Saturday, December 28, 2019

Atha’ bin Abu Rasytah: Makna Hadits Setiap 100 Tahun Akan Ada Mujadid

Tanya-Jawab Amir Hizbut Tahrir Syeikh Atha’ bin Abu Rasytah: Makna Hadits Setiap 100 Tahun Akan Ada Mujadid

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah memberkahi Anda dan mempercepat nushrah melalui tangan Anda … dan semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmu Anda.

Di antara hadits-hadits shahih yang masyhur adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahabat yang mulia Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599)

Pertanyaannya adalah: apa makna hadits tersebut? Apakah kata “man“ di dalam hadits tersebut memberi makna bahwa mujadid itu individu ataukah jamaah? Dan apakah mungkin membatasi mereka pada abad ke tujuh? Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Abu Mu`min Hamad

Jawab:

Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Benar, hadits tersebut shahih. Di dalamnya ada lima masalah:

Dari tahun mana dimulai abad itu? Apakah dari kelahiran Rasul saw, atau dari tahun beliau diutus, atau dari hijrah, atau dari wafat beliau saw?
Apakah “ra’s kulli mi`ah“ berarti awal setiap seratus (setiap satu abad), atau sepanjang tiap satu abad, atau pada akhir tiap satu abad?
Apakah kata “man“ berarti satu orang, atau berarti jamaah yang memperbaharui untuk manusia agama mereka?
Apakah ada riwayat yang memiliki sudut pandang shahih tentang hitungan orang-orang mujadid selama abad-abad lalu?
Apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke empat belas yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399, siapakah mujadid untuk masyarakat yang memperbaharui agama mereka?
Saya akan berusaha semampu saya untuk menyebutkan yang rajih menurut saya dalam masalah-masalah tersebut tanpa terjun pada point-point perbedaan. Dan saya katakan dengan taufik dari Allah dan Dia Zat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus:

1. Dari tahun berapa dimulai seratus tahun itu?

Al-Munawi di Muqaddimah Fath al-Qadir mengatakan: “diperselisihkan tentang ra’s al-mi`ah apakah dinilai dari kelahiran Nabi saw, tahun beliau diutus, hijrah atau tahun beliau wafat …” Yang rajih menurutku bahwa penilaian tersebut adalah dari hijrah. Hijrah itu adalah peristiwa yang dengannya Islam dan kaum Muslimin menjadi mulia dengan tegaknya daulahnya. Karena itu ketika Umar mengumpulkan para sahabat untuk bersepakat atas awal kalender, mereka bersandar pada hijrah. Imam ath-Thabari mengeluarkan di Târîkh-nya, ia berkata:

“حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: جَمَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّاسَ، فَسَأَلَهُمْ، فَقَالَ: من أي يوم نكتب؟ فقال علي: من يوم هاجر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وَتَرَكَ أَرْضَ الشِّرْكِ، فَفَعَلَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hamad, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ad-Darawardi dari Utsman bin Ubaidullah bin Abi Rafi’, ia berkata: aku mendegar Sa’id bin al-Musayyib berkata: Umar bin al-Khaththab mengumpulkan orang-orang dan menanyai mereka. Umar berkata: dari hari apa kita tulis?” maka Ali berkata: “dari hari Rasulullah saw hijrah dan beliau meninggalkan bumi kesyirikan”. Maka Umar ra. melakukannya.

Abu Ja’far (ath-Thabari) berkata: mereka –para sahabat- menilai tahun hijriyah pertama dari Muharram tahun itu, yakni dua bulan beberapa hari sebelum Rasulullah saw datang ke Madinah karena Rasulullah saw datang di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal.”

Atas dasar itu, saya merajihkan untuk menghitung tahun-tahun ratusan (abad) berawal dari tahun hijrah yang dijadikan sandaran para sahabat ridhwanullah ‘alayhim.

2. Sedangkan ra’s al-mi`ah yang rajih adalah akhirnya. Yakni bahwa mujadid itu ada pada akhir abad; yaitu seorang yang ‘alim, terkenal, bertakwa dan bersih. Dan wafatnya pada akhir ratusan itu dan bukan pada pertengahan atau sepanjang abad itu. Adapun kenapa saya merajihkan hal itu, dikarenakan sebab-sebab berikut:

Ditetapkan dengan riwayat-riwayat shahih bahwa mereka menilai Umar bin Abdul ‘Aziz pada pengujung seratus tahun pertama. Beliau wafat pada tahun 101 H, dan usianya 40 tahun. Dan mereka menilai asy-Syafii pada penghujung seratus tahun kedua dan beliau wafat pada tahun 204 H dan usia beliau 54 tahun. Dan jika diambil penafsiran “ra’s kulli mi`ah sanah” itu selain ini, yakni ditafsirkan awal abad, maka Umar bin Abdul Aziz bukan mujadid abad pertama sebab beliau dilahirkan tahun 61 H. Begitu pula asy-Syafii bukan mujadid abad kedua sebab beliau dilahirkan tahun 150 H. Ini makna ra’s kulli mi`ah sanah” yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, berarti akhir abad dan bukan awalnya. Maka mujadid itu dilahirkan sepanjang abad itu kemudian menjadi seorang yang ‘alim terkenal dan mujadid pada akhir abad itu dan diwafatkan pada akhir abad itu.
Sedangkan dalil bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan asy-Syafii adalah mujadid seratus tahun kedua adalah apa yang sudah terkenal di tengah para ulama dan para imam umat ini. Az-Zuhri, Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya diantara para imam terdahulu dan yang belakangan, mereka telah sepakat bahwa mujadid abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan pada akhir abad kedua adalah imam asy-Syafii rahimahullah. Umar bin Abdul Aziz diwafatkan pada tahun 101 dan usianya 40 tahun dan masa khilafah beliau selama dua setengah tahun. Dan asy-Syafii diwafatkan pada tahun 204 dan usia beliau 54 tahun. Al-Hafizh Ibn Hajar di at-Tawâliy at-Ta`sîs mengatakan, Abu Bakar al-Bazar berkata, aku mendengar Abdul Malik bin Abdul Humaid al-Maymuni berkata: aku bersama Ahamd bin Hanbal lalu berlangsung mengingat asy-Syafii lalu aku lihat Ahmad mengangkatnya dan berkata: diriwayatkan dari an-Nabi beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَيِّضُ فِي رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

Sesungguhnya Allah membatasi pada penghujung setiap seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat agama mereka

Ahmad berkata, Umar bin Abdul Aziz pada penghujung abad pertama dan saya berharap asy-Syafii pada abad yang lain (kedua).

Dan dari jalur Abu Sa’id al-Firyabi, ia berkata: Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنَّ اللَّهَ يُقَيِّضُ لِلنَّاسِ فِي كُلِّ رَأْسِ مِائَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ الناس السنن وينفي عن النبي الْكَذِبَ فَنَظَرْنَا فَإِذَا فِي رَأْسِ الْمِائَةِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَفِي رَأْسِ الْمِائَتَيْنِ الشَّافِعِيُّ

Sesungguhnya Allah membatasi untuk masyarakat pada setiap penghujung seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat sunan dan menafikan kedustaan dari Nabi. Dan kami melihat pada penghujung seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada penghujung seratus tahun kedua adalah asy-Syafii

Ibn ‘Adi berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ali bin al-Husain berkata: Aku mendengar ashhabuna mereka mengatakan, pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii.

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak-nya dari Abu al-Walid, ia berkata: Aku ada di majelis Abu al-‘Abbas bin Syuraih ketika seorang syaikh (orang tua) berdiri kepadanya memujinya lalu aku mendengar ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ath-Thahir al-Khawlani, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahbin, telah memberitahukan kepada kami Sa’id bin Abi Ayyub dari Syarahil bin Yazid dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya

Maka bergembiralah wahai al-Qadhi, sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung seratus tahun pertama Umar bin Abdul Aziz, dan Allah mengutus pada penghujung seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii …

Al-Hafizh Ibn hajar mengatakan, ini mengindikasikan bahwa hadits itu masyhur pada masa itu.

Mungkin dikatakan bahwa ra’s asy-syay`i secara bahasa artinya awalnya. Lalu bagaimana kita merajihkan bahwa ra’s kulli mi`ah sanah adalah akhirnya dan bukan awalnya? Jawabnya adalah bahwa ra’s asy-syay`i seperti di dalam bahasa adalah awal sesuatu itu dan demikin juga akhirnya. Ia berkata di Tâj al-‘Arûs: ra’s asy-syay`i adalah ujungnya dan dikatakan akhirnya. Ibn Manzhur berkata di Lisân al-‘Arab: kharaja adh-dhabb murâ`isan: biawak itu keluar dari lubangnya dengan kepala lebih dahulu dan ada kalanya dengan ekornya lebih dahulu. Yakni keluar dengan awal atau akhirnya. Atas dasar itu ra’s asy-syay`i seperti yang dinyatakan di dalam bahasa, bermakna awalnya, dan bermakna ujungnya baik awalnya atau akhirnya. Dan kita perlu qarinah yang merajihkan makna yang dimaksud di dalam hadits untuk kata ra’s al-mi`ah apakah awalnya ataukah akhirnya. Dan qarinah-qarinah ini ada di dalam riwayat-riwayat terdahulu yang menilai Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan beliau diwafatkan pada tahun 101 dan penilaian bahwa asy-Syaifi adalah mujadid seratus tahun kedua dan beliau diwafatkan pada tahun 204. Semua itu merajihkan bahwa makna di dalam hadits tersebut adalah akhir seratus dan bukan awalnya.
Berdasarkan atas semua yang terdahulu itu maka saya merajihkan bahwa makna ra’s kulli mi`ah sanah yang dinyatakan di dalam hadits tersebut adalah akhir setiap seratus tahun.

3. Adapun apakah kata “man” berarti satu orang atau jamaah, maka hadits tersebut diriwayatkan “diutus untuk umat ini …orang yang memperbaharui agama umat”. Seandainya kata “man” menunjukkan pada jamak niscaya fi’ilnya jamak yakni “man yujaddidûna, akan tetapi fi’il disitu dinyatakan mufrad “yujaddidu”. Meski bahwa dalalah “man” disitu ada makna jamak juga hingga meskipun setelahnya fi’il mufrad. Namun saya merajihkan bahwa “man” itu disini untuk mufrad dengan qarinah fi’ilnya yaitu yujaddidu. Dan saya katakan, saya rajihkan, sebab dalalah disini dengan mufrad bukanlah qath’iy hingga meski fi’il setelahnya adalah mufrad. Karena itu, ada orang yang menafsirkan “man” dengan dalalah jamaah dan mereka menghitung riwayat mereka adalah jamaah ulama pada setiap seratus tahun. Akan tetapi, itu adalah pendapat yang lebih lemah seperti yang telah kami sebutkan barusan.

Atas dasar itu, maka yang rajih menurut saya bahwa kata “man” menunjukkan satu orang, yakni bahwa mujadid pada hadits tersebut adalah satu orang ‘alim lagi bertakwa dan bersih …

4. Adapun hitungan nama-nama para mujadid pada abad-abad lalu, maka ada riwayat-riwayat dalam hal itu dan yang paling terkenal adalah syair as-Suyuthi di mana ia menghitung untuk sembilan abad dan ia memohon kepada Allah agar menjadi mujadid yang kesembilan. Saya nukilkan sebagian syair itu:

“فَكَانَ عِنْدَ الْمِائَةِ الْأُولَى عُمَرْ خَلِيفَةُ الْعَدْلِ بِإِجْمَاعٍ وَقَرْ…

وَالشَّافِعِيُّ كَانَ عِنْدَ الثَّانِيَةِ لِمَا لَهُ مِنَ الْعُلُومِ السَّامِيَةِ…

وَالْخَامِسُ الْحَبْرُ هُوَ الْغَزَالِي وَعَدّهُ مَا فِيهِ مِنْ جِدَالِ…

وَالسَّابِعُ الرَّاقِي إلى المراقي بن دَقِيقِ الْعِيدِ بِاتِّفَاقِ…

وَهَذِهِ تَاسِعَةُ الْمِئِينَ قَدْ أَتَتْ وَلَا يُخْلَفُ مَا الْهَادِي وَعَدْ وَقَدْ رَجَوْتُ أَنَّنِي الْمُجَدِّدُ فِيهَا فَفَضْلُ اللَّهِ لَيْسَ يُجْحَدُ…

Pada abad pertama Umar bin Abdul Azis yang adil, menurut ijmak yang kokoh …

Dan asy-Syafii pada abad kedua karena ia memiliki ilmu yang tinggi …

Dan kelima adalah al-Habru, dia adalah al-Ghazali dan penghitungan dia di dalamnya ada perdebatan …

Dan ketujuh adalah yang menanjak ke tempat tinggi Ibn Daqiq al-‘Aid menurut kesepakatan …

Dan abad kesembilan ini sudah datang dan tidak ditinggalkan al-hadi yang telah dihitung dan aku sungguh berharap bahwa aku menjadi mujadid di dalamnya dan karunia Allah tidak bisa diperbaharui …

Ada pendapat-pendapat lain yang terus berlangsung setelah itu.

5. Dan apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke-14 yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399 H, siapakah untuk masyarakat mujadid agama mereka?

Sangat menarik perhatianku apa yang masyhur pada para ulama yang kredibel bahwa penghujung tahun adalah akhirnya. Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 61 H dan diwafatkan penghujung abad pertama pada tahun 101 H. Asy-Syafii dilahirkan pada tahun 150 H dan diwafatkan pada penghujung abad ke-2 tahun 204 H …

Artinya masing-masing dari keduanya dilahirkan di pertengahan abad dan menjadi terkenal pada akhirnya dan diwafatkan pada akhirnya. Seperti yang saya katakan, saya merajihkan penafsiran ini dikarenakan sudah terkenal di antara para ulama yang kredibel bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid pada penghujung abad pertama, dan asy-Syafii adalah mujadid pada penghujung abad kedua. Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bahwa Al-‘allamah Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah adalah mujadid pada penghujung abad ke-14. Beliau dilahirkan pada tahun 1332 H dan menjadi terkenal pada akhir abad ke-14 ini, khususnya ketika beliau mendirikan Hizbut Tahrir pada Jumaduts Tsaniyah tahun 1372 H dan beliau diwafatkan pada tahun 1398 H. Dakwah beliau kepada kaum Muslimin kepada qadhiyah mashiriyah (agenda utama hidup mati), melanjutkan kehidupan islami dengan tegaknya daulah al-khilafah ar-rasyidah, memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat, kesungguhan dan keseriusan mereka, hingga al-khilafah hari ini menjadi tuntutan umum milik kaum Muslimin. Maka semoga Allah merahmati Abu Ibrahim, dan semoga Allah SWT merahmati saudara beliau Abu Yusuf setelahnya dan menghimpunkan kedua beliau bersama para nabi, ash-shidiqun, syuhada dan orang-orang shalih dan mereka adalah sebaik-baik teman.

Ini yang saya rajihkan ya akhi Abu Mu`min. Wallah a’lam bi ash-shawâb wa huwa subhânahu ‘indahu husnu al-ma`âb.



Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Sya’ban 1434 H

23 Juni 2013 M
Tanya-Jawab Amir Hizbut Tahrir Syeikh Atha’ bin Abu Rasytah: Makna Hadits Setiap 100 Tahun Akan Ada Mujadid

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah memberkahi Anda dan mempercepat nushrah melalui tangan Anda … dan semoga Allah memberi manfaat kepada kami dengan ilmu Anda.

Di antara hadits-hadits shahih yang masyhur adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahabat yang mulia Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599)

Pertanyaannya adalah: apa makna hadits tersebut? Apakah kata “man“ di dalam hadits tersebut memberi makna bahwa mujadid itu individu ataukah jamaah? Dan apakah mungkin membatasi mereka pada abad ke tujuh? Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Abu Mu`min Hamad

Jawab:

Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Benar, hadits tersebut shahih. Di dalamnya ada lima masalah:

Dari tahun mana dimulai abad itu? Apakah dari kelahiran Rasul saw, atau dari tahun beliau diutus, atau dari hijrah, atau dari wafat beliau saw?
Apakah “ra’s kulli mi`ah“ berarti awal setiap seratus (setiap satu abad), atau sepanjang tiap satu abad, atau pada akhir tiap satu abad?
Apakah kata “man“ berarti satu orang, atau berarti jamaah yang memperbaharui untuk manusia agama mereka?
Apakah ada riwayat yang memiliki sudut pandang shahih tentang hitungan orang-orang mujadid selama abad-abad lalu?
Apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke empat belas yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399, siapakah mujadid untuk masyarakat yang memperbaharui agama mereka?
Saya akan berusaha semampu saya untuk menyebutkan yang rajih menurut saya dalam masalah-masalah tersebut tanpa terjun pada point-point perbedaan. Dan saya katakan dengan taufik dari Allah dan Dia Zat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus:

1. Dari tahun berapa dimulai seratus tahun itu?

Al-Munawi di Muqaddimah Fath al-Qadir mengatakan: “diperselisihkan tentang ra’s al-mi`ah apakah dinilai dari kelahiran Nabi saw, tahun beliau diutus, hijrah atau tahun beliau wafat …” Yang rajih menurutku bahwa penilaian tersebut adalah dari hijrah. Hijrah itu adalah peristiwa yang dengannya Islam dan kaum Muslimin menjadi mulia dengan tegaknya daulahnya. Karena itu ketika Umar mengumpulkan para sahabat untuk bersepakat atas awal kalender, mereka bersandar pada hijrah. Imam ath-Thabari mengeluarkan di Târîkh-nya, ia berkata:

“حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: جَمَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّاسَ، فَسَأَلَهُمْ، فَقَالَ: من أي يوم نكتب؟ فقال علي: من يوم هاجر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وَتَرَكَ أَرْضَ الشِّرْكِ، فَفَعَلَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hamad, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ad-Darawardi dari Utsman bin Ubaidullah bin Abi Rafi’, ia berkata: aku mendegar Sa’id bin al-Musayyib berkata: Umar bin al-Khaththab mengumpulkan orang-orang dan menanyai mereka. Umar berkata: dari hari apa kita tulis?” maka Ali berkata: “dari hari Rasulullah saw hijrah dan beliau meninggalkan bumi kesyirikan”. Maka Umar ra. melakukannya.

Abu Ja’far (ath-Thabari) berkata: mereka –para sahabat- menilai tahun hijriyah pertama dari Muharram tahun itu, yakni dua bulan beberapa hari sebelum Rasulullah saw datang ke Madinah karena Rasulullah saw datang di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal.”

Atas dasar itu, saya merajihkan untuk menghitung tahun-tahun ratusan (abad) berawal dari tahun hijrah yang dijadikan sandaran para sahabat ridhwanullah ‘alayhim.

2. Sedangkan ra’s al-mi`ah yang rajih adalah akhirnya. Yakni bahwa mujadid itu ada pada akhir abad; yaitu seorang yang ‘alim, terkenal, bertakwa dan bersih. Dan wafatnya pada akhir ratusan itu dan bukan pada pertengahan atau sepanjang abad itu. Adapun kenapa saya merajihkan hal itu, dikarenakan sebab-sebab berikut:

Ditetapkan dengan riwayat-riwayat shahih bahwa mereka menilai Umar bin Abdul ‘Aziz pada pengujung seratus tahun pertama. Beliau wafat pada tahun 101 H, dan usianya 40 tahun. Dan mereka menilai asy-Syafii pada penghujung seratus tahun kedua dan beliau wafat pada tahun 204 H dan usia beliau 54 tahun. Dan jika diambil penafsiran “ra’s kulli mi`ah sanah” itu selain ini, yakni ditafsirkan awal abad, maka Umar bin Abdul Aziz bukan mujadid abad pertama sebab beliau dilahirkan tahun 61 H. Begitu pula asy-Syafii bukan mujadid abad kedua sebab beliau dilahirkan tahun 150 H. Ini makna ra’s kulli mi`ah sanah” yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, berarti akhir abad dan bukan awalnya. Maka mujadid itu dilahirkan sepanjang abad itu kemudian menjadi seorang yang ‘alim terkenal dan mujadid pada akhir abad itu dan diwafatkan pada akhir abad itu.
Sedangkan dalil bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan asy-Syafii adalah mujadid seratus tahun kedua adalah apa yang sudah terkenal di tengah para ulama dan para imam umat ini. Az-Zuhri, Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya diantara para imam terdahulu dan yang belakangan, mereka telah sepakat bahwa mujadid abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan pada akhir abad kedua adalah imam asy-Syafii rahimahullah. Umar bin Abdul Aziz diwafatkan pada tahun 101 dan usianya 40 tahun dan masa khilafah beliau selama dua setengah tahun. Dan asy-Syafii diwafatkan pada tahun 204 dan usia beliau 54 tahun. Al-Hafizh Ibn Hajar di at-Tawâliy at-Ta`sîs mengatakan, Abu Bakar al-Bazar berkata, aku mendengar Abdul Malik bin Abdul Humaid al-Maymuni berkata: aku bersama Ahamd bin Hanbal lalu berlangsung mengingat asy-Syafii lalu aku lihat Ahmad mengangkatnya dan berkata: diriwayatkan dari an-Nabi beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَيِّضُ فِي رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

Sesungguhnya Allah membatasi pada penghujung setiap seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat agama mereka

Ahmad berkata, Umar bin Abdul Aziz pada penghujung abad pertama dan saya berharap asy-Syafii pada abad yang lain (kedua).

Dan dari jalur Abu Sa’id al-Firyabi, ia berkata: Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنَّ اللَّهَ يُقَيِّضُ لِلنَّاسِ فِي كُلِّ رَأْسِ مِائَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ الناس السنن وينفي عن النبي الْكَذِبَ فَنَظَرْنَا فَإِذَا فِي رَأْسِ الْمِائَةِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَفِي رَأْسِ الْمِائَتَيْنِ الشَّافِعِيُّ

Sesungguhnya Allah membatasi untuk masyarakat pada setiap penghujung seratus tahun orang yang mengajarkan masyarakat sunan dan menafikan kedustaan dari Nabi. Dan kami melihat pada penghujung seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada penghujung seratus tahun kedua adalah asy-Syafii

Ibn ‘Adi berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ali bin al-Husain berkata: Aku mendengar ashhabuna mereka mengatakan, pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii.

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak-nya dari Abu al-Walid, ia berkata: Aku ada di majelis Abu al-‘Abbas bin Syuraih ketika seorang syaikh (orang tua) berdiri kepadanya memujinya lalu aku mendengar ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu ath-Thahir al-Khawlani, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahbin, telah memberitahukan kepada kami Sa’id bin Abi Ayyub dari Syarahil bin Yazid dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya

Maka bergembiralah wahai al-Qadhi, sesungguhnya Allah mengutus pada penghujung seratus tahun pertama Umar bin Abdul Aziz, dan Allah mengutus pada penghujung seratus tahun kedua Muhammad bin Idris asy-Syafii …

Al-Hafizh Ibn hajar mengatakan, ini mengindikasikan bahwa hadits itu masyhur pada masa itu.

Mungkin dikatakan bahwa ra’s asy-syay`i secara bahasa artinya awalnya. Lalu bagaimana kita merajihkan bahwa ra’s kulli mi`ah sanah adalah akhirnya dan bukan awalnya? Jawabnya adalah bahwa ra’s asy-syay`i seperti di dalam bahasa adalah awal sesuatu itu dan demikin juga akhirnya. Ia berkata di Tâj al-‘Arûs: ra’s asy-syay`i adalah ujungnya dan dikatakan akhirnya. Ibn Manzhur berkata di Lisân al-‘Arab: kharaja adh-dhabb murâ`isan: biawak itu keluar dari lubangnya dengan kepala lebih dahulu dan ada kalanya dengan ekornya lebih dahulu. Yakni keluar dengan awal atau akhirnya. Atas dasar itu ra’s asy-syay`i seperti yang dinyatakan di dalam bahasa, bermakna awalnya, dan bermakna ujungnya baik awalnya atau akhirnya. Dan kita perlu qarinah yang merajihkan makna yang dimaksud di dalam hadits untuk kata ra’s al-mi`ah apakah awalnya ataukah akhirnya. Dan qarinah-qarinah ini ada di dalam riwayat-riwayat terdahulu yang menilai Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid seratus tahun pertama dan beliau diwafatkan pada tahun 101 dan penilaian bahwa asy-Syaifi adalah mujadid seratus tahun kedua dan beliau diwafatkan pada tahun 204. Semua itu merajihkan bahwa makna di dalam hadits tersebut adalah akhir seratus dan bukan awalnya.
Berdasarkan atas semua yang terdahulu itu maka saya merajihkan bahwa makna ra’s kulli mi`ah sanah yang dinyatakan di dalam hadits tersebut adalah akhir setiap seratus tahun.

3. Adapun apakah kata “man” berarti satu orang atau jamaah, maka hadits tersebut diriwayatkan “diutus untuk umat ini …orang yang memperbaharui agama umat”. Seandainya kata “man” menunjukkan pada jamak niscaya fi’ilnya jamak yakni “man yujaddidûna, akan tetapi fi’il disitu dinyatakan mufrad “yujaddidu”. Meski bahwa dalalah “man” disitu ada makna jamak juga hingga meskipun setelahnya fi’il mufrad. Namun saya merajihkan bahwa “man” itu disini untuk mufrad dengan qarinah fi’ilnya yaitu yujaddidu. Dan saya katakan, saya rajihkan, sebab dalalah disini dengan mufrad bukanlah qath’iy hingga meski fi’il setelahnya adalah mufrad. Karena itu, ada orang yang menafsirkan “man” dengan dalalah jamaah dan mereka menghitung riwayat mereka adalah jamaah ulama pada setiap seratus tahun. Akan tetapi, itu adalah pendapat yang lebih lemah seperti yang telah kami sebutkan barusan.

Atas dasar itu, maka yang rajih menurut saya bahwa kata “man” menunjukkan satu orang, yakni bahwa mujadid pada hadits tersebut adalah satu orang ‘alim lagi bertakwa dan bersih …

4. Adapun hitungan nama-nama para mujadid pada abad-abad lalu, maka ada riwayat-riwayat dalam hal itu dan yang paling terkenal adalah syair as-Suyuthi di mana ia menghitung untuk sembilan abad dan ia memohon kepada Allah agar menjadi mujadid yang kesembilan. Saya nukilkan sebagian syair itu:

“فَكَانَ عِنْدَ الْمِائَةِ الْأُولَى عُمَرْ خَلِيفَةُ الْعَدْلِ بِإِجْمَاعٍ وَقَرْ…

وَالشَّافِعِيُّ كَانَ عِنْدَ الثَّانِيَةِ لِمَا لَهُ مِنَ الْعُلُومِ السَّامِيَةِ…

وَالْخَامِسُ الْحَبْرُ هُوَ الْغَزَالِي وَعَدّهُ مَا فِيهِ مِنْ جِدَالِ…

وَالسَّابِعُ الرَّاقِي إلى المراقي بن دَقِيقِ الْعِيدِ بِاتِّفَاقِ…

وَهَذِهِ تَاسِعَةُ الْمِئِينَ قَدْ أَتَتْ وَلَا يُخْلَفُ مَا الْهَادِي وَعَدْ وَقَدْ رَجَوْتُ أَنَّنِي الْمُجَدِّدُ فِيهَا فَفَضْلُ اللَّهِ لَيْسَ يُجْحَدُ…

Pada abad pertama Umar bin Abdul Azis yang adil, menurut ijmak yang kokoh …

Dan asy-Syafii pada abad kedua karena ia memiliki ilmu yang tinggi …

Dan kelima adalah al-Habru, dia adalah al-Ghazali dan penghitungan dia di dalamnya ada perdebatan …

Dan ketujuh adalah yang menanjak ke tempat tinggi Ibn Daqiq al-‘Aid menurut kesepakatan …

Dan abad kesembilan ini sudah datang dan tidak ditinggalkan al-hadi yang telah dihitung dan aku sungguh berharap bahwa aku menjadi mujadid di dalamnya dan karunia Allah tidak bisa diperbaharui …

Ada pendapat-pendapat lain yang terus berlangsung setelah itu.

5. Dan apakah mungkin kita mengetahui pada abad ke-14 yang berakhir pada 30 Dzul Hijjah 1399 H, siapakah untuk masyarakat mujadid agama mereka?

Sangat menarik perhatianku apa yang masyhur pada para ulama yang kredibel bahwa penghujung tahun adalah akhirnya. Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 61 H dan diwafatkan penghujung abad pertama pada tahun 101 H. Asy-Syafii dilahirkan pada tahun 150 H dan diwafatkan pada penghujung abad ke-2 tahun 204 H …

Artinya masing-masing dari keduanya dilahirkan di pertengahan abad dan menjadi terkenal pada akhirnya dan diwafatkan pada akhirnya. Seperti yang saya katakan, saya merajihkan penafsiran ini dikarenakan sudah terkenal di antara para ulama yang kredibel bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah mujadid pada penghujung abad pertama, dan asy-Syafii adalah mujadid pada penghujung abad kedua. Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bahwa Al-‘allamah Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah adalah mujadid pada penghujung abad ke-14. Beliau dilahirkan pada tahun 1332 H dan menjadi terkenal pada akhir abad ke-14 ini, khususnya ketika beliau mendirikan Hizbut Tahrir pada Jumaduts Tsaniyah tahun 1372 H dan beliau diwafatkan pada tahun 1398 H. Dakwah beliau kepada kaum Muslimin kepada qadhiyah mashiriyah (agenda utama hidup mati), melanjutkan kehidupan islami dengan tegaknya daulah al-khilafah ar-rasyidah, memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat, kesungguhan dan keseriusan mereka, hingga al-khilafah hari ini menjadi tuntutan umum milik kaum Muslimin. Maka semoga Allah merahmati Abu Ibrahim, dan semoga Allah SWT merahmati saudara beliau Abu Yusuf setelahnya dan menghimpunkan kedua beliau bersama para nabi, ash-shidiqun, syuhada dan orang-orang shalih dan mereka adalah sebaik-baik teman.

Ini yang saya rajihkan ya akhi Abu Mu`min. Wallah a’lam bi ash-shawâb wa huwa subhânahu ‘indahu husnu al-ma`âb.



Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Sya’ban 1434 H

23 Juni 2013 M

Saturday, December 14, 2019

JANJI ITU DIKHIANATI

JANJI ITU DIKHIANATI
.
.
Sekitar 550 orang berkumpul di dalam Gedung Merdeka, Bandung pada 10 November 1956. Dalam bangunan klasik dua tingkat berlantaikan marmer mengkilap khas kolonial _art deco,_ Presiden Soekarno melantik wakil rakyat hasil pemilu 1955 sebagai anggota Konstituante (lembaga yang membahas perubahan dasar negara dan undang-undang dasar). Pelantikan tersebut menandakan pula dimulainya sidang.
.
DIKHIANATI
.
Sidang Konstituante adalah sidang yang sangat dinanti para tokoh dan umat Islam, tak terkecuali Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) Ki Bagoes Hadikoesoemo.
.
Sebelumnya, pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut sebagai Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun menyisakan perdebatan antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler dan Kristen di sisi lain terkait tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Sedangkan anggota BPUPKI Soekarno berusaha menengahi dengan gaya kompromistis [baca: mencampurkan yang haq dan bathil]. Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima panitia ini.”
.
Pada rapat 14 Juli, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dicoret. Jadi bunyinya hanya Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam.
.
Pendapatnya pun ditolak kelompok sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI untuk tetap menyepakati hasil 11 Juli.  Akhirnya BPUPK memutuskan tetap mencantumkan kalimat: dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Namun bukan orang sekuler kalau tidak licik. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, tanpa sidang, Soekarno dan Muhammad Hatta menghapus kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata).
.
Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota Panitia Sembilan, yang terbujuk rayuan Soekarno pun melobi Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan Yang Maha Esa.
.
Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.
.
Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti enam bulan lagi MPR terbentuk, apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silakan perjuangkan di situ,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.
.
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti enam bulan lagi.
.
Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat belum juga terbentuk. Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman meninggal dalam penantian pada 1953.
.
MENAGIH JANJI
.
Dalam sidang Konstituante, Kasman mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan janji kepada Ki Bagoes itu. “Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikoesoemo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini,” ungkap Kasman.
.
Ia kemudian bertanya, “Saudara Ketua, secara kategoris saya ingin tanya, Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?”
.
Pada 10 Nopember 1957, giliran Pimpinan Persatuan Islam (Persis) KH Isa Anshari menyampaikan pandangannya. Ia juga mempertanyakan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus. “Kalimat yang bunyinya dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, memberikan peluang dan ruang kemungkinan bagi umat Islam untuk menegakkan hukum dan syariat Islamiah dalam negara yang akan dibentuk…”
.
“…Kalimat-kalimat di atas itu berisi janji dan harapan, jaminan dan kepastian bagi segenap umat Islam, bahwa agamanya akan mendapat tempat yang wajar dalam susunan dan bidang hidup kemasyarakatan daan kenegaraan, walaupun rumusan itu belum lengkap menggambarkan ideologi Islam yang sesungguhnaya.”
.
“Akan tetapi, Saudara Ketua, rupanya jalan sejarah tidak bergerak di atas acuan piagam yang menarik-mengikat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia diumumkan tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kalimat
.
Dengan kewajiban menjakankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan sama sekali.”
.
“Apa gerangan sebabnya, bagaimana sesungguhnya proses yang berlaku sampai terjadi yang demikian itu, hingga kini belum ada keterangan mengenai itu?”
.
“Saudara Ketua, kejadian yang mencolok mata sejarah itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Kejadian yang mencolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam Indonesia sebagai permainan politik pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka…”
.
“Pada saat negara kita berada dalam krisis, berada pada taraf dan tingkatan yang membahayakan, selalu pemimpin-pemimpin Islam mem-borg-kan (menggadaikan, red) umat Islam yang dipimpinnya untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia, walaupun dalam Republik Indonesia itu belum lagi berlaku ajaran dan hukum Islam,” tegasnya.
.
Dalam kesempatan sidang berikutnya, Buya Hamka mengingatkan bahwa semangat melawan penjajahan, keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati, syahid adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan Pancasila.
.
“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai Proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah dalam dada ini sekarang.”
.
“Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang ini pun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”
.
Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante, tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang. 
.
Dan pada sampai puncaknya dengan lantang dan blak-blakan Buya Hamka pun mengingatkan. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka… ” tegasnya.
.
Tentu saja para hadirin dalam sidang Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan lelaki yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah tersebut. “Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut,” ujar KH Irfan Hamka menceritakan ketegasan sang ayah seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.
.
DIKHIANATI LAGI
.

Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal tujuh kata tersebut. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.
.
Anehnya, meski _deadline_ masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959,  Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.[]
.
Joko Prasetyo
dari berbagai sumber
.
https://mediaumat.news/janji-itu-dikhianati/

Monday, December 9, 2019

Habib Hanif Alatas: Meninjau Ulang Fatwa "Selamat Natal" Habib Ali Aljufri

Habib Hanif Alatas: Meninjau Ulang Fatwa "Selamat Natal" Habib Ali Aljufri

Senin, 9 Desember 2019

Faktakini.net

MENINJAU ULANG FATWA “SELAMAT NATAL” HABIB ALI AL-JUFRI.

Oleh : al-Faqir Muhammad Hanif Alathas, Lc. ( ketua Umum Front Santri Indonesia )

 Hari-hari ini beredar luas video Fadhilatul Habib Ali al-Jufri – hafidzhohullah-  yang berisi fatwa beliau tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Fatwa beliau menjadi polemik serta menuai pro kontra ditengah Umat Islam Indonesia, khususnya kalangan penuntut Ilmu Agama. Awalnya alfaqir sungkan untuk ikut berkomentar dalam hal ini, karena Hb Ali adalah sosok Da'i yang tidak asing lagi kiprahnya dalam dunia dakwah.  Namun seiring derasnya pertanyaan yang masuk ke alfaqir terkait masalah tersebut, maka amanat ilmu mengharuskan alfaqir untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan agar selamat dari ancaman Nabi saw bagi mereka yang menyembunyikan ilmu. Tentunya, tulisan ini hanyalah corat coret ilmiah, tanpa mengurangi rasa hormat, ta’dzhim dan mahabbah alfagir kepada beliau. Harap dibaca dengan seksama dan utuh, agar dapat difahami dengan baik.

1. Hb Ali al-Jufri memandang boleh mengucapkan selamat Natal, beliaupun akan mengucapkannya pada tanggal 25 desember mendatang, namun beliau menjelaskan bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat (Tahni’ah) atas hari raya orang kafir, hanya saja menurut beliau dalam mazhab Hanbali ada 3 pendapat dalam hal ini, yaitu; Harom, Makruh, Mubah. Sehingga ini menjadi khilaf yang mu’tabar dan selama khilaf mu’tabar tidak boleh di Inkari. Sejauh mana kebenaran dari penjelasan Habib Ali tersebut ?

Sudah Tepat apa yang disampaikan Hb Ali bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat hari raya bagi non Muslim, bahkan dalam Mazhab Syafi’i  muslim yang mengucapkan selamat hari raya kepada kafir dzimmi diberikan ta’ziir/sangsi [ lihat : Mughni al-Muhtaj 4/162, an-Najmu al-Wahhaj 9/244]. Semua ibaroh ulama tentang keharaman ucapan selamat natal dari berbagai refrensi otoritatif 4 mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dimuat secara akurat, gamblang dan sistematis oleh al-Allamah as-Syekh DR. Abdunnashiir Ahmad al-Malibari as-Syafi’I dalam kitabnya “Roddu al-Aughood ‘an Muwalaati al-Kuffar wa at-Tasyabbuh bihim wa Tahni’atihim bil A’yad”, terlalu Panjang jika harus saya kutip disini satu persatu.

Yang menjadi tanda tanya besar, apa benar yang Hb Ali jelaskan bahwa ada pendapat dalam mazhab hanbali yang bolehkan ucapan selamat natal ?
Beliau mengatakan bahwa pendapat tersebut  dikutip dari kitab al-Inshof karya al-Imam al-Mardaawi, berikut redaksi aslinya :   

[قوله (وفي تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم: روايتان) وأطلقهما في الهداية، والمذهب، ومسبوك الذهب، والمستوعب، والخلاصة، والكافي، والمغني، والشرح، والمحرر، والنظم، وشرح ابن منجا. إحداهما: يحرم. وهو المذهب. صححه في التصحيح. وجزم به في الوجيز، وقدمه في الفروع والرواية الثانية: لا يحرم. فيكره. وقدمه في الرعاية، والحاويين، في باب الجنائز. ولم يذكر رواية التحريم. وذكر في الرعايتين، والحاويين رواية بعدم الكراهة. فيباح وجزم به ابن عبدوس في تذكرته. وعنه: يجوز لمصلحة راجحة، كرجاء إسلامه. اختاره الشيخ تقي الدين. )الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف للمرداوي 4/ 234)]

Pada redaksi ini pengarang/muallif menjelaskan tentang hukum Tahni’ah ( beri ucapan selamat ) kepada orang kafir Dzimmi, begitu pula hukum bertakziah dan menjenguk mereka ketika mereka sakit, dalam hal ini ada tiga pendapat dalam mazhab Hanbali; Haram, Makruh dan Mubah. Pendapat ketiga (mubah) diunggulkan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah jika ada motiv sebuah kemaslahatan dan diharapkan bisa masuk Islam.

Namun timbul lagi pertanyaan, disitu hanya disebutkan “Tahni’ah” yang artinya ucapan selamat, tanpa embel-embel “ tahni’ah kuffar bil ‘iid” Selamat atas hari raya kuffar / natal dll. Lantas apa yang dimaksud dengan “ucapan selamat” dalam masalah diatas ?

Ternyata yang dimaksud “tahni’ah” dalam Ibaroh kitab “al-Inshof” diatas bukan Tahni’ah bi ‘idil Kuffar/ ucapan selamat atas hari raya orang kafir atau natal sebagai mana yang dijelaskan Hb Ali al-Jufri, namun lebih tepatnya memberikan ucapan selamat dalam perkara-perkara duniawi, seperti selamat atas kelahiran anaknya, selamat atas rumah barunya, selamat atas kesuksesan bisnisnya, dll. Hal ini bisa difahami dari keterangan ulama Hanabilah dalam kitab-kitab lainnya, sebab karakter kitab-kitab fiqih itu saling melengkapi satu sama lain. Keterangan tersebut dapat ditemukan secara implisit dalam kitab “al-Muharror” karya Majduddin Ibnu Taimiyyah al-Jadd dan secara eksplisit dalam kitab “Ahkam ahli dzimmah” karya Ibnu al-Qoyyim, yang mana keduanya merupakan ulama yang banyak dijadikan rujukan dalam mazhab Hanbali. Berikut redaksinya :

 [وفي جواز تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم روايتان ويدعى لهم إذا أجزناها بالبقاء وكثرة المال والولد ويقصد به كثرة الجزية  - إلى قوله - ويمنعون من إظهار المنكر وضرب الناقوس وإظهار أعيادهم (المحرر في الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل 2/ 185) ]

[ فصل، في تهنئتهم بزوجة أو ولد أو قدوم غائب أو عافية أو سلامة من مكروه ونحو ذلك، وقد اختلفت الرواية في ذلك عن أحمد فأباحها مرة ومنعها أخرى، والكلام فيها كالكلام في التعزية والعيادة ولا فرق بينهما، ولكن ليحذر الوقوع فيما يقع فيه الجهال من الألفاظ التي تدل على رضاه بدينه، كما يقول أحدهم: متعك الله بدينك أو نيحك فيه، أو يقول له: أعزك الله أو أكرمك إلا أن يقول: أكرمك الله بالإسلام وأعزك به ونحو ذلك، فهذا في التهنئة بالأمور المشتركة. وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيد مبارك عليك، أو تهنأ بهذا العيد، ونحوه، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. (أحكام أهل الذمة 1/ 441)]

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa apa yang disampaikan Habib Ali jufri tentang adanya pendapat dalam Mazhab Hanbali yang membolehkan ucapan selamat Natal adalah  keterangan yang TIDAK TEPAT, sebab yang disebutkan oleh al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshof BUKAN masalah UCAPAN SELAMAT NATAL, akan tetapi hanya sekedar UCAPAN SELAMAT, Yang kemudian dijelaskan dalam kitab Mazhab Hanbali lainnya bahwa maksudnya adalah UCAPAN SELAMAT DALAM PERKARA DUNIAWI sebagaimana dijelaskan di atas, adapun ucapan selamat Natal secara spesifik dan eksplisit disebutkan KEHARAMANNYA dalam keterangan kitab mazhab Hanbali diatas. Justru jika ditelaah lebih dalam, Mazhab Hanbali dalam hal ini sangat keras, jangankan Muslim mengucapkan selamat Natal, menurut mereka, orang Nasranipun dilarang MENAMPAKKAN Syiar hari raya mereka, itu dalam Mazhab Hanbali.

Karenanya, secara otomatis gugurlah klaim beliau bahwa qoul dalam mazhab Hanbali ini adalah pendapat otoritatif / mu’tabar dari mutaqoddimin yang memperbolehkan ucapan selamat natal.

2. Adapun ungkapan HB Ali  terkait dalil yang dijadikan sandaran para ulama mutaqoddimin dalam mengharamkan ucapan selamat natal, maka menurut kacamata Ushul Fiqih tugas kita dan beliau sebagai muqollid hanya mengikuti apa yang para mujtahid  tuangkan dalam berbagai refrensi fiqih yang Mu’tabar selama masalah yang dipertanyakan  dimuat dalam kitab-kitab mereka.  Kita belum sampai kapasitas mufti terlebih mujtahid dengan berbagai tingkatannya yang bisa langsung melahirkan hukum dari dalil serta mengutak atik Qiyas.

Bahkan, saya teringat keterangan Syaikhuna al-Allamah al-Ushuli Muhammad al-Amin as-Syinqithi al-Maliki al-Hasani (yang juga merupakan guru dari Hb Ali al-jufri), beliau menjelaskan bahwa tatkala kita mengkaji dalil dari hukum yang kita ikuti dari seorang mujtahid, pada hakikatnya kita masih pada taraf mengira-ngira saja, adapun kumpulan dalil yang pada hakikatnya dijadikan dasar hukum oleh mujtahid yang kita ikuti, hanya beliau yang mengetahui, karena sudut pandang dalil yang Mujtahid tidak ungkapkan sering kali jauh lebih banyak ketimbang yang diungkapkan, bahkan terkadang mujtahid tidak ungkapkan dalil  yang ia gunakan sama sekali, meskipun ijtihadnya pasti berlandaskan dalil, karena tidak ada keharusan bagi Imam Mujtahid untuk menyampaikan dalil kepada para pengikutnya.     

3. Sebagai penutup, saya ingin sampaikan sebuah perumpaan, saya tidak berani menyebut ini sebagai dalil syar’I, hanya pendekatan logika agar mudah difahami. Jika ada seseorang minum khomer, tentu tak mungkin kita ucapkan selamat padanya atas khomer yang ia minum, karena sama saja memberikan selamat atas sebuah kemunkaran. Begitu pula, jika ada yang kumpul kebo, tak mungkin kita ucapkan padanya; selamat kumpul kebo, karena kita tau kumpul kebo itu adalah kemunkaran.

Dalam pandangan ummat kristiani, Natal adalah hari lahirnya Yesus sebagai Anak Tuhan, sedangkan menjadi harga mati bagi seorang muslim bahwa Allah tidak bisa dan tidak boleh disekutukan, lantas kenapa kita memberikan selamat atas hari yang diyakini sebagai penyekutuan Allah, padahal dalam kacamata kita itu adalah kemunkaran terbesar ? disitu ada “Syubhatul Iqror” SEOLAH ada pemberian restu atas keyakinan , meskipun kita tidak berniat dan meyakini demikian ! Yang membuat saya terus bertanya-tanya, mengapa Habib Ali al-Jufri menganggap “Syubhatul Iqror” itu hanya ada dizaman dulu, padahal dizaman sekarang, dengan derasnya penyebaran faham pluralisme yang meyakini semua agama itu sama, justru “ Syubhatul Iqror”  menjadi semakin kuat, apalagi di Indonesia sedang digiring bahwa menganggap agama diluar Islam sebagai “kafir’ adalah tindakan Intoleran dan merasa benar sendiri. Jika syubhatul Iqror itu dianggap sebagai Illat hukum, maka keberadaan Illat itu semakin kuat dan nyata di tengah derasnya penyebaran pluralisme, bukan malah hilang. 

4. Saya sangat setuju dengan Sayyidil Habib Ali al-jufri bahwa kita harus menjunjung tinggi toleransi dan sebagai mana saya setuju ajakan beliau utk berbuat al-Birr ( kebaikan) kepada non muslim yang tidak harbi. Namun toleransi dan al-Birr tidak harus dengan mengucapkan selamat natal. Di -Indonesia, dari dulu kita hidup damai penuh toleransi dengan kaum Nasrani tanpa mengucapkan selamat Natal, no problem. Toleransi dan al-birr diiwujudkan dengan tidak menggangu ibadah satu sama lain, saling bahu membahu membangun bangsa dan melakukan aksi kemanusian, saling memenuhi hak dan kewajiban, dll, tanpa harus melanggar apa yang telah digariskan oleh Aslafuna Solihin. Sekali lagi, tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa cinta, hormat dan ta’dzhim saya kepada Habib Ali al-Jufri, semoga Allah berikan beliau umur yang Panjang serta sehat wal afiat dalam ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam.

Saturday, December 7, 2019

*DIALOG TOKOH-TOKOH ISLAM SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=130101111111995&id=130050337783739

*DIALOG TOKOH-TOKOH ISLAM SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

Prakata Editor

Bismillahirrahmanirrahim

Di negeri mayoritas muslim ini, terasa agak sulit menemukan tokoh-tokoh Islam nasional, yang murni memperjuangkan pelestarian ajaran Islam berlandaskan Alquran, Hadits, dan ajaran para Ulama Salaf, yang keilmuan dan amaliyahnya telah menjadi rujukan dunia Islam.

Kecenderungan tokoh-tokoh Islam di bumi persada ini justru lebih kuat ‘melirik’ pendapat-pendapat non muslim kalangan ‘Barat’ terutama di dalam memberikan stigma-stigma negatif terhadap perjuangan penerapan syariat.

Padahal penerapa syariat bagi warga muslim ini sudah mendapat perlindungan hukum positif negara, sebagaimana tertera pada pasal ‘kebebasan mengamalkan ajaran agamanya sesuai keyakinan masing-masing’.

Bisa dipastikan penerapan syariat akan terealisasi secara mutlak, jika para pelaksana Negara berlaku jujur dalam menerapkan propaganda sistem demokrasi, namun disertai dorongan kuat kepada masyarakat, agar setiap pemeluk agama mengamalkan keyakinan agamanya masing-masing di dalam segala bentuk kehidupan, termasuk di dalam kegiatan berpolitik, berhukum dan bernegara.

Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, pada dasarnya kurang mendapatkan keadilan di dalam menjalani hidup bernegara, terbukti banyaknya pengebirian terhadap hak-hak mereka. Hal ini terasa sangat berdampak negatif terhadap kehidupan umat Islam itu sendiri, sehingga aqidah mereka setiap saat semakin terkikis dan tergerus oleh budaya kafir, dan cenderung terpengaruh kepentingan warga minoritas.

Terbukti tokoh-tokoh Islampun kini lebih respek mendengungkan slogan-slogan kaum kuffar semisal ucapan selamat Natal dan tahun baru, selamat Nyepi (tahun baru Saka), selamat tahun baru Imlek, dibanding memperjuangkan penyelamatan aqidah umat Islam.

Di bawah ini adalah dialog via SMS, seputar ucapan selamat Natal, dan slogan-slogan berindikasi produk kaum kafir, yang dikirimkan oleh beberapa tokoh Islam kepada KH. Luthfi Bashori. Ada beberapa SMS yang telah diedit, disesuaikan dengan bahasa buku, namun tetap mengacu kepada kalimat dari pengirimnya, sehingga keasliannya bisa dipertanggungjawabkan.

Perlu diketahui, setiap SMS yang masuk ke HP KH. Luthfi Bashori, maka oleh beliau langsung diforward kepada tokoh-tokoh yang namanya tertera dalam buku ini, sehingga mereka dapat ikut secara aktif dalam dialog via SMS ini.

Harapan Tim Santri selaku editor, dalam menerbitkan tulisan ini adalah agar umat Islam lebih sadar, betapa pentingnya menjaga aqidah Islamiyah, dan agar umat memiliki keberanian menyampaikan kebenaran dimanapun berada, dalam situasi apapun, dan kepada siapapun, sebagaimana ajaran Qulil haqqa walau kaana murran (ucapkan yang benar, sekalipun terasa pahit).

Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.
Malang, Akhir Desember 2007.

(TIM SANTRI)

____________________________

 *SEPUTAR UCAPAN SELAMAT NATAL*

ABDULLAH : Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Metro TV menayangkan tanggal 23 Desember 2007 jam 19.00 WIB. Profesor Din Syamsuddin menyatakan umat Islam boleh menghadiri acara natal dan boleh mengucapkan selamat natal. Beliau akan menghadiri acara Natal Nasional. Keyakinan masalah pribadi dan Lakum dinukum wa liya din (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Demikian kata Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Bagaimana dengan fatwa mantan ketua MUI al-Marhum Buya Hamka? Mudah-mudahan hanya ketua PP. Muhammadiyah sendirian yang ikut natal, sedangkan warga muslim, tidak. (Abdullah adalah warga masyarakat)

AHMAD DANAMIK: Ya Akhi, gimana nih? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, saya baru saja dengar di radio Elshinta, Ikhwan Sam, Sekretaris Umum MUI Pusat mengucapkan selamat merayakan natal. Ini jelas kontraproduktif dengan fatwa MUI tahun 1984. (Ahmad Danamik adalah warga masyarakat)

LUTHFI BASHORI : Menurut saya, yang haram selamanya haram, sekalipun dikemas dalam bentuk apapun, oleh siapapun, berapapun jumlah pelakunya. Memang Nabi SAW pernah mendo`akan orang Yahudi agar mendapat hidayah, kesehatan, dan kebagusan duniawi. Tapi tidak untuk keselamatan (semisal selamat pagi - selamat natal) karena selama-lamanya orang kafir itu tidak bakal selamat. Imam Nawawi telah menerangkan dengan detail masalah haramnya mengucapkan selamat Natal pada kaum kafir, dalam kitab beliau al-Adzkar dengan dalil hadits-hadits Nabi. Barangkali tidak banyak tokoh Islam yang membacanya termasuk juga Prof. Din Syamsuddin. Mereka perlu baca kitab-kitab Ulama Salaf agar lebih konsisten memegang Syari’ah yang benar, tidak terkontaminasi oleh paham-paham dari luar Islam semisal Liberalisme, Afwan wa syukran, Wassalam. (Tembusan kepada Pengurus MUI Pusat Bpk. Ikhwan Sam, KH. Ma’ruf Amin dan KH. Kholil Ridwan, Prof. Din Syamsuddin).

IKHWAN SAM : Dalam Fatwa MUI, yang dilarang adalah menghadiri atau mengikuti perayaan Natal bersama. Ucapan saya adalah “Kepada saudara-saudara pemeluk Kristen atau Katolik, saya ucapkan selamat merayakan Natal….” Mohon baca himpunan Fatwa MUI halaman 187-193. Just to say… sebagai basa-basi pergaulan dalam masyarakat yang majemuk, soal ini sudah saya tashih dulu kepada Prof. Ibrahim Husain dan KH. Hasan Basri. Terima kasih atas perhatiannya dan afwan. (Ikhwan Sam adalah sekretaris MUI Pusat)

LUTHFI BASHORI : Pak Ikhwan Sam, saya berharap antum membaca kitab al-Adzkar karangan Imam Nawawi, Ulama Salaf yang kerasikhan (kedalaman)nya fil ilmi sudah diakui dunia, beliau adalah pengarang kitab Riyadlus Shalihin, dll, dalam kitab al-Adzkar diterangkan ucapan selamat kepada kaum kafir dalam situasi apapun dan Negara manapun tetap dilarang oleh syari’at. Terbukti bukan malah dukungan masyarakat yang Bapak terima, melainkan penilaian negatif. Sejak kemarin setelah Prof. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP. Muhammadiyah dan MUI) memfatwakan bolehnya muslim mengucapkan selamat natal dan menghadiri seremonial natalan, dilanjutkan dengan apa yang Bapak lakukan, saya kebanjiran komplain dari umat Islam, karena umat Islam menganggap saya adalah bagian dari MUI. Jadi ucapan natal yang dilakukan oleh pengurus MUI justru berdampak negatif di mata umat Islam. Bagaimana kira-kira kelak di hadapan Allah, yang telah berfirman tentang persaksian umat Islam “Antum syuhada’ullahi fil ardl”, artinya “kalian (umat Islam) adalah saksi-saksi Allah di muka bumi”. Semoga kejadian ini dapat kita jadikan motifasi berintrospeksi diri. Semoga kita semua diampuni oleh Allah. “Wa man yabtaghi ghairal Islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil akhirati minal khasirin”. Barang siapa mengharap pujian, dukungan, bimbingan, dll dari selain syariat Islam maka tidak akan diterima amalan-amalan darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. “Ayabtaghuna ‘indahumul ‘izzata fainnal ‘izzata lillai jami’an”, “apakah mereka mengharapkan dari orang-orang kafir itu kehormatan, pujian atau dukungan? Sesungguhnya kemuliaan itu hanyalah milik Allah semata” afwan wassalam.

MASDAR F : Meskipun saya bisa berbeda dengan sampean, tapi saya salut dengan tegur sapa sampean kepada Pak Ikhwan … Sip lah?. (Masdar F. adalah ketua PBNU)

LUTHFI ģ : Insya` Allah selamanya saya dan banyak warga muslim, akan konsisten memegang Fatawa para Ulama Salaf qurun awail ar-rasikhuna fil ilmi al-‘amiluna bi’ilmihim (para Ulama Salaf di era awal-awal Islam yang ilmunya sangat dalam serta teguh mengamalkannya) yang tidak mempunyai ghorodl dunyawiyah (kepentingan dunia). Karena para Salaf ini adalah `sinar mentari dunia` di antara `lilin-lilin` yang tertiup derasnya angin dunia Kapitalis dan Era Globalisasi. Sabda Nabi : “Khairul Qurun qarni, tsummal ladzina yalunahum tsummal ladzina yalunahum”. (Sebaik-baik masa adalah eraku, kemudian era berikutnya kemudian era berikutnya) Terus, apa tokoh-tokoh Islam zaman `edan` ini akan meralat fatawa para Ulama qurun awail? Akibatnya yang terjadi “Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin nas”. (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah ‘tangan-tangan’ manusia). Kerusakan ekosistem di negeri ini juga akibat Fatawa tokoh-tokoh Islam yang berseberangan dengan ajaran Ulama Salaf, sehinga Allah murka dan mengirimkan berbagai bencana yang silih berganti. Para Ulama NU zaman dulu selalu menghormati dan mengamalkan fatawa Ulama Salaf dan tidak mengandalkan hasil pendapat mereka sendiri, berbeda dengan tokoh-tokoh NU zaman sekarang. Memang rasanya belum ada tokoh-tokoh Islam dewasa ini yang keilmuan dan amaliyahnya sepadan dengan generasi Imam Nawawi, bahkan nyaris mustahil ditemukan. Hadanallahu wa iyyakum. Was salam..

HASYIM MUZADI : Ana Muwafiq (Sepakat) ma’akum. Sinar, adakalanya muncul redup dan akan muncul lagi. (Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum PBNU)

LUTHFI BASHORI : Jazakumullah khairan, kita berkewajiban selalu mengingatkan umat Islam agar dapat memanfaatkan keberadaan ‘sinar mentari Fatawa Salaf’ di saat cuaca terang benderang, agar tokoh-tokoh Islam tidak lagi menyalakan `lilin`, hingga umat Islam menjadi semakin cerdas. Artinya tak ada gunanya menyalakan ‘lilin pendapat pribadi’ di siang bolong ‘bersinar Fatawa Salaf’. Wassalam.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ustadz Luthfi, apa maksud Pak Hasyim dengan sinar kadang meredup? Katakan kepada beliau, bicara yang jelas-jelas saja, apa beliau berani mengatakan fatawa Salaf kadang-kadang meredup, hingga di saat tertentu tidak perlu diamalkan? (Abdurrahman Assegaf adalah Sekjen Dewan Imamah Nusantara)

HASYIM MUZADI : Maksudnya, `kebenaran` suatu ketika bisa meredup, tapi bisa terang kembali. Namun kebenaran tetap kebenaran. Apa beliau-beliau para Ulama di Dewan Imamah Nusantara perlu rawuh ke pondok saya, dan juga ikut mengajarkan Ihya’, Riyadlus Shalihin, Irsyadul ‘ibad, Ibnu Katsir, dsb?

LUTHFI BASHORI : Saya sudah menjembatani. Pak Hasyim tentu semakin bertambah usia akan semakin bijaksana, terutama saat berkumpul dan berhubungan dengan para Ulama, yang terus-menerus berupaya melestarikan ajaran para Ulama Salaf, di dalam mengajarkan aqidah dan amaliyah kepada umat Islam, yang mana aqidah umat Islam akhir-akhir ini semakin tergerus oleh perubahan zaman. Kita sadar Ghazwul Fikri (Perang pemikiran) sudah lama dikumandangkan kaum Kuffar. Sebenarnya para Ulama yang konsisten dengan ajaran Salaf merasa keberatan dan merasa kehilangan jika tokoh-tokoh Islam seperti Pak Hasyim, Pak Masdar, Pak Ikhwan Sam dan Pak Din Syamsuddin tiba-tiba ikut tergerus oleh perubahan zaman. Barangkali ada perbedaan cara saja saat menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada pak Hasyim, namun tujuannya satu, ingin menyatukan tokoh-tokoh Islam dalam satu aqidah yang konsisten, agar dapat menjadi rujukan umat secara baik dan benar. Afwan wa syukran. Wassalam.

HASYIM MUZADI : Memang ada bedanya, di Pondok (Fiqhul ahkam) dan di masyarakat (Fiqhud da’wah). Kita sedang pakai apa?

LUTHFI BASHORI : Kita gunakan Fiqhul Ahkam wad Da’wah, kita tidak membeda-bedakan selagi tetap dalam syariat yang baik dan benar.

HASYIM MUZADI : Tujuan pasti sama, namun cara bisa bermacam-macam. Andaikan cara tidak beraneka, tentu Wali Songo tidak akan bisa merubah Hindu-Budha menjadi mayoritas Islam di Indonesia.

LUTHFI BASHORI : Betul Pak Hasyim, yang penting tidak keluar dari koridor syariat yang telah digariskan oleh al-Quran, Hadits Nabi dan Fatawa Ulama Salaf. Orang hadir dalam seremonial Natal apalagi misa gereja, jelas dilarang oleh al-Quran “Fala taq’udu ma’ahum hatta yakhudlu fi haditsin ghairih. Innakum idzan mitsluhum (fil kufri aw syirki), (maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka membicarakan masalah yang lain (selain ritual), kalau kalian (tetap duduk bersama mereka dalam kegiatan ritual/natal) maka kalian sama dengan mereka (dalam kekufuran dan kesyirikan). Karena itu, kalau ada tokoh yang berdakwah mengajak umat Islam hadir Natal atau hadir doa bersama kaum Kuffar, maka ini jelas-jelas menggunakan cara berdakwah dalam konsep yang keliru, karena bertentangan dengan syariat yang jelas. Ilustrasi lain Allah berfirman “Wala taqrabuz zina”, (Janganlah kalian mendekati perbuatan zina). Dekat-dekat perbuatan berkonotasi zina saja sudah dilarang oleh Allah. Tentunya seremonial Natal yang mendekati ritual syirik pasti juga haram. Saya tak habis pikir, saat orang NU berziarah kubur untuk mendoakan ampunan kepada Allah bagi mayit saja, sudah dihukumi syirik oleh teman-teman Muhammadiyah. Lah…sekarang Ketua Umum Muhammadiyah malah jelas-jelas mengajak umat Islam untuk menghadiri MAJELIS SYIRIK. Semoga kita semua diampuni oleh Allah. Afwan wa syukran. Wassalam.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ma’lumat Dewan Imamah Nusantara : Ditinjau dari Fiqih manapun, memberikan ucapan SELAMAT NATAL, hadir natal bersama, hadir doa bersama muslim-non muslim dan amalan sejenisnya, tidak bisa dibenarkan. Kecuali menurut FIQIH LINTAS AGAMA produk kaum SEPILIS (Sekuler, Pluralis, Liberalis). Karena menurut mereka AGAMA APA SAJA adalah SAMA. (Sekjen Dewan Imamah Nusantara).

DIN SYAMSUDDIN : Assalamualaikum, Ustadz Luthfi Bashori yang terhormat, saya sudah baca SMS-SMS antum dan saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Memang masalah ini perlu kita diskusikan secara jernih terkait ada juga pandangan lain di kalangan Ulama. Pernah dibicarakan pada rapat DP MUI, terungkap bahwa fatwa era Buya Hamka lebih berhubungan dengan larangan ikut serta dalam ritual atau liturgi Natal. Karena gencarnya pertanyaan pers tentang Fatwa tersebut, maka saya jawab apa adanya. Hal ini saya kaitkan dengan watak Islam yang Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan ajaran Hablun minan nas (hubungan kemasyarakatan) serta kita hidup dalam kemajemukan, sehingga tak terelakkan kita perlu berbasa-basi sosial tanpa sedikitpun meluntur aqidah (saya sendiri tidak hadir dalam perayaan Natal Nasional sejak diundang mulai tahun 2000). Syukran. (Prof. Dien Syamsuddin adalah Ketua Umum PP. Muhammadiyah)

LUTHFI BASHORI : Pak Din, Afwan, Islam Rahmatan Lil Alamin berasal dari ayat “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin”. “tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. Menurut para Ulama Salaf, Rahmat Nabi SAW mencakup untuk kaum Muslimin dan untuk kaum Kuffar. Adapun arti rahmat untuk kaum Kuffar adalah ta`khirul ‘adzab (penundaan siksa), artinya datangnya Nabi Muhammad ke dunia ini tidak seperti Nabi-Nabi terdahulu, yang jika tidak sanggup menahan kesabaran atas keingkaran kaumnya, maka berdoa untuk kaumnya yang kafir, dan langsung dikabulkan serta dibumi-hanguskanlah kaum Kuffar oleh Allah. Tapi Nabi Muhammad SAW punya kelebihan yang lain, umat Beliau SAW yang kuffar tidak dimintakan untuk dibumihanguskan, tapi untuk kekafiran yang dilakukan oleh umat Beliau SAW, pembalasannya ditunda berupa siksa akhirat. Bahkan kebanyakan kaum kuffar dari umat Nabi Muhammad SAW dapat hidup di dunia dengan bermegah-megahan. Sekalipun demikian, Allah tetap melarang umat Islam bertawaddud (menampakkan cinta kasih) kepada kaum kuffar. “La yattakhidzil mu`mununal kafirina auliya`a min dunil mu`minin” artinya “Janganlah orang-orang Islam menjadikan orang-orang Kuffar sebagai auliya` (penolong atau teman setia atau kekasih atau mitra hidup, dsb) selain dari umat Islam”. Lanjutan ayat : “Barang siapa melakukan hal itu, maka Allah berlepas diri darinya”. Masih banyak ayat-ayat al-Quran yang senada dengan ini, termasuk sifat umat Islam adalah Asyidda`u ‘alal kuffar (keras dan tegas terhadap kaum kuffar). Hanya saja kaum SEPILIS seperti Gus Dur, berani merubah makna kuffar menjadi ‘selain kaum Yahudi dan Nasrani’ demi kepentingan pribadi dalam urusan jabatan dan keduniaan. Kaum SEPILIS mengartikan rahmatan lil ‘alamin menjadi ‘harus dapat menyatu dalam pergaulan dengan kaum kuffar, khususnya orang Nasrani. Padahal “Walan tardla ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millathum…”, (dan selamanya tidak akan ridla/tinggal diam, kaum Yahudi dan Nasrani sehingga kalian mengikuti ajaran agama/prilaku/pemikiran mereka). Jadi saya akan tetap melawan BID’AH DLALALAH dari orang-orang yang mengucapkan selamat Natal, hadir sere-monial natal, hadir doa bersama non muslim, karena amalan-amalan ini tidak pernah diajarkan oleh al-Quran, Hadits Nabi dan para Ulama Salaf. Jadi perilaku di atas benar-benar BID’AH DLALALAH yang bertentangan dengan syariat. Saya berharap Pak Din yang dulu tegas dan konsisten terhadap syariat, selamanya tetap konsisten tanpa harus menafsiri syariat hanya lantaran disesuaikan dengan kepentingan kemajemuk-an atau kemasyarakatan atau kemanusiaan. Karena Innal insana lafi khusrin (sesungguhnya manusia itu pada merugi) terlebih jika lantaran hanya mempertimbangkan kepentingan kaum kuffar. Saya pernah mengidolakan Pak Din untuk jadi Menteri Agama, sekalipun saya warga NU, dengan harapan agar Indonesia memiliki Menteri Agama yang konsisten terhadap syariat, misalnya jika ada undangan dari kaum kuffar, maka yang menghadiri adalah pejabat Depag dari kelompok kuffar yang disesuaikan. Betapa saya terkejut mendapati Pak Din sudah berubah haluan, pak Din semoga tidak kebablas menjadi Gus Dur versi Muhammadiyah. Afwan. (Saya adalah Alumni Pesantren Assayyid Muhammad bin Alwi al-Maliky, tahun 1983-1991, yaitu Ulama Kharismatik Makkah Almukarramah yang pernah dikunjungi oleh Pak Amien Rais dan Pak Syafi’I Ma’arif).

PROF. DIN SYAMSUDDIN : Syukran atas masukan antum dan akan saya teruskan kepada komisi fatwa MUI. Alhamdulillah saya tidak pernah berubah prinsip, hanya saya punya obsesi, umat Islam yang besar ini harus percaya diri untuk mengayomi seluruh elemen bangsa secara proporsional tanpa harus kehilangan aqidah. (Saya alumni Gontor, mantan ketua IPNU Sumbawa).

MASDAR F : Sampean baca keterangan saya di Jawa Pos kemarin halaman 2 bagian pinggir tentang Ahmadiyah dan NU.

LUTHFI BASHORI : Pak Masdar, sudah saya baca komentar Bapak di Jawa Pos, Rabu 26 Desember. Ada yang jadi catatan saya atas komentar-komentar Bapak:
1.NU tidak akan mendiskreditkan Ahmadiyah
2.Mereka tidak boleh serta merta menuduh pihak lain sesat
3.Yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk dan yang sesat hanyalah Allah.
Tanggapan saya atas pernyataan Bapak :
1.NU dalam kepemimpinan Bapak menjadi sangat lemah dan loyo, tidak punya jati diri
2.Para Ulama Salaf sudah mengajarkan bahwa standar sebuah aliran itu dikatakan sesat atau tidak, adalah kesesuaiannya dengan al-Quran dan as–Sunnah al-Mu’tabarah. Ahmadiyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul, dihukumi sesat karena bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah yang jelas-jelas mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatimun Nabiyyin (Penutup para Nabi), jadi yang tampak dari pernyataan Bapak adalah : Bapak tidak punya standar apapun.
3.Pada catatan saya yang ke-3, tampak sekali Bapak tidak meyakini secara mutlak atas kebenaran aqidah yang bapak anut. Lantas dengan aqidah yang mana bapak bisa memimpin umat agar dapat selamat dari siksa Allah, untuk mendapat keridlaan-Nya? Saat saya baca kolom bapak di Jawa Pos, tiba-tiba saya berandai, bagaimana sekira Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dapat lahir kembali saat ini untuk memimpin umat Islam. Lantas beliau mengumpulkan pasukan perang untuk memberantas nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, seperti halnya saat berperang melawan nabi palsu Musailimah al-Kadzdzab. Saya berharap juga Beliau RA, dengan tegas meneriakkan ‘ALLAHU AKBAR’ dan meneriakkan “tidak akan aku biarkan nabi-nabi palsu berkeliaran di atas bumi….!” Sebagaimana saat Beliau RA sebagai khalifah Islam yang ke-1, dengan terang-terangan memimpin pasukan Islam untuk berperang melawan suatu kaum yang mengatasnamakan diri Islam tapi ingkar membayar zakat. Maka Sayyidina Abu Bakar pun saat itu meneriakkan “akan aku perangi orang-orang yang mengaku muslim tapi memisah-misahkan antara kewajiban melaksanakan shalat dan kewajiban membayar zakat….!” Biografi Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq ini banyak ditulis dalam sejarah Islam termasuk pada buku pelajaran di Tsanawiyah atau Aliyah Maarif NU. Saya bermohon kepada Allah semoga NU di masa mendatang mendapat-kan tokoh-tokoh pimpinan yang senantiasa meneladani kepribadian khalifah pertama dalam Islam, Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq yang selalu berjuang melestarikan dan memurnikan aqidah umat Islam, dan berjuang menjauhkan umat Islam dari kemurkaan Allah untuk mendapatkan keridlaan-Nya. Tentunya dengan ajaran aqidah yang jelas, mantap, dan sikap yang tegas! Afwan.

MASDAR F : NU memang indah sangat warna-warni, ada yang di ujung kanan, ada yang di tengah dan yang di ujung kiri, mukhtalifan alwanuha (bermacam-macam warnanya). Semoga tetap satu hati dan langkah di bawah panji La ilaha illa Allah Muhammadur rasulullah untuk kejayaan umat dan kerahmatan semesta. Jangan jauhi saya, saya pun tidak ingin jauh dari sampean. Wassalam.

LUTHFI BASHORI : Terima kasih, Hadana Allahu wa iyyakum ila shirathin mustaqim bi ‘aqidati ahlis sunnah wal jama’ah. Amanna billah wa ma ja`a ‘anillah ‘ala muradillah wa amanna bi syari’ah wa tabarakna min kulli dinin yukholifu dinal islam wa min kulli ‘aqidatin tukhalifu ‘aqidatas-salafi ahlis sunnati wal jama’ah. (Semoga Allah memberi hidayah kepada kita, dengan aqidah Ahlissunnah wal jama’ah. Kami beriman kepada Allah, dan segala apa yang datang dari Allah, sesuai yang dimaksudkan oleh Allah. Kami beriman kepada Syariat, dan kami berlepasdiri dari agama yang bertentangan dengan agama Islam, dan dari aqidah yang bertentangan dengan aqidah para Ulama Salaf Ahlussunnah wal jama’ah.

MUHYIDDIN ABDUSSHAMAD : Assalamu-alaikum Ustadz Luthfi. Konon ada dua data sensus yang tidak tarnsparan : 1) Tentang agama 2) Tentang jumlah wanita. Tentang agama bahwa semua agama grafiknya naik, kecuali Islam turun 2%. Tentang wanita, jumlahnya sudah jauh melampaui jumlah laki-laki. Jika benar Islam turun 2% berarti sudah ada empat juta umat Islam yang murtad. Kami harap sampean dapat menyampaikan ini kepada Ustadz Masdar F, KH. Hasyim Muzadi, MUI, dll. Saya sedih sekali. Ustadz Masdar sekarang mengembangkan Fiqh Tasamuh (toleran) di seluruh Indonesia, dana mungkin saja dari asing. Bagi saya, ‘tasamuh’ apakah ‘tidak’ sama halnya memberi peluang bagi non muslim. (KH. Muhyiddin Abdusshamad adalah Ketua Tanfidziyah NU Jember, Jawa Timur)

DIN SYAMSUDDIN : Tidak benar. Yang benar naik 0,6 % dari 1990 ke 2000 (1990: 87,6 % dan 2000: 88,2%). Sensus baru belum ada, nanti pada 2010. Syukran.

LUTHFI BASHORI : Pada pertengahan Desember 2007, saya di Samarinda bersama aktifis muslim setempat antara lain MUI, Depag, Arimatea, HMI, KAMMI, FPI, dll, berhasil menangkap penyusup Nasrani bernama Stefanus Armansyah, yang pura-pura baru jadi muallaf bersertifikat syahadatain pada bulan November 2007 di Bontang. Padahal sekitar tiga tahun sebelumnya, Stefanus Armansyah datang ke rumah saya dengan membawa sertifikat syahadatain dari Masjid Sabilillah, Malang. Adapun modus yang dilakukan yaitu menipu umat Islam agar mengeluarkan dana, yang dimanfaatkan untuk program kristenisasi. Hal ini sesuai dengan pengakuannya (CD-nya ada pada saya). Dari KALTIM saja selama tiga bulan sudah meraup lebih dari Rp 17 juta. Stefanus Armansyah adalah anggota Tim Missionaris berjumlah 15 orang yang dikirim khusus ke wilayah Kalimantan. Sekarang Stefanus Armansyah dalam proses hukum dan ditahan aparat di Samarinda. Karena itu, saya akan tetap menentang tokoh-tokoh Islam yang mengajarkan Fiqh Tasamuh khususnya kepada kaum Nasrani. Saya yakin, siapapun warga muslim yang mendengar pengakuan Stefanus pasti akan tergugah hatinya, betapa buruknya cara-cara tim Missionaris dalam menjerat dan memurtadkan umat Islam. Antara lain ada Tim khusus penghamil gadis-gadis Muslimah, untuk dinikahi ‘darurat’ secara Islam, jika sudah punya anak maka sang Missionaris akan kembali ke agama Kristen dengan mengajak keluarganya. Ada juga wanita-wanita Missionaris yang menyerahkan tubuhnya kepada lelaki muslim awam, jika hamil maka minta pertanggungjawaban untuk dinikahi secara Islam dengan proses yang sama atau nikah di gereja, dll. Tim-tim ini tersebar di Indonesia. Nah, haruskah kita bertasamuh menghadapi intrik-intrik kaum Nasrani? Wassalam.

HASYIM MUZADI : ‘Fiqh Tasamuh’ sama sekali bukan produk NU

LUTHFI BASHORI : Saya tahu itu Pak Hasyim, Fiqh Tasamuh serupa dengan Fiqh Lintas Agama-nya Cak Nur Kholis Majid. Fiqh Tasamuh dikembangkan oleh Pak Masdar lantaran beliau dekat dengan kelompok Ulil Abshar Abdalla, seperti pendapat liberal Pak Masdar tentang bolehnya wuquf di Arafah di luar tanggal 9 Dzul Hijjah. Jelas sekali pendapat Pak Masdar ini sudah keluar jauh dari ajaran NU-nya KH. Hasyim Asy’ari. Jazakumullah khairan atensi Pak hasyim. Wassalam.

HASYIM MUZADI : PBNU sedang merencanakan untuk memotong Tasyaddud (garis keras) sekaligus Tasahul (liberal)

LUTHFI BASHORI : Para Ulama Salaf dalam menghadapi aliran sesat maupun pengaruh non muslim sangatlah ideal untuk diterapkan oleh umat Islam. Contoh: Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau as-Shawaiqul muhriqah, dengan secara jelas dan tegas mengatakan bahwa aliran Syi’ah Imamiyah termasuk murtad, karena mereka meyakini adanya tahriful quran (Perubahan di dalam al-Quran). Pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi berjuang melawan kaum Salibis di Andalusia karena Raja Ferdinand dan Ratu Isabella terus menerus menekan dan menyudutkan umat Islam serta mengumumkan perang Salib. Jika Ibnu Hajar al-haitami dan Shalahuddin al-Ayyubi hidup lagi di era sekarang dan menjadi warga NU, apa juga akan dipotong dari tubuh NU pimpinannya pak Hasyim? Afwan.

MUHYIDDIN ABDUSSHAMAD: Ass. Ust. Luthfi, tahun lalu kami (PCNU Jember) mengeluarkan 24 anak muslim dari sekolah Kristen di tengah-tengah kota Jember, dipindah ke sekolah muslim. Saat ini ada sekitar 80 orang. 60 diantaranya muslim ditampung asrama Kristen, mereka dikristenkan. Mohon doa, kami bermaksud mengeluarkan mereka dari cengkraman sending tersebut, tapi masih dalam proses.

LUTHFI BASHORI : Pak Kyai Muhyiddin, saya salut atas perjuangan teman-teman PCNU Jember, selama ini saya dan teman-teman aktifis muslim di berbagai tempat juga melakukan hal yang serupa di dalam melawan maraknya aliran sesat, nabi-nabi palsu, dan permutadan massal oleh missionaris Kristen. Pak Kyai, coba antum bahas dengan teman-teman pengurus NU di Jember apa langkah-langkah pengeluaran pelajar muslim dari sekolah Kristen tidak dinilai berlebihan yang berkonotasi tasyaddud. Saya khawatir perjuangan antum dan teman-teman pengurus NU Jember, terkena dampak ‘program pemotongan’ dari PBNU sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Hasyim Muzadi. Semoga hal tersebut tidak terjadi, dan semoga saya hanya salah persepsi saja terhadap rencana program PBNU tersebut. Kalau saya pribadi adalah warga NU-nya KH. Hasyim Asy’ari secara kultural, dan saya belum punya KARTANU, karena saya ini hanya NU cultural. Berpuluh ribu warga NU kultural yang bernasib serupa dengan saya. Tapi kalau antum dan teman-teman PCNU Jember... kan NU struktural, apa tidak rawan dipotong? Jazakumullah khairan katsira atas infonya.

HASYIM MUZADI: Ya… amin… bagus.

LUTHFI BASHORI: Mohon kejelasannya Pak, bagus untuk siapa? Untuk ‘program pemotongan’ bagi para aktifis NU struktural yang telah berjuang mengentas warga NU dari bahaya kristenisasi? Atau bagus bagi para aktifis NU kultural yang sering dinilai miring dengan menggunakan bahasa semisal tasyaddud atau aliran kanan (ashabul yamin) radikal, atau ekstrim, atau fundamentalis, dan lain sebagainya? Semoga keterangan Pak Hasyim tidak paradog. Afwan.

HASYIM MUZADI : Bagus untuk Islam. Mengeluarkan dari Kristen bukan tasyaddud tapi penyelamatan. Tasyaddud misalnya bakar membakar.

LUTHFI BASHORI : Jika bagus untuk Islam, berarti PBNU tidak akan memotong perjuangan aktifis muslim seperti yang telah dilakukan oleh pengurus NU Jember, dan warga NU kultural yang melawan aliran sesat dan program kristenisasi?

HASYIM MUZADI: Bukan haditsnya, tapi caranya. Mengapa Wali Songo tidak menghancurkan candi Borobudur, padahal kiri kanannya sudah diislamkan?

MASDAR F : Gus, apa ada yang di tengah, kalau tidak ada yang di pinggir? Apa ada yang moderat kalau tidak ada yang ekstrim? Menurut saya, NU yang mutawassith (netral) itu pada dirinya butuh sayap yang mutasahil (liberal) dan yang mutasyaddid (garis keras) di kanan kirinya yang terus berdialektika… tanpa keduanya justru yang mutawassith tidak mungkin eksis. Maka persoalan kita bukan persoalan bagaimana memotong si mutasahil atau mutasyaddid, tapi bagaimana mengelolanya sebagai energi penggerak bagi kesempurnaan si mutawassith sendiri… dunia ini selamanya akan ada tiga pola tadi. Itu kehendak atau sunnatullah SWT yang luar biasa hebat untuk menggerakkan kehidupan di bumi ini… tidak ada yang wujud atau terjadi di alam ini tanpa kehendak-Nya, tidak ada yang terjadi atas kehendak-Nya yang sia-sia.

LUTHFI BASHORI: Pak Masdar, ayat al-Quran sudah jelas menerangkan tempat ashabul yamin di surga dan ashabus syimal di neraka sedangkan kaum mu’tazilah meyakini adanya manzilatun bainal manzilataini (tempat di tengah-tengah) yang diingkari oleh para Ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Nabi dan para shahabat berperang melawan orang-orang kafir dan nabi-nabi gadungan, Nabi juga berdiplomasi dengan tokoh-tokoh kafir untuk mendakwahi mereka, dan Nabi pernah mendoakan kesembuhan tetangganya yang Yahudi seraya mendakwahinya agar masuk Islam. Tapi Nabi tidak membagi-bagi ada muslim tasyaddud/ekstrim, ada yang mutawassith/netral, ada yang mutasahil/tasamuh/toleran. Beliau sangat bijaksana dan mengerjakan semua sifat-sifat itu dalam kehidupan Beliau SAW. Nabi juga telah menghancur-uluhkan dan membumihanguskan cawan-cawan serta guci-guci penyimpan arak milik warga Madinah, saat turun akhir ayat pengharaman arak secara permanen. Nabi juga merobohkan masjid Dhirar lantaran dipergunakan untuk dakwah lintas agama, dengan mengundang pendeta dari Yaman, Abu Amir dan digunakan intrik-intrik penghancuran Islam oleh kaum munafiqun. Apakah Nabi termasuk ekstrim? Itulah kebijaksanaan Nabi demi menjaga stabilitas Negara Islam yang beribukota di Madinah dan demi keselamatan aqidah umat Islam. Wassalam.

MASDAR F : Gus, ada pertanyaan sederhana : kalau sampean jadi presiden, berkuasa penuh seperti Soeharto, apa yang akan sampean lakukan terhadap orang-orang atau kelompok yang tidak seagama atau sepaham dengan sampean? Jawaban singkat dan jelas sangat saya sukai. Syukran.

LUTHFI BASHORI : Strategi saya adalah mengangkat pejabat Depag pada tataran sub-sub bidang dari perwakilan semua agama. Jika ada acara ritual agama yang ada, maka yang berhak mewakili kehadirannya adalah pejabat yang seagama, demikian dan seterusnya. Untuk aliran sesat, karena tidak legal, maka saya amankan untuk dididik dengan benar atas prakasa pemerintah. Tentunya setelah saya resmikan undang-undang negara berbasis syari’at Islam, karena umat Islam di negeri ini mayoritas. Seperti halnya di Malaysia dan Brunei, landasan undang-undang negaranya adalah Ahlussunnah wal jama’ah. Afwan.

MASDAR F : Jadi aksi perangi atau hancurkan atau serbu atau penjarakan tidak perlu dipakai?

LUTHFI BASHORI : Jika diperlukan perobohan, akan saya lakukan, seperti penghancuran dan perobohan kios-kios liar oleh Satpol PP yang jelas-jelas pembangunannya melanggar undang-undang yang berlaku.

MASDAR F : Gereja-gereja dan masjid Syi’ah atau Ahmadiyah dibiarkan atau dihancurkan?

LUTHFI BASHORI : Gereja ilegal bisa saya segel untuk dicanangkan pemanfaatan yang lebih berguna. Masjid aliran sesat Syi’ah, Ahma-diyah, dll saya bekukan untuk dimanfaatkan oleh umat Islam mayoritas ahlissunnah wal jama’ah. Jika ada perlawanan dari mereka, maka akan saya terapkan ‘kebijakan Sayyidina Abu Bakar saat menjadi khalifah’ dalam memerangi nabi palsu dan pengingkar zakat dengan sebijaksana mungkin, sesuai dengan hukum Islam yang berlaku.

ABDURRAHMAN ASSEGAF : Ya Ustadz Luthfi, kaum SEPILIS itu adalah orang-orang yang tidak bisa menerima keberagaman dalam bermadzhab Islam. Mereka menghendaki kita semua seragam menganut pluralisme agama, yaitu melebur semua agama menjadi satu. Mereka memahami Islam dengan kacamata orang-orang kafir. Sehingga selalu curiga terhadap penguasa yang memberlakukan Syari’at Islam. Mereka meranggapan bahwa penerapan syariat Islam hanyalah akan mendholimi orang-orang non muslim. Jadi kaum SEPILIS tidak mengenal Islam selain kulitnya saja. Pertanyaan-pertanyaan Pak Masdar mengindikasikan hal itu. Maka saya berharap Ustadz Luthfi tetap konsisten dalam pemahaman dan pengamalan syariat Islam sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.

MASDAR F : Lalu apa yang disebut Pak Hasyim golongan mutasahil atau mutasyaddid sampean apakan?

LUTHFI BASHORI : Wah… itu tanyakan ke Pak Hasyim, apa benar di dalam Islam ada golongan-golongan yang bersifat parsial itu?

MASDAR F : Mungkin maksudnya yang liberal sama yang fundamental, seperti yang selalu beliau pidatokan di mana-mana.

LUTHFI BASHORI : Saya tegakkan hukum berdasarkan syariat yang tertera dalam kitab fathul mu’in dan kitab hukum Fiqh Syafi’i lainnya. Karena luwes dan mayoritas muslim Indonesia bermadzhab Sunni Syafi’i sebagai warisan Wali Songo.

MASDAR F : Alhamdulillah, atsabakumullah, semoga Allah memberi pahala sampean.

LUTHFI BASHORI : Jazakumullah khairan atensinya. Bagi saya, umat Islam hanya dibagi dua golongan, ‘Konsisten’ dan ‘Inkonsisten’. Golongan konsisten adalah mereka yang tetap istiqamah menjalankan syariat Islam sesuai dengan ajaran Alquran, Hadits, dan ajaran Ulama Salaf. Sedang golongan inkonsisten adalah mereka yang telah keluar dari jalur-jalur tersebut. Hadaanallahu wa iyyaakum, wasaaqana ilaa ridla rabbil ‘aalmiin (semoga Allah memberi hidayah kita, dan membimbing kita demi menuju keridlaan-Nya. Walhamdulillahirabbil ‘alamiin.

CUPLIKAN CD PENGAKUAN STEVANUS ARMANSYAH

Penyusup Nasrani asal Sidoarjo yang tertangkap di Samarinda, dan mengaku sebagai anggota Laskar Kristus

1. Group Ali Markus, pendeta yang mengaku keturunan habaib, dan mengaku sebagai mantan ketua FPI Jatim adalah termasuk penyusup yang diutus dari GPIB Malang untuk merusak aqidah ummat Islam, dengan modus menikahi wanita-wanita muslimah, dan masuk di pesantren-pesantren, untuk menciptakan keresahan.

2. Dasar oprandi adalah ajaran Injil: "Kamu, jika ingin mengalahkan orang Yahudi, maka harus menjadi seperti orang Yahudi, dan jika ingin mengalahkan orang Islam, maka harus seperti orang Islam”. Kebohongan dan dusta yang dilakukan Markus adalah sah-sah saja menurut gereja, karena dianggap sebaga implementasi dari ajaran injil Roma pasal 3 ayat 7 : “Jika kebenaran adalah oleh dustaku emakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi sebagai orang berdosa?”.

3. Misi kristenisasi antara lain didasari ajaran gereja untuk mencari domba-dmba yang tersesat, dengan apapun cara dan srtaeginya sesuai motto gereja : Selamatkan jiwa umat, berapapun harganya.

4. Daerah operandi Group Ali Markus sebelum pura-pura masuk Islam adalah Paserepan Pasuruan, pada tahun 1987 dengan target utamanya adalah wilayah Malang.

5. Penyusup dari kalangang missionaris, yang paling banyak diterjunkan adalah wilayah Mataram, Kalimantan, Jawa Timur bagian Tapal Kuda, dan Surabaya. Antara lain menyusup lewat jalur perekonomian, perdagangan, pendidikan, dll.

6. Stevanus Armansyah, penyusup yang tertangkap di daerah Samarinda Kalimantan timur, dengan modus pura-pura memberikan bantuan kepada umat Islam yang miskin, dengan tujuan menarik simpati umat, namun desertai pengambilan dana sumbangan dari umat Islam pula. Tujuan utamanya untuk memecah belah suara umat Islam pada Pilkada di beberapa tempat di Kalimantan.

7. Dalam operasinya, Stevanus disertai beberapa teman yang beranggotakan 15 orang . Adapun tujuan utamanya untuk menyukseskan program YOSEP 2004 ( menjadikan dari kalangan Kristen sebagai pemimpin daerah.

8.Laskar kristus ini, selain masuk ke dalam dunia politik, juga masuk ke dalam dunia hukum, dan lainnya seperti menyusup di kalangan ABRI, dengan bukti membentuk densus 88, yang bertugas menangkap teroris yang pada hakikatnya hanyalah fitnah belaka atau mengada-ada.

9.Program KB, merupakan rencana gereja yang tujuannya untuk membuat umat Islam tidak yakin dengan kepercayaannya, dan mengurangi pertumbuhan umat Islam, sedangkan jemaat gereja sendiri dilarang ber-KB.

Tuesday, December 3, 2019

Mengikuti Cara Nabi itu Salahkah

Baiklah:
Mengikuti Cara Nabi itu Salahkah?

Katana Suteki

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti.

Mengapa kok tidak boleh diikuti?  Berikut alasannya,

Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif,
2. Nabi Muhammad lembaga eksekutif,
3. Nabi Muhammad lembaga yudikatif,
4. Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Allah.

“Anda membuat negara seperti Nabi Muhammad melalui wahyu siapa? Nah enggak bisa, jangan,” kata Mahfud.

Menurut saya, kalau pertanyaannya WAHYU SIAPA, Jawabnya mestinya: Wahyu Alloh dalam Al Quran. Lalu apalagi dasarnya? Tentu Hadist Rasululloh dan juga Ijtihad Para Ulama. Bukankah begitu? Itukan sumber Hukum Islam?

Pertanyaan saya selanjutnya tetap fokus pada: Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah? Bukankah Rasululloh itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasululloh? Hanya sholatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasululloh juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasululloh itu hanya sekelas KETUA RT?

Baiklah, menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, ya karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan,  bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!

Baiklah, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara  mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut  demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar PSEUDO DEMOKRASI? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah MEMBUNUH SENDIRI DEMOKRASI yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila KEDIKTAKTORAN REZIM justru dipertontonkan (HOW DEMOCRACIES DIE).

Baiklah, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dll, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasululloh dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga HOMOGEN? Masyarakatnya semua muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu,  benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Alloh atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.

Baiklah, memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah oita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih DEMOKRASI PANCASILA yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang SAMA DENGAN NEGARA LIBERAL bahkan lebih LIBERAL lagi. Lalu, DEMOKRASI PANCASILA itu yang macem mana? Atau gampangnya begini, dari 7 REZIM yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada saya rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Baiklah, bila dari 7 rezim yang telah berkuasa namun tidak mampu memberikan warna DEMOKRASI PANCASILA, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain dalam untuk mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam. Atau setidak-tidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Alloh? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Alloh itu sumber hukum terbaik? Ya, saya kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Alloh Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya?

Baiklah, bila masih meragukan  hukum Alloh sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu. Kita masih mengambil dan menggunakan HUKUM Islam secara PRASMANAN. Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi. Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya syurga Adn yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman. Mereka tidak pernah takut kepada selain Alloh dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini.

Baiklah, Apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja!

Tabik..!!!