Tuesday, March 30, 2021

Menepis Fitnah Terhadap Hizbut Tahrir di Majalah Tauiyah Sidogiri

 *Menepis Fitnah Terhadap Hizbut Tahrir di Majalah Tauiyah Sidogiri*



Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha bersikap ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami dengan baik pendapat Hizbut Tahrir dalam perkara yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersebut.


Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.


*Tanggapan untuk Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani*


Menurut penulis Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.


*Tanggapan:* 

Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.


فَننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كان ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها


“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)


Maksudnya di situ adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.


Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klam penulis adalah tidak benar.


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan*


Menurut penulis Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.


*Tanggapan:* 

Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang  berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.


Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum*


Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam kitab Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.


*Tanggapan:*

Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi dan Al-Imam Az-Zarkasyi rahimahumullah.


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.


“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)


Bahkan merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)


Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)


Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir?


*Tanggapan untuk Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati*


Klaim ke-empat; penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).


*Tanggapan:*

Singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah.


Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.


Ke-dua; penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:


ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ


“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)


Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:


وكل ذلك ليس بمهم


“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)


Maksud beliau bukan ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dhaririyatisy-syar’i).


فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.


“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharuruyyat asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)


Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak terlalu penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.


Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah tersebut. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilaf fiqhi, karena dibahas dalam konteks akidah, menjadi dianggap sebagai khilaf ‘aqaidi yang memicu fanatisme.


Nah, dengan uraian ini terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir dalam perkara yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan lebih pada usaha provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dipahami bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat daripada bersikap inshaf (adil). [Azizi Fathoni K]

Thursday, March 25, 2021

MANHAJ SYAIKH TAQITUDDIN Al-NABHANI DALAM SIRAH NABAWIYAH

 MANHAJ  SYAIKH TAQITUDDIN Al-NABHANI DALAM  SIRAH NABAWIYAH


(Memahami Kehujjahan Sirah Nabawiyah dan Metode Dakwah Nabi)


Oleh: Yuana Ryan Tresna


Sebagian kalangan mengatakan bahwa Sirah Nabawiyah tidak bisa dijadikan dalil, termasuk dalil bagi metode dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya aktivitas thalab al-nushrah. Untuk menjawab hal itu dapat kita kembalikan pada dua hal:  (1) sirah nabawiyah adalah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits, dan (2) metode dakwah Nabi (termasuk thalab al-nushrah) juga termaktub pada kitab-kitab hadits induk yang statusnya shahih.


Sirah Nabawiyah Bagian dari Hadits


Imam Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I hlm. 351 menyatakan bahwa sirah adalah bagian dari hadits. Sirah pada dasarnya mengabarkan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sirah adalah sumber hukum syariah sebagaimana al-Qur’an. Karena faktanya objek yang dikabarkan dalam sirah adalah objek tasyri’. Pada konteks inilah sirah nabawiyah adalah dalil syariah. Selain itu, merujuk kepada sirah juga sebagai bentuk implementasi dan ketundukan pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan.


Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan,


وتعتبر السيرة من أهم ما يجب على المسلمون العناية به، لأنها تحوي أخبار الرسول- صلى الله عليه وسلم -، من أعماله وأقواله وسكوته وأوصافه، وهذه كلها تشريع كالقرآن، فالسيرة مادة من مواد التشريع، ولذلك تعتبر جزءاً من الحديث، وما صح فيه عن النبي – صلى الله عليه وسلم – رواية ودراية يعتبر دليلاً شرعياً، لأنه من السنة، هذا فضلاً عن الاقتداء بالرسول – صلى الله عليه وسلم – مأمورون به من الله تعالى ، قال الله تعالى { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } . فالعناية بالسيرة وتتبعها أمر شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352(


“Sirah dianggap sebagai perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh kaum muslim, karena mencakup pemberitaan tentang perbuatan, perkataan, diam, serta sifat-sifat Rasul. Semuanya merupakan tasyri’ sebagaimana al-Quran. Sirah merupakan salah satu materi tasyri’. Sirah merupakan bagian dari hadits, dan apa saja yang shahih dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara riwayah ataupun dirayah dianggap sebagai dalil syara’, karena termasuk bagian dari Sunnah. Apalagi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ (TQS. al-Ahzab [33]: 21). Dengan demikian memperhatikan sirah dan mengikutinya adalah perkara yang syar’i.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)


Kitab sirah yang dapat dijadikan rujukan tentu saja yang memiliki sumber dan jalur periwayatan. Terdapat perbedaan antara kitab sirah pada era periwayatan dan tadwin hadits dengan yang disusun pada zaman setelahnya. Penyusunan kitab sirah pada abad ke-2 sampai abad ke-4 adalah seperti apa yang dilakukan oleh para ulama hadits dalam menyusun (mengumpulkan) hadits. Para ulama juga telah melakukan seleksi atas periwayatan dalam kitab-kitab sirah tersebut. Menyebutkan mana yang shahih dan mana yang dha’if.


Terkait kitab sirah terdahulu, syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerangkan sebagai berikut,


أن القدامى كانت طريقتهم في السيرة والتاريخ تعتمد على رواية الأخبار، وقد بدأ المؤرخون شفوياً، وبدأ الجيل الأول الذي شاهد أعمال الرسول – صلى الله عليه وسلم – أو سمع عنها ورواها يرويها لغيره، وتحملها عنه الجيل الذي بعده، وقيّد بعضهم منها أحاديث متفرقة كالتي تُرى في كتب الحديث حتى الآن، حتى إذا جاء القرن الثاني رأينا بعض العلماء يبدءون في جمع أخبار السيرة، وضم بعضها إلى بعض، وتدوين ذلك بطريق الرواية، بذكر اسم الراوي، ومن روى عنه، تماماً كما يفعل في الحديث. ولذلك يستطيع علماء الحديث ونُقّاده أن يعرفوا أخبار السيرة الصحيحة المقبولة من الضعيفة المردودة بمعرفتهم الرواة والسند. وهذا هو المعتمد عند الاستشهاد بالسيرة إذا كان صحيحاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352(


“Metode orang-orang terdahulu dalam sirah dan tarikh bersandar pada periwayatan berita-berita. Para sejarawan memulainya secara lisan, dan generasi pertama yang menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasul atau mendengar tentang beliau mulai meriwayatkannya kepada yang lain, lalu diterima oleh generasi sesudahnya. Setelah itu ada sebagian orang yang membatasi hadits-hadits yang berserakan seperti yang terlihat dalam kitab-kitab hadits sampai sekarang. Pada abad kedua kita melihat sebagian ulama mulai mengumpulkan khabar-khabar tentang sirah, sebagian digabungkan dengan sebagian lainnya. Pembukuan dilakukan melalui metode periwayatan, dengan menyebutkan nama rawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana yang dilakukan dalam hadits. Karena itu para ulama hadits dan para penelitinya dapat mengetahui berita-berita tentang sirah yang shahih yang bisa diterima dari berita-berita sirah yang dla’if dan mardud melalui pengetahuan mereka terhadap para perawi dan sanadnya. Inilah yang dijadikan rujukan sebagai bukti bahwa sirah tersebut shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352)


Adapun kitab sirah kontemporer, sudah tidak mengikuti metode periwayatan. Inilah perbedaannya dengan kitab sirah sebelumnya. Oleh karenanya memerlukan tahqiq atas kitab-kitab tersebut,


بخلاف المؤلفين في السيرة حديثاً، فإنهم يسردون الحوادث فقط دون ذكر رواتها، ولذلك لا يعتمد على كتبهم كمصدر للسيرة، إلا إذا كان المؤلف يحقق عند كتابته للأخبار المروية في كتابه من أخبار السيرة، وكان من الموثوقين وإلا فلا يُستشهد بقوله بل يُرجع في الحادثة التي يذكرها إلى كتب السيرة المروية بطريق الرواية، أو إلى كتب الحديث، لأن أخبار النبي – صلى الله عليه وسلم – من السنّة لا تؤخذ إلا إذا كانت صحيحة. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 352-353(


“Hal ini berbeda dengan (metode) penyusunan sirah saat ini. Mereka hanya menyebutkan kejadian-kejadiannya saja tanpa menyebutkan para rawinya, sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sumber sirah, kecuali jika seorang penyusun mentahqiq (melakukan penelitian) ketika menulis berita-berita yang diriwayatkan dalam kitabnya dari (berita-berita) sirah, dan dia termasuk orang yang dipercaya. Jika tidak demikian maka perkataannya tidak bisa dijadikan sebagai bukti. Jadi harus kembali tentang kejadian yang disebutkannya pada kitab-kitab sirah yang diriwayatkan dengan metode periwayatan atau pada kitab-kitab hadits, karena berita-berita tentang Nabi merupakan Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika keberadaannya shahih.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 352-353)


Pengujian Sirah Nabawiyah


Karena sirah Nabawiyah adalah bagian dari hadits, maka pengujiannya sama dengan menguji keshahihan hadits. Pengujian keshahihan sebuah riwayat harus memenuhi lima hal: (1) para rawinya adil, (2) para rawinya dhabithh, (3) sanadnya tersambung, (4) tidak ada syadz, dan (5) tidak terdapat illat. Memang benar bahwa kebanyakan kitab sirah, kitab maghazi dan futuhat yang terdahulu (yang meriwayatkan dengan sanadnya) memiliki catatan ditinjau dari kualitas sanadnya. Seperti halnya Kitab Maghazi karya Ibnu Ishaq (w. 150 H) dan al-Waqidi (w. 207 H). Adapun kitab-kitab yang ada setelahnya kebanyakan merujuk kepada kitab sebelumnya. Sebut saja Sirah Ibnu Hisyam (w. 213 H) dari Ibnu Ishaq. Demikian juga Thabaqat Ibnu Sa’ad (w. 230 H) dan Tarikh al-Thabari (w. 310 H) dari riwayat al-Waqidi.


Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq) dalam pandangan para ulama jarh wa ta’dil dinilai beragam. Nama kunyahnya adalah Abu Bakar dan ada yang mengatakan Abu Abdillah. Tahun wafatnya ada yang menyebutkan, 144 H, 150 H, 151 H, 152 H dan 153 H. Ada yang mendha’ifkan, dan ada juga yang menyatakan tsiqah. Muhammad bin Ishaq merupakan rawi dari kitab-kitab hadits Kutub al-Sittah. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim. Ibnu Ishaq juga merupakan rawi hadits dalam Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibni Majah.


Dalam Kitab Tahzib al-Kamal (24/405) karangan Imam al-Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dil Ibnu Ishaq.  Muhammad bin Muslim al-Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq, orang yang paling tahu tentang sirah”. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah (dapat dipercaya). Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadits, tetapi di tempat lain beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dha’if. Muhammad bin Idris al-Syafi’i memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq, “Dia adalah amirul mukminin dalam hadits”. Ali bin al-Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadits, haditsnya di sisiku adalah shahih”. Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu. Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih al-Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah. Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya. Muhammad bin Sa’ad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah. Al-Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah tsiqah. Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan, “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadits walaupun kadangkala meriwayatkan hadits-hadits batihl yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah, sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.


Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib (hlm. 825), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi (sirah). Imam al-Baihaqi dalam kitab Zad al-Ma’ad Juz 1 hlm. 99 menyatakan, ”Muhammad bin Ishaq, jika dia menyebutkan sama’nya (bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal mengatakan “hadits Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadits menjadikannya sebagai hujjah”.


Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib al-Kamal. Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Yahya bin Sa’id Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu. Sulaiman al-Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadits, bukan hujjah pada sunan, dha’if ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadits Ibnu Ishaq hasan. Al-Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat. Al-Daraquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah. Al-Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah. Al-Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.


Tuduhan yang paling menonjol pada diri Ibnu Ishaq adalah karena dianggap ahli bid’ah yaitu penganut Syi’ah dan paham Qadariyah. Tuduhan Syi’ah sama sekali tdk berdasar. Sebenarnya riwayat ahli bid’ah tidak mengapa selama tidak mengantarkan pada kekafiran dan ia tidak mendakwahkan kebid’ahannya. Terlebih lagi setelah diteliti oleh para ulama, Ibnu Ishaq jauh dari pemikiran Qadariyah atau Mu’tazilah. Sehingga walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil Ibnu Ishaq secara mendalam. Dalam kitab al-Duafa Wa al-Matrukin hlm. 41, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Dazahabi dalam Mizan al-I’tidal jilid 4, hlm. 469.


Al-Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyid al-Nas dalam kitabnya ‘Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Siyar membuktikan lemahnya jarh dan kokohnya ta’dil atas Ibnu Ishaq. Selain itu al-Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al-Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkesimpulan, ”Aku telah memeriksa hadits Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dha’if, terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .


Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam merupakan wujud lain dari Maghazi wa Siyar Ibni Ishaq ulama tabi’ut tabi’in yang dianggap paling mumpuni soal sirah nabawiyah. Namun Ibnu Hisyam, tidak meriwayatkan langsung dari Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam merupakan murid dari Ziyad Al Baka’i, Ziyad ialah salah satu murid Ibnu Ishaq, sedangkan Ibnu Ishaq merupakan generasi tabi’ut tabi’in. Ibnu Hisyam pakar tentang nasab dan nahwu. Ia mempunyai kitab tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Kitab tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.


Adapun al-Waqidi, para ulama hadits menilai riwayat al-Waqidi derajatnya matruk, karena kelemahan al-Waqidi. Di akhir hayatnya terjadi ikhtilath dalam periwayatannya. Hanya saja, muridnya yakni Ibnu Sa’ad al-Baghdadi penulis kitab Thabaqat al-Kubra sering dianggap figur terpercaya, dan banyak meriwayatkan dari gurunya itu, namun riwayat al-Waqidi tidak diterima oleh para ulama hadits khususnya jika meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Walaupun demikian, dalam hal pengetahuan sejarah maupun sirahnya, para ulama sangat mengakui al-Waqidi, khususnya dalam hal sejarah peperangan Rasulullah, sehingga kitabnya bisa dipergunakan untuk memperkaya konstruksi sejarah Rasulullah. Itu pula sebabnya Ibnu Sa’ad dan al-Thabari ketika meriwayatkan hadits maupun khabar dari al-Waqidi memperkuatnya dengan riwayat lain.


Dengan demikian, sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab Sirah Nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun Maghazi al-Waqidi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya, terutama dalam bahasan peperangan Rasulullah.


Mendudukkan Tarikh Islam


Adapun tarikh Islam, maka sama saja dengan penjelasan sebelumnya, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’. Hal tersebut dari dua hal: (1) jika shahabat berijma’ dalam suatu perkara, maka hal tersebut adalah dalil syara, (2) adapun jika itu merupakan pendapat individu shahabat, maka itu adalah ijtihad shahabat. Ijtihad shahabat adalah hukum syara. Merujuknya bukan dalam rangka menjadikannya sebagai dalil, tetapi merujuk ijtihad seorang mujtahid. Apalagi ijtihadnya shahabat adalah menempati kedudukan tertinggi dalam ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan realitas tasyri’ dari sisi hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang mujtahid.


Jika merupakan ijma’, maka ia merupakan dalil. Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan,


أما ما حصل من الصحابة فإنه هو موضع البحث، لأن إجماع الصحابة دليل شرعي، لأن هنالك وقائع كثيرة تجددت بتجدد الحياة، وعولجت مشاكل من قبل الصحابة، فلابد من معرفتها من ناحية تشريعية، فتاريخ الصحابة مادة من مواد التشريع. وإن كثيراً من شؤون الجهاد، ومعاملة أهل الذمة، والخراج والعشر، ومعرفة كون الأرض عشرية أم خراجية، أي أيها فتح صلحاً وأيها فتح عنوة، والأمان، والهدنة، وأحكام الغنائم والفيء وأرزاق الجند، وما شاكل ذلك، كله حوادث وأحكام صارت عملية في الدولة، فلابد من معرفتها لاتخاذ ما أجمع عليه الصحابة دليلاً شرعياً يحتج به. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355(


“Sesuatu yang terjadi di kalangan shahabat merupakan obyek pembahasan, karena ijma’ shahabat merupakan dalil syara’, disamping dijumpainya banyak hukum baru yang muncul karena adanya perkembangan kehidupan, kemudian problem-problem yang ada diselesaikan oleh shahabat, sehingga harus diketahui dari sisi tasyri’. Jadi, tarikh shahabat merupakan salah satu materi tasyri’. Kebanyakan dari urusan jihad, mu’amalah (dengan) ahlu dzimmah, al-kharaj, al-‘usyur, untuk mengetahui eksistensi apakah tanah ‘usyriyah ataukah kharajiyah, tentang keamanan, gencatan senjata dan hukum-hukum tentang ghanimah, fai’, gaji-gaji tentara dan yang semisalnya. Semua itu adalah kejadian-kejadian dan hukum-hukum yang telah dipraktikkan dalam Daulah (Islamiyah), sehingga perkara semacam ini harus diketahui agar sesuatu yang menjadi Ijma’ shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)


Adapun jika merupakan pendapat individu shahabat, maka ini merupakan ijtihad shahabat, dan hasil ijtihad adalah hukum syara’.


ولاعتبار ما أنفرد به الصحابي حكماً شرعياً لمجتهد من المجتهدين، وللائتناس بما كان عليه الصحابة، لا سيما الخلفاء الراشدين، من تسيير الحكم والإدارة والسياسة. فإنهم خير من آتاه الله عقلية حكم، وخير من يفهم تطبيق الأحكام في الدولة على الرعية، مسلمين كانوا أو ذميين، مسلمين كانوا أو ذميين. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 355(


“Selain itu apa yang dilakukan oleh seorang shahabat secara pribadi dianggap sebagai hukum syara’ bagi seorang mujtahid, karena menerima apa yang diambil oleh para shahabat, telebih lagi para al-Khulafa’ ar-Rasyidun yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi dan politik. Mereka adalah sebaik-baik orang yang diberi oleh Allah intelektualitas untuk menentukan suatu hukum, dan sebaik-baik orang yang memahami penerapan hukum dalam Daulah terhadap rakyatnya, baik muslim maupun ahlu dzimmah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 355)


Terdapat pada Kitab Hadits


Sirah adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan waktu mulai dari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan wafatnya. Hanya saja isinya atau fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk (meski tidak semua). Oleh karena itu penerimaan pada beberapa peristiwa yang dikabarkan dalam sirah adalah sudah pada level talaqathu al-‘ulama bil qabul. Suatu yang para ulama telah menerimanya.


Kita bisa mengkaji terhadap beberapa kitab sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh al-Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh al-Kamil, Ansab al-Asyraf Al Baladzuri, Muruj al-Dzahab al-Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Fragmen-fragmen dari peristiwa tersebut adalah apa yang juga termaktub dalam kitab-kitab hadits induk. Maka pada konteks ini, menguji keshahihan fragmen-fragmen khabar dalam kitab sirah yang juga ada dalam Kutub Mashadir al-Ashliyyah (kitab induk hadits) adalah dengan kembali kepada pendapat para ulama hadits ketika melakukan takhrij dan pengujian sanad-sanad hadits.


Manhaj Hadits yang Diadopsi Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani


Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah, bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits (termasuk sirah nabawiyah)? Berikut uraiannya:


Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.


يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329(


“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)


Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.


كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332(


“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)


Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.


الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(


“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)


الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:


أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338(


“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)


Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).


الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338(


“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)


Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.


أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339(


“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)


Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.


فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342(


“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)


Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.


تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345(


“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)


Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.


أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346(


“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)


Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.


وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346(


“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)


Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.


فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347(


“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)


Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.


ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350(


“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)


Itulah manhaj syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.


Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan


Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,


ولا يحتج بالضعيف مطلقاً


Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).


Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,


ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.


Jadi itu (tidak bisanya hadits dha’if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,


فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً


Memberikan keterangan bahwa kedha’ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha’ifannya sangat berat.


Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.


Secara praktik, syaikh Taqiyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.


Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba’ah (lihat Syuruth A’imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),


الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء


dengan kesimpulan,


والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.


Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta’ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),


تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد


Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,


وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به


Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,


فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن


Perhatikan ungkapan berikut,


كان يتقوى بمتابع أو شاهد


Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.


Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan sepanjang kedha’ifannya tidak parah.


Thalab al-Nushrah


Terkait thalab al-nushrah, syaikh Mahmud Abdulkarim Hasan dalam kitab al-Taghyir hlm. 56 menegaskan,


في هذا الحال أمر الله تعالى نبيه بطلب النصرة. جاء في فتح الباري (ج7/ ص220): أخرج الحاكم وأبو نعيم والبيهقي عن عليِّ بن أبي طالب – رضي الله عنه – قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ إِلَى مِنَى» وروى ابن كثير عن علي – رضي الله عنه – قال: «لَمَا أَمَرَ اللهُ رَسُوْلَهُ أَنْ يَعْرَضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ خَرَجَ وَأَنَا مَعَهُ وَأَبُوْ بَكْرٍ حَتَّى دَفَعْنَا إِلَى مَجْلِسٍ مِنْ مَجَالِسِ الْعَرَبِ» والعرض على القبائل يعني أن يعرض النبي صلى الله عليه وآله وسلم نفسه ودعوته على رؤساء القبائل ليقدموا الحماية والسند له ولدعوته. التغيير (ص : 56(


Aktivitas dakwah Nabi, tahapannya dan daur thalab al-nushrah bukanlah rekaan. Tetapi ini perkara yang nyata termaktub dalam kitab-kitab sirah mu’tabar dan dalam kitab-kitab hadits. Ini adalah hukum syara’. Apakah ini termasuk teknis saja atau metode baku, maka hal ini wilayah kajian ushul fiqih. Dalam perspektif ilmu hadits, cukup membuktikan bahwa sumber yang dirujuk adalah layak dijadikan sebagai dalil. Kemudian dipahami bahwa thalab al-nushrah ini wajib karena adanya qarinah yang menunjukkan akan kewajiban.


Secara substansi, kita bisa memahami bahwa negosiasi Rasulullah dengan kabilah-kabilah arab adalah terkait kekuasaan, bukan yang lain. Mari perhatikan dialog dengan Bani Amir bin Sha’sha’ah berikut,


أرأيتَ إنْ نَحْنُ بَايَعْنَاكَ عَلَى أَمْرِكَ، ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ عَلَى مَنْ خَالَفَكَ، أَيَكُونُ لَنَا الْأَمْرُ مِنْ بَعْدِكَ؟ قَالَ: الْأَمْرُ إلَى اللَّهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ. قَالَ: فَقَالَ لَهُ: أفَتُهدَف نحورُنا لِلْعَرَبِ دُونَكَ، فَإِذَا أَظْهَرَكَ اللَّهُ كَانَ الْأَمْرُ لِغَيْرِنَا! لَا حَاجَةَ لَنَا بِأَمْرِكَ؛ فَأَبَوْا عَلَيْهِ.  سيرة ابن هشام (2/ 272(


“Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”. (Sirah Ibni Hisyam, 2/272)


Mereka mengetahui bahwa nushrah tersebut adalah untuk menegakkan negara. Oleh karena itu mereka menginginkan menjadi penguasanya setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.


Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nushrahnya:


وإنما نزلنا بين ضرتين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما هاتان الضرتان»؟ قال: أنهار كسرى ومياه العرب، وإنما نزلنا على عهد أخذه علينا كسرى لا نحدث حدثا ولا نؤوي محدثا، وإني أرى هذا الأمر الذي تدعو إليه مما تكرهه الملوك، فإن أحببت أن نؤويك وننصرك مما يلي مياه العرب فعلنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما أسأتم في الرد إذ أفصحتم بالصدق، وإن دين الله لن ينصره إلا من أحاطه من جميع جوانبه» دلائل النبوة للبيهقي (2/ 297), الثقات لابن حبان (1/ 88), كنز العمال (12/ 521(


“Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engaku minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”. (Dala’il al-Nabawiyah, 2/297; al-Tsiqat Ibni Hibban, 1/88; Kanz al-Umal, 12/521).


Jadi mereka memahami bahwa nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab, sehingga mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.


Jika dirinci, sebenarnya thalab al-nushrah secara praktik memiliki dua tujuan: (1) melindungi dakwah, dan (2) menegakkan Islam atau menerima kekuasaan. Lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan melindungi dakwah dapat ditemukan dalam Sirah Ibni Hisyam riwayat dari Ibnu Ishaq dan Mustadrak al-Hakim. Adapun yang lebih spesifik dalil thalab al-nushrah untuk tujuan menegakkan Islam atau menerima kekuasaan dapat ditemukan Sirah Ibni Hisyam, Tarikh al-Thabari, Mu’jam al-Thabarani, Zad al-Ma’ad. Thalab al-nushrah untuk tujuan kedua


Catatan Akhir


Dengan demikian, sirah nabawiyah adalah dalil syariah yang layak dijadikan sebagai hujjah, karena sirah bagian dari hadits yang pengujiannya sama dengan menguji riwayat hadits. Sehingga merujuk metode dakwah kepada sirah nabawiyah adalah sah. Terlebih lagi fragmen-fragmen perjalanan dakwah Nabi juga termaktub pada kitab-kitab hadits yang maqbul. Sirah Ibnu Hisyam yang banyak mengambil dari Ibnu Ishaq merupakan kitab sirah nabawiyah paling terpercaya hingga saat ini. Kitab ini yang paling banyak dirujuk oleh syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Adapun tarikh Islam, kita hanya merujuk pada tarikh yang memiliki sumber periwayatan. Tarikh yang mengabarkan peristiwa pada masa shahabat sesungguhnya menggambarkan sumber tasyri’ dan realitas tasyri’, baik berkaitan dengan berijma’ shahabat maupun ijtihad shahabat yang merupakan hukum syara’. Adapun manhaj ushul hadits, penetapan keshahihan dan kedha’ifan hadits, dan penerimaan dan penolakan sebagai hujjah, syaikh Taqiyuddin berpijak pada manhaj ulama ahli hadits yang mu’tamad, manhaj Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.


Bandung, 8 Oktober 2018

Sunday, March 21, 2021

Siapa Ahlul Halli Wal Aqdi Dalam Islam

 Mengejutkan!! Ini Jawaban Siapa Ahlul Halli Wal Aqdi Dalam Islam


Soal:


Belakangan ini istilah “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” menjadi perbincangan. Siapa sebenarnya mereka? Apa kriteria, fungsi dan tugasnya?


Jawab:


Istilah “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” sebenarnya bukan istilah syariah, tetapi istilah yang dipopulerkan oleh para fukaha dan ahli sejarah.1 Mengapa ini tidak bisa disebut sebagai istilah syariah? Karena istilah ini tidak digunakan dalam nas-nas syariah. Karena itu, tidak semua fukaha menyebut dengan istilah yang sama.


Imam al-Mawardi dan al-Farra’, misalnya, menggunakan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi.2 Al-Amidi dan ar-Ramli menyebutnya dengan istilah “Ahlul Ikhtiyâr”.3 Ibn Hazm menyebutnya dengan istilah “Fudhalâ’ al-Ummah”.4 Al-Qahir al-Baghdadi menyebutnya dengan istilah “Ahlul Ijtihâd wal ‘Adalah.”5 Semua ini mempunyai konotasi yang sama.


Secara bahasa Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang yang memberikan penyelesaian (Ahlul Hall) dan mengikat (wal ‘Aqd). Dalam Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Al-‘Allamah Dr. Rawwas Qal’ah Jie mendefinisikannya dengan:


أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ: ذُوْ الشَّوْكَةِ وَالسَّطْوَةِ وَالرَّأْيِ وَالتَّدْبِيْرِ فِي الْبِلاَدِ


Ahlul Halli wal ‘Aqdi: Orang yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, pandangan dan pengaturan di dalam sebuah negeri.6


Dalam kitab yang lain, beliau mendefinisi-kannya dengan:


أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ هُمْ أَهْلُ الشَّوْكَةِ الَّذِيْنَ اِلْتَفَّ النَّاسُ حَوْلَهُمْ، مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَالرُّؤَسَاءِ، وَوُجُوْهُ النَّاسِ، وَهُمُ الْيَوْمَ نُوَّابُ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يَتِمُّ اِنْتِخَابُهُمْ مِنْ قِبَلِ الشَّعْبِ، فِيْمَا أَرَى.


Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang yang mempunyai kekuatan, yang menjadikan masyarakat berkumpul mengitari mereka, seperti ulama, para pemimpin dan para tokoh masyarakat. Mereka saat ini, menurut saya, adalah wakil umat yang dipilih oleh rakyat.7


Al-Mawardi memberikan tiga syarat untuk mereka. Pertama: Adil. Kedua: Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan Imamah (Khilafah) berdasarkan syarat yang diakui. Ketiga: Pendapat dan kearifan yang bisa mengantarkan keterpilihan orang yang lebih layak menduduki jabatan Imamah serta mampu mengurus kemaslahatan umat lebih lurus dan bijak.8


Al-‘Allamah Dr. Rawwas Qal’ah Jie menetapkan empat syarat. Pertama: Muslim. Ini karena tugas mereka adalah mencalonkan Amirul Mukminin (Khalifah) dan mengontrol aktivitasnya, sedangkan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang non-Muslim. Kedua: Alim, yaitu mempunyai ilmu yang memungkinnya untuk mengetahui siapa yang lebih layak bagi kaum Muslim. Ketiga: Mempunyai kekuatan, yang menjadikan orang-orang berkumpul mengitarinya, mengikuti dan menjalankan perintah dan pandangannya. Keempat: Bertakwa. Ini karena ketakwaan merupakan satu-satunya jaminan yang bisa melepaskan dari berbagai kepentingan.9


Adapun Dr. Ma’mum Hammus, dalam kitabnya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah ‘ala Minhâj al-Wahyayn al-Kitâb wa as-Sunnah as-Shahîhah, merinci syarat Ahlul Halli wal ‘Aqdi sebagai berikut:


1. Syarat kepemimpinan secara umum yaitu harus Muslim, berakal, laki-laki dan merdeka.


2. Syarat kepemimpinan secara khusus yaitu adil, berilmu dan mempunyai pandangan dan bijak.10


Tugas dan fungsi Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara lain:


1. Memilih dan memberikan baiat in’iqâd kepada Khalifah. Imam al-Mawardi berkata, “Jika Ahlul Halli wal ‘Aqdi telah berkumpul untuk memilih, maka mereka harus memerik-sa kondisi orang yang mencalonkan untuk jabatan Imamah (Khilafah), yang memenuhi seluruh persyaratannya. Mereka harus men-dahulukan yang paling banyak kelebihan-nya, yang paling sempurna persyaratannya, dan yang paling segera ditaati rakyat, tanpa bergantung pada pembaiatannya.”11


2. Memilah dan mendahulukan calon yang terbaik untuk Khalifah. Jika semua persyarakat terpenuhi oleh calon, dan sama, maka dipilih yang usianya lebih tua. Imam al-Mawardi berkomentar, “Meskipun tambahan usia, setelah usianya sudah balig dengan sempurna, itu bukan syarat, sekalipun kalau dibaiat yang usianya lebih muda juga boleh.”12


Dalam konteks ini, keabsahan baiat in’qâd yang diberikan kepada Khalifah bisa dikembalikan kepada mereka. Setidaknya ada beberapa pendapat:


1. Jabatan Khilafah tidak dinyatakan sah kecuali dengan kesepakatan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Ini adalah pendapat Abu Ya’la, Ibn Hazm azh-Zhahiri, serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.13


2. Khilafah dinyatakan sah melalui baiat yang diberikan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang bisa berkumpul saja. Tidak harus semuanya bersepakat. Ini adalah pendapat al-Mawardi, an-Nawawi, asy-Syaukani.14 Menurut al-Qalqasyandi, pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafii yang paling sahih.15


3. Khilafah bisa dinyatakan sah, berapa pun jumlah Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang membai’at dia, tanpa disyaratkan harus adanya ijmak di kalangan mereka. Ini merupakan pendapat al-Amidi, Imam al-Haramain al-Juwaini dan al-Jurjani.16


Hanya saja, pendebatan di kalangan fukaha tentang Ahlul Halli wal ‘Aqdi tersebut telah diberi catatan oleh Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam kitabnya, Ma’âlim al-Khilâfah fî al-Fikr al-Islâmi.17 Kesimpulannya sebagai berikut:


1. Mengangkat seorang khalifah hukumnya fardhu kifayah. Caranya dengan memberikan baiat kepada dia dengan sukarela, tanpa paksaan, baik dari orang yang mengangkat maupun yang diangkat.


2. Baiat untuk mengangkat khalifah ini disebut baiat in’iqâd. Hukumnya fardhu kifayah. Karena fardhu kifayah, maka tidak harus dilakukan oleh semua orang; yang penting jumlahnya cukup dan berhasil menunaikan kifayah-nya, yaitu mendapat-kan kerelaan dari kaum Muslim. Bisa dengan baiat yang diberikan oleh mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqdi atau representasi umat, atau diamnya kaum Muslim terhadap baiat yang mereka berikan, atau mereka segera menaati hasil pembaiat tersebut, atau sarana lain.


3. Mengenai status mereka yang memberikan baiat itu adalah Ahlul Halli wal ‘Aqdi, maka tidak mutlak harus mereka; termasuk berapa jumlah mereka apakah 4 orang, 40 orang, lebih banyak, lebih sedikit, tinggal di ibukota, atau daerah; semuanya ini tidak termasuk kriteria yang mengikat dan hukum syariah yang harus dilakukan.


Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah istilah baru yang digunakan oleh para fukaha dan ahli sejarah untuk menyebut orang-orang yang mempunyai kekuatan, pengaruh dan menjadi rujukan dalam menyelesaikan masalah. Mereka adalah para tokoh, ulama, pemimpin suku dan sebagainya. Dalam konteks ketatanegaraan Islam, karena kekuasaan ada di tangan umat, maka mereka bisa dianggap mewakili umat dalam menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat, khususnya dalam melaksana-kan fardhu kifayah dalam pengangkatan khalifah, yang tidak harus dilakukan oleh semua orang.


Inilah fakta Ahlul Halli wal ‘Aqdi, kriteria dan tugas yang mereka jalankan dalam ketata-negaraan. Hanya saja, keberadaan Ahlul Halli wal ‘Aqdi ini tidak mutlak. Apalagi ini juga bukan merupakan istilah syariah yang tidak bisa diotak-atik. Hanya saja, menyamakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dengan angota parlemen juga tidak sepenuhnya tepat. Apalagi ketika anggota parlemen itu tidak memiliki kekuatan, pengaruh dan tidak pula menjadi rujukan. Mereka pun “tokoh karbitan”. Tentu orang-orang seperti ini tidak memenuhi kriteria Ahlul Halli wal ‘Aqdi, sebagaimana yang dimaksud oleh para fukaha’ dan ahli sejarah yang menggunakan istilah ini.


Meski demikian, keberadaan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam konteks ketatanegaraan sebagai representasi dari perintah musyarawah memang ada. Ini bisa ditemukan dalam Hadis Nabi saw. saat beliau belum mengenal penduduk Madinah, karena baru mendapatkan baiat in’iqâd dari mereka, dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Nabi saw. meminta kepada mereka:


اِخْتَرُوْا لِيْ اِثْنَا عَشَرَ نَقِيْبًا


Pilihkanlah untukku dua belas naqib (pemuka suku/kabilah) (HR Ibn Hisyam).


Dua belas naqib inilah yang diajak oleh Nabi saw. untuk melakukan musyawarah. Hanya saja, Nabi saw. tidak menyebutnya dengan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi Nuqabâ’, jamak dariNaqîb. Mereka bisa disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi, atau yang lain.


Karena itu penggunaan istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi di luar konteks ketatanegaraan juga tidak ada larangan, setidaknya secara bahasa. Misalnya, istilah ini diadopsi oleh sebuah organisasi, kemudian digunakan sebagai mekanisme dalam pemilihan puncuk pimpinan mereka. Uslubseperti ini boleh saja. WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb


[KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki:


1. Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 706; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah,hlm. 26; al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, I/42-44.


2. Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 706; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah,hlm. 26.


3. Ar-Ramli, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, VII/390; al-Amidi, Ghayât al-Marâm, hlm. 381.


4. Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/167.


5. Al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq, hlm. 211.


6. Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jâm Lughât al-Fuqahâ’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M, hlm. 75.


7. Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M, I/ 327.


8. Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 6; al-Farra’, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 19.


9. Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M, I/328.


10. Dr. Ma’mun Hammus, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah ‘alâ Minhâj al-Wahyayn al-Kitâb wa as-Sunnah ash-Shahîhah, Wizarah al-I’lam, Damaskus, Suriah, cet. I, 2005 M, hlm. 140-143.


11. Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 7; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 24.


12. Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 7.


13. Al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthâniyyah, hlm. 23 dan 24; Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/ 167.


14. Al-Khathib asy-Syarbini, Mughnî al-Muhtâj, IV/130-131; asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl,hlm. 89.


15. Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, I/44.


16. Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/34; al-Juwaini, Al-Irsyâd, hlm. 425; al-Jurjani, Al-Mawâqif wa Syarhuhu, VIII/353.


17. Dr. Mahmud al-Khalidi, Ma’âlim al-Khilâfah fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 109-110.

Tuesday, March 9, 2021

Khilafah akan Ditegakkan oleh Imam Mahdi, Benarkah

 Khilafah akan Ditegakkan oleh Imam Mahdi, Benarkah?


Oleh : KH.Muhammad Shiddiq Al-Jawi


MuslimahNews.com — Benarkah yang akan menegakkan kembali Khilafah nanti adalah Imam Mahdi? (Afrian Satria, Bantul)


Jawab :

Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa yang menegakkan kembali Khilafah adalah Imam Mahdi, karena terdapat dalil-dalil syar’i yang justru menunjukkan bahwa Khilafah akan tegak lebih dulu sebelum munculnya Imam Mahdi.

(Sa’ad Abdullah ‘Asyur & Nasim Syahdah Yasin, Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS, hlm. 25-29).

.

Di antara dalil syar’i yang menunjukkan Khilafah akan tegak lebih dulu sebelum munculnya Imam Mahdi adalah hadits tentang kemunculan Imam Mahdi dalam Sunan Abu Dawud dan lain-lain berikut ini :

.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ قَتَادَةَ عَنْ صَالِحٍ أَبِى الْخَلِيلِ عَنْ صَاحِبٍ لَهُ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَكُونُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيُخْرِجُونَهُ وَهُوَ كَارِهٌ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيَظْهَرُونَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةُ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيمَةَ كَلْبٍ فَيَقْسِمُ الْمَالَ وَيَعْمَلُ فِى النَّاسِ بِسُنَّةِ نَبِيِّهِمْ -صلى الله عليه وسلم- وَيُلْقِى الإِسْلاَمُ بِجِرَانِهِ إِلَى الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِينَ ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ »


.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, telah menceritakan kepada saya oleh ayahku, dari Qatadah dari Shalih Abi Al Khalil dari seorang temannya dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW dari Nabi SAW beliau bersabda,”Akan ada perselisihan pada saat matinya seorang khalifah. Maka keluarlah seorang laki-laki dari penduduk kota Madinah berlari menuju Makkah. Orang-orang dari penduduk Makkah mendatanginya, lalu mereka mengeluarkan laki-laki itu sedang laki-laki itu membencinya. Kemudian mereka membaiat laki-laki itu di antara rukun [Yamani] dan Maqam [Ibrahim], lalu dikirimkan kepadanya satu pasukan lalu pasukan itu ditenggelamkan di Baida yang terletak antara Makkah dan Madinah. Maka tiba-tiba orang-orang melihat laki-laki itu didatangi oleh para Abdal dari Syam dan kelompok-kelompok dari Irak lalu mereka membaiat laki-laki itu di antara rukun [Yamani] dan Maqam [Ibrahim]. Lalu muncullah seorang laki-laki dari golongan Quraisy yang paman-pamannya dari suku Kalb, kemudian dia [Imam Mahdi] mengirimkan kepada mereka satu pasukan lalu pasukan itu pun mengalahkan mereka. Itu adalah pasukan suku Kalb, dan adalah suatu kerugian bagi siapa saja yang tidak mempersaksikan ghanimah dari Kalb itu. Kemudian dia [Imam Mahdi] mengamalkan di tengah manusia sunnah Nabi mereka dan menyebarkan Islam ke seluruh bumi. Dan dia [Imam Mahdi] akan tinggal selama tujuh tahun lalu [meninggal dan] disalatkan oleh kaum muslimin.”

{HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 4/175 no 4288; Musnad Ahmad, 6/316 no 26731; At Thabrani, Al Mu’jam Al Ausath, no 1153; Shahih Ibnu Hibban, 15/160 no 6757; Musnad Abu Ya’la, 12/369 no 6940; Al Hakim, Al Mustadrak, Juz 4 no 8328}.


Syaikh Nashiruddin Al Albani menilai hadits dalam Sunan Abu Dawud itu lemah (dhaif). Demikian pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth menilai hadits dalam Musnad Ahmad bin Hanbal tersebut lemah (dhaif). Penyebab kelemahan hadits menurut mereka adalah karena ada satu periwayat hadits yang majhul (tak diketahui) yaitu “seorang teman Shalih Abi Al Khalil” (shaahibin lahu).


Namun dalam periwayatan-periwayatan lain, seperti riwayat Imam Thabrani, dapat diketahui bahwa perawi itu adalah Mujahid bin Jabar. Maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menilai hadits tersebut sebagai hadits shahih, seperti pendapat Imam Al Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (Juz 7 hlm. 318) yang berkata,”Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath dan para periwayatnya adalah periwayat-periwayat hadits shahih.” (rawaahu at thabrani fi al ausath wa rijaaluhu rijaalush shahih). (Lihat : Muhammad Al Syuwaiki, Al Thariq Ila Daulah Al Khilafah, hlm. 57; Hisyam Abdur Rahim Sa’id & Muhammad Hisyam Abdur Rahim, Mausu’ah Ahadits Al Fitan wa Asyraath As Sa’ah, Riyadh : Jihad Al Ustadz & Maktabah Al Kautsar, cetakan ke-2, 1429 H, hlm. 688; Muhammad Ahmad Al Mubayyadh, Al Mausu’ah fi Al Fitan wa Al Malahim wa Asyrath As Sa’ah, Kairo : Muassah Al Mukhtar, cetakan ke-1, 2006 (1425), hlm. 620).


kemunculan seorang laki-laki yang kemudian dikenal dengan Imam Mahdi tersebut adalah pada saat matinya seorang Khalifah. Ini berarti bahwa Imam Mahdi bukanlah Khalifah yang pertama dalam Khilafah yang akan kembali tegak nanti, insyaallah.


Pengertian seperti ini ditegaskan oleh dua pengarang kitab Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS yang mensyarah maksud hadits di atas dengan berkata :

.

فالنبي صلى الله عليه وسلم يخبر بأن ظهور المهدي– عليه السلام – يكون عقب موت خليفة للمسلمين، مما يدل عل أن الخلافة تكون موجودة وقائمة قبل ظهوره


Baca juga:  Khilafah Ajaran Islam (Ajaran Allah & Rasul-Nya)

“Maka Nabi SAW mengkabarkan bahwa kemunculan Imam Mahdi ‘alaihis salam akan terjadi setelah matinya Khalifah kaum muslimin, hal ini menunjukkan bahwa Khilafah akan ada dan tegak sebelum kemunculan Imam Mahdi.”

(Sa’ad Abdullah ‘Asyur & Nasim Syahdah Yasin, Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS, hlm. 27).


Kesimpulannya, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah nantinya akan ditegakkan oleh Imam Mahdi. Yang benar, Khilafah akan ditegakkan oleh kaum Muslimin dan ketika pada suatu saat seorang khalifahnya meninggal dunia dan timbul perselisihan, pada saat itulah Imam Mahdi alaihis salam akan muncul dan dibaiat menjadi seorang Khalifah (Imam). Wallahu a’lam.[]


Silahkan antum merujuk ke sumber-sumber berikut ini;


1》Sa’ad Abdullah ‘Asyur & Nasim Syahdah Yasin, Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS, hlm. 25-29


2》 HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 4/175 no 4288


3》 Musnad Ahmad, 6/316 no 26731


4》 At Thabrani, Al Mu’jam Al Ausath, no 1153


5》 Shahih Ibnu Hibban, 15/160 no 6757


6》 Musnad Abu Ya’la, 12/369 no 6940


7》 Al Hakim, Al Mustadrak, Juz 4 no 8328


Baca juga:  Debt Trap

8》Imam Al Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (Juz 7 hlm. 318)


9》 Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath


10》 Muhammad Al Syuwaiki, Al Thariq Ila Daulah Al Khilafah, hlm. 57


11》 Hisyam Abdur Rahim Sa’id & Muhammad Hisyam Abdur Rahim, Mausu’ah Ahadits Al Fitan wa Asyraath As Sa’ah


12》 Riyadh : Jihad Al Ustadz & Maktabah Al Kautsar, cetakan ke-2, 1429 H, hlm. 688


13》 Muhammad Ahmad Al Mubayyadh, Al Mausu’ah fi Al Fitan wa Al Malahim wa Asyrath As Sa’ah, Kairo : Muassah Al Mukhtar, cetakan ke-1, 2006 (1425), hlm. 620


"Berdasarkan hadits tersebut, jelaslah bahwa kemunculan seorang laki-laki yang kemudian dikenal dengan Imam Mahdi tersebut adalah pada saat matinya seorang Khalifah. Ini berarti bahwa Imam Mahdi bukanlah Khalifah yang pertama dalam Khilafah yang akan kembali tegak nanti, insyaallah."


Pengertian seperti ini ditegaskan oleh dua pengarang kitab Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS yang mensyarah maksud hadits di atas dengan berkata :

.

فالنبي صلى الله عليه وسلم يخبر بأن ظهور المهدي– عليه السلام – يكون عقب موت خليفة للمسلمين، مما يدل عل أن الخلافة تكون موجودة وقائمة قبل ظهوره


“Maka Nabi SAW mengkabarkan bahwa kemunculan Imam Mahdi ‘alaihis salam akan terjadi setelah matinya Khalifah kaum muslimin, hal ini menunjukkan bahwa Khilafah akan ada dan tegak sebelum kemunculan Imam Mahdi.”

(Sa’ad Abdullah ‘Asyur & Nasim Syahdah Yasin, Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS, hlm. 27).


Kesimpulannya, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Khilafah nantinya akan ditegakkan oleh Imam Mahdi. Yang benar, Khilafah akan ditegakkan oleh kaum Muslimin dan ketika pada suatu saat seorang khalifahnya meninggal dunia dan timbul perselisihan, pada saat itulah Imam Mahdi alaihis salam akan muncul dan dibaiat menjadi seorang Khalifah (Imam). Wallahu a’lam.[]


1》Sa’ad Abdullah ‘Asyur & Nasim Syahdah Yasin, Al Khilafah Al Islamiyyah wa Imkaniyyat ‘Audatiha Qabla Zhuhur Al Mahdi AS, hlm. 25-29


2》 HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 4/175 no 4288


3》 Musnad Ahmad, 6/316 no 26731


4》 At Thabrani, Al Mu’jam Al Ausath, no 1153


5》 Shahih Ibnu Hibban, 15/160 no 6757


6》 Musnad Abu Ya’la, 12/369 no 6940


7》 Al Hakim, Al Mustadrak, Juz 4 no 8328


8》Imam Al Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid (Juz 7 hlm. 318)


9》 Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath


10》 Muhammad Al Syuwaiki, Al Thariq Ila Daulah Al Khilafah, hlm. 57


11》 Hisyam Abdur Rahim Sa’id & Muhammad Hisyam Abdur Rahim, Mausu’ah Ahadits Al Fitan wa Asyraath As Sa’ah


12》 Riyadh : Jihad Al Ustadz & Maktabah Al Kautsar, cetakan ke-2, 1429 H, hlm. 688


13》 Muhammad Ahmad Al Mubayyadh, Al Mausu’ah fi Al Fitan wa Al Malahim wa Asyrath As Sa’ah, Kairo : Muassah Al Mukhtar, cetakan ke-1, 2006 (1425), hlm. 620

Wednesday, March 3, 2021

Di balik keruntuhan khilafah 3 maret 1924

DI BALIK KERUNTUHAN KHILAFAH 3 MARET 1924

*_(Dari Kemunduran Berpikir Umat Hingga Konspirasi Politik Barat)_*

.

Oleh: *_Arief B. Iskandar_*

.

*KHILAFAH ISLAMIYAH* secara resmi dihapuskan pada 3 Maret 1924 M. Sekitar 97 tahun silam atau 100 tahun berdasarkan hitungan Tahun Hijrah. 


Hilangnya sistem Khilafah berarti hilangnya sebuah peradaban Islam yang menyatukan Dunia Islam di bawah satu kepemimpinan berlandaskan syariah Islam selama tidak kurang dari 14 abad. Hilangnya sistem Khilafah juga berarti hilangnya Negara Islam yang,  menurut Dr. Yusuf Qaradhawi, merupakan perwujudan dari ideologi Islam.


Sebagaimana diketahui, para sejarahwan membagi sejarah Khilafah Islam menjadi empat masa: 


(1) Khulafaur Rasyidin (632-661 M); 

(2) Khilafah Bani Umayah (661-750 M); 

(3) Khilafah Bani Abbasiyah (750-1517 M); 

(4) Khilafah Utsmaniyah (1517-1924 M). 


Alhasil, Kekhilafahan Islam berlangsung kurang-lebih 14 abad. Ini adalah usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis dan peradaban global yang sangat besar. 


Wilayah kekuasaan Khilafah pernah meliputi hampir 2/3 bagian dunia. Mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tengah. Di sebelah timur sampai ke negeri Cina. Di sebelah barat sampai ke Andalusia (Spanyol), selatan Prancis, serta Eropa Timur (meliputi Hungaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, serta seluruh kepulauan di Laut Tengah).


Khilafah pun pernah menjadi pusat peradaban dunia yang sangat besar selama ratusan tahun. Keagungan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah ini telah banyak diakui oleh para ilmuwan dan intelektual dunia, termasuk ilmuwan dan intelektual Barat.


Untuk menggambarkan keagungan peradaban pada masa Khilafah, cukuplah pengakuan Will Durant, seorang intelektual Barat, saat mengatakan:


_“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”_ *(Will Durant – _The Story of Civilization_).*


Namun sayang, sebagaimana disinggung di awal, setelah tidak kurang dari 14 abad eksis dan menguasa dunia, Khilafah Islamiyah diruntuhkan oleh tangan-tangan jahat kaum kafir Barat dengan memanfaatkan para anteknya dari kalangan kaum Muslim. 


*Di Balik Keruntuhan Khilafah*


Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Utsmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik. 


Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, Khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.


Secara internal, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniyah. 


_Pertama:_ buruknya pemahaman Islam. 

_Kedua:_ kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa ini, misalnya, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan atau lemah.

.

Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh Khilafah pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihat penaklukan ini sebagai awal dari Masalah Ketimuran. Masalah Ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) untuk menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama: Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah Konferensi Westavalia tahun 1667 M. 


Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniyah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Kelemahan Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. 


Bahkan Khilafah Utsmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M. Nasib Khilafah Utsmaniyah semakin tragis setelah  Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).


Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan dengan pembentukan Dewan Tanzimat tahun 1839 M, _tsaqafah_ Barat di Dunia Islam semakin kokoh, termasuk setelah penyusunan beberapa undang-undang, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular. 


Keadaan ini diperparah dengan perumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan Khalifah. Boleh dikatakan, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.


Di dalam negeri, _ahlul dzimmah_—khususnya orang Kristen—yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Namun, hak-hak istimewa ini akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing, dengan jaminan perjanjian. Masing-masing perjanjian Khilafahh Utsmaniyah dengan Bizantium (1521 M), Prancis (1535 M), dan dengan Inggris (1580 M). 


Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. 


Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban pemikiran mereka di Dunia Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan _Center of the Oriental Studies_ (Pusat Kajian Ketimuran).


Alhasil, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai Dunia Islam, Islam sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu, mereka menyerang pemikiran Islam, sengaja menyebarkan paham nasionalisme di Dunia Islam, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniyah, dengan sebutan _The Sick Man_ (Orang Sakit). 


Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniyah lumpuh sehingga bisa dijatuhkan dengan mudah, secara intensif mereka terus memprovokasi gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam agar memisahkan diri dari kesatuan Khilafah Islam. Bahkan gerakan-gerakan keagamaan juga mereka eksploitasi, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Khilafah, yakni Hijaz dan sekitarnya. 


Pada saat yang sama, di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20. Begitulah, Khilafah Utsmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.


*Konspirasi Barat-Yahudi Menghancurkan Khilafah*

.

Tahun 1855 M negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Utsmaniyah untuk melakukan amandemen UUD sehingga dikeluarkanlah _Hemayun Script_ pada tanggal 11 Februari 1855 M.

.

Tahun 1908 M Turki Muda yang berpusat di Salonika—pusat komunitas Yahudi Dunamah—melakukan pemberontakan.


Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.


Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kamal Pasha, seorang agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu, akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam.


Pada tanggal 21 November 1923 terjadi perjanjian antara Inggris dan Turki. Dalam perjanjian tersebut Inggris mengajukan syarat-syarat agar pasukannya dapat ditarik dari wilayah Turki, yang dikenal dengan “Persyaratan  Curzon”. Isinya: Turki harus menghapuskan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dan menyita semua harta  kekayaannya; Turki harus menghalangi setiap gerakan yang membela Khilafah; Turki harus memutuskan hubungannya dengan Dunia Islam serta menerapkan hukum sipil sebagai pengganti hukum Khilafah Utsmaniah yang  bersumberkan Islam.

.

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani tanggal 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem Khilafah, mengusir Khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, _la’natu-Llâh ‘alayh._


Alhasil, sejak saat itu hingga kini, sudah 82 tahun, umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah Islam; suatu keadaan yang belum pernah terjadi selama lebih dari 13 abad sejak masa Khulafaur Rasyidin. 


Pertanyaannya, tidakkah kaum Muslim merindukan kembali hadirnya Khilafah Islam dengan segenap keagungan dan kejayaannya sebagaimana pada masa lalu?! *[Dari berbagai sumber]**DI BALIK KERUNTUHAN KHILAFAH 3 MARET 1924* 

*_(Dari Kemunduran Berpikir Umat Hingga Konspirasi Politik Barat)_*

.

Oleh: *_Arief B. Iskandar_*

.

*KHILAFAH ISLAMIYAH* secara resmi dihapuskan pada 3 Maret 1924 M. Sekitar 97 tahun silam atau 100 tahun berdasarkan hitungan Tahun Hijrah. 


Hilangnya sistem Khilafah berarti hilangnya sebuah peradaban Islam yang menyatukan Dunia Islam di bawah satu kepemimpinan berlandaskan syariah Islam selama tidak kurang dari 14 abad. Hilangnya sistem Khilafah juga berarti hilangnya Negara Islam yang,  menurut Dr. Yusuf Qaradhawi, merupakan perwujudan dari ideologi Islam.


Sebagaimana diketahui, para sejarahwan membagi sejarah Khilafah Islam menjadi empat masa: 


(1) Khulafaur Rasyidin (632-661 M); 

(2) Khilafah Bani Umayah (661-750 M); 

(3) Khilafah Bani Abbasiyah (750-1517 M); 

(4) Khilafah Utsmaniyah (1517-1924 M). 


Alhasil, Kekhilafahan Islam berlangsung kurang-lebih 14 abad. Ini adalah usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis dan peradaban global yang sangat besar. 


Wilayah kekuasaan Khilafah pernah meliputi hampir 2/3 bagian dunia. Mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tengah. Di sebelah timur sampai ke negeri Cina. Di sebelah barat sampai ke Andalusia (Spanyol), selatan Prancis, serta Eropa Timur (meliputi Hungaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, serta seluruh kepulauan di Laut Tengah).


Khilafah pun pernah menjadi pusat peradaban dunia yang sangat besar selama ratusan tahun. Keagungan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah ini telah banyak diakui oleh para ilmuwan dan intelektual dunia, termasuk ilmuwan dan intelektual Barat.


Untuk menggambarkan keagungan peradaban pada masa Khilafah, cukuplah pengakuan Will Durant, seorang intelektual Barat, saat mengatakan:


_“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”_ *(Will Durant – _The Story of Civilization_).*


Namun sayang, sebagaimana disinggung di awal, setelah tidak kurang dari 14 abad eksis dan menguasa dunia, Khilafah Islamiyah diruntuhkan oleh tangan-tangan jahat kaum kafir Barat dengan memanfaatkan para anteknya dari kalangan kaum Muslim. 


*Di Balik Keruntuhan Khilafah*


Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Utsmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik. 


Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, Khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.


Secara internal, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniyah. 


_Pertama:_ buruknya pemahaman Islam. 

_Kedua:_ kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa ini, misalnya, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan atau lemah.

.

Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh Khilafah pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihat penaklukan ini sebagai awal dari Masalah Ketimuran. Masalah Ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) untuk menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama: Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah Konferensi Westavalia tahun 1667 M. 


Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniyah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Kelemahan Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. 


Bahkan Khilafah Utsmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M. Nasib Khilafah Utsmaniyah semakin tragis setelah  Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).


Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan dengan pembentukan Dewan Tanzimat tahun 1839 M, _tsaqafah_ Barat di Dunia Islam semakin kokoh, termasuk setelah penyusunan beberapa undang-undang, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular. 


Keadaan ini diperparah dengan perumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan Khalifah. Boleh dikatakan, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.


Di dalam negeri, _ahlul dzimmah_—khususnya orang Kristen—yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Namun, hak-hak istimewa ini akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing, dengan jaminan perjanjian. Masing-masing perjanjian Khilafahh Utsmaniyah dengan Bizantium (1521 M), Prancis (1535 M), dan dengan Inggris (1580 M). 


Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. 


Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban pemikiran mereka di Dunia Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan _Center of the Oriental Studies_ (Pusat Kajian Ketimuran).


Alhasil, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai Dunia Islam, Islam sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu, mereka menyerang pemikiran Islam, sengaja menyebarkan paham nasionalisme di Dunia Islam, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniyah, dengan sebutan _The Sick Man_ (Orang Sakit). 


Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniyah lumpuh sehingga bisa dijatuhkan dengan mudah, secara intensif mereka terus memprovokasi gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam agar memisahkan diri dari kesatuan Khilafah Islam. Bahkan gerakan-gerakan keagamaan juga mereka eksploitasi, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Khilafah, yakni Hijaz dan sekitarnya. 


Pada saat yang sama, di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20. Begitulah, Khilafah Utsmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.


*Konspirasi Barat-Yahudi Menghancurkan Khilafah*

.

Tahun 1855 M negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Utsmaniyah untuk melakukan amandemen UUD sehingga dikeluarkanlah _Hemayun Script_ pada tanggal 11 Februari 1855 M.

.

Tahun 1908 M Turki Muda yang berpusat di Salonika—pusat komunitas Yahudi Dunamah—melakukan pemberontakan.


Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.


Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kamal Pasha, seorang agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu, akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam.


Pada tanggal 21 November 1923 terjadi perjanjian antara Inggris dan Turki. Dalam perjanjian tersebut Inggris mengajukan syarat-syarat agar pasukannya dapat ditarik dari wilayah Turki, yang dikenal dengan “Persyaratan  Curzon”. Isinya: Turki harus menghapuskan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dan menyita semua harta  kekayaannya; Turki harus menghalangi setiap gerakan yang membela Khilafah; Turki harus memutuskan hubungannya dengan Dunia Islam serta menerapkan hukum sipil sebagai pengganti hukum Khilafah Utsmaniah yang  bersumberkan Islam.

.

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani tanggal 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem Khilafah, mengusir Khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, _la’natu-Llâh ‘alayh._


Alhasil, sejak saat itu hingga kini, sudah 82 tahun, umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah Islam; suatu keadaan yang belum pernah terjadi selama lebih dari 13 abad sejak masa Khulafaur Rasyidin. 


Pertanyaannya, tidakkah kaum Muslim merindukan kembali hadirnya Khilafah Islam dengan segenap keagungan dan kejayaannya sebagaimana pada masa lalu?! *[Dari berbagai sumber]*