Saturday, July 27, 2019

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

KH Masduqi Mahfudz sebagai Dewan Syura PWNU Jawa Timur, ketika ditanya wartawan Ijtihad;
"Bagaimana pandangan kiai tentang Hizbut Tahrir?".
Beliau
menjawab ;
"Hizbut Tahrir ini kan pecahan dari Muktazilah yang sangat mendewakan akal. Orang NU yang ikut Hizbut Tahrir itu namanya kesasar".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 17).

MEMBONGKAR PAT:
Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Terkait Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang mendewakan akal, ini adalah tuduhan miring yang jauh panggang dari api. Andai saja KH Masduqi Mahfudz membaca kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, terkait akidah secara keseluruhan, maka di sana justru Syakh Taqiyyuddin an-Nabhani mengkritik dengan sangat pedas terhadap kesalahan manhaj mutakallimin yang sangat mendewakan akal. Berikut adalah sebagian perkataan beliau;

"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Ketiga; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu memberikan kepada akal kebebasan meneliti pada segala sesuatu, baik yang tersentuh indra maupun yang tidak tersentuh indra. Secara otomatis manhaj ini mendorong akal meneliti suatu perkara yang tidak dapat dihukumi, meneliti pada sejumlah hipotesa dan imajinasi, dan menegakkan burhan atas gambaran perkara semata, yang bisa ada dan bisa pula tidak ada.
Ini dapat memungkinkan pengingkaran terhadap perkara yang ada secara pasti, ketika ada seseorang yang kami meyakini kebenaran khabarnya menyampaikan khabar kepada kami terkait perkara itu, tetapi akal tidak dapat memahaminya.
Dan dapat memungkinkan pengimanan kepada perkara Khayalan yang tidak memiliki eksistensi, tetapi akal mengimajinasikan keberadaannya. Sebagai contohnya, mereka membahas zat dan shifat Allah. Lalu di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu intinya maushuf", dan di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu bukan maushuf". Dan mereka berkata; "'Ilmu Allah adalah tersingkapnya ma'lum [perkara yang diketahui] sesuai keadaan sebenarnya. Sedangkan ma'lum itu berubah dari waktu kewaktu, sebagaimana daun pohoh itu jatuh setelah sebelumnya tidak jatuh. Allah SWT berfirman; wama tasqutu min waroqatin illa ya'lamuha [dan tidaklah sehelai daun jatuh kecuali Dia mengetahuinya].
Ilmu Allah itu tersingkap dengannya sesuatu sesuai kondisi sebenarnya. Maka Allah mengetahui sesuatu sebelum ia ada sesuai kondisinya yang ia akan ada, mengetahui sesuatu ketika telah ada sesuai kondisinya yang ia telah ada, dan mengetahui sesuatu ketika tidak ada sesuai kondisinya yang ia tidak ada". Bagaimana bisa, 'ilmu Allah berubah mengikuti perubahan perkara yang maujud? Dan ilmu yang berubah mengikuti perubahan perkara yang baru adalah ilmu yang baru. Sedangkan Allah itu tidak berdiri dengan-Nya perkara baru, karena sesuatu yang berkaitan dengannya perkara baru adalah baru………".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Perkataan ini telah digambarkan oleh para peneliti dan mereka memperkirakannya padahal tidak memiliki realita yang terindra. Akan tetapi mereka memberikan kepada akal kebebasan meneliti, lalu akal meneliti perkara ini dan menemukan gambar dihadapannya. Lalu mereka mewajibkan iman kepada perkara yang telah digambarkannya, dan mengucapkan kepadanya nama kasb dan ikhtiyar. Andaikan saja mereka menjadikan akal hanya membahas pada perkara yang tersentuh oleh indra, niscaya mereka menemukan bahwa penciptaan perbuatan dari sisi pengadaan semua materinya itu hanya dari Allah, karena penciptaan dari tidak ada itu tidak mudah kecuali dari al-Khaliq. Adapun pelaksanaan materi dan pengadaan perbuatan dari padanya, maka itu dari hamba, seperti layaknya pertukangan yang ia kerjakan, contohnya seperti membuat kursi. Dan seandainya mereka menjadikan akal hanya meneliti pada perkara yang tersentuh indra, niscaya mereka tidak mengimani banyak perkara dari imajinasi dan hipotesa".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Keempat; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu menjadikan akal sebagai asas penelitian pada keimanan semuanya. Maka dampaknya, mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an, dan tidak menjadikan al-Qur'an sebagai asas bagi akal………
Memang, sesungguhnya iman dengan adanya al-Qur'an sebagai kalam Allah itu hanya dibangun berdasarkan akal. Akan tetapi al-Qur'an sendiri setelah keimanan dengannya sempurna, menjadi asas bagi keimanan dengan perkara yang telah dibawanya, bukan akal. Oleh karena itu, katika datang ayat-ayat dalam al-Qur'an, wajib tidak menjadikan akal menghukumi pada kebenaran maknanya atau tidak adanya kebenaran, dan hanya ayat itu yang menghukumi dirinya. Sedangkan tugas akal dalam kondisi ini hanyalah memahami. Akan tetapi para mutakallimin tidak melakukannya, tapi mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an. Dengan demikian terjadilah bagi mereka takwil pada ayat-ayat al-Qur'an".

Dari petikan perkataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, dan perkataan beliau yang lain yang tidak dapat dikemukakan disini, sudah cukup untuk membuktikan bahwa tuduhan miring di atas adalah jauh panggang dari api, dan tidak ada paktanya sama sekali. Bisa saja tuduhan miring tersebut berangkat dari pemikiran Hizbut Tahrir yang cemerlang dan terlalu tinggi, dan sulit dapat dipahami oleh akal kebanyakan orang yang belum halaqah dengan Hizbut Tahrir, sehingga mereka menganggap Hizbut Tahrir mendewakan akal. Atau mereka hanya berdasarkan qila wa qala yang datang dari ulama salafi salathin / wahabi.

Memang, Hizbut Tahrir terkait pemikiran, ide, sistem dan teknis, mereka mendewakan akal untuk memahami sejumlah nash yang terkait dengannya. Akan tetapi dalam urusan akidah terkait dengan perkara yang tidak dapat tersentuh oleh indra, mereka sama sekali tidak mendewakan akal atau akal-akalan sepaerti mutakallimin, dan kutipan perkataan Syaikh Taqiyyuddin diatas adalah sebagian buktinya.
(Abulwafa Romli).

No comments: