Saturday, July 27, 2019

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

A.Biyadi (Idrus Ramli) dan orang-orang yang seideologi dengannya mengatakan ;

"Ketiga, tentang Darul Islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut Tahrir, hal 5, "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Juga pada hal 29 dan Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8, "Dan di neger
i-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Menurut Imam ar-Rafi'I dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan syafi'iyyah, darul-Islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukim para muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukkan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir daerah itu tetap disebut darul-Islam".
(Majalah Ijtihad PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 12).

MEMBONGKAR PAT :

Definisi Negara Islam yang mengambang mengakibatkan langkah dakwah yang tidak jelas.

Terdapat kesalahan yang patal pada perkataan A.Biyadi ketika mengutip dan menerjemahkan redaksi dari kitab Hizbut Tahrir hal 5. Padahal redaksi dan terjemahannya yang tepat demikian;

والمسلمون مند أن قضي على دولة الخلافة في الحرب العالمية الأولى يعيشون بدون دولة إسلامية وبدون الحكم بالإسلام .......
"Kaum muslim sejak Daulah Khilafah dihancurkan pada Perang Dunia II, mereka hidup dengan tanpa Negara Islam, dan dengan tanpa pemerintahan Islam…..".
Lalu oleh A.Biyadi disimpulkan menjadi; "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Negara Islam menjadi Daerah Islam, dan Pemerintahan Islam menjadi Hukum Islam. Sehingga pembaca Majalah Ijtihad menuduh Hizbut Tahrir itu ngawur, karena Pasuruan adalah daerah Islam dan hukum-hukum Islam terkait ubudiyah mahdhah juga diterapkan oleh masyarakatnya. Mungkin ini tujuan dari rekayasa A.Biyadi.

Juga kesalahan seperti itu dalam menyimpulkan redaksi dari kitab Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8 sehingga menerjemahnya juga keliru. Padahal redaksi aslinya demikian;

وبهذا يتضح أن جميع البلاد الإسلامية اليوم لا يتحقق فيها شرط حكم الإسلام، وإن كان أمان غالبيتها العظمى بأمان المسلمين وسلطانهم. لذلك فإنها مع الأسف لا تعتبر دار الإسلام، بالرغم من أنها بلاد إسلامية، وبالرغم من أن أهلها مسلمون. إذ العبرة في الدار بالأحكام والأمان، ليس بالبلد والسكان.
"Dengan ini menjadi jelas bahwa semua negeri Islam, saat ini, tidak terwujud padanya syarat pemerintahan Islam, meskipun keamanan mayoritasnya adalah dengan keamanan dan kekuasaan kaum muslim. Oleh karena itu, dengan sangat mengecewakan, tidak dinilai Negara Islam, meskipun termasuk negeri-negeri Islam, dan meskipun penduduknya terdiri dari kaum muslim. Karena penilaian terkait status Negara itu dengan hukum dan keamanan, bukan dengan negeri dan penduduk". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5].

ومن جميع ما تقدم يتضح أن المسلمين في جميع البلاد الإسلامية، بالرغم من كونهم مسلمين فإنهم يعيشون في مجتمع غير إسلامي، وإن بلاد الإسلام التي يعيشون فيها ليست دار إسلام.
"Dan dari semua keterangan di atas, menjadi jelas bahwa kaum muslim di semua negeri-negeri Islam, meskipun status mereka adalah kaum muslim, maka mereka hidup di dalam masyarakat yang tidak Islam. Dan bahwa negeri-negeri Islam di mana mereka hidup di dalamnya itu bukan Negara Islam". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 8].

Lalu disimpulkan oleh A.Biyadi menjadi ; "Dan di negeri-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Jadi bagaimana A.Biyadi bisa menyalahkan Hizbut Tahrir, sedang ia sendiri tidak dapat memahami istilah dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir.

Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah membedakan konotasi dari term ad-Dar [Negara] dan al-Balad [negeri], dan konotasi al-Hukm [hukum] dalam bab shalat dll. dan al-Hukm [pemerintahan] dalam pembahasan politik. Sebagai contohnya adalah Indonesia, dalam pandangan Hizbut Tahrir termasuk Negara Kufur [Darul Kufri], tetapi termasuk Negeri Islam [Min Biladil Islamiyyah]. Jadi negara itu tidak sama dengan negeri.

