalam Quran dan Sunnah Nabi saw. 


Keimanan yang dijelaskan Imam Syafi’iy rahimahullah bukanlah keimanan yang tidak ada kesadaran maupun pemahaman di dalamnya; dan juga bukan seperti keimanan yang dimiliki Arab Baduwi yang diterima dan diucapkan dengan lisannya namun keimanan itu belum masuk di dalam hati mereka; tetapi keimanan yang dimaksud adalah keimanan yang tegak di atas asas berfikir dan manhaj (metodologi) yang lurus, yakni keimanan yang terbebas dari kekeliruan dan ghulath, serta mafhum keimanan dan keyakinan berfikirnya tegak di atas asas naqliy semata.  


Oleh karena itu, menurut kami,  pemahaman ‘aqidah Imam Syafi’iy telah  membangun suatu pemikiran Islam khas yang didasarkan pada metode wahyu.  Pemahaman beliau terhadap nash-nash al-Quran -- ayat-ayat Shifat--, tersarikan dalam pernyataan beliau:


للهِ أَسْمَاءٌ وَصِفَاتٌ لاَ يَسَعُ أَحَداً رَدَّهَا، وَمَنْ خَالَفَ بَعْدَ ثُبُوتِ الْحُجَّةِ -أي بالنقلِ- عَلَيْهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَأَمَّا قَبْلَ قِيَامِ الْحُجَّةِ فَإنَّهُ يُعْذَرُ بِالْجَهْلِ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ وَلاَ الرُّؤْيَةِ وَالْفِكْرِ، فَنُثْبِتُ لَهُ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَنَنْفِي عَنْهُ التَّشْبِيْهَ كَمَا نَفَى عَنْ نَفْسِهِ، فَقَالَ:(لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ()().

“Allah swt memiliki Nama-nama dan Shifat-shifat yang tidak ada keluasaan bagi seseorang menolaknya.  Barangsiapa yang menyelisihi setelah tegaknya hujjah –yakni naqli—atas dirinya, maka ia kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, maka ada alasan (untuk tidak mengkafirkannya) karena adanya ketidaktahuan.  Sebab, pengetahuan terhadap hal itu (Nama-nama dan Shifat-shifat Allah) tidak mungkin dipahami dengan akal, penglihatan, dan berfikir.  Oleh karena itu, kami menetapkan bagiNya Shifat-shifat ini, dan menafikan dariNya penyerupaan (tasybih), sebagaimana Dia telah menafikan (penyerupaan) dari DiriNya.  Dia berfirman:


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”.[TQS Asy Syura (42):11]”. [Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Baariy, Juz 20/494. Maktabah Syamilah].   


Inilah asas berfikir yang dianggap mu’tamad oleh Imam Syafi’iy ra, sebagaimana yang dituturkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy asy Syafi’iy dari Yunus bin ‘Abd al-A’la, dengan sanad yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abiy Hatim dalam Manaqib al-Syafi’iy.  


Asas berfikir Imam Syafi’iy rahimahullah didasarkan pada sebuah prinsip bahwa nash-nash syariat dalam al-Quran dan Sunnah harus dipahami dengan lisan orang Arab (lisaan al-‘Arab), yang mencakup lughat al-khithab wa ma’huud al-mukhaatab hingga diketahui maksud dari Asy Syaari` dalam khithab tersebut.  Oleh karena itu, Imam Asy Syafi’iy menolak prinsip-prinsip logika mantik dan ajaran-ajaran berfikir Aristoteles.   Beliau rahimahullah berkata:


مَا جَهِلَ النَّاسُ وَلاَ اخْتَلَفُواْ إلاَّ لِتَرْكِهِمْ لِسَانَ الْعَرَبِ وَمَيْلِهِمْ إلَى لِسَانِ أَرِسْطَاطَالِيسَ، وَلَمْ يَنْزِلِ الْقُرْآنُ وَلاَ أَتَتِ السُّنَّةُ إلاَّ عَلَى مُصْطَلَحِ الْعَرَبِ وَمَذَاهِبِهِمْ فِي الْمُحَاوَرَةِ وَالتَّخَاطُبِ وَالاحْتِجَاجِ وَالاسْتِدْلاَلِ لاَ عَلَى مُصْطَلَحِ الْيُونَانِ، وَلِكُلِّ قَوْمٍ لُغَةٌ وَمُصْطَلَحٌ

