Friday, April 12, 2024

METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR

 METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/11/metode-dakwah-hizbut-tahrir.html?m=1


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim


Nubuwwah terbagi menjadi dua; dakwah nubuwwah di Mekkah dan daulah nubuwwah di Madinah dimana pemisah antara keduanya adalah bai'at aqobah. 


https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/10/baiat-aqobah-adalah-metode-syari-untuk.html?m=1


Dan karena untuk menegakkan khilafah belum bisa memenuhi syarat-syaratnya yang digali dari sunnah Nabi saw dan sunnah Alkhulafaa Arrosyidiin, maka kewajiban umat Islam adalah dakwah nubuwwah / dakwah ala minhajin nubuwwah. Yakni dakwah dengan mengikuti metode dakwah Nabi saw pada fase Makkah, tidak boleh menyimpang sehelai rambut pun. Bukan malah dengan memalsukan khilafah seperti halnya kelompok Abdul Qodir Hasan Baraja dengan khilmusnya.


Lalu bagaimana menegakkan khilafah pertama kali? Klik di sini :


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/09/bagaimana-menegakkan-khilafah-pertama.html?m=1


*****


Bismillaah...


Metode Dakwah Hizbut Tahrir 


Telah disebutkan di kitab at-Ta’rîf (Ta'rif Hizb at-Tahrir, hal. 28-39) sebagai berikut:


"Metode Hizbut Tahrir (طريقة حزب التحرير)


• Metode perjalanan dalam mengemban dakwah merupakan hukum syara’, diambil dari metode perjalanan Rasul saw dalam mengemban dakwah, sebab itu adalah wajib diikuti. Hal itu karena firman Allah SWT:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (TQS al-Ahzab [33]: 21).


Dan firman Allah SWT:

﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali Imran [3]: 31).


Dan firman Allah SWT:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Dan banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan wajibnya mengikuti Rasul saw dan meneladani Beliau serta mengambil dari beliau.


• Keberadaan kaum Muslim hari ini mereka hidup di Dar al-Kufur, karena mereka diperintah dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka negeri (dâr) mereka menyerupai Mekah ketika Rasul saw diutus. Oleh karena itu periode Mekah dalam mengemban dakwah wajib menjadi obyek peneladanan.


• Dan dari menelaah sirah Rasul saw di Mekah hingga tegak daulah di Madinah menjadi jelas bahwa beliau berjalan dalam tahapan-tahapan yang ajarannya jelas sekali. Beliau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang menonjol di tahapan-tahapan itu. Maka dari hal itu, Hizb (Hizbut Tahrir) mengambil metodenya dalam menjalani dakwah, tahapan-tahapannya, dan aktivitas-aktivitas yang wajib dilakukan di tahapan-tahapan ini sebagai peneladanan terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Rasul saw di tahapan-tahapan perjalanan dakwah beliau.


Berdasarkan hal itu, Hizb menentukan metode perjalanannya dengan tiga tahapan:


Pertama; tahapan pembinaan (مرحلة التثقيف) untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang mengimani ide (fikrah) Hizb dan metode (tharîqah)nya untuk membentuk kelompok kepartaian.


Kedua; tahapan berinteraksi dengan umat ( مرحلة التفاعل مع الأمة ), untuk mengemban Islam kepada umat sehingga umat mengambilnya menjadi agenda umat, supaya umat beraktifitas mewujudkannya di tengah realitas kehidupan.


Ketiga; tahapan penerimaan kekuasaan ( مرحلة استلام الحكم ) dan penerapan Islam secara umum dan menyeluruh dan mengembannya sebagai risalah ke seluruh dunia.


• Adapun tahapan pertama, maka Hizb telah memulainya di al-Quds pada tahun 1372 H-1953 M melalui tangan sang pendiri, al-‘alim al-jalil dan pemikir besar, politisi ulung, dan qadhi di Mahkamah Banding di al-Quds al-ustadz Taqiyuddin an-Nabhani ‘alayhi rahmatullâh. Hizb dalam tahapan itu melakukan kontak dengan individu-individu umat, menyodorkan kepada mereka secara individual, ide dan metode Hizb. Siapa yang menjawab seruan Hizb maka Hizb mengaturnya untuk kajian intensif (dirâsah murakkazah) di dalam halqah-halqah Hizb, sampai Hizb meleburnya dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb. Dan dia pun menjadi pribadi yang islami yang berinteraksi dengan Islam, memiliki pola pikir islami (‘aqliyah islâmiyah) dan pola jiwa islami (nafsiyah islâmiyah) dan bertolak untuk mengemban dakwah kepada masyarakat. Jika seseorang telah sampai ke tingkat ini, dia mewajibkan dirinya sendiri untuk bergabung dengan Hizb dan Hizb pun menggabungkannya ke para anggotanya. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw di tahapan pertama dakwah yang berlangsung selama tiga tahun, mulai dari beliau menyeru manusia secara individu-individu, dan menyodorkan kepada mereka apa yang Allah utus beliau dengannya. Siapa yang beriman, beliau kelompokkan bersama beliau di atas asas agama ini secara rahasia. Beliau konsern untuk mengajarkan Islam padanya dan membacakan apa dari al-Quran yang telah dan sedang diturunkan, sampai beliau melebur mereka dengan Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak tampak. Mereka melakukan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebutan Islam menyebar di Mekah dan masyarakat pun membicarakannya dan mereka masuk ke dalam Islam secara berbanyakan …


• Setelah Hizb mampu membentuk kelompok kepartaian ini, dan masyarakat merasakannya dan mengetahuinya dan ide-idenya serta apa yang diserukannya, Hizb beralih ke:


Tahapan kedua: yaitu tahapan berinteraksi dengan umat untuk mengemban Islam kepada umat, menciptakan kesadaran umum dan opini umum di tengah umat terhadap ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb, sampai umat mengambilnya menjadi ide umat dan berjuang untuk mewujudkannya di tengah realitas kehidupan dan umat berjalan bersama Hizb dalam perjuangan untuk menegakkan Daulah al-Khilafah dan mengangkat seorang khalifah untuk melanjutkan kehidupan islami dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia. Di dalam tahapan ini, Hizb beralih ke menyeru publik dengan seruan secara komunal (jama’iyah). Hizb dalam tahapan ini melakukan aktifitas-aktifitas berikut:


1- Pembinaan intensif ( الثقافة المركزة ) di halqah-halqah untuk individu-individu guna mengembangkan tubuh Hizb, memperbanyak kadernya dan mewujudkan pribadi-pribadi islami yang mampu mengemban dakwah dan mengarungi medan pergolakan intelektual dan perjuangan politik.


2- Pembinaan secara komunal ( الثقافة الجماعية ) untuk masyarakat umum dengan ide-ide islam dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb, di dalam kajian-kajian masjid, berbagai forum, dan seminar dan tempat-tempat pertemuan umum, dan dengan media, buku dan leaflet, untuk mewujudkan kesadaran publik di tengah umat dan berinteraksi dengan umat.


3- Pergolakan intelektual ( الصراع الفكري ) untuk keyakinan-keyakinan kufur, sistem dan ide-idenya, dan untuk keyakinan-keyakinan rusak, ide-ide yang salah dan konsepsi-konsepsi keliru, dengan menjelaskan penyimpangan, kesalahan dan pertentangannya dengan Islam, untuk membersihkan umat dari semua itu dan dari dampak-dampaknya.


4- Perjuangan politis ( الكفاح السياسي ) … ... ... (Penjelasannya agak panjang)


• Dan ketika masyarakat jumud di depan Hizb akibat umat kehilangan kepercayaannya kepada para pemimpin mereka yang sebelumnya menjadi tumpuan harapan mereka, dan akibat situasi sulit yang wilayah itu ditempatkan di dalamnya untuk meloloskan rencana-rencana konspiratif, dan akibat penguasaan dan paksaan yang dilakukan oleh para penguasa melawan bangsa-bangsa mereka, serta akibat kerasnya siksaan yang dijatuhkan oleh para penguasa terhadap Hizb dan syababnya, ketika umat jumud akibat semua itu Hizb melakukan thalab an-nushrah (meminta pertolongan) dari orang-orang yang mampu atasnya …


Berbarengan dengan pelaksanaan thalab an-nushrah ini, Hizb terus melakukan semua aktifitas yang telah dilakukan, berupa pembinaan intensif (ats-tsaqâfah al-murakkazah) di dalam halqah-halqah; pembinaan secara komunal (ats-tsaqâfah al-jamâ’iyah), pemusatan terhadap umat untuk membuat umat mengemban Islam dan mewujudkan opini umum di tengah umat; melawan negara-negara kafir imperialis dan membongkar rencana-rencananya dan menelanjangi makar-makarnya; melawan para penguasa; dan mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan umat serta mengurusi urusan-urusan umat.


• Hizb terus dalam semua itu mengharap dari Allah agar merealisasi untuk Hizb dan untuk Umat Islam keberuntungan, kesuksesan dan kemenangan, maka berikutnya:


Tahapan ketiga: yang mana tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah dan ketika itu orang-orang mukmin bergembira karena pertolongan Allah". 


Cukup terjemah kutipan dari kitab at-Ta’rîf.

https://drive.google.com/file/d/1GA_qxFQsEzGwql5zH_j7-VJkTbL1IpKF/view?usp=drivesdk


#khilafahajaranislam

#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah

Monday, April 8, 2024

Memahami Rukyat Hilal Global

 Memahami Rukyat Hilal Global


KH. Hafidz Abdurrahman *


Jika siaran langsung shalat tarawih dari Masjid Haram sepanjang bulan Ramadhan dapat diikuti kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, tapi mengapa tak bisa diadakan siaran langsung informasi rukyatul hilal dan kesamaan awal dan akhir Ramadhan?


Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek pengamatan guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu. Sebab bulan bagi planet bumi kita memang hanya ada satu.


Faktor Penyebab Perbedaan


Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, menurut analisis sebagian pemikir muslim bisa terjadi karena tiga faktor: (1) faktor astronomi, (2) fikih dan (3) faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah jelas yang paling dominan.


Secara politik, umat Islam kini hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap kepala negara menentukan awal dan akhir Ramadhannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan nash-nash syara’. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqaha, nampaknya hanya dijadikan dalil sekunder atau bahkan sekedar justifikasi.


Dalil primernya adalah kekuasaan dan fanatisme atas wilayah negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni.


Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 325 juta terpecah dalam sekitar 24 negara? Indonesia, Malaysia, Brunei, yang serumpun pun menjadi negara-negara yang terpisah. Bukankah seharusnya 1,7 miliar kaum muslimin di dunia hidup dalam satu naungan negara, sebagaimana masa peradaban Islam dahulu!


Faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu, termasuk dalam penentuan awal-akhir Ramadhan. Misalnya, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999.


Sehingga 1 Ramadhan jatuh tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.


Pada tahun 2012, ada sebagian umat Islam di Indonesia yang berpuasa 1 Ramadhan pada Kamis 19/7/2012, ada yang Jumat 20/7/2012, sedangkan pemerintah kala itu memutuskan puasa pada Sabtu 21/7/2012.


Adapun muslim di belahan negeri yang lain (seperti Timur Tengah, Eropa, dan Asia) menetapkan awal puasa Ramadhan Jumat 20/7/2012. Jadi, perbedaan karena faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu dalam puasa Ramadhan.


Problem Mathla’ Modern


Mengenai perbedaan mathla’ (tempat-waktu terbitnya hilal), yang digunakan sebagian kalangan sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri, sebenarnya merupakan manâth (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji para ulama terdahulu.


Fakta saat itu, kaum muslim memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah Khilafah Umayyah atau Abbasiyyah yang teramat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah.


Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla’) digunakan menjadi tidak logis dan mempersulit diri sendiri. Dalam konsep mathla’, setiap daerah yang berjarak 24 farsakh atau 133 km memiliki mathla’ sendiri. Artinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 133 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tanpa terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu.


Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar, demikian seterusnya. Dengan konsep mathla’ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu, tentu akan disintegrasi menjadi 39 mathla’.


Karena kesulitan itu sebagian kalangan konon mencipkatan ‘mazhab’ baru yakni wilayah al-hukmi, yakni penyamaan awal dan akhir Ramadhan diserahkan pada negara nasional masing-masing. Pertanyaan kita, apa landasan syar’i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi?


Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, sebagaimana masa keemasan Khulafa ar-Rasyidin! Adapun dalil yang sering digunakan demi membenarkan adanya lebih dari satu mathla’ dalam menentukan awal-akhir Ramadhan adalah riwayat dari Kuraib. Suatu ketika, Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib menghadap Mu’awiyah di Syam.


Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan.


Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, “Kapan kalian melihatnya?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi, “Apakah kamu yang melihatnya?” Aku menjawab, “Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu’awiyah.”


Ibnu ‘Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kami pun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal.”


Aku pun bertanya, “Tidakkah cukup bagimu mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim, 1819).


Jadi, Ibnu ‘Abbas tidak mengakui rukyat Mu’awiyah, dan tidak berpuasa mengikuti puasa Mu’awiyah. Pernyataan tersebut sejatinya tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara’, sebab hanyalah ijtihad Ibnu ‘Abbas dalam memahami hadist “Shûmû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi.” Imam asy-Syaukani rahimahullah dengan teliti menjelaskan:


واعلم أن الحجة إنما هي في المرفوع من رواية ابن عباس لا في اجتهاده الذي فهم عنه الناس والمشار إليه بقوله: هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم


Ketahuilah, yang menjadi hujjah hanya hadits marfu yang dituturkan Ibnu ‘Abbas saja, sedangkan ijtihad Ibnu ‘Abbas yang dipahami orang dan ditunjukkan dengan perkataannya “Beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami” tidak bisa menjadi hujjah. (Nail al-Authâr, IV/230).


Selain itu, ijtihad Ibnu ‘Abbas ini juga lemah, karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar:


أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ


“Kami terhalang melihat hilal Syawal, sehingga pagi harinya tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kemarin telah melihat hilal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan mereka membatalkan puasa, kemudian besoknya semua berangkat melaksanakan shalat Id.”


(HR. Ahmad, 19675; Ibnu Majah, 1643; dishahihkan Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm).


Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas telah memerintahkan mereka membatalkan puasa pada hari yang mereka sangka Ramadhan, karena penduduk lain di luar Madinah telah melihat hilal Syawal.


Saat ini, sarana informasi sangat canggih, sehingga dalam satu menit, informasi awal-akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Fitri-Adha ini bisa dishare ke seluruh dunia. Kaum muslim pun bisa melaksanakan puasa dan berhari raya di hari yang sama.


Urgensi Rukyat Hilal Global


Sesuai argumentasi terkuat, syariah Islam menjelaskan bahwa rukyat hilal merupakan sabab (ketentuan) dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa dirukyat, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (digenapakan) bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Misal, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ


“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR. Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).


Berdasarkan hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisâb al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini diriwayatkan Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, Ibnu Hajar, al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan asy-Syaukani.


(Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XXV/132; Fathul Bari, IV/158; Tafsir al-Qurthubi, II/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, III/408; Bidayatul Mujtahid, II/557). Ibnu Rusyd (w. 1198 M) rahimahullah menyampaikan:


إنّ العلماء أجمعوا على أنّ الشهر العربي يكون تسعاً وعشرين، ويكون ثلاثين، وعلى أن الاعتبار في تحديد شهر رمضان إنّما هو الرؤية


Para ulama menyepakati, bulan di kalangan Arab ada dua puluh sembilan dan ada yang tiga puluh hari, namun tolok ukur penentuan bulan Ramadhan hanya berdasarkan rukyat semata (bukan hisab).


Lebih lanjut, ini menunjukan bahwa umat Islam semestinya berpatokan pada rukyat hilal global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur.


Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) rahimahullah menjelaskan:


إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع


Apabila rukyat hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri yang lain wajib juga berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila informasi rukyat hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa.


Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat lain: Apabila rukyat hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa.


Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan rukyat ini, karena terdapat perbedaan mathla’. (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, I/550).


Di sisi lain, meski ulama syafi’iyyah berbeda dengan jumhur, ada pula ulama syafi’iyyah lain yang berpedoman pada rukyat global, imam an-Nawawi (w. 1277 M) rahimahullah berkata:


وقال بعض أصحابنا تعم الرؤية في موضع جميع أهل الأرض


Sebagian ulama kalangan kami ada yang berpendapat, satu rukyat berlaku untuk seluruh tempat bagi semua penduduk bumi. (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, V/197). Imam asy-Syaukani (w. 1834 M) rahimahullah menyebutkan:


والذي ينبغي اعتماده هو … أنه إذا رآه أهل بلد، لزم أهل البلاد كلها


Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah: apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyat hilal), maka rukyat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain. (Nail al-Authâr, IV/195). Imam ash-Shan’ani (w. 1768 M) rahimahullah berkata:


فمعنى إذا رأيتموه أي إذا وجدت فيما بينكم الرؤية، فيدل هذا على أن رؤية بلد رؤية لجميع أهل البلاد فيلزم الحكم


Makna dari ungkapan hadits “jika kalian melihatnya” artinya apabila rukyat didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan rukyat pada suatu negeri berlaku bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib. (Subulus Salâm, II/310). Sayyid Sabiq (w. 2000 M) rahimahullah pun menegaskan:


