Friday, April 29, 2022

Doktrin Yang Mematikan Akal

 Doktrin Yang Mematikan Akal 


Oleh : Rahmat Taufik Tambusai


Dalam satu acara jamuan syukuran, saya kebetulan satu meja dengan salah seorang tamu. 


Disela sela obrolan, beliau bertanya kepada saya, bapak alumni mana ? lalu saya jawab singkat, alumni Al Azhar pak. 


Kemudian bapak tersebut menimpali, alumni madinah lebih original dan lebih asli, dengan santai saya balik bertanya, asli bagaimananya pak ? lalu dijawabnya, di sana diturunkan Al Quran dan dipraktekkan sunnah nabi, maka alumni madinah lebih asli.


Lalu saya bertanya, yang membawa ajaran nabi setelah nabi meninggal siapa pak ? 


Dengan semangat bapak tersebut menjawab, para sahabat nabi, lalu saya lanjutkan pertanyaannya, apakah semua sahabat nabi menetap di madinah setelah nabi wafat ?


Sampai pertanyaan ini, bapak tersebut diam membisu dengan muka bingung.


Lalu saya sampaikan, kalau seandainya para sahabat nabi semuanya menetap dan meninggal di madinah wajar dikatakan alumni madinah lebih asli, karena para sahabat tidak ada yang keluar dari madinah, hanya mengajar di madinah sampai wafat, kemudian diteruskan ulama setelahnya sampai wafat pula disana, tetapi kenyataannya setelah nabi meninggal para sahabat bertebaran di muka bumi.


Seperti Muaz bin jabal, Bilal bin rabah, Ibnu abbas dll, mereka tidak menetap di madinah setelah nabi meninggal, Muaz bin jabal dan Bilal bin rabah ke damaskus, Ibnu abbas ke Thaif, apakah yang mengambil ilmu dari mereka tidak dikatakan asli lagi ? Sedangkan mereka mengambil ilmu langsung dari nabi, atau karena mereka tidak menetap di madinah sehingga membuat ilmu mereka tidak asli lagi ?


Anak keturunan nabi, semenjak terjadi pembantaian di karbala, mereka dikejar - kejar, hampir seluruh mereka mencari daerah yang  paling aman.


Ada yang ke yaman, ada yang ke mesir, ada yang ke syuria, maroko dll, apakah disebabkan mereka tidak tinggal di madinah membuat ilmu mereka tidak original lagi ? padahal mereka mengambil ilmu tersebut dari ayah mereka yang keturunan langsung dari nabi.


Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dari namanya jelas keturunan nabi, salah seorang guru imam Syafii, yang menetap dan meninggal di mesir. Apakah ilmu yang di mesir tidak asli ?


Dan termasuk Syekh Al Azhar hari ini Syekh Ahmad Thayib merupakan anak keturunan Rasulullah.


Kemudian saya tanya kembali, yang bapak maksudkan, alumni madinah zaman nabi atau zaman sekarang ?


Kalau zaman nabi sudah jelas original dididik langsung oleh nabi, yang disebut dengan para sahabat nabi, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, para tabiin mengajarkan kepada ulama mazhab, dan dilanjukkan oleh murid mereka sampai kepada ulama kita pada masa kini.


Maka sanad ilmu yang seperti ini tetap dikatakan asli, walaupun mereka mengambil ilmu tersebut dari sahabat yang tidak tinggal di madinah, karena ilmu mereka bersumber dari nabi.


Kalau yang bapak maksud alumni madinah zaman sekarang, berarti bapak telah didoktrin dan termakan doktrin orang - orang yang tidak bertanggung jawab.


Ini yang disebut dengan doktrin mematikan akal.


Nabi tidak pernah menjadikan kota madinah sebagai ukuran asli atau tidak aslinya ajaran beliau.


Kalau seandainya madinah menjadi ukuran asli atau tidak aslinya ajaran nabi, maka para sahabat dan ulama akan berbondong - bondong untuk tinggal menetap di kota madinah sampai mati.


Dan para ulama tidak pernah menjadikan orang madinah sebagai standar keilmuan seseorang, jikalau dijadikan orang yang hidup di madinah sebagai standar keilmuan seseorang, maka yang paling layak untuk diikuti Imam Malik pendiri mazhab maliki, sebab beliau lahir, besar dan wafat di madinah, sehingga digelar dengan imam darul hijrah, imam tempat hijrahnya nabi.


Kalau yang bapak maksudkan pemahaman yang dikembangkan oleh alumni madinah hari ini, maka bapak sudah terjerumus kepada fanatik buta.


Tidakkah bapak tau, pemahaman yang mereka bawa, bukan dari ulama madinah, tetapi dari ulama najd, Syekh Muhammad bin abdul wahhab, bin Baz, Usaimin, Sholeh fauzan dan dari albania Syekh Nasiruddin albani. Dan setahu penulis tidak ada satu pun dari keturunan Nabi.


Yang membawa pertama paham tersebut, tidak ada yang asli madinah, kecuali ditingkat murid - murid mereka. Jadi alumni madinah yang mana bapak maksud ?


Kemudian saya sampaikan, kalau alumni madinah lebih asli, maka jangan pernah pakai kitab - kitab ulama yang bukan alumni madinah, jangan pakai kitab hadits shahih bukhari, muslim dll kitab tafsir ibnu kasir, thabari dll kitab fiqih Syafii, Hanafi, Hanbali dll karena mereka bukan alumni madinah.


Untuk bapak ketahui, salah seorang alumni S3 madinah, menceritakan kepada kami pada tahun 2003, bahwa kampus madinah baru membuka program doktoral jurusan bahasa arab, dan hampir semua dosennya diambil dari Al Azhar mesir. Terus original yang mana bapak maksud ? sedangkan dosennya semuanya dari luar madinah.


Istilah jurusan Syariah, Usuluddin, Hadits, Tafsir dll awal pertama yang mencetusnya universitas Al Azhar pak, yang lainnya mengikuti.


Terakhir saya sampaikan, saya tidak benci alumni mana pun, termasuk alumni madinah, yang saya sangkal tadi adalah menjadikan daerah atau tempat sebagai standar keaslian ilmu dan ajaran islam, karena nabi tidak pernah menyampaikannya. karena nabi tidak pernah menyampaikan, maka Ini bidah baru yang diada - adakan.


Jika ini yang dikembangkan maka akan melahirkan generasi yang fanatik buta, yang akhirnya menyebabkan akalnya mati.


Tidak mau membaca sejarah dan belajar kepada banyak ulama, yang hanya mencukupkan diri dengan apa yang didoktrin oleh gurunya.


Akibat yang lebih besar adalah merusak ilmu dan ajaran nabi muhammad, karena akal sudah mati disebabkan doktrin dan fanatik buta.


Dalu - dalu, Selasa 21 desember 2021

Thursday, April 21, 2022

Matematika ,runtuhnya peradban dan Ht

 Mundur ke belakang sebelum HTI dicabut BHP-nya :


MATEMATIKA, RUNTUHNYA PERADABAN DAN HIZBUTTAHRIR


Oleh : Nopriadi Hermani, Ph.D (Dosen Teknik Fisika UGM, Yogyakarta)


Tadi sore saya mengajarkan Teorema Green pada mahasiswa di kelas Kalkulus Vektor. Setelah menjelaskan tentang integral medan vektor pada lintasan tertutup, saya mengajak mahasiswa berbincang tentang kehidupan. Dialog seperti ini sering saya lakukan karena bagi saya mereka adalah aset berharga peradaban masa depan, bukan skrup industri. 


"Kalian saat ini tidak harus tahu aplikasi Teorema Green. Kadang saat belajar matematika kita tidak tahu dimana mengaplikasikannya. Matematika itu adalah ilmu alat. Alat kita berinteraksi dengan alam semesta ini. Bahasa yang digunakan para saintis saat mendalami “keinginan" alam. Tidak hanya membantu memahami perilaku benda mati tapi juga makhluk hidup dan manusia. Bahkan, matematika telah digunakan untuk memahami fenomena psikologi, ekonomi, politik sampai masalah peradaban."


Saya ceritakan ke anak-anak saya ini  bagaimana seorang matematikawan, berkolaborasi dengan ahli politik dan ahli lingkungan, telah membuat model matematik tentang runtuhnya sebuah peradaban. Penguasaan bidang matematika, ditambah ilmu sejarah, peradaban, politik, ekonomi, lingkungan, membuat dia mampu mensimulasikan  skenario jatuhnya peradaban, termasuk peradaban moderen sekarang ini. 


Kemudian saya bertanya pada mahasiswa tentang isu apa yang lagi hangat di Indonesia. Sebagian menjawab, “Pembubaran Ormas Hizbut Tahrir”. Sepertinya juga terdengar sayup-sayup ada yang mengatakan, “Pemenjaraan Ahok”. Sambil tersenyum saya sampaikan ke mahasiswa, 


"Yah, begitulah kita yang ada di Indonesia ini. Kita jadi sangat sibuk dengan urusan domestik seperti ini. Kita tidak terlibat dalam pembicaraan tentang muramnya peradaban dunia. Jangkauan kepedulian kita, termasuk elit dan intelektual di Indonesia, hanya sebatas permasalahan seperti ini. Indonesia adalah mata rantai dari Peradaban Kapitalis di dunia ini. Bila tiba-tiba Peradaban Barat kolaps, maka kita hanya bisa terkaget-kaget dan terkejut karena ikut terjun bebas ke dasar reruntuhan sejarah."


Demikian sepenggal cerita tadi sore di kelas Kalkulus Vektor. Beberapa  saya ubah redaksinya agar lebih mudah dipahami.


Sekarang saya ingin berbincang tentang rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dikaitkan dengan keruntuhan Peradaban Barat yang diprediksi dapat terjadi oleh beberapa pakar. Saya telah menelusuri berita, video dan jurnal ilmiah terkait keruntuhan peradaban. Saya menemukan, misalnya, tulisan Safa Motesharrei dari University of Maryland dan Andrew Targowski dari Western Michigan University yang sangat menarik tentang peradaban. Tulisan mereka membuka mata saya (lagi) tentang Peradaban Barat hari ini. Memberi saya perspektif baru tentang cacat Peradaban Barat yang mereduksi peran Sang Pencipta. Bila ditambah dengan konsep Peradaban Islam yang saya pelajari selama ini, maka semua ini semakin menyadarkan saya tentang kita. Kita semua, terutama muslim, dapat mengambil peran dalam menyelamatkan peradaban dunia yang menuju ambang kebangkrutan. 


Hmmm...  Sudilah kiranya Anda berselancar menelusuri situs-situs Hizbut Tahrir yang tersedia dan dikelola dari berbagai negara di seluruh dunia. Bukalah halaman demi halaman  untuk memahami wacana apa saja yang didakwahkan gerakan internasional ini. Dari sana Anda akan paham bagaimana Hizbut Tahrir mengambil bagian dalam perubahan di level dunia. Lebih jauh, mungkin Anda juga menemukan rona ketulusan dari perjuangan mereka.


Saya menceritakan tentang Hizbut Tahrir ini tidak bermaksud ta'ashub pada harokah yang begitu penting dalam sejarah hidup saya. Bukan fanatik buta pada organisasi yang membukakan mata saya tentang hakikat hidup di dunia.  Bukan ashobiyah pada gerakan yang membangun cakrawala berpikir saya tentang peradaban manusia. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang mungkin tidak diketahui oleh banyak kalangan. Tentang kepedulian Hizbut Tahrir pada problem peradaban manusia. Kepedulian para anggotanya pada penderitaan hidup umat manusia di muka bumi ini yang telah dipecundangi oleh para kapitalis serakah dan kroninya. 


Jadi, framing jahat yang disebar secara massif  sebagai ormas yang bermusuhan dengan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kebhinekaan, menurut saya, mereduksi apa yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir selama ini.  Hizbut Tahrir justru berkepentingan kuatnya negeri-negeri Islam.  Mereka adalah penopang Peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah di masa depan.  Yang jelas, Hizbut Tahrir tidak digerakkan oleh nafsu untuk berkuasa di negeri ini atau di negeri manapun di dunia. Apalagi nafsu untuk membunuh manusia Indonesia yang berbeda agama. Tidak sama sekali. 


Anggota Hizbut Tahrir yang bergerak tanpa lelah, dipenuhi oleh peluh dan kadang caci maki didasarkan pada iman yang menghujam di sanubari mereka. Anggota organisasi ini rela berkorban harta, waktu, tenaga bahkan kehidupan pribadi dan nyawa mereka karena ingin meraih ridha Allah Swt semata dan demi kebaikan umat manusia. Apa yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah membebaskan umat manusia dari jerat peradaban rakus yang dibangun dari Ideologi Kapitalis Sekuler. Menjebak manusia pada penderitaan di dunia dan siksa di akhirat.


Saya kira kita semua sudah paham bahwa Ideologi Kapitalis Sekuler telah memberi jalan tol pada para saudagar dalam menguasai kekayaan alam negeri-negeri ringkih, termasuk Indonesia. Kita semua juga paham bagaimana kerusakan yang dibuat oleh Ideologi Kapitalis Sekuler ini. Izinkan saya menyegarkan kembali beberapa fakta kerusakan akibat penerapan ideologi ini.


Ideologi Kapitalis Sekuler  berhasil menciptakan strata ekonomi dengan kesenjangan yang sangat tajam. Di dunia ini 62 orang memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan setengah dari penghuni planet yang berjumlah 3,6 miliar orang. Di Indonesia 1% orang terkaya  menguasai setengah aset kekayaan negeri ini. Kesenjangan ini melahirkan banyak jerit penderitaan di seluruh dunia. Masih ingat bagaimana rakyat Amerika, dalam gerakan Occupy Wall Street, menuntut keadilan? Mereka turun ke jalan dengan meneriakkan "Kami 99% dan mereka (para kapitalis) 1%".


Ideologi Kapitalis Sekuler juga telah mencetak varian manusia yang hidup dengan kemiskinan spiritualitas, kehampaan makna dan terjebak pada perburuan harta yang tak pernah mengenal puas. Ideologi ini membuat manusia menjadi hamba materi dan durhaka terhadap Penciptanya. Mudah-mudahan Anda sempat menengok tulisan Danah Zohar dalam bukunya Spiritual Capital: Wealth We Can Live by. Dia menggambarkan keserakahan Kapitalis dengan sosok Erisychthon dalam dongeng Ovid mitologi Yunani kuno. 


Ideologi Kapitalis Sekuler menyadarkan kita bagaimana manusia mampu "membunuh" planet bumi dengan sangat sadis. Ketidakamanan dan hasrat menghegomoni dunia telah melahirkan perlombaan negara-negara besar dalam membuat senjata yang mematikan. Bila diledakkan semua hulu ledak nuklir yang ada di dunia ini, kabarnya berjumlah sekitar 15.000 lebih, maka ini cukup untuk membunuh 50 milyar manusia dan melelehkan biosfer planet bumi.


Ideologi Kapitalis Sekuler ini pula yang menunjukkan pada kita bagaimana keserakahan manusia mampu memberi tekanan yang demikian dahsyat pada ekosistem bumi. Industrialisasi berbasis keserakahan ekonomi liberal telah menghasilkan berton-ton limbah, termasuk gas rumah kaca di atmosfer kita. Ini mengakibatkan fenomena Global Warming yang menurut prediksi akan menenggelamkan kota-kota di dunia, diantaranya Shanghai (Cina), Venesia (Italia), Bangkok (Thailand), Ho Chi Minh City (Vietnam) dan Jakarta (Indonesia).


Peradaban dunia hari ini adalah hasil eksperimen pemikiran para filsuf abad pencerahan. Dalam sejarahnya mereka anti terhadap peran gereja dalam wilayah publik di Eropa. Mereka pada dasarnya anti agama, namun tokoh-tokohnya seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Voltaire  dinobatkan sebagai nabi-nabi sosial. Sang Pencipta oleh mereka tidak diberi ruang untuk mengatur wilayah publik manusia. Agama, termasuk Islam, hanya layak menjadi urusan pribadi dan dibatasi dengan sangat ketat untuk masuk ke wilayah publik. Pemikiran mereka menjelma menjadi sebuah negara sekuler pertama di dunia melalui revolusi berdarah di Perancis pada tahun 1789 – 1799. Negara republik sekuler ini menjadi role model yang menginspirasi dan 'memaksa' negara-negara di dunia untuk mengikutinya, termasuk Indonesia. 


Sekarang saya ingin kembali ke isu pembubaran Hizbut Tahrir.  Terus terang hati kecil saya kadang merintih menyaksikan adanya usaha menghalangi gerakan ini berkontribusi menyelamatkan peradaban. 


Bagaimana mungkin ada usaha dari saudara muslim yang ingin melumat Hizbut Tahrir? Bagaimana mungkin mereka begitu bernafsu membekukan pergerakan para anggota, binaan dan simpatisan dalam proyek dakwah ini? Bagaimana mungkin mereka ingin memadamkan usaha Hizbut Tahrir dalam memahamkan umat manusia tentang peradaban Islam yang dinanti? Bagaimana mungkin ada framing jahat yang terus diumbar agar memusuhi orang-orang yang bekerja ikhlas membangun peradaban? Bagaimana mungkin ada muslim yang berusaha mengunci kaki, tangan dan mulut para pejuang yang bermaksud datang dan menyeru manusia pada kebaikan Islam?


Saya bisa memahami bila kekuatan itu berasal dari mereka yang menjadi penjaga dan penikmat keberhasilan Kapitalisme. Saya bisa memaklumi bila kekuatan yang berusaha menghancurkan ini adalah segelintir manusia serakah yang nyaman dengan kerusakan peradaban. Saya tidak merasakan sakit bila semua penghalang itu dilakukan oleh para kapitalis jahat dengan kroni-kroninya.  Namun hati  ini terasa perih bila ada saudara muslim dengan penuh kebencian menghalangi usaha berat ini. 