“Tidaklah manusia menjadi bodoh dan tidaklah mereka berselisih pendapat, kecuali karena mereka meninggalkan lisaan al-‘Arab dan kecenderungan mereka terhadap lisannya Aristoteles (logika Aristoteles).  Tidaklah al-Quran turun, dan tidak pula sunnah datang kecuali di atas peristilahan orang Arab serta prinsip-prinsip mereka dalam muhawarah, takhaathub, ihtijaaj, istidlaal, bukan di atas peristilahan  orang Yunani.  Setiap kaum memiliki bahasa dan peristilahan sendiri-sendiri”. [Imam Jalaluddin As Suyuthiy, Shaun al-Kalaam ‘an Fan al-Mantiq wa al-Kalam, hal.45] 


Imam Syafi’iy tidak hanya mencukupkan diri membantah orang-orang yang terpengaruh ilmu kalam dan ahlul kitab, tapi, beliau juga merumuskan asas-asas atau prinsip-prinsip pengkajian, penelitian, istidlal, dan istinbath terhadap al-Quran dan Sunnah Nabi saw.  Beliau berkata:


وَكَانَ مِمَّا عَرَّفَ اللهُ نَبِيَّهُ مِنْ إنْعَامِهِ أَنْ قَالَ: (وَإِنَّهُ لَذِكْرُُ لَكَ وَلِقَوْمِكَ(() فَخَصَّ قَوْمَهُ بِالذِّكْرِ مَعَهُ بِكِتَابِهِ. وَقَالَ: (وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ(() وَقَالَ (لِتُنْذِرَ أُمَّ القُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا(() وأمُّ الْقُرَى مَكَّةُ، وَهِيَ بَلَدُهُ وَبَلَدُ قَوْمِهِ، فَجَعَلَهُمْ فِي كِتَابِهِ خَاصَّةً، وَأَدْخَلَهُمْ مَعَ الْمُنْذَرِينَ عَامَّةً، وَقَضَى أَنْ يُنْذَرُواْ بِلِسَانِهِمُ الْعَرَبِيّ، لِسَانَ قَوْمِهِ مِنْهُمْ خَاصَّةً

“Di antara apa-apa yang Allah swt sampaikan kepada Nabinya dari nikmat-nikmatNya,  Allah swt berfirman;[Artinya: “Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu”.[TQS Az Zukhruf (43):44].  Allah swt juga menyebut kaumnya bersama beliau saw secara khusus di dalam al-Quran.  Allah swt berfirman;[Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.[TQS Asy Syu’araa` (26):214], dan Dia juga berfirman:[Artinya: “..supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Quraa (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya”.[TQS Asy Syura (42):7].  Ummul Quraa adalah negeri beliau saw dan negeri kaumnya. Dan Allah swt menyebut mereka secara khusus di dalam KitabNya, dan memasukkan mereka (penduduk Mekah) bersama dengan orang-orang yang diberi peringatan secara umum.  Dan Allah swt menetapkan seluruh kaumnya diberi peringatan dengan lisan mereka yang ‘Arabiy, lisan kaumnya (lisan al-‘Arab) dari mereka secara khusus”.


Beliau rahimahullah berkata:


فَعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ لِسَانَ الْعَرَبِ مَا بَلَغَهُ جَهْدهُ حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَيَتْلُوَ بِهِ كِتَابَ اللهِ، وَيَنْطِقَ بِالذِّكْرِ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْهِ مِنَ التَّكْبِيْرِ، وَأُمِرَ بِهِ مِنَ التَّسْبِيْحِ وَالتَّشَهُّدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ) ويقول رحمه الله: (وَمَا ازْدَادَ مِنَ الْعِلْمِ بِاللِّسَانِ، الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ لِسَانَ مَنْ خَتَمَ بِهِ نُبُوَّتَهُ، وَأَنْزَلَ بِهِ آخِرَ كُتُبِهِ، كَانَ خَيْراً لَهُ، كَمَا عَلَيْهِ يَتَعَلَّمُ الصَّلاَةَ وَالذِّكْرَ فِيْهَا، وَيَأْتِيَ الْبَيْتَ وَمَا أُمِرَ بِإتْيَانِهِ، وَيَتَوَجَّهَ لِمَا وُجِّهَ لَهُ. وَيَكُونُ تَبَعاً فِيْمَا اْفُتِرضَ عَلَيْهِ وَنُدِبَ إلَيْهِ لاَ مَتْبُوعاً

“Wajib atas setiap Muslim mempelajari lisan al-‘Arab dengan mencurahkan segenap tenaganya hingga ia bersaksi “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah swt, dan bahwa Mohammad adalah hambaNya dan RasulNya, dan membaca Kitabullah dengannya (lisan Arab), dan mengucapkan dzikir pada semua apa yang difardlukan di dalamnya dari takbir, dan apa yang diperintahkan dengannya dari tasbih, tasyahhud, dan lain-lain).  Dan beliau berkata, “Dan seseorang yang menambah pengetahuannya tentang lisan (bahasa)  yang Allah swt telah menjadikannya sebagai lisan orang yang menutup kenabian dan yang Allah telah menurunkan akhir Kitab-kitabNya dengan lisan itu, maka hal itu baik bagi dirinya.  Sebagaimana wajib atas dirinya mempelajari sholat dan dzikir-dzikir di dalam sholat, mendatangi Baitullah dan semua yang diperintahkan untuk didatangi, dan bertawajjuh pada apa yang ditawajjuhkan kepadanya.  Maka, ia menjadi orang yang mengikuti apa yang difardlukan atasnya dan apa yang disunnahkan bagi dirinya, bukan menjadi orang yang diikuti”. [Imam Mohammad bin Idris asy-Syafi’iy, al-Risalah, hal. 44. Maktabah Syamilah]


’Alim al-’Allamah Syaikh ’Izzuddin Hisyam bin Abdul Karim al-Badraniy, Asmaa`u al-Allah wa Shifatuhu (Manaahij al-Adillah fi Bahts Asmaa`i al-Allah wa Shifaatihi), setelah memaparkan penjelasan Imam Syafi’iy di atas, beliau mengatakan:


وكأنه رحمه الله يرسم الخط المستقيم لهدي النبوة والاتباع، وأن يشغل المسلم نفسه بالاستقامة، ولا يشغل نفسه بما لم يوجه إليه الشرع ويريده منه الشارع.

“Seakan-akan beliau rahimahullah (Imam Syafi’iy) merumuskan pedoman yang lurus kepada petunjuk Nubuwwah dan ittibaa`, dan agar seorang Muslim menyibukkan dirinya dengan istiqamah, serta tidak menyibukkan dirinya dengan apa-apa yang syariat tidak mengarahkan kepadanya dan Asy Syaari` tidak menghendakinya”.


Selanjutnya Imam Syafi’iy berkata:


وَإنَّمَا بَدَأَتُ بِمَا وَصَفْتُ مِنْ أَنَّ الْقُرْآنَ نَزَلَ بِلِسَانِ الْعَرَبِ دُونَ غَيْرِهِ، لأَنَّهُ لاَ يُعْلَمُ مِنْ إيْضَاحِ جُمَلِ عِلْمِ الْكِتَابِ أَحَدٌ جَهِلَ سِعَةَ لِسَانِ الْعَرَبِ، وَكَثْرَةَ وُجُوهِهِ، وَجِمَاعَ مَعَانِيهِ وَتَفَرُّقِهَا، وَمَنْ عَلِمَهُ انْتَفَتْ عَنْهُ الشُّبَهُ الَّتِي دَخَلَتْ عَلَى مَنْ جَهِلَ لِسَانَهَا) ويقول رحمه الله: (فَكَانَ تَنْبِيْهُ الْعَامَّةِ عَلَى أَنَّ الْقُرْآنَ نَزَلَ بِلِسَانِ الْعَرَبِ خَاصَّةً: نَصِيْحَةً لِلْمُسْلِمِيْنَ. وَالنَّصِيحَةُ لَهُمْ فَرْضٌ لاَ يَنْبَغِي تَرْكُهُ، وَإدْرَاكُ نَافِلَةِ خَيْرٍ، لاَ يَدَعُهَا إلاَّ مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ، وَتَرَكَ مَوْضِعَ حَظِّهِ. وَكَانَ يَجْمَعُ مَعَ النَّصِيحَةِ لَهُمْ قِيَاماً بِإيْضَاحِ حَقٍّ. وَكَانَ الْقِيَامُ بِالْحَقِّ وَنَصِيحَةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ طَاعَةِ اللهِ. وَطَاعَةُ اللهِ جَامِعَةٌ لِلْخَيْرِ)() 

“Saya mulai dengan menjelaskan bahwasanya al-Quran turun dengan lisan orang Arab bukan yang lain.  Sebab, sesungguhnya tidak akan mengetahui penjelasan global pengetahuan al-Quran, seseorang yang tidak mengetahui keluasan lisan Arab, tidak mengetahui banyaknya arah lisan Arab, serta tidak mengetahui kesatuan dan keterpisahan makna-maknanya. Barangsiapa mengetahui lisan Arab, maka hilanglah dari dirinya syubhat (kesamaran) yang masuk pada diri orang yang tidak mengetahui lisan Arab”.  Beliau berkata, “Peringatan bagi masyarakat umum bahwa al-Quran turun dengan lisan Arab secara khusus, merupakan nasehat bagi kaum Muslim.  Memberi nasehat kepada mereka adalah fardlu dan tidak boleh ditinggalkan.  Memahami tambahan-tambahan kebaikan, tidak akan ditolak kecuali oleh orang yang membodohi dirinya dan meninggalkan tempat bagiannya.   Memberi nasehat kepada masyarakat umum mesti berbarengan dengan aktivitas menjelaskan kebenaran. Menegakkan kebenaran dan memberi nasehat kepada kaum Muslim termasuk bagian taat kepada Allah.  Taat kepada Allah swt mengumpulkan kepada kebaikan”. 


Imam Syafi’iy juga menjelaskan bahwasanya membebani apa yang seseorang tidak mengetahuinya, atau ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya adalah perkara yang tidak terpuji, dan kesalahannya dianggap tidak bisa diterima.   Beliau rahimahullah berkata:


وَمَنْ تَكَلَّفَ مَا جَهِلَ وَمَا لَمْ تُثْبِتْهُ مَعْرِفَتُهُ:كَانَتْ مُوَافَقَتُهُ لِلصَّوَابِ- إنْ وَافَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْرِفُهُ- غَيْرُ مَحْمُودَةٍ، وَاللهُ أَعْلَمُ، وَكَانَ بِخَطَئِهِ غَيْرَ*MENJAWAB SYUBHAT AKIDAH HIZBUT TAHRIR TIDAK SAMA DENGAN AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH*


_KH. Syamsuddin Ramadhan_


Sebagian penebar syubhat menyatakan bahwa ’aqidah Hizbut Tahrir tidak sama dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahkan condong kepada Mu’tazilah.  Sebagian lagi berusaha mengesankan, bahkan menyatakan dengan sharih bahwa Hizbut Tahrir adalah kelompok sesat karena memiliki ’aqidah yang bertentangan dengan ’aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.  Dengan mengutip beberapa kitab mutabannat, seperti Kitab Nidzam al-Islaam, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah Juz 1, dan lain-lain, mereka ingin membuktikan bahwa apa yang mereka nyatakan itu memang benar merupakan bentuk kesesatan pemikiran Hizbut Tahrir. 


Ada pula yang menyatakan bahwasanya Hizbut Tahrir menolak qadla` dan qadar.