Terkait dengan definisi Negara sebenarnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi definisi unggul yang tidak memiliki kelemahan dibanding definisi yang lain. Karena di samping hasil kajian yang mendalam dari pakta Negara Islam pada masa Nabi SAW dan masa al-Khulafa ar-Rasyidin, juga didukung dalil-dalil syar'iy yang sangat kuat dan akurat. Juga sebagai penyempurna bagi semua definisi yang telah dikemukakan oleh berbagai lapisan ulama mujtahid dan muqallid, bahkan bisa dikatakan sebagai gabungan dari semua definisi tersebut. Inilah kehebatan Hizbut Tahrir. Bagi yang berminat untuk mengecek kebenaran pendapat saya, monggo membaca secara keseluruhan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang terkait dengan pembahasan ini, seperti kitab Manhaj Hizbit Tahrir yang disebut di atas dll. Lebih sempurna lagi monggo membaca al-Wa'ie, edisi 34, Juni 2003, dan kitab al-Jihad Wa al-Qital, karya M. Khair Haikal. Karena terlalu panjang ketika saya membahasnya di sini, kecuali definisi Negara bagi Hizbut Tahrir yang harus diketahui oleh pembaca sebagai berikut;

أما دار الإسلام في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الإسلام، ويكون أمانها بأمان الإسلام، أي بسلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من غير المسلمين.
وأما دار الكفر في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الكفر، ويكون أمانها بغير أمان الإسلام، أي بغير سلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من المسلمين.
فالعبرة في الدار من كونها دار إسلام أو دار كفر ليس بالبلد ولا بالسكان، وإنما بالأحكام وبالأمان. فإن كانت أحكامها أحكام الإسلام، وأمانها بأمان المسلمين فهي دار إسلام، وإن كانت أحكامها أحكام كفر، وأمانها بغير أمان المسلمين فهي دار كفر أو دار حرب. {منهج حزب التحرير في التغيير}.
Adapun Negara Islam dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, dan keamanannya adalah dengan keamanan Islam, yakni dengan kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang non muslim.
Adapun Negara kufur dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum kufur, dan keamanannya adalah dengan selain keamanan Islam, yakni dengan selain kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslim.
Jadi penilaian terkait status Negara sebagai Negara Islam atau negara kufur itu bukan dengan negeri dan bukan pula dengan penduduk[nya], tetapi hanya dengan hukum-hukum dan keamanan[nya]. Maka apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum Islam, dan keamanannya dengan keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara Islam. Dan apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum kufur, dan keamanannya dengan selain keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara kufur atau Negara perang. [Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir].

Jadi definisi sebuah Negara itu harus jami' dan mani', atau kamil dan syamil, tidak mengambang dan asal-asalan, karena untuk menentukan langkah dakwah kedepan, tidak kebelakang. Definisi Negara yang mengambang dan asal-asalan akan menjadikan dakwah yang mengambang dan asal-asalan juga, bahkan dapat menjadikan dakwah mundur kebelakang, yakni menuju kekondisi jahiliyah, tidak maju kedepan, yakni kekondisi islami. Sebagai contohnya adalah definisi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam.

Akibat definisi ini, terjadi penolakan terhadap dakwah menuju tegaknya Negara Islam yang benar, yaitu Khilafah. Alasannya, karena dianggap sebagai tahshilul hashil atau mematangkan perkara yang sudah matang, maka akibatnya menjadi rusak atau hangus. Padahal penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muslim, keadaan mereka semakin hari semakin rusak, akibat tidak diterapkannya hukum-hukum syariat Islam yang berhubungan dengan kehidupan, bermasyarakat dan bernegara.

Sedangkan hukum-hukum syariat Islam itu mustahil dapat diterapkan secara kaffah, kecuali oleh Negara Islam yang benar, yaitu Negara Islam yang tabiatnya adalah untuk menampung menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan tabiat ini adalah indikasi untuk menentukan bahwa Negara itu adalah Negara Islam.

Sedangkan fakta Negara Indonesia sama sekali tidak memiliki indikasi sedikitpun sebagai Negara Islam, karena tidak ada kesediaan menampung penerapan hukum-hukum Islam secara total. Dengan kata lain, Islam itu rahmatan lil alamin, yakni hukum-hukum Islam itu diperuntukkan untuk mengatur seluruh alam semesta. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah institusi yang bisa menampung hukum-hukum Islam yang kaffah itu. Laksana kompetisi sepak bola dunia. Ini membutuhkan lapangan yang bisa menampungnya, yaitu lapangan sepak bola yang bertarap Internasional. Bukan yang bertarap nasional atau lapangan poli.

Dengan demikian, sistem pemerintahan yang ada didunia saat ini, baik monarki Arab Saudi atau demokrasi dengan segala macamnya, semuanya tidak dapat menampung penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah. Sedangkan sebagian hukum Islam yang diterapkan seperti hukum perkawinan Islam bagi orang Islam, maka di Amerika juga diterapkan. Maka satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara total di Indonesia ini adalah dengan merobah bentuk negaranya menjadi Negara Islam, Khilafah Rasyidah. Dan ini harus dimulai dari pendefinisian Negara Islam yang jami' dan mani', atau yang kamil dan syamil, tidak yang mengambang dan asal-asalan. Maka definisi Negara Islam oleh Hizbut Tahrir benar-benar telah memenuhi criteria tersebut.
(Abulwafa Romli).

No comments: