Wednesday, June 28, 2023

PUASA AROFAH ITU TERKAIT DENGAN MOMENT WUQUF DI AROFAHNYA

 PUASA AROFAH ITU TERKAIT DENGAN MOMENT WUQUF DI AROFAHNYA


Oleh : Abulwafa Romli 

https://abulwafaromli.blogspot.com/2023/06/puasa-arofah-itu-terkait-dengan-moment.html?m=1


Ada yang berkata :

"Puasa arafah itu bukan disebabkan karena adanya orang wukuf. Walaupun tidak ada wukuf karena sesuatu hal, puasa arafah tetap disunnahkan karena tanggal 9 dzulhijjah".


Komentar saya :


1. Arofah itu nama tempat. Kalau ada puasa karena Arofahnya, maka setiap hari ada puasa Arofah karena Arofah ada setiap hari.


2. Puasa Arofah itu bukan karena Arofahnya, tapi karena ada momen wuquf di Arofahnya bagi kaum muslimin yang sedang ibadah haji. Dan momen wuquf itu jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.


3. Puasa Arofah itu bukan karena tanggal 9 Dzulhijjah nya, tapi karena pada tanggal itu ada moment waquf di Arofahnya. Kalau puasa Arofah hanya karena tanggal 9 Dzulhijjah nya, maka namanya bukan Puasa Arofah, tapi puasa 9 Dzulhijjah, puasa dangdutan, puasa saweran dan seterusnya, yang penting dilakukan pada tanggal tersebut, dan ini tidak ada dalilnya. Maka para ulama menyebutnya dengan puasa Arofah pada 9 Dzulhijjah, bukan puasa 9 Dzulhijjah di Arofah.


4. Shaumu `arofah (puasa Arofah) itu susunan idhofah, shaumu sebagai mudhof dan Arofah sebagai mudhof ilahi. Susunan idhofah di sini menyimpan makna fii (di dalam), dan Arofah itu bukan berarti tempatnya, tapi berarti aktifitas wuquf di Arofahnya. Maka arti puasa Arofah adalah puasa bersamaan dengan aktifitas wukuf di dalam Arofah bagi mereka yang ibadah haji.


5. Juga puasa tarwiyyah pada tanggal 8 Dzulhijjahnya itu terkait erat dengan moment kaum muslimin yang ibadah haji mempersiapkan bekal air dan lainnya untuk dibawa ke Arofah. Karena tarwiyyah secara bahasa berarti menyegarkan dengan air dan lainnya. Puasa tarwiyyah itu jelas terkait erat dengan moment tarwiyyah, bukan terkait tanggal 8 Dzulhijjah nya. Karena ketika terkait dengan tanggalnya, maka namanya tidak harus puasa tarwiyyah, tapi bisa dinamai puasa apa saja tergantung adanya moment pada tanggal 8 Dzulhijjah nya. Bisa puasa dangdutan karena ada dangdutan di tanggal itu atau puasa pembubaran karena ada pembubaran pengajian di tanggal itu.


6. Sebagaimana susunan kata "pintu jati" (babu sajin), artinya pintu yang terbuat dari kayu jati. Pintu jati bukan terkait dengan kayu jati nya, tapi terkait dengan pembuatan pintunya dari kayu jati. Kalau hanya terkait dengan kayu jatinya, maka bisa jendela dan lainnya, tidak harus pintu. Dan kalau hanya terkait dengan pintunya, maka bisa dari kayu nangka dan lainnya. Maka yang namanya pintu jati adalah pintu yang terbuat dari kayu jati dan tidak terkait dengan tanggal pembuatannya. Kalaupun pintu jati itu dibuat bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, maka hanya ketepatan dan tidak bisa dikatakan pintu tanggal 9 Dzulhijjah.


7. Kalau puasa Arofah tidak terkait dengan moment wuquf di Arofah, tapi terkait tempatnya, maka puasa Arofah bisa dilakukan setiap hari, tidak harus tanggal 9 Dzulhijjah karena Arofah ada di setiap hari, juga puasanya harus di Arofah, bukan di Indonesia. Karena kalau puasanya di Indonesia, maka dinamakan puasa Indonesia, bukan puasa Arofah karena puasanya terkait erat dengan tempatnya, bukan dengan moment wuqufnya.


8. Menentukan kapan awal Dzulhijjah melalui rukyatul hilal lalu kapan wuquf di Arofah sebagai puncak ibadah haji adalah wewenang penguasa Mekkah, bukan penguasa negeri-negeri lain seperti Indonesia dan Malaysia.


9. Puasa tarwiyyah, puasa Arofah dan `iedul adha itu harus bersama dengan Mekkah dari sisi harinya saja, bukan sama dari sisi jamnya. Pergantian hari dalam kalender hijriyyah itu dimulai dari terbenamnya Matahari atau waktu shalat maghrib, bukan dari jam 00:00 atau pertengahan malam. Sehingga meskipun negara-negara itu saling berjauhan seperti Indonesia dan Amerika, maka negara-negara tersebut bisa berada dalam satu lingkaran hari yang sama, sedang yang berbeda hanya jamnya saja.


10. Semua negara-negara di dunia bisa shalat Jum'at di hari yang sama, yaitu di hari Jum'at. Susunan kata idhofah shalat Jum'at sama persis dengan susunan kata idhofah puasa Arofah. Yaitu berarti shalat khusus di hari Jum'at bukan shalat dzuhur yang ada di setiap hari, dan puasa khusus di hari Arofah, yakni ibadah wuquf di Arofah, bukan puasa apa saja di Arofah dan di tanggal 9 Dzulhijjah karena bisa puasa Senin-Kamis, puasa qodho atau nadzar.


Cukup. Yang mudah jangan dipersulit apalagi dipersekusi. Ilmu itu wajib dijelaskan meskipun tidak pada moment nya karena wuquf di Arofah sudah berlalu. 


Wallahu A'lam bish shawab 

Semoga bermanfaat. Aamiin...



Tuesday, June 27, 2023

KESATUAN HARI RAYA ISLAM SEDUNIA, MUNGKINKAH ?!

KESATUAN HARI RAYA ISLAM SEDUNIA, MUNGKINKAH ?!


Oleh: Zakariya al-Bantany







*Keniscayaan Perbedaan*



Perbedaan di tengah umat itu adalah sebuah keniscayaan dan sunnatullah. Seperti, perbedaan: ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, warna mata, bentuk fisik, bahasa, dan negeri (wilayah geografis dan wilayah hukum tempat tinggal/berdomisili), serta perbedaan zona waktu.


Juga, keniscayaan perbedaan: mazhab, ormas, parpol dan harakah dakwah. Serta pula perbedaan: pendapat dan pandangan fiqih, khususnya terkait perkara furuiyah (cabang). Yang terkadang sering terjadi ikhtilaf atau khilafiyah di tengah umat, khususnya diantara para Ulama lintas mazhab dan lintas harakah serta lintas Ormas.


Terkait perkara furuiyah dalam fiqih tersebut, tinggal kita bijak saja dalam menyikapinya. Tidak perlu kita sampai memperuncingnya hingga tajam setajam silet. Sehingga, membuat kita saling bermusuh-musuhan dengan sesama Muslim lainnya. Yang berbeda pendapat dan berbeda pandangan fiqih dengan kita.


Namun, kita sebagai Muslim yang sudah mukallaf dan berakal, serta khususnya sebagai muqallid, dituntut untuk mencari pendapat (hujjah) yang paling rajih. Bila sudah mampu dan mumpuni dari sisi kematangan Turats ataupun Tsaqafah Islamnya, silahkan mentarjih hujjah atau pendapat Ulama mana yang paling rajih (kuat) dari berbagai pendapat Ulama lintas Mazhab tersebut, yang akan kita tabanni (adopsi) dan akan kita ikuti.


Tapi, perlu diketahui dan kita pahami bersama, bahwasanya dalam perkara fiqih tersebut. Ada perkara: yang disepakati, ada yang dikhilafi (diperselisihkan), dan ada juga yang ditabanni (diadopsi/mutabannat). Maka, sikap kita haruslah benar, tepat, pas dan proporsional serta syar'i.






*Akar Penyebab Perbedaan Hari Raya*



Nah, terlepas dari perkara furuiyah dan ikhtilaf atau khilafiyah, dalam perkara fiqih tersebut. Khususnya terkait perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan dan awal Syawal (Hari Raya Idul Fithri). Serta pula perbedaan penentuan awal bulan Dzulhijjah, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Kurban/Haji).


Yang sering hampir terjadi setiap tahunnya, seperti yang terjadi dalam beberapa tahun saat ini. Dan tahun depan pun sangat mungkin seperti biasa akan berulang terus-menerus seperti itu. Sebagaimana halnya pula, perbedaan penentuan awal puasa bulan Ramadhan. Dan awal Syawal (Hari Raya Idul Fithri) yang terjadi pula. Yang hampir terjadi setiap tahunnya, khususnya juga di tahun ini.


Itu semua disebabkan bukan semata-mata, karena khilafiyah atau perbedaan pendapat dan perbedaan pandangan fiqih belaka. Perbedaan pendapat dan pandangan fiqih itu sendiri, sebenarnya adalah perkara klasik yang sering terjadi. Sejak dahulu kala, yaitu sejak era zaman Salafush Shalih, hingga di era kita di zaman modern saat ini. Dan bukan pula, semata-mata karena perbedaan wilayah geografis, dan juga bukan semata-mata karena perbedaan zona waktu belaka.


Namun, sesungguhnya penyebab utama seringnya terjadi perbedaan dalam penentuan awal puasa bulan Ramadhan. Dan awal bulan Syawal atau Hari Raya Idul Fithri. Khususnya pula, penentuan awal bulan Dzulhijjah, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha, di era modern kita saat ini.


Adalah masalah politik dan ideologis, yaitu ashobiyah firqah (fanatisme kelompok) dan puncaknya karena ketiadaan kepemimpinan politik tunggal bagi seluruh umat Islam sedunia. Yakni, akar masalahnya adalah ketiadaan Khilafah pemersatu umat sejak runtuhnya Khilafah, pada 3 Maret tahun 1924 masehi. Yang telah diruntuhkan oleh Inggris dan sekutunya, melalui agennya seorang yahudi yang bernama Mustafa Kemal Attarturk laknatullahi 'alaihim. 


Dan juga politik dan ideologi kufur, yaitu bercokolnya sistem kufur kapitalisme sekulerisme dan rezim boneka barat. Beserta sistem politik demokrasinya dan paham kufur nasionalisme, dan batas-batas nation state (negara bangsa). Serta hukum-hukum internasional buatan dan warisan kaum kuffar barat penjajah. Yang telah menyekat-nyekat umat Islam. Baik sekat-sekat secara defacto dan dejure, maupun juga sekat-sekat secara pemikiran, perasaan, peraturan dan ideologi.


Sehingga, kita umat Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 60 negara bangsa (nation state), dengan paham kufur nasionalismenya. Dan juga banyaknya bermunculan firqah (kelompok) di dalam umat Islam, yang terkadang tersandera sikap ashobiyah firqah (fanatisme kelompok secara berlebihan dan ekstrim). Sehingga, membuat kita umat Islam tidak bersatu, justru kita seringkali ribut dan saling bermusuh-musuhan.


Dan juga, tiadanya kesatuan umat Islam dalam semua lini kehidupannya. Khususnya, tiadanya kesatuan pemikiran, perasaan, peraturan dan kepemimpinan politik, serta juga dalam ibadah. Seperti, penentuan awal puasa bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal (Hari Raya Idul Fithri). Dan juga dalam penentuan awal Dzulhijjah, puasa Arafah, dan Hari Raya Idul Adha tersebut.


Padahal, realitas faktanya kita ini hidup bukan di planet yang berbeda. Namun, justru kita hidup hingga sekarang di satu planet yang sama, yaitu bumi (earth/ardhun).


Dan bumi tempat tinggal kita ini pun satu bukan dua, bulan (luna/moon/qomar) -satelit bumi kita- pun satu. Serta, matahari (sun/syamsun) pusat tatasurya kita pun satu. Jarak waktu antara Indonesia dengan Arab Saudi hanya sekitar 4 jam, tidak sampai 24 jam (sehari-semalam), atau tidak lebih dari waktu itu. Bahkan, jarak waktu antara Indonesia dengan Amerika pun itu hanya sekitar 12 jam, tidak sampai 24 jam (sehari-semalam), atau pun tidak lebih dari waktu tersebut.


Apatah lagi, kini realitas faktanya di zaman modern kita saat ini, sains dan teknologi serta multimedia pun begitu sangat canggihnya. Dimana setiap informasi lokal dan global, bisa diupdate dan diakses serta diketahui dengan sangat cepat dalam hitungan jam, menit, bahkan detik. 


Juga, realitas faktanya sebetulnya umat Islam itu, adalah umat yang satu, satu akidah dan satu agama yang sama, yaitu Islam. Dan Tauhidnya pun satu, serta satu Tuhan yaitu Allah Yang Maha Esa, dan Nabi Muhammad Saw-nya pun satu. Syariatnya juga satu yaitu Syariah Islam, Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islamnya pun satu.


Masak kita setiap tahunnya hampir selalu berbeda, dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal (Hari Raya Idul Fithri). Khususnya pula, dalam menentukan awal Dzulhijjah, puasa Arafah dan 10 Dzulhijjah (Hari Raya Idul Adha) tersebut.


Okelah, sekali dua kali bila terjadi perbedaan itu masih wajar.  Namun, bila berkali-kali hampir setiap tahunnya. Maka, ini sudah tidak wajar lagi dan menjadi bagian problematika umat yang makin carut-marut. Dan tentu ini pun juga tidak lepas merupakan, bagian dari konspirasi elit-elit kapitalisme global kafir barat, yang menghendaki umat Islam tidak bersatu, terpecah-belah dan tidak bangkit. 


Mengapa pula, giliran menonton event sepak bola, seperti: Piala Eropa (Europe Cup) dan Piala Dunia (World Cup) dan perayaan tahun baru masehi. Justru, kebanyakan kita umat Islam lintas mazhab, dan lintas Ormas, serta lintas negara bangsa, bisa bersatu ikutan menonton bareng. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan penduduk dunia lainnya. Yang notabene berbeda agama, ras, etnis, suku, bangsa, bahasa dan negaranya ?!


Mengapa giliran penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal (hari Raya Idul Fithri). Khususnya pula dalam penentuan awal Dzulhijjah, puasa Arafah dan 10 Dzulhijjah (Hari Raya Idul Adha). Hampir setiap tahunnya kita selalu berbeda. Bahkan, parahnya kita sampai ribut dan berantem sendiri dengan sesama Muslim. Terkadang pula sesama sirkel. Karena, berbeda dalam menyikapi perihal tersebut ?!


Bakal sangat senang dan tertawa terbahak-bahak. Bila orang-orang kafir, dan munafik, serta setan. Melihat kita sesama Muslim dan sesama sirkel justru ribut dan berantem terus, karena perbedaan dalam menyikapi perihal tersebut ?! Disinilah pentingnya adanya persatuan dan kesatuan umat Islam, khususnya kesatuan dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan Hari Raya Islam tersebut.






*Kesatuan Hari Raya Adalah Keniscayaan*



Dalam politik semuanya serba mungkin, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Begitu pula, persatuan dan kesatuan umat Islam dalam mengawali puasa bulan Ramadhan dan awal Syawal (berhari Raya Idul Fithri). Khususnya pula awal bulan Dzulhijjah, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha adalah sangat mungkin terjadi. Bahkan, potensinya pun sebuah keniscayaan, yang akan terjadi cepat atau pun lambatnya.


Potensi ini pun didukung di era modern saat ini, dengan segala kecanggihan sains dan teknologi prodak madaniyah 'aam. Beserta dengan segala prodak turunannya. Khususnya kecanggihan multimedia informatika, internet, gadget, media sosial, dan sarana-prasarana kehidupan lainnya.


Sehingga sangat memudahkan segala urusan dan mobilitas hidup kita. Khususnya dalam mengakses dan meng-update berbagai macam informasi, secara akurat dan tepat dalam hitungan jam, menit bahkan detik.


Maka, sangat relevan bila kita umat Islam bisa bersatu teguh kembali. Untuk mengamalkan QS. Ali Imran: 103 (perintah Allah, agar kita bersatu teguh, larangan berpecah-belah, dan larangan saling bermusuh-musuhan). Allah SWT berfirman:




وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ




"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103).






Dan juga, justru harusnya sudah tidak relevan lagi, bila kita umat Islam senantiasa berbeda terus-menerus, dan ribut dan berantem terus. Khususnya, dalam mengawali ibadah puasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fithri (1 Syawal), puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) tersebut.


Meskipun sebuah keniscayaan, ikhtilaf atau khilafiyah atau pun perbedaan pendapat dan perbedaan pandangan dalam fiqih itu tetap ada. Khususnya, perbedaan pendapat dan pandangan terkait perkara furuiyah (cabang).


Dan disinilah pula, urgensi kehadiran seorang Khalifah (al-Imam/Sulthan al-A'dzham) dengan sistem Khilafahnya. Untuk menghilangkan perbedaan pendapat tersebut, dan dalam menyatukan kembali seluruh umat Islam sedunia. Serta pula dalam menghilangkan ashabiyah firqah (fanatisme kelompok) di tengah kaum Muslimin.


Sekaligus pula, dalam menghilangkan paham kufur nasionalisme dan batas-batas nation state (negara bangsa), beserta hukum-hukum internasional dan ideologi-ideologi kufur buatan dan warisan kaum kuffar penjajah tersebut. Yang selama ini telah menjadi biang masalah terpuruk dan lemahnya, terjajahnya dan terpecah belahnya umat Islam dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam mengawali ibadah puasa Ramadhan dan berhari Raya tersebut. Khususnya pula, dalam menyatukan umat Islam sedunia, dalam mengawali ibadah puasa Ramadhan dan puasa Arafah serta berhari raya baik Idul Fithri maupun Idul Adha.


Karena, ibadah puasa (baik puasa Ramadhan maupun puasa Arafah) dan hari raya Idul Fithri serta Idul Adha itu sangat sakral, suci dan merupakan syiar-syiar Islam dan syiar persatuan umat Islam. Apatah lagi, sesungguhnya kita ini umat Islam adalah umat yang satu. Dan Islam akidah dan agama kita pun satu, Allah Yang Maha Esa Tuhan yang kita sembah pun satu. Nabi Muhammad Saw, adalah Rasulullah yang kita ikuti pun satu. Dan Al-Quran beserta As-Sunnah, sumber utama rujukan kita dalam berhukum pun satu. Serta Syariah Islam kita pun satu.


Oleh sebab itu, ini pun sangat relevan dengan kaidah ushulul fiqih yang menegaskan:




أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية




“Perintah (keputusan) Imam (Khalifah/pemimpin Islam) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah)."






Oleh karena itulah, Khilafah akan mentabanni (mengadopsi) metode rukyatul hilal global. Berdasarkan nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits sharih Rasulullah Saw. Yang memerintahkan kita, untuk melihat hilal (rukyatul hilal). Dalam penentuan awal bulan puasa Ramadhan dan awal Syawal (Hari Raya Idul Fithri).

 

Dan ini sejalan dengan pendapat Jumhur Ulama, seperti yang disampaikan oleh imam Ibnu Hubairah rahimahulllah (w. 560 H), dalam kitab beliau, al-Ijma’ menyatakan:


“Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat: bahwa ketika bulan sabit (hilal) telah terlihat dan tersiar di suatu negeri pada saat malam, maka wajib puasa atas seluruh penduduk dunia. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Al-Isfirayaini yang menyatakan rukyat tersebut tidaklah mengikat bagi negeri-negeri yang lain untuk memulai puasa. Al-Qadhi Abu Thayyib At-Thabari menyalahkan pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah kekeliruan darinya. Tetapi, yang benar adalah jika penduduk suatu negeri melihat bulat sabit (hilal) Ramadhan, maka (rukyat) ini berlaku bagi seluruh manusia di negeri-negeri yang lain untuk berpuasa.” [Ibnu Hubairah (w. 560 H), Al-Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al-Arba’ah- Ahmad bin Hanbal-Abu Hanifah-Malik- Asy-Syafi’i, hal 77. lihat pula Ijmâ’ al-Aimmati al-Arba’ah wa Ikhtilâfuhum, juz 1 hlm. 287].



Begitu juga, yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab as-Sya’rani rahimahullah (w. 973 H), salah satu Ulama Madzhab Syafi’i yang pada masanya digelari dengan Al-Qutbur Rabbani, dalam kitab beliau, Al-Mîzân menyatakan:




واتفقوا عَلَى أَنَّهُ إذا رؤى الهلال فى بلدة قاصية أنه يجب الصوم على سائر أهل الدنيا، إلا أن أصحاب الشافعي صححوا أنه يلزم حكمه البلد القريب دون البعيد.




"Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat bahwa ketika bulan sabit (hilal) telah terlihat di suatu negeri, maka wajib puasa atas seluruh penduduk dunia. Hanya saja ashhab Syafi’iy telah mentashih bahwa hukum tersebut hanya mengikat (penduduk) negeri yang dekat, bukan (penduduk negeri) yang jauh." [Syaikh Abd al-Wahhâb asy- Sya’rani (w. 973 H), Al-Mîzân, juz 2 hal 273].



Dan juga ditegaskan pula, oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili rahimahullah, yang menyatakan:




وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لديّ توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.




“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) manurutku adalah yang lebih kuat (ar-râjih), karena akan dapat menyatukan ibadah seluruh kaum Muslim, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi di zaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan bahwa kewajiban shaum (puasa) itu terkait dengan rukyat, tanpa membedakan negeri-negeri yang ada." [Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz II hlm. 609].



Dan sebagai pengembangan dari metode rukyatul hilal global tersebut. Khususnya penentuan awal bulan Dzulhijjah, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), karena satu paket dengan ibadah kurban dan ibadah haji di tanah suci Mekkah. Maka, Khilafah akan memasrahkan kepada Wali Mekkah untuk mengawali rukyatul hilal Dzulhijjah. Bila tidak berhasil, maka rukyatul hilal akan tetap terus dilakukan di luar wilayah Mekkah atau di negeri-negeri kaum Muslimin lainnya. Sampai dapat dipastikan terlihat atau tidaknya hilal Dzulhijjah tersebut. Hasilnya akan segera diumumkan oleh Khalifah, secara resmi kepada seluruh umat Islam sedunia.


Ini sejalan dengan hadits Rasulullah Saw, diantaranya hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata:




أنَّ أمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قال: عَهِدَ إلَيْنا رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – أنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فإنْ لم نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا




“Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud dan Daraquthni).






Dan juga diantaranya, hadits Rasulullah Saw berikut ini:




صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا




“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu." (HR. An-Nasa'i).







*Khatimah*



Jadi, umat Islam bisa bersatu kembali dalam satu kepemimpinan politik Islam tunggal yakni Khilafah Islam, sehingga bisa bersatu kembali dalam semua lini kehidupannya, itu adalah sebuah keniscayaan. Tinggal proses dakwah dan politik yang kita lakukan secara konsisten dan terus-menerus saja. Dengan hanya meneladani thariqah/manhaj (metodologi) dakwah Rasulullah Saw. Dalam mewujudkannya dengan menetapi sunnatullah dan hukum sebab-akibatnya pula.


Dan juga waktulah, yang akan turut pula mewujudkannya, tentunya pun dengan pertolongan dan seizin Allah, insya Allah wa bi idznillah. Karena itu, umat Islam kelak bersatu kembali. Khususnya pun, bersatu dalam mengawali ibadah puasa Ramadhan dan Hari Raya Islam sedunia atau Hari Raya Idul Fitri, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha tersebut, why not (kenapa tidak) ?!.






Allahu yahdikum wa lana, wallahu musta'an. Wallahu a'lam bish shawab. []






#TumbangkanDemokrasi

#TegakkanKhilafah

#KhilafahPemersatuUmat

#KhilafahAjaranIslam

#ReturnTheKhilafah

#AbadKhilafah

Thursday, June 22, 2023

INDONESIA PASTI KHILAFAH*

 *INDONESIA PASTI KHILAFAH*


Oleh: Ustdz  Abulwafa Romli Reborn 


Bismillaahir Rahmaanir Rohiim


Maksudnya, pada waktunya Indonesia pasti akan menjadi Darul Islam, akan menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni kehidupan  bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya akan diatur dengan/oleh khilafah. 


Indonesia lebih dulu ada, sedang khilafah ala minhajin nubuwwah kedua belum dan akan ada. Terkait Indonesia bisa menjadi tempat pertama tegaknya khilafah ala minhajin nubuwwah atau Indonesia akan difutuhat oleh khilafah ala minhajin nubuwwah, semua itu bagian dari ilmu, qudrot dan irodat Allah swt, tetapi salah satu dari keduanya adalah keniscayaan. 


Alfaqir lebih meyakini bahwa Indonesia akan difutuhat oleh khilafah ala minhajin nubuwwah lalu menjadi bagian darinya, daripada menjadi tempat pertama tegaknya. Yang jelas Indonesia pasti akan diatur dengan sistem pemerintahan Islam warisan Rasulullah saw, khilafah ala minhajin nubuwwah. 


Di bawah adalah argumen syar'inya, baik naqli maupun aqli :


• Pertama, sabda Rasulullah saw :


عن تميم الداري عن النبي صلى الله عليه وسلم : ليبلغن هذا الأمر ما بلغ الليل والنهار، ولا يترك الله بيت مدر ولا وبر إلا أدخله الله هذا الدين بعز عزيز أو بذل ذليل، عزاً يعز الله به الإسلام، وذلاً يذل به الكفر. قال الألباني: رواه جماعة منهم الإمام أحمد وابن حبان والحاكم وصححه 


Dari Tamim Addaariy, dari Nabi SAW bersabda : "Sungguh urusan (agama / pemerintahan Islam) ini akan sampai ke seluruh dunia, sebagaimana sampainya siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan satu rumah cadas (rumah gedung punya orang kota) pun, dan tidak membiarkan satu rumah bulu (rumahnya orang pedalaman atau kampung) pun, kecuali Allah memasukkan ke dalamnya agama ini, dengan kemuliaan bagi orang yang mulia atau kehinaan bagi orang yang hina, kemuliaan yang Allah memuliakan Islam dengannya, dan kehinaan yang Allah menghinakan kekufuran dengannya". (Al Albani berkata: HR Jama'ah diantaranya Imam Ahmad,  Ibnu Hibban dan Hakim dan Ia menshahihkannya).


Catatan ; 


a) tidak ada pengecualian dari sampainya kekuasaan sistem pemerintahan Islam, khilafah keseluruh penjuru dunia, baik Indonesia maupun negara lainnya. 


b) pengertian kekuasaan khilafah itu diambil dari redaksi hadits, "dengan kemuliaan bagi orang yang mulia atau kehinaan bagi orang yang hina, kemuliaan yang Allah memuliakan Islam dengannya, dan kehinaan yang Allah menghinakan kekufuran dengannya". 


Sebagaimana dijelaskan di dalam Musnad Imam Ahmad, Tamim Addariy berkata:


" قَدْ عَرَفْتُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، لَقَدْ أَصَابَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمُ الْخَيْرُ وَالشَّرَفُ وَالْعِزُّ، وَلَقَدْ أَصَابَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ كَافِرًا الذُّلُّ وَالصَّغَارُ وَالْجِزْيَةُ "


"Aku benar-benar mengetahui hal itu pada keluargaku, dimana mereka yang memeluk Islam mendapat kebaikan dan kemuliaan, dan mereka yang tetap kafir mendapat kehinaan, kerendahan dan ditarik jizyah (pajak)".


Kita fokus pada redaksi, "dan mereka yang tetap kafir mendapat kehinaan, kerendahan dan ditarik jizyah (pajak)". Kuncinya terletak pada kata "ditarik jizyah (pajak)". Sebagaimana dalam firman Allah swt :


قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتى يؤتوا الجزية عن يد وهم صاغرون


"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk". (QS At-taubah ayat 29).


Catatan: jizyah ialah pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam (khilafah) dari orang-orang non muslim, sebagai imbangan bagi jaminan keamanan diri mereka. 


Jadi jelas bahwa yang akan menguasai dunia dan memasukkan agama Islam ke setiap rumah, adalah sistem pemerintahan Islam khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah, dimana Imam Mahdi adalah salah satu khalifahnya. Karena hanya khilafah lah yang secara syar'i berhak menarik jizyah hanya dari orang-orang non muslim yang menjadi warga negara. Dan jizyah itu bukan dhoribah /dhoroib yang juga diterjemahkan dengan pajak yang ditarik dari semua warga negara yang mampu. 


• Kedua, sabda Rasulullah saw terkait Imam Mahdi :


ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﻳﻘﺘﺘﻞ ﻋﻨﺪ ﻛﻨﺰﻛﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﻛﻠﻬﻢ ﺍﺑﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺛﻢ ﻻ ﻳﺼﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺛﻢ ﺗﻄﻠﻊ ﺍﻟﺮﺍﻳﺎﺕ ﺍﻟﺴﻮﺩ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻤﺸﺮﻕ ﻓﻴﻘﺘﺘﻠﻮﻧﻜﻢ ﻗﺘﻼ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﻠﻪ ﻗﻮﻡ ." ﺛﻢ ﺫﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﻻ ﺃﺣﻔﻈﻪ ﻓﻘﺎﻝ : " ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺒﺎﻳﻌﻮﻩ ﻭﻟﻮ ﺣﺒﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺜﻠﺞ ﻓﺈﻧﻪ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ." ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺛﻮﺑﺎﻥ ﻭ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ، ﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﺃﻳﻀﺎ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﺍﻟﺤﺬﺍﺀ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﻼﺑﺔ .


Rasulullah SAW bersabda: “Akan berperang di samping simpanan harta kalian tiga orang di mana semuanya anak khalifah, kemudian harta itu tidak dimiliki oleh salah seorang dari mereka. Kemudian muncul panji-panji hitam dari Timur, LALU MEREKA MEMERANGI KALIAN DENGAN PERANG YANG TIDAK PERNAH DILAKUKAN OLEH SUATU KAUM”. Kemudian Nabi menuturkan sesuatu yang aku tidak menghapalnya, lalu Nabi bersabda: “Apabila kalian melihatnya (Imam Mahdi), maka berbaiatlah kepadanya walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah al-Mahdi”.


Imam Ibnu Katsir berkata: “Yang dikehendaki dengan harta tersebut adalah harta yang tersimpan di dalam Ka’bah di mana tiga orang dari anak khalifah berperang untuk mengambilnya. Sehingga pada akhir zaman itu keluarlah Imam Mahdi dari negeri Timur ….. Allah mengokohkan Imam Mahdi dengan manusia dari negeri Timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan mengokohkan tiang-tiangnya. Dan panji-panji mereka adalah hitam, karena panji Rasulullah SAW yang bernama Rayatul ‘Uqab adalah hitam ….. Sesungguhnya Imam Mahdi yang keberadaannya dijanjikan pada akhir zaman itu akan keluar dari negeri Timur dan akan dibaiat disisi Ka’bah sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits”.(Imam Ibnu Katsir, an-Nihayah fil Fitan wa al-Malahim, juz 1, hal. 55-56).


Catatan;


a) Imam Mahdi adalah seorang khalifah yang dibaiat oleh kaum muslimin, dimana baiat adalah metode syar'i dalam pengangkatan khalifah. Imam Mahdi adalah pemimpin dalam sistem khilafah, yang menerapkan dan menjalankan hukum-hukum Allah / syariat Islam secara kaffah. Karena itu dia disebut sebagai khalifatullah, wakil Allah dalam mengatur bumi dengan hukum-hukum-Nya. Kata khalifatullah juga sebagai penguat bahwa Imam Mahdi itu benar-benar seorang khalifah, bukan raja, apalagi presiden. Dengan tidak memandang bahwa kata khalifatullah itu disabdakan oleh Rasulullah saw atau tambahan dari sanad atau rawi haditsnya. 


b) sebelum Imam Mahdi sudah ada khalifah yang tiga anaknya berperang karena berebut harta di bawah Ka'bah. Khalifah itu bukan raja kerajaan Arab Saudi, karena Nabi saw tidak pernah menyebut raja dengan sebutan khalifah, tapi sebaliknya Nabi saw menyebut khalifah dengan sebutan raja, yaitu khalifah yang telah cacat moral dan normanya, seperti halnya Muawiyah ra yang pernah bughot kepada khalifah Ali ra dan memulai mengangkat anaknya (Yazid) sebagai putra mahkota. 


c) Imam Mahdi yang datang dari Timur dan didukung pasukan panji hitam juga dari Timur akan memerangi kalian dengan sangat dahsyat, ya kalian, bukan mereka, sebagaimana dalam hadits. Kalian yang paling dekat dengan kondisi Nabi saw ketika bersabda adalah kalian umat Islam di Jazirah Arab, sekitar dan seterusnya. Yaitu umat Islam dari negeri-negeri Islam yang tidak mau menerima sistem khilafah, yang menolak dan menghalangi sistem khilafah, yang tidak mau tunduk dan bergabung dengan sistem khilafah. Setelah kalian umat Islam sudah tunduk dan bergabung dengan khilafah, maka selanjutnya Imam Mahdi akan memerangi mereka umat non muslim dari negeri kaum kuffar, sampai semuanya tunduk dan bergabung dengan khilafah. Ketika itu sudah sah dikatakan bahwa Imam Mahdi telah menguasai Dunia seluruhnya untuk menebarkan keadilan risalah Islam Rahmatan lil'Aalamiin. 


d) Imam Mahdi tidak berdiri dan berjuang sendirian, tapi berdiri dan berjuang di tengah-tengah para pejuang, sebagaimana perkataan Ibnu Katsir; "... Allah mengokohkan Imam Mahdi dengan manusia dari negeri Timur, mereka menolongnya, menegakkan kekuasaannya, dan mengokohkan tiang-tiangnya". Apalagi sebelumnya sudah berdiri khilafah dan sudah ada khalifah. Berarti sudah ada golongan yang berdakwah dan berjuang untuk menegakkan khilafah. Maka sangat keliru ketika kita meyakini kedatangan Imam Mahdi, tapi tidak mau berdakwah dan berjuang untuk menegakkan khilafah. Lebih keliru lagi ketika kita justru menjadi penghalang bagi tegaknya khilafah. Apakah kita yang seperti ini yang akan diperangi oleh Imam Mahdi?! 


e) dalam hadits ada kata "arrooyaat assuud", panji-panji  berwarna hitam. Artinya, panji-panji itu  berjumlah sangat banyak, tidak hanya dibawa oleh amirnya saja, tapi semuanya boleh/bisa membawanya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, "Dan panji-panji mereka adalah hitam, karena panji Rasulullah SAW yang bernama Rayatul ‘Uqab adalah hitam". Sedang golongan di seluruh dunia Timur yang sekarang lebih banyak mengibarkan panji-panji hitam hanyalah Hizbut Tahrir. 


• Ketiga, Indonesia adalah negara mayoritas muslim terbanyak di dunia, dimana Hizbut Tahrir telah menancapkan pohon-pohon dakwahnya sejak era 80-an sehingga akar-akarnya telah membesar nan kokoh menembus bumi pertiwi. Pohon-pohon itu semakin besar dan kokoh menjulang ke langit-langit dunia, sehingga bisa terlihat meskipun dari negeri timur dan negeri barat terjauh. Ketika khilafah ala minhajin nubuwwah telah tegak serta seorang khalifah telah dibaiat, maka seluruh syabab Hizbut Tahrir di seluruh dunia akan serentak menyambut dan membaiatnya. Bukan hanya itu, tapi akan berjuang dan mendesak semua negara dunia, termasuk Indonesia, agar segera bergabung dengan khilafah, daripada diperangi oleh khilafah. 


Khilafah yang baru berdiri pun tidak tinggal diam, tetapi segera mengirim delegasi ke seluruh negara-negara di dunia, dari yang terdekat hingga yang terjauh, dengan memobilisasi pasukan jihad fisabilillah, termasuk Indonesia. 


Dengan demikian, ada dua kekuatan besar yang yang mencengkeram dunia, pasukan jihad yang dikirim khilafah dari luar negerinya dan para syabab Hizbut Tahrir serta umat yang sudah rindu khilafah dari dalam negerinya. Jadi seluruh negara dunia akan ditarik oleh khilafah dari luar dan didorong oleh umat dari dalam agar bergabung dan menyatu dengan /kepada khilafah ala minhajin nubuwwah. Dan tidak ada dalil pengecualian khusus bagi Indonesia, baik naqli maupun aqli. Maka Indonesia pada waktunya pasti khilafah. Wallohu A'lam.

Tuesday, June 13, 2023

MENGENAL HIZBUT TAHRIR, KENALILAH PENDIRINYA (AL-'ALLAMAH SYAIKH TAQIUDDIN AN-NABHANI)

 •MENGENAL HIZBUT TAHRIR, KENALILAH PENDIRINYA (AL-'ALLAMAH SYAIKH TAQIUDDIN AN-NABHANI)

_____________________________________________

Oleh: Arief B. Iskandar

.....

Ada pepatah berhikmah mengatakan:

العالم لا يعرفه الا العالم

Ulama hanya bisa dimengerti oleh ulama.


Artinya, yang betul-betul bisa memahami keulamaan seseorang hanyalah ulama.


Siapa ulama? Selain seseorang yang mumpuni dalam keilmuan Islam, yang lebih penting,  ulama adalah orang yang paling memiliki rasa takut kepada Allah SWT (Lihat: QS Fathir [35]: 28).


Lalu apa hubungannya dengan urusan mengenal Hizbut Tahrir (HT)?


Tidak lain karena HT didirikan oleh seorang ulama, bahkan seorang ulama besar,  yakni Al-'Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, yang juga  memiliki rasa takut yang luar  biasa kepada Allah SWT, yang  sanggup menghilangkan rasa  takutnya kepada para  penguasa lalim dan keji.


Kebesaran keulamaan Syaikh Taqi tidak hanya diakui oleh murid-murid dan para pengikut beliau di HT, tetapi juga oleh para ulama lain yang sejawat dan sezaman dengan beliau. Bahkan ada ulama yang menilai Syaikh Taqi sebagai seorang  mujaddid dan mujtahid zaman  kini. Hal ini tidak aneh. Ulama manapun yang mukhlis dan jujur yang meneliti karya-karya Syaikh Taqi yang lebih dari 30 kitab, akan  menemukan betapa karya-karya Syaikh Taqi sangat luar biasa,  sangat mendalam dan luas pembahasannya,  yang mencerminkan kecemerlangan pemikirannya.


Wajar saja karena,  sebagaimana dituturkan oleh putranya,  beliau menamatkan lebih dari 30 ribu kitab, trmasuk tentu  buku-buku  karya  para  pemikir Barat yang banyak  beliau kritik secara mendasar. Seluruh karya dan pemikiran beliau inilah yang diwarisi oleh HT yang beliau dirikan. Karena  itulah, seluruh pemikiran mutabannat HT nyaris merupakan buah karya  pemikiran Syaikh Taqi, pendiri  sekaligus amir pertamanya.


Karena kedalaman, keluasan dan kecemerlangan  pemikirannya yang di atas rata-rata, sebagai seorang mujtahid dan sekaligus mujaddid, tidak jarang Syaikh  Taqi suka disalahpami, terutama oleh orang-orang  yang juga disebut "ulama"  tetapi kualitas pemikirannya  masih sangat jauh di bawah Syaikh Taqi, terutama yang tidak memahami ijtihad, apalagi oleh orang-orang kebanyakan  meskipun mungkin ia digelari "ustadz" di masyarakat.


Karena itu pula, untuk bisa  memahami HT, tentu harus  dipahami dulu seluruh pemikiran Syaikh Taqi. Tanpa itu, siapapun akan gagal memahami HT. Tidak aneh jika kemudian  muncul banyak tudingan pada  HT--yang berarti secara tidak langsung mengarahkan tudingannya kepada Syaikh Taqi  sebagai pendirinya--sebagai  sesat atau menyimpang. Padahal sang penuduh sendiri gagal memahami hakikat  pemikiran-pemikiran HT (baca: Syaikh Taqi).


Namun demikian, tulisan berikut tidak hendak  memaparkan hakikat pemikiran  HT atau Syaikh Taqi. Sebabnya, siapapun yang memang tulus dan berniat lurus hendak  memahami hakikat pemikiran  HT tinggal mendalami puluhan kitab-kitabnya sekaligus mengklarifikasinya kepada--atau mendialogkannya dengan--pihak-pihak yang paling memahami kitab-kitab tersebut di kalangan para aktivisnya. Tanpa itu, siapapun bisa dipastikan akan gagal  memahami HT karena pasti "berbicara tanpa ilmu".


Tulisan berikut--sebagaimana pernah dinukil dan ditulis oleh Ustadz Dodiman Muhammad Ali--hanya ingin menukil sebagian kecil komentar dari para  ulama yang memahami betul kredibilitas Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pendiri dan sekaligus amir pertama HT.


1. Komentar Al-Ustadz (Profesor) Zahir Kahalah-Direktur Administratif Fakultas al-'llmiyah al-lslamiyah  (Al-Azhar  asy-Syarif).


Beliau ini selalu menemani Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sejak menginjakkan kakinya di dunia fakultas. Beliau menceritakan tentang sifat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kata beliau:


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang yang jujur, mulia, bersih, ikhlas, bersemangat, bergelora dan merasa pedih atas apa yang menimpa umat Islam akibat dari ditanamnya institusi Israel di dalam jantung mereka.


Beliau adalah seorang yang sedang perawakannya, kuat fisiknya, penuh semangat, berapi-api, pandai dalam perdebatan, yang jika berargumentasi mematikan, dan tegas dengan sesuatu yang diyakininya benar. Beliau berjenggot sedang bercampur uban serta selalu berpakaian dengan pakaian para ulama: jubah, qufthan (pakaian panjang dipakai di atas jubah), dan sorban.


Beliau seorang yang berkepribadian kuat, bicaranya menyentuh, dan argumentasinya menyakinkan. Beliau sangat benci dengan perbuatan yang sia-sia, kurangnya percaya diri, serta ketidakpedulian terhadap kemaslahatan umat. Beliau juga sangat membenci seseorang yang hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri dan tidak beraktivitas untuk kebaikan umat. Beliau mengkritik para ulama Syam yang hanya tenggelam dengan emosi-emosi keagamaan dan tidak bergerak dalam lingkaran aktivitas-aktivitas politik Islam (Lihat. Hizb at-Tahrir al-lslami, hlm. 51)


2. Komentar Syaikh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi.


Sebagaimana dikutip oleh salah seorang anggota Hizbut Tahrir  Sudan, dalam tayangan Youtube yang diupload oleh Mazin Abdul Adhim, Syaikh Asy-Sya'rawi memberikan komentar yang positif tentang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Cuplikannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: 


When he was asked, ”What do you know about Taqiyuddin An Nabhani?” “He said, ”He was a Sahabi who was delayed to an era that was not his.”  “He had long silences, and if he spoke, his words were pearls.” “His proofs were powerful, he was convincing and was firm in the opinions he believed in”. ”This sheikh, Taqiyuddin An Nabhani, while we reviewed our studies in Al Azhar, he would be reading news about the Muslims and their affairs.” “So he had those characteristics.”


(Ketika beliau ditanya, “Apa yang Anda ketahui tentang Taqiyuddin An Nabhani?” Beliau menjawab, ”Dia adalah sahabat [Nabi  saw.] yang tertunda ke masa yang bukan miliknya. Beliau banyak diam dan jika bicara, kata-katanya adalah mutiara. Hujjahnya kuat, meyakinkan dan tegas pada pendapat yang beliau yakini. Syaikh ini, Taqiyuddin an-Nabhani, sementara kami persiapan ujian pelajaran di Al Azhar, ia akan membaca berita tentang kaum Muslim dan urusan mereka. Itulah karakteristik dia).” 


Dalam kitab Ahbabullah (Para Kekasih Allah), seorang aktivis senior Hizbut Tahrir, Muhammad Hatim Mishbah Nashiruddin, menulis memoar dakwahnya sebagai berikut:


Saya menyebutkan di awal tulisan “Seorang laki-laki Alma’iy Mujaddid Abad Kedua puluh”. Terhadap kata “Alma’iy” ini ada kisah terkenal yang diketahui oleh sahabat Syaikh Taqiyuddin saat belajar di Al-Azhar yang sezaman pada saat itu, di antaranya Syaikh  Mutawali asy-Sya’rawi. Syaikh asy-Sya'rawi berkata:  "Sungguh, Syaikh Taqiyuddin mengumpulkan kertas dari berbagai surat kabar dan menyimpannya. Beliau memperhatikan apa yang tertulis di dalamnya mengenai masalah politik. Ajaib, sungguh kedudukan dia paling utama di antara kami."


(Kata al-alma’iy, merujuk kembali ke Kamus Al Muhith [III/82] al alma’a – al alma’iy – al yalma’iy = adz-dzakiy al-mutawaqqid =orang yang cerdas dan bersinar... yakni seorang pemikir cerdas dan berpikir cepat. Terletak di dinding Al-Azhar asy-Syarif lembaran yang tertulis, “Seorang yang cerdas dan bersinar sejak tiga ratus tahun adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani”. Namun, tulisan tersebut dihilangkan sama sekali oleh  penguasa Mesir saat itu,  Gamal Abdul Nasser, setelah

Syaikh Taqi mendirikan Hizbut Tahrir).


3. Komentar Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Masari.


Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Masari, tokoh ulama, pendiri Tanzhim At-Tajdid al-Islamiy dalam halaman persembahan kitab, “Tha’atu Ulil Amri”, memberikan apresiasi khusus kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau menyatakan:


“Kepada Mujaddid abad ini dan teladan ulama aktivis: Al-'Alim Al-Mujahid al-Imam ar-Rabbaniy Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri “Hizbut Tahrir” yang telah meletakkan batu pondasi bagi pemikiran Islam kontemporer yang agung dan pergerakan yang mukhlish dan berkesadaran tinggi. Semoga Allah mengangkat derajatnya bersama para nabi, shiddiqiin, syuhada dan orang-orang shalih.”


4. Komentar Asy-Syahid Sayyid Qutb (Tokoh Terkemuka Ikhwanul Muslimin).


Al-Ustadz Ghanim Abduh – salah seorang anggota Hizbut Tahrir senior  yang terkenal – menceritakan bahwa Sayyid Qutb rahimahullah menyanjung dan memuji  Syaikh Taqiyudin an-Nabhani di salah satu forum ilmiyah yang beliau pimipin.


Sanjungan dan pujian beliau ini merupakan bentuk penolakan atas sikap banyak orang yang mulai menyerang dan merendahkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Di antara pernyataan Sayyid Qutub terkait Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, “Sesungguhnya Syaikh ini – yakni Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani—dengan kitab-kitabnya telah sampai pada derajat ulama-ulama kita terdahulu.” (Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah, hlm. 81).


5. Komentar Syaikh Yusuf Badarani.


Dalam buku Ahbabullah (Kekasih-kekasih Allah) karya Syaikh Thalib Awadallah, Syaikh  Yusuf al-Badarani mengungkapkan sosok Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai berikut:


"Allah SWT telah mengistimewakan kaum Mukmin dengan karunia sehingga kita mengetahui sistematika kaidah-kaidah tersebut sebagai bagian dari karunia Allah yang diberikan kepada kita melalui tangan seorang jenius, faqih luar biasa. Seorang yang huruf dan kata-kata tidak cukup untuk memujinya atau menggambarkan pribadinya. Oleh karena itu, cukup aku tunjukkan orang itu, seseorang yang aku panggil 'Abu Ibrahim' yaitu asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.”


6. Komentar Syaikh Hasan al-Bana (Pendiri  Ikhwanul  Muslimin).


Pendiri Ikhwanul Muslimin ini memberikan komentar kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: “Sungguh saya mendapatkan as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani  seorang yang alim, cerdas, serius dan bersungguh-sungguh.” 


7. Komentar Syaikh Muhammad Dawud Audah (Anggota Majlis Palestina).


Muhammad Dawud Audah menceritakan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang yang fakir dan beliau wafat dalam keadaan fakir. Beliau tinggal di lantai lima pada sebuah apartemen. Beliau dengan rendah hati menaiki apartemennya dengan jalan kaki, sebab di apartemen itu masih belum ada lift.

(Lihat. Program Syahid 'ala al-Ashr, channel al-Jazirah, pada Sabtu sore 16 April 2005).


Di luar itu,  Syaikh Taqi memiliki sejumlah kejeniusan yang luar biasa. 


Beliau, sebagaimana pernah dinukil oleh Ustadz Irvan Abu Naveed, memiliki kemampuan intelektual antara lain sebagai berikut:


• Syaikh Taqiyuddin telah dikaruniai hapalan Eidetic yang membuat beliau bisa mengingat kembali semua yang beliau inginkan, dengan sekali membaca buku.

• Putra beliau, Syaikh Ibrahim an-Nabhani berkata, “... Hapalan beliau yang luar biasa membuat beliau sanggup menghapal banyak hal.”

• Al-Soori berkata, “... Ingatan yang sangat luar biasa yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata...”

• Kebanyakan buku-buku beliau dikarang/ditulis dari ingatan beliau tanpa satu pun rujukan di tangan (hanya mengandalkan hapalan).

• Syaikh Sabri al-Aroori berkata, “Kebanyakan buku beliau telah dihasilkan dengan rujukan yang sedikit.”

• Putra beliau, Syaikh Ibrahim berkata, “Beliau pernah menghapal segala-galanya (dan menggunakan itu).”

• Jumlah fatwa, Soal-Jawab, dan analisis yang beliau keluarkan mencapai ribuan.

• Syaikh Sabri al-Arouri meriwayatkan, Syaikh Taqiyuddin mengarang “Mafahim Hizbut Tahrir” dari ingatannya.

• Putra beliau, Syaikh Ibrahim meriwayatkan, “... Saya tidak akan sampai separo halaman, sampai saya diberi halaman berikutnya..."

• Syaikh Sabri al-Aroori meriwayatkan, “... Beliau menulis selama dua jam tanpa henti untuk menulis kitab Mafahim Hizbut Tahrir itu...”

• Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Juz III (salah satu masterpiece beliau di bidang Ushul Fiqih), ditulis hanya dalam waktu 3 hari.


Al-’Allamah Prof. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi memberikan pengakuan:


• “Beliau adalah seorang sahabat [Nabi] dari zaman yang berbeda ...”

• “Informasi ini tidak mengherankan, karena kami pernah belajar di Universitas al-Azhar pada masa itu... “

• “Beliau banyak diam, tetapi ketika beliau bercakap, bicaranya adalah mutiara; hujah yang kuat, meyakinkan, tegar pada pendapat yang beliau yakini.”


Suatu ketika, Syaikh Ahmad Da’oor berkata:


• “Kami telah mencari ulama dalam bahasa Arab, dan yang lain dalam Usul, dan yang lain dalam fiqh atau politik atau di seluruh bidang ilmu yang berbeda, tetapi mempunyai seorang yang merangkumi semua itu sekaligus mengetahui realitas politik.., kita tidak menemukan yang lain seperti Abu Ibrahim (Syaikh Taqiuddin) yang merangkumi semua itu.”


Syaikh Sayyid Sabiq:


• “... Beliau berkata dan banyak memuji kecerdasannya, dan mengatakan, bahwa beliau mengunjunginya di Palestina setelah tahun 40-an, ketika Syaikh Taqiuddin menjadi Qadhi ...”


• “... Bagi Syaikh Sayid Saabiq, beliau memuji Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai orang yang jenius, yang mahir dan banyak mengambil perhatian tentang Islam ketika beliau menyedarinya hanya 5 tahun sebelum beliau mendirikan HT itu.”


Khatimah


Itulah sekelumit komentar dari sedikit ulama tentang kekagumannya pada sosok Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama besar abad ini.


Karena itu siapapun yang merendahkan dan melontarkan ragam tudingan palsu pada HT yang Syaikh Taqi dirikan--yang mewarisi seluruh pemikiran beliau--hendaknya membuktikan kebenaran tudingannya. Jika tidak, hendaknya ia segera memohon ampunan kepada Allah SWT karena kebodohannya tentang HT dan tentang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pendiri sekaligus amir pertamanya.


Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Thursday, June 8, 2023

PEMUDA PEMBUKA JALAN HIJRAH

 *PEMUDA PEMBUKA JALAN HIJRAH*


13 tahun. Bukan waktu yang sebentar Rasulullah saw habiskan untuk menyampaikan ajaran Islam di kota Mekkah. Hasilnya? Hanya segelintir penduduk saja yang dapat hidayah dan masuk Islam. Meski begitu, dakwah must go on. Rasulullah saw pun diperintahkan untuk berhijrah ke Yatsrib alias Madinah. 


Demi mempersiapkan tempat yang menjadi tujuan hijrah, Rasulullah saw mengutus salah satu sahabatnya ke Yatsrib. Dan pilihannya jatuh pada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Siapa dia? 


*# Menjual Dunia Demi Akhirat*


Ia adalah Mush’ab bin Umair. Pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat. 


Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim). 

Mush’ab bin Umair hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi saw di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya. Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. 

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.


Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus berdiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.  


Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.


Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah saw sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).


*# Duta Pertama Islam*


Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi dengan keilmuan yang mendalam dan kecerdasan yang tinggi. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.


Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajarkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. 


Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.


Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.


Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.


Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.


Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!” Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.


Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).


*# Mujahid Tulen*


Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata: Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kuda dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai'ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).


Setelah perang usai, Rasulullah saw  memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah saw mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya.


Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”


Maa Syaa Allaah, kelu rasanya ngegambarin mulianya pribadi Mush’ab bin Umair ini . Kalo lihat remaja sekarang yang manjanya gak ketulungan, apa iya bisa kayak Mush’ab bin Umair? Jawabnya pasti bisa, asalkan kamu2 jadiin Islam sebagai landasan. Bangga dengan Islam, bangga nyebarin pemikiran islam, istiqomah, dan yakin akan pertolongan Allaah. Yup, kamu pasti bisa! []

13 tahun. Bukan waktu yang sebentar Rasulullah saw habiskan untuk menyampaikan ajaran Islam di kota Mekkah. Hasilnya? Hanya segelintir penduduk saja yang dapat hidayah dan masuk Islam. Meski begitu, dakwah must go on. Rasulullah saw pun diperintahkan untuk berhijrah ke Yatsrib alias Madinah. 


Demi mempersiapkan tempat yang menjadi tujuan hijrah, Rasulullah saw mengutus salah satu sahabatnya ke Yatsrib. Dan pilihannya jatuh pada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Siapa dia? 


*# Menjual Dunia Demi Akhirat*


Ia adalah Mush’ab bin Umair. Pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat. 


Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim). 

Mush’ab bin Umair hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi saw di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya. Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. 

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.


Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus berdiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.  


Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.


Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah saw sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).


*# Duta Pertama Islam*


Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi dengan keilmuan yang mendalam dan kecerdasan yang tinggi. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.


Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajarkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. 


Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.


Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.


Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.


Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.


Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!” Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.


Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).


*# Mujahid Tulen*


Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata: Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kuda dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai'ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).


Setelah perang usai, Rasulullah saw  memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah saw mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya.


Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”


Maa Syaa Allaah, kelu rasanya ngegambarin mulianya pribadi Mush’ab bin Umair ini . Kalo lihat remaja sekarang yang manjanya gak ketulungan, apa iya bisa kayak Mush’ab bin Umair? Jawabnya pasti bisa, asalkan kamu2 jadiin Islam sebagai landasan. Bangga dengan Islam, bangga nyebarin pemikiran islam, istiqomah, dan yakin akan pertolongan Allaah. Yup, kamu pasti bisa! []


_Buletin Teman Surga Edisi #220 (Dzulkaidah 1444 / Mei 2023)_

Thursday, June 1, 2023

KEKELIRUAN ISTILAH “SISTEM BAKU KHILAFAH” PROF. MAHFUD MD

 KEKELIRUAN ISTILAH “SISTEM BAKU KHILAFAH” PROF. MAHFUD MD


Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi .


Sudah tersebar luas tantangan Prof Dr Mahfud MD   via akun twitter beliau agar para penyeru khilafah menunjukkan sistem baku Khilafah. Prof. Mahfud MD menulis di akun twitter-nya,”Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur`an dan Hadits maka saya akan langsung mempejuangkan khilafah bersama mereka. Ayo.” Dalam tweet beliau yang lain,”Sy bilang, ayo siapa yg bs tunjukkan sistem khilafah yg baku saya akan jd pengikutnya. Tapi tdk pernah ada, tuh.”


Istilah “sistem baku” nampaknya menjadi satu terminologi kunci (keyword) dalam pernyataan Prof. Mahfud MD di atas. “Sistem yang baku” secara etimologis dapat dimaknai sebagai sistem yang pokok dan utama, atau sistem yang menjadi tolok ukur, atau sistem yang standar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata baku diartikan sebagai berikut; 1. Pokok; utama; 2. Tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. (Lihat : https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/baku.html, diakses 9 Desember 2017, pukul 01.35 WIB). 


Maka dari itu, “sistem khilafah yang baku” kurang lebih dapat diartikan sebagai sistem khilafah yang standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Dengan demikian, mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya), jika dalam sistem khilafah terdapat suatu hukum atau opini yang tidak standar, atau tidak disepakati, yakni terdapat khilafiyah alias beberapa versi hukum atau opini dalam sistem khilafah, maka sistem khilafah itu dikatakan tidak baku.


Jika memang benar demikian yang dimaksud Prof. Mahfud MD dengan istilah “sistem baku khilafah”, maka memang benar seperti yang disimpulkan sendiri oleh Prof. Mahfud MD, bahwa sistem khilafah yang baku ”…tidak pernah ada, tuh.” Sebab siapapun yang mengkaji fiqih khilafah secara detail, pasti akan menjumpai banyak hukum atau opini yang khilafiyah alias tidak baku. Sebagai contoh, persyaratan seorang khalifah apakah dia harus orang Quraisy atau tidak, ada khilafiyah di sini. Jumhur ulama mewajibkan khalifah harus orang Quraisy. Sementara sebagian ulama, seperti Qadhi Abu Bakar Al Baqilani, Ibnu Khaldun, dan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, tidak mewajibkan khalifah dari suku Quraisy. Identitas Quraisy bagi khalifah hanya dianggap sebagai keutamaan (afdhaliyah) saja, bukan kewajiban. (Lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun, III/527; Fathul Bari, XVI/237).


Contoh lain, persoalan apakah khilafah harus tunggal (satu) untuk seluruh dunia atau tidak, yaitu boleh berbilang (ta’addud) alias lebih dari satu, juga ada khilafiyah di sini sehingga tidak baku. Ada dua versi pendapat ulama dalam masalah ini. Jumhur ulama seperti imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, mewajibkan khilafah yang tunggal untuk seluruh dunia. Sementara sebagian ulama, seperti Imam Abu Ishaq Al Isfarayini, Abdul Qahir Al Baghdadi, dan Imam Al Haramain (Al Juwaini) berpendapat boleh-boleh saja ada lebih dari satu khilafah untuk seluruh dunia. (Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al ‘Ilmiyah, 1980, hlm. 314).


Dari contoh di atas, jelaslah bahwa sistem khilafah yang baku, memang tidak ada. Prof. Mahfud MD dalam hal ini benar. Karena faktanya memang terdapat beberapa versi pendapat dalam cabang-cabang hukum dalam pembahasan khilafah. Tapi pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i? Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?


Sesungguhnya, jika penalaran Prof. Mahfud MD tentang “sistem yang baku” itu diikuti, niscaya akan gugurlah banyak kewajiban syar’i yang ada dalam ajaran Islam. Karena adanya khilafiyah tentu tidak hanya ada dalam pembahasan khilafah, tapi juga ada dalam pembahasan bab-bab fiqih yang lain, seperti wudhu, sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam wudhu, misalnya ada perbedaan pendapat ulama mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak. Mengikuti logika Prof. Mahfud MD, berarti wudhu itu tidak baku. Dalam sholat Shubuh, ada yang membaca Qunut ada yang tidak. Artinya, menurut logika Prof. Mahfud MD, sholat Shubuh tidak baku. Dalam puasa Ramadhan, Imam Malik mencukupkan niat satu kali untuk seluruh bulan Ramadhan, sementara jumhur ulama mewajibkan niat untuk setiap hari pada bulan Ramadhan. Maka mengikuti penalaran Prof. Mahfud MD, puasa Ramadhan tidak baku. Dalam haji, mazhab Syafi’i dan Maliki membolehkan wanita yang berangkat haji meski tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedang mazhab Hanafi dan Hambali, wanita wajib disertai mahram atau suami. Walhasil, kalau menuruti Prof. Mahfud MD, haji tidak baku.


Nah, jika wudhu, sholat, puasa, dan haji itu tidak baku, lantaran banyak khilafiyah dalam cabang-cabang hukumnya, maka menurut penalaran Prof. Mahfud MD, berarti wudhu, sholat, puasa, dan haji hukumnya tidak wajib semuanya, atau mungkin hukumnya mubah (boleh) dan boleh diganti sendiri oleh manusia dengan tatacara ibadah lain bikinan manusia sendiri. Tapi apakah memang Prof. Mahfud MD memang ingin menggugurkan atau bahkan menghapuskan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji dari agama Islam? Tentunya jawabannya adalah negatif. Tidaklah mungkin Prof. Mahfud MD akan berani dan lancang menggugurkan kewajiban wudhu, sholat, puasa, dan haji, dengan dalih tidak ada sistem yang baku untuk masing-masingnya.


Dari sinilah nampak ada cacat atau kejanggalan dalam konstruksi argumen Prof. Mahfud MD yang menggunakan kata kunci “sistem baku khilafah”. Jika ditelusuri secara mendalam cara berpikir Prof. Mahfud MD, kecacatan argumen itu nampak dalam aspek epistemologisnya. Prof. Mahfud MD menggunakan logika silogisme, padahal seharusnya kalau bicara hukum Islam menggunakan pendekatan penalaran ushul fiqih. Di sinilah cacat epistemologis yang ada dalam penalaran Prof. Mahfud MD mengenai istilah “sistem baku khilafah”.


Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat ilmu yang bicara mengenai asal usul (source) dari suatu pengetahuan dan bagaimana metode (method) yang dipakai untuk menemukan suatu pengetahuan. Jika bicara hukum Islam, misalnya untuk menentukan status suatu perbuatan apakah ia wajib, atau sunnah, atau mubah, maka penalaran yang digunakan, yaitu proses istinbath (penyimpulan) hukum dari sumber hukumnya, semestinya menggunakan penalaran ushul fiqih. Inilah epistemologi yang benar, bukan menggunakan logika sebagaimana Prof. Mahfud MD.


Dalam istilah “sistem baku khilafah”, nampaknya Prof. Mahfud MD menggunakan salah satu cara inferensi (penarikan kesimpulan) yang ada dalam ilmu logika (manthiq), yaitu silogisme. Premis mayor (muqaddimah kubra) yang ada adalah : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Sedang premis minor (muqaddimah shughra)-nya : khilafah tidak baku. Maka kesimpulan (conclusion, natijah) yang diperolah adalah : sistem khilafah tidaklah wajib. Demikianlah kira-kira proses penalaran yang digunakan Prof. Mahfud MD.


Sebenarnya, penggunaan logika (termasuk silogisme) tidaklah selalu salah. Penggunaan logika termasuk silogisme boleh-boleh saja, tetapi ada syaratnya. Syekh Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dalam kitabnya At Tafkiir (1973 : 13-14) menerangkan bahwa penggunaan logika disyaratkan premisnya haruslah berupa suatu proposisi yang diyakini kebenarannya atau harus merupakan suatu realitas yang terindera (al waqi’ al mahsuus). Jika tidak memenuhi syarat ini, maka suatu penalaran dengan logika akan dapat menimbulkan kesalahan penalaran atau kesesatan (qaabiliyah al dhalaal), dan bahkan dapat menimbulkan kontradiksi (at tanaaqudh) dalam satu persoalan. Sebagai contoh, dalam persoalan apakah Al Qur`an itu makhluk atau kalamullah, bisa jadi seseorang berargumen begini, premis mayor : Al Qur`an itu adalah kalamullah. Premis minornya : kalamullah itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Kesimpulannya, Al Quran itu qadiim (terdahulu, bukan makhluk). Pada saat yang sama, orang lain dapat pula menggunakan cara penalaran logika yang sama, tapi kesimpulannya dapat sangat bertolak belakang. Premis mayornya: Al Qur`an itu berbahasa Arab. Premis minornya : bahasa Arab itu sesuatu yang baru (hadits). Kesimpulannya, Al Qur`an adalah sesuatu yang baru (hadits) alias makhluk. (Taqiyuddin An Nabhani, At Tafkiir, hlm. 13-14).


Kembali pada logika yang digunakan Prof. Mahfud MD. Nampak jelas bahwa logika yang digunakan Prof. Mahduf MD ternyata menggunakan premis yang salah, yaitu premis mayornya yang berbunyi : segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib. Inilah sumber masalahnya. Premis ini sudah dijelaskan kecacatannya di atas. Bisa kita uji premis mayor itu dengan bertanya, apakah sesuatu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah wudhu yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Apakah sholat yang tidak baku lalu hukumnya tidak wajib? Apakah haji yang tidak baku lantas hukumnya tidak wajib? Tidak demikian, bukan? Nah, pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk khilafah, apakah khilafah yang tidak baku berarti tidak wajib?


Dalam epistemologi hukum Islam, wajib atau tidak wajibnya suatu hukum tidaklah dilihat dari segi apakah sistem bakunya ada atau tidak ada, tetapi dilihat apakah amar (perintah) atau thalabul fi’li (tuntutan untuk berbuat) yang terdapat dalam suatu dalil (ayat Al Qur`an atau Hadits), apakah disertai indikasi (qariinah) yang menunjukkan kewajiban atau tidak. Jika amar atau thalabul fi’li yang ada disertai dengan qariinah (indikasi) yang menunjukkan wajib, misalnya ada kecaman atau celaan yang keras bagi yang meninggalkannya, berarti amar atau thalabul fi’li itu statusnya wajib. Jika tidak ada kecaman yang keras, status amar itu mungkin bisa sunnah atau mubah, bergantung pada qariinah-nya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/39).


Sebagai contoh, ayat Al Qur`an menunjukkan ada amar atau thalabul fi’li untuk melakukan sholat,”Aqiimush sholaata wa aatuz zakaata warka’uu maa’r raaki’iin” yang berarti,”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'” (QS Al Baqarah [2] : 43). Ternyata amar untuk melakukan sholat ini disertai qariinah (indikasi petunjuk) berupa kecaman keras untuk orang yang meninggalkan sholat, yang berarti sholat itu wajib hukumnya. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi,”Maa salakakum fii saqar, qaaluu lam naku minal musholliin,” yang artinya,”(Malaikat penjaga neraka bertanya),’Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).


Inilah cara penalaran yang benar dalam proses istinbath hukum, yakni dengan menggunakan pendekatan ushul fiqih. Jadi, suatu hukum berstatus wajib atau tidak wajib, dilihat oleh seorang mujtahid dari segi amar yang ada, kemudian dilihat qariinah-qariinah yang ada, lalu ditarik kesimpulan hukum syara’-nya.


Penalaran tersebut sangat berbeda dengan pendekatan manthiq (logika) yang semestinya tidak digunakan dalam hukum Islam. Orang yang semata menggunakan logika, boleh jadi hanya akan menilai suatu ketentuan hukum itu baku atau tidak baku. Kalau baku, hukumnya wajib, sedang kalau tidak baku, berarti tidak wajib. Dengan penalaran yang demikian, orang ini dapat saja menyimpulkan sholat itu tidak wajib. Mengapa? Karena dia akan mendapatkan bahwa tatacara sholat ternyata tidak baku. Misalnya ada yang sholatnya pakai Qunut ada yang tidak Qunut. Ada yang menganggap tumakninah sebagai rukun sholat, ada yang tidak menganggap tumakninah sebagai rukun sholat (mazhab Hanafi). Ada yang menganggap membaca Al Fatihah itu rukun sholat, ada yang mengatakan yang rukun hanyalah membaca Al Qur`an (mazhab Hanafi). Lalu dia dengan gegabah akhirnya menyimpulkan, “Oh ternyata sholat itu tatacaranya tidak baku ya, kalau begitu berarti sholat itu hukumnya tidak wajib.” Jelas ini adalah kesimpulan yang sesat dan jauh dari kebenaran. Astaghfirullahal ‘azhiem, na’uuzhu billahi min dzaalik.


Jelas penalaran logika semata ketika bicara hukum Islam adalah penalaran yang cacat dan tidak pada tempatnya. Cacat epistemologis yang parah dan fatal ini sungguh tidak hanya menyesatkan orang itu sendiri, tetapi juga menyesatkan orang lain, bahkan dapat menyesatkan berjuta-juta manusia di sebuah masyarakat atau negara. Sungguh Allah SWT kelak di Hari Kiamat akan meminta pertanggung jawaban kepada orang zalim yang telah menyesatkan manusia-manusia lainnya. Firman Allah SWT (artinya),”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa` [17] : 36).


Ya Allah lindungilah kami dari kesesatan. Tunjukilah kami selalu pada jalan-Mu yang lurus. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah! 


#AamiinYaRabbalAlamiin