Yah, saya menyadari mungkin karena ketidakpahaman mereka akan perjuangan Hizbut Tahrir di dunia. Tidak paham dengan visi besar organisasi ini dalam memuliakan Islam dan umat Islam serta menyelamatkan peradaban manusia. Juga tidak begitu paham dengan gambar besar (big picture) dan konsep detil kami tentang Peradaban Islam yang dimaksud.


Saya ingin memberi tahu mereka yang memusuhi pergerakan dakwah ini. Yang mungkin membuat Anda sedikit kaget.

Begini. Sebenarnya Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu mendirikan Khilafah di manapun. Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu menyelamatkan peradaban. Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu menghadirkan Peradaban Islam.  Hizbut Tahrir hanyalah sebuah organisasi yang menggerakkan anggotanya dengan kekuatan iman. Bergerak menyadarkan umat Islam tentang sejarah besar mereka. Menyadarkan mereka  tentang kemuliaan ajaran Islam. Menyadarkan mereka bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dipersembahkan untuk semua manusia karena membawa Islam. Islam yang sempurna dan lengkap itu adalah rahmat bagi seluruh alam. Umat Islam adalah umat yang dinanti-nati kiprahnya dalam perubahan peradaban. Jadi, sekali lagi, Hizbut Tahrir tidak akan pernah mampu melakukan hal yang besar ini. 


Yang mampu mendirikan Khilafah, membangun Peradaban Islam dan menyelamatkan peradaban manusia adalah umat Islam itu sendiri dengan pertolongan Allah Swt. Hizbut Tahrir hanya menyeru dengan dakwah dan meyakinkan umat melalui program-program dakwahnya bahwa mereka mampu mengambil peran sentral dalam percaturan peradaban dunia. Kelak bila Khilafah berdiri maka Hizbut Tahrir tidak akan menjadi partai yang berkuasa. Khilafah yang diinginkan adalah Khilafah kita semua. Hizbut Tahrir tetap mengambil peran yang selama ini dia mainkan. Dakwah politis agar Khilafah menerapkan Islam dengan sempurna dan pemimpin mampu menunaikan tanggungjawabnya terhadap warga negara berdasarkan sistem Islam.


Saat ini gairah negeri ini sedang menyala untuk membicarakan dan ingin mengetahui apa itu Hizbut Tahrir, apa yang dibawa dan apa saja agenda-agendanya. Pernah saya melihat ada kalangan terdidik mencomot bagian-bagian Syariah Islam yang ditawarkan Hizbut Tahrir. Tujuannya bukan untuk memahaminya secara utuh, tapi disaring dengan belief systems pribadi untuk menguatkan persepsinya bahwa Hizbut Tahrir itu berbahaya. Bagaimana mungkin orang, bahkan seorang muslim sekalipun, mengapresiasi syariah Islam bila yang dilihat hanya rajam, potong tangan, qishas, syarat pemimpin pemerintahan dari muslim dengan sudut pandang sekuleristik?


Artikel yang tertulis di dalam situs Hizbut Tahrir adalah kumpulan mozaik Syariah Islam. Membaca sekilas, apalagi dengan motivasi mencari kekurangannya, hanya melahirkan persepsi negatif. Mencukupkan diri dengan kepingan _puzzle_ ide Syariah dapat menghantarkan pada kesalahpahaman. Kecurigaan terhadap organisasi ini, yang oleh MUI tidak terkategori sesat, akan menghalangi kesempatan menemukan keindahan Islam. Kecurigaan ini pula yang dulu pernah saya rasakan. 


Sekarang tengoklah kitab-kitab Hizbut Tahrir yang tidak pernah disembunyikan itu. Lihat dan pelajarilah isinya dengan seksama. Nilai kualitasnya dari  kekuatan dalil dah hujjah yang ditawarkan. Lebih jauh, ini memerlukan pengetahuan ekstra, rekonstruksilah Peradaban Baru dari setiap paragraf yang ada di dalam kitab-kitab yang dikaji oleh anggota Hizbut Tahrir. Bila Anda mau bersabar sedikit dan mau merendah, maka Insya Allah Anda akan melihat keindahan ajaran Islam yang diwariskan Rasulullah saw. Nabi kita. Lebih jauh Anda akan meyakini apa yang kami yakini bahwa Umat Islam adalah Umat yang dinanti manusia kiprahnya dalam membangun peradaban baru yang penuh berkah.


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(TQS. Ali Imran: 110).

Saturday, April 9, 2022

PKI Diberi Ruang Eksistensi, Mengapa HTI dan FPI Dipersekusi?

Prof. Suteki: PKI Diberi Ruang Eksistensi, Mengapa HTI dan FPI Dipersekusi? https://ift.tt/liWbIo1 Prof. Suteki: PKI Diberi Ruang Eksistensi, Mengapa HTI dan FPI Dipersekusi? KONTENISLAM.COM - Oleh: Prof. Dr. Piere Suteki, SH, MHum (Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP) I. PENGANTAR Kontroversial. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengeluarkan kebijakan ‘tak biasa.’ Terkait seleksi penerimaan calon prajurit TNI, ia tak ingin anak keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang mengikutinya karena tak ada dasar hukumnya. Menurutnya, TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 hanya mengatur dua poin. Pertama, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Kedua, menyatakan komunisme, leninisme, dan marxisme sebagai ajaran terlarang. Tidak ada kata underbow (organisasi sayap) segala macam. Pernyataan itu disampaikan dalam rapat di Subden Denma Mabes TNI, Jalan Merdeka Barat Nomor 2, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2022) dan diunggah di kanal YouTube-nya. Sebagian kalangan memberikan apresiasi. Ada yang menilainya sebagai kebijakan progresif, antidiskriminasi, sesuai hak asasi manusia (HAM), proporsional, dan seterusnya. Meski demikian, patut dipertanyakan, apakah betul hal ini merupakan upaya untuk patuh pada hukum dan pemenuhan HAM setiap warga negara. Lantas, bagaimana dengan sejarah masa lalu nan kelam terkait upaya makar PKI terhadap negara dan ideologinya, khususnya pada tahun 1948 dan 1965? PKI dengan ideologi komunisme yang sangat radikal telah menoreh luka lama yang sangat mendalam pada bangsa ini. Dengan ganasnya, PKI telah membantai elemen umat Islam yang terdiri dari para santri, tokoh, ulama, dan ustaz. Sementara pemerintahan negara kini terkesan hendak memoderasinya sehingga akan terlupakanlah sejarah kelam tersebut.  Kebijakan Panglima TNI ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kebijakan publik keenam sepanjang era reformasi terkait upaya moderasi radikalnya komunisme di Indonesia. Selain itu, di satu sisi, PKI sebagai organisasi terlarang seolah diberikan ruang demi eksistensi dan berekspresi, sementara di sisi lainnya, ormas Islam seperti HTI dan FPI yang dibubarkan paksa oleh rezim beberapa waktu lalu kerap dicurigai, aktivisnya dikriminalisasi, kegiatannya diawasi. Padahal yang mereka lakukan dalam rangka dakwah Islam, bukan aktivitas kriminal, tidak mengajak manusia pada anti-Tuhan, pun tanpa bertindak kekerasan. Namun mengapa cap radikal terus disematkan, bahkan disamakan hingga disebut lebih berbahaya daripada PKI. Inikah bukti keadilan yang penguasanya mengklaim sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan?    II. PERMASALAHAN Untuk menelisik di balik kebijakan membolehkan keturunan PKI mendaftar menjadi anggota TNI, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa perlu pembatasan hak anak keturunan PKI untuk menjadi anggota TNI sehingga kebijakan Panglima TNI Andika Perkasa perlu dikritisi? 2. Apa saja kebijakan publik pemerintahan negara untuk memoderasi radikalisme dan revolusionernya PKI dengan ideologi komunisme? 3. Apakah adil kebijakan publik yang membuka ruang bagi kebangkitan PKI dengan ideologi komunisme (moderasi) sementara di pihak lain ada upaya mempersekusi ormas HTI dan FPI? 4. Bagaimana strategi kewaspadaan nasional dalam rangka mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara? III. PEMBAHASAN A. Mewaspadai Komunisme Sebagai Bahaya Laten Bangsa Perbincangan tentang PKI dengan komunismenya biasanya ramai menjelang detik-detik peringatan G 30 S PKI. Eskalasi perbincangan tentangnya makin hangat. Banyak pihak yang mengendus soal kebangkitan, penyusupan PKI di berbagai lini. Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menuding komunisme telah menyusup ke tubuh TNI dengan hilangnya patung Soeharto dkk di Markas Kostrad. Sejumlah barang yang dihilangkan, berada di Museum Dharma Bakti. Barang-barang itu berkaitan dengan penumpasan komunisme di tanah air. Beberapa di antaranya yakni diorama patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution beserta tujuh pahlawan revolusi hilang (detik.com, 28/9/2022). Apakah betul hilangnya beberapa barang terkait penumpasan PKI yang dipimpin oleh Soeharto merupakan bukti TNI disusupi oleh PKI? Atas tuduhan ini, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto waktu itu enggan berpolemik soal dugaan penyusupan pendukung PKI di tubuh TNI karena menurutnya hal itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tidak bisa suatu pernyataan didasarkan hanya kepada keberadaan patung di suatu tempat. Oleh karenanya hal ini perlu diuji lebih lanjut. Terlepas dari dugaan di atas, berbekal sejarah keji nan kelam dan kerusakan ideologinya, patut bagi bangsa ini untuk terus mewaspadai komunisme kembali. Meski sudah puluhan tahun, kisah kekejian PKI di Indonesia tak pernah memudar. Ini menjadi bukti begitu dalamnya luka yang ditorehkan pada penghuni bumi pertiwi. Namun di sisi lain, diduga para pendukungnya dengan berbagai cara tengah berupaya mengaburkan sejarah kelam PKI. Pun mencoba membangkitkan kembali paham komunisme di tengah masyarakat. Belajar dari tragedi G 30 S PKI, betapa mengerikan implementasi ajaran komunisme. Secara nyata, paham ini memusuhi agama dan menganggapnya sebagai candu. Agama adalah musuh terbesar ideologi ini. Maka ia akan memusnahkan agama dan para pemeluknya. Penganutnya akan menyerang dan menghabisi segala hal terkait agama. Tak boleh agama hidup, karena tak ada Tuhan bagi mereka. Pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para ulama dan santri tahun 1948 adalah fragmen sejarah kelabu di Indonesia. Di luar negeri pun sama kondisinya. Begitu kejinya perlakuan rezim komunis China terhadap Muslim Uighur. Berbagai ancaman dan siksaan dilakukan demi menghilangkan agama (Islam) pada kehidupan mereka. Bagi kaum komunis China, Islam merupakan ancaman keberlangsungan hidupnya. Sebagai sebuah ideologi, komunisme tak pernah mati. Pahamnya akan selalu hidup, bergerak, mencari kesempatan agar bisa tumbuh dan eksis. Meskipun hingga saat ini gerakannya belum jelas terlihat, namun gejala keberadaannya mulai nampak. Sangat mungkin ia eksis kembali jika ada peluang dan kesempatan. Maka, komunisme merupakan bahaya laten bangsa ini di samping bahaya aktual ideologi kapitalisme sekuler. Tak berlebihan jika Sekretaris Dewan Syura PA 212, Slamet Ma’arif, mengkritik kebijakan Panglima TNI yang membolehkan keturunan PKI menjadi anggota TNI. Ia mempertanyakan jaminan keturunan PKI terbebas dari paham komunisme karena faktanya banyak anak keturunan yang terlihat membangkitkan ideologi PKI. Menurutnya, masyarakat harus sadar jika PKI tersebut ada dan bangkit, terlebih kekinian justru ada di lingkar kekuasaan. Ia menyarankan, sebaiknya TNI fokus pada tugasnya menyelesaikan permasalahan tindak terorisme di Papua (populis.id, 31/3/2022). Selain soal “trauma mendalam,” kekhawatiran berbagai kalangan terhadap kebijakan Panglima TNI ini bisa dimengerti. Keturunan PKI tak hanya soal darah atau genetik, yang memang keradikalan komunisme tak secara otomatis terwariskan. Namun, tak ada jaminan bahwa pelaku atau pendukung PKI tidak menginfiltrasikan ajaran komunisme pada anak keturunannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, tertanam di diri sang anak hingga dewasa. Oleh karena itu, meski diksi pelarangan anak keturuan PKI menjadi anggota TNI itu tidak ditemukan, alangkah baiknya jika keberadaannya tetap menjadi hal yang mesti diwaspadai. Tentu tak mudah begitu saja menempatkannya dalam posisi strategis di lingkar kekuasaan atau keamanan (militer). Realitasnya, masih ada upaya pemutarbalikan atau pembelokan sejarah seperti dalam kasus “Kamus Sejarah” yang menonjolkan tokoh-tokoh PKI dan menghilangkan nama tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy’ari. Pun patut diwaspadai komunisme gaya baru yang perwujudannya seperti adu domba antarkelompok Islam, kriminalisasi ulama, cenderung antiagama seperti islamofobia.     B. Kebijakan Publik yang Memoderasi Radikalisme dan Revolusionernya PKI dengan Ideologi Komunisme Sebagaimana beberapa kebijakan sebelumnya, keputusan Panglima TNI ini bisa dinilai sebagai upaya pelemahan radikalisme komunisme atau istilahnya moderasi komunisme dalam kebijakan publik. Moderasi merupakan pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Yaitu proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran hingga sikap dan tindakan, melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan konkret. Sementara komunisme itu paham radikal dan revolusione. Keradikalan komunisme di Indonesia pasca kegagalan pemberontakannya pada 30 September 1965 dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara. Berikut lima kebijakan publik selain diizinkannya anak keturuan PKI menjadi anggota TNI yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia. Pertama, upaya pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid. Setidaknya ada tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama,  konsep-konsep marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Soviet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan. Presiden Gus Dur menerima banyak tekanan dari kelompok-kelompok penentangnya seperti MUI, PBB, dan FUII. Di sisi lain, dukungan atas ide Gus Dur mengalir terutama dari kalangan generasi muda, aktivis gerakan HAM dan lingkungan perguruan tinggi. Kontroversi ini berakhir bersamaan berakhirnya kepemimpinannya. Pada Rapat Fraksi Komisi B DPR RI, Ahad (3/8/2003), semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS ini. Dalam Sidang Tahunan MPR 2003, Ketua MPR Amien Rais menandaskan tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966, sekaligus penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu. Kedua, tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU HIP pada tahun 2020. Untuk apa sebenarnya RUU HIP dan RUU BPIP ini dibuat? Kecurigaan terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme, marxisme, leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan TAP MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Terakhir, inisiator RUU HIP setuju memasukan TAP MPRS tersebut dengan syarat paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut dua ideologi yang dimaksud yaitu khilafahisme dan radikalisme. Ketiga, hak dipilih diberikan kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan HAM yang dijamin oleh UUD 1945. Dalam putusan akhirnya, Selasa (24/2/2003), MK menyatakan pasal tersebut tak lagi berkekuatan hukum mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti PKI juga berhak dipilih dalam Pemilu.   Nampak terjadi pelonggaran untuk konsolidasi paham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Adapun dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi, pembatasan hak dipilih eks anggota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat UU terhadap semua HAM yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV Hak Asasi Manusia, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu: hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pembatasan dalam Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tersebut tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1), maka tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan ini tidak bersifat permanen, tetapi situasional terkait intensitas peluang penyebaran kembali paham komunisme/marxisme-leninisme dan konsolidasi PKI. Sementara, penyebaran komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Keempat, penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM. Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia atau Center for Indonesian Community Studies (CICS) menyatakan keberatan terhadap penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) bagi orang-orang eks PKI oleh Komnas HAM (antaranews.com, 1/10/2019). CICS khawatir SKKPH nantinya dibawa ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan selanjutnya bisa menjadi jalan bagi PKI untuk kembali mendapatkan legitimasi di Indonesia. Menurut Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, Bedjo Untung, sampai hari ini sudah 3.000-an SKKPH diterbitkan. Melalui SKKPH, eks-PKI diakui lembaga negara sebagai korban. Berarti pelaku pemberontakan 1965 bukan PKI. Dengan begitu mereka bersih, selanjutnya bisa menuntut kompensasi, ganti rugi, rehabilitasi, dan mendesak negara minta maaf, TAP MPRS XXV 1966 dicabut, akhirnya PKI hidup lagi. Kelima, upaya rekonsiliasi PKI sebagai "korban". Balairung (27/7/2019) mewartakan tentang rekonsiliasi korban "pembantaian 1965". Upaya rekonsiliasi antara pihak "korban" pemberontakan PKI terus dilakukan. Namun dari pihak pendukung rekonsiliasi, ada dua kelompok yang cukup sulit menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Ada yang berpandangan, rekonsiliasi itu mustahil dilakukan bahkan dikatakan penyelesaian kasus penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956. Rekonsiliasi yang mengklaim PKI adalah korban, bukan pelaku makar tampaknya akan sulit terwujud bahkan membuka luka lama berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah membuktikan bahwa makar PKI telah merenggut ribuan jiwa, sebuah fakta yang sulit dipungkiri. Jadi, masih perlukah rekonsiliasi? Demikianlah berbagai kebijakan publik yang dinilai sebagai upaya moderasi radikalisme dan revolusionernya PKI dengan ideologi komunismenya. Jika hal semacam ini terus terjadi dan tidak mendapat perlawanan dari elemen masyarakat, khususnya umat Islam, sangat mungkin sejarah kelam PKI akan terhapus dari bumi pertiwi. Selanjutnya para pendukungnya kian berani mengeksiskan diri melalui berbagai jalur yang telah diakses termasuk lewat kekuasaan. C. PKI Diberi Ruang Eksistensi, Ormas Islam HTI dan FPI Dipersekusi Dari berbagai kebijakan publik yang memoderasi keradikalan ideologi komunisme dan PKI sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, nampak bahwa pelaku dan pendukung PKI seolah diberi ruang untuk kembali bangkit dan eksis. Apa jadinya jika di masa pemerintahan Gus Dur, TAP MPRS tentang PKI sebagai partai terlarang dan larangan menyebarkan komunisme, marxisme, leninisme berhasil dicabut? Apa jadinya bila RUU HIP dan RUU HIP disahkan sementara tidak menggunakan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai politik hukumnya? Dan kini, anak keturunan PKI dinyatakan bebas menjadi anggota TNI. Padahal TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara harus menjadi garda terdepan dalam menghadapi ancaman dan serangan ideologi berbahaya seperti komunisme. Sejak dahulu pun TNI berada di garis depan dalam menumpas PKI. Tidakkah ada kekhawatiran jika kebijakan Panglima TNI itu justru akan merapuhkan ketahanan TNI dan berpotensi memecah tubuh TNI? Berbanding terbalik dengan upaya memoderasi keradikalan komunisme. Pemerintah justru gencar meradikalkan ormas Islam yang pada dasarnya tidak melakukan tindakan kekerasan, seperti HTI dan FPI yang telah dibubarkan paksa beberapa waktu lalu. Hingga kini, eks HTI dan FPI masih sering dipersekusi dan tak lepas dari sematan kelompok radikal yang harus diwaspadai. Sebagaimana pesan Menag Yaqut Cholil Qoumas kepada GP Ansor dalam Konferensi Besar XXV GP Ansor di Kalimantan Selatan, Rabu (30/3/2022), agar tidak membiarkan pemerintah sendirian menghadapi eks anggota HTI dan FPI yang masih berkeliaran di bawah tanah dan meminta GP Ansor merumuskan cara-cara menghadapinya (cnnindonesia.com, 30/3/2022). Rezim berkuasa nampak mendorong masyarakat untuk menjadikan HTI dan FPI sebagai common enemy (musuh bersama). Berikut pola tindakan yang dilakukan terhadap HTI dan FPI: Pertama, organisasinya dibubarkan dan terus diawasi. HTI dibubarkan pada 19/7/2017 melalui Kemenkumham mencabut status Badan Hukum HTI berdasarkan SK Menkumham No. AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan keputusan Menkumham No. AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Sebagai tindak lanjut Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Adapun FPI dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, Rabu (30/12/2020). Pendakwah kedua “ormas terlarang” ini pun dilarang tampil di stasiun televisi berdasarkan SE KPI Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan. Selain itu, eks HTI dan FPI juga dilarang ikut Pemilu. Rekening pribadi dan organisasi FPI juga dibekukan. Kedua, aktivisnya dikriminalisasi hingga dipersekusi. Beberapa aktivis dan simpatisan HTI di kampus dipecat dari jabatannya, telah beberapa kali beredar data ilegal penceramah/ustaz radikal berisi nama-nama eks pengurus, anggota, dan simpatisan HTI. Selain itu, salah satu eks HTI di Kalsel hingga hari ini masih ditahan dengan tuduhan menyebarkan ajaran HTI padahal sebelumnya telah dibebaskan. Eks FPI diperlakukan lebih keji lagi. Pimpinannya divonis empat tahun penjara dijerat pasal berlapis, enam laskar FPI diduga kuat dibunuh secara unlawfull killing namun dua terdakwa pelakunya dibebaskan, dan mantan Sekjen FPI ditahan dengan tuduhan terorisme. Ketiga, idenya dimonsterisasi. Bahkan dalam diskusi dengan Radio Elshinta (30/9/2021), Jenderal Dudung melontarkan narasi bahwa tak hanya PKI yang harus diwaspadai, justru bahaya ekstrem kanan (radikalisme) lebih aktual. Terlebih isu khilafah yang belakangan kian ramai ada di masyarakat. Padahal khilafah adalah ajaran Islam, sebutan bagi sistem pemerintahan Islam yang bersumber pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.   Jika realitasnya seperti ini, ketidakadilan telah nyata dipertontonkan. Padahal FPI dan HTI “hanya” menjalankan titah Tuhannya untuk mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat. Itu pun tanpa jalan kekerasan. Lantas di manakah kesalahannya? Mereka tidak korupsi alias maling uang rakyat, tidak melakukan aktivitas makar atau separatisme berikut membunuh tentara, guru, dan tenaga kesehatan, seperti KKB di Papua. Pun bukan mafia penyebab harga minyak goreng melambung dan mencekik rakyat. Namun mengapa diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim? Ormas Islam yang berdakwah Islam di negeri mayoritas berpenduduk Muslim, namun dipersekusi oleh penguasa Muslim. Sungguh, ironi di atas ironi. D. Strategi Kewaspadaan Nasional demi Mencegah Perkembangan Ideologi Komunisme Khususnya di Tubuh TNI yang Berpotensi Membahayakan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel bahkan menyatakan bahwa suatu bangsa  tidak akan bisa bangkit kembali ketika (1) Tidak peduli dengan sejarahnya; (2) Tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail; (3) Tidak memiliki literasi tinggi (malas baca). Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya, dan membiarkan sejarah pilu terus berulang. Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, namun moderasi demi moderasi terhadapnya melalui kebijakan publik makin terasa. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi yang jelas bertentangan dengan sebagian besar anak bangsa Indonesia ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya. Berikut ini beberapa strategi kewaspadaan nasional demi mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara: 1. Membina masyarakat dengan iman dan takwa kepada Allah SWT atau meningkatkan aspek religiusitas. Inilah pondasi utama sekaligus filter bagi masyarakat untuk menyaring mana ideologi (paham) rusak dan mana yang baik. 2. Memahamkan masyarakat, khususnya kepada para tokoh upaya tentang kontra opini terhadap pengembangan komunisme, kewaspadaan menghadapi cara-cara komunisme, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya latennya. 3. Ajaran komunisme, marxisme, leninisme, secara formal telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966, namun secara substansi belum terjabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan pada semua aspek kehidupan. Untuk itu seyogyanya: a) Substansi larangan tersebut perlu segera dimasukkan dalam seluruh peraturan perundang-undangan dengan disertai sanksi tegas agar mampu mencegah secara konstitusional berkembangnya gerakan bernuansa komunisme; b) Untuk mencegah adanya dugaan pelanggaran HAM, maka pengkajian akademik tentang komunisme harus diatur jelas dan ada lembaga yang mempertanggungjawabkannya. 4. Meningkatkan ketahanan masyarakat melalui berbagai upaya: a) Peningkatan kesadaran berpartisipasi dalam pembangunan; b) Pemberdayaan masyarakat khususnya pada warga miskin, mewujudkan lapangan kerja baru, dan menata sistem pengupahan ketenagakerjaan; c) Menerapkan sistem atau kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat berbasis pemerataan dan keadilan distribusi kekayaan. 5. Meningkatkan kinerja aparatur pemerintah melalui peningkatan moralitas dan profesionalisme dengan mengedepankan unsur pelayanan dan keadilan. 6. Terus menjalankan fungsi pengawasan. Upaya peningkatan kemampuan intelejen aparatur negara dan pemantauan terhadap gerakan bernuansa komunisme lebih ditingkatkan. 7. Khususnya bagi lembaga TNI, hendaknya: a) Melakukan rekrutmen ketat terhadap calon anggotanya. Hal ini sebagai bentuk kewaspadaan akan menyusupnya paham komunisme dalam tubuh TNI. Salah satunya dengan meniadalan kebolehan anak keturunan PKI menjadi anggota TNI; b) Internal TNI harus memiliki kesamaan dan kesepahaman dalam menentukan parameter/syarat penerimaan anggota TNI terkait PKI atau paham komunisme. Sebelum terjadi kesepahaman, tidak melempar narasi apapun ke publik agar tak menjadi polemik. Demikian beberapa strategi kewaspadaan nasional untuk mencegah masuk dan berkembangnya paham atau ideologi komunisme di tengah masyarakat, khususnya dalam tubuh TNI. Semua elemen masyarakat harus bersinergi agar ideologi rusak ini tak lagi hadir di negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini. IV. PENUTUP Dari penjelasan di atas, kami mengajukan kesimpulan sebagai berikut: 1. Tak ada jaminan bahwa pelaku atau pendukung PKI tidak menginfiltrasikan ajaran komunisme pada anak keturunannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, tertanam di diri sang anak hingga dewasa. Meski diksi pelarangan anak keturuan PKI menjadi anggota TNI itu tidak ditemukan, alangkah baiknya jika keberadaannya tetap menjadi hal yang mesti diwaspadai. Tentu tak mudah begitu saja menempatkannya dalam posisi strategis di lingkar kekuasaan atau keamanan (militer). Realitasnya, masih ada upaya pemutarbalikan atau pembelokan sejarah seperti dalam kasus “Kamus Sejarah” yang menonjolkan tokoh-tokoh PKI dan menghilangkan nama tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy’ari. Pun patut diwaspadai komunisme gaya baru yang perwujudannya seperti adu domba antarkelompok Islam, kriminalisasi ulama, cenderung antiagama seperti islamofobia.     2. Keputusan Panglima TNI ini bisa dinilai sebagai upaya pelemahan radikalisme komunisme atau istilahnya moderasi komunisme dalam kebijakan publik. Moderasi merupakan pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Yaitu proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran hingga sikap dan tindakan, melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan konkret. Keradikalan komunisme di Indonesia dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara. Kebijakan publik selain diizinkannya anak keturuan PKI menjadi anggota TNI yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia yaitu: upaya pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid, tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU HIP tahun 2020, hak dipilih diberikan kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM, serta upaya rekonsiliasi PKI sebagai "korban". 3. Dari berbagai kebijakan publik yang memoderasi keradikalan ideologi komunisme dan PKI sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, nampak bahwa pelaku dan pendukung PKI seolah diberi ruang untuk kembali bangkit dan eksis. Berbanding terbalik dengan upaya memoderasi keradikalan komunisme. Pemerintah justru gencar meradikalkan ormas Islam yang pada dasarnya tidak melakukan tindakan kekerasan, seperti HTI dan FPI yang hingga kini masih sering dipersekusi dan tak lepas dari sematan kelompok radikal yang harus diwaspadai. Rezim berkuasa nampak mendorong masyarakat untuk menjadikan HTI dan FPI sebagai common enemy (musuh bersama). Pola tindakan yang dilakukan terhadap HTI dan FPI: organisasinya dibubarkan dan terus diawasi, aktivisnya dikriminalisasi hingga dipersekusi, dan idenya dimonsterisasi. Ketidakadilan telah nyata dipertontonkan. Padahal FPI dan HTI “hanya” menjalankan titah Tuhannya untuk mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat. Itu pun tanpa jalan kekerasan. Lantas di manakah kesalahannya? Ormas Islam yang berdakwah Islam di negeri mayoritas berpenduduk Muslim, namun dipersekusi oleh penguasa Muslim. Sungguh, ironi di atas ironi. 4. Strategi kewaspadaan nasional demi mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain: membina masyarakat dengan iman dan takwa kepada Allah SWT, memahamkan masyarakat khususnya kepada para tokoh upaya kontra opini terhadap pengembangan komunisme, kewaspadaan menghadapi cara-cara komunisme, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya latennya. Selain itu menjabarkan secara substansi larangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme, ke dalam peraturan perundang-undangan. Pun meningkatkan ketahanan masyarakat melalui berbagai upaya, meningkatkan kinerja aparatur pemerintah melalui peningkatan moralitas dan profesionalisme, serta terus menjalankan fungsi pengawasan. Khusus bagi lembaga TNI, hendaknya melakukan rekrutmen ketat terhadap calon anggotanya serta internal TNI harus memiliki kesamaan dan kesepahaman dalam menentukan parameter/syarat penerimaan anggota TNI terkait PKI atau paham komunisme. Semua elemen masyarakat harus bersinergi agar ideologi rusak ini tak lagi hadir di negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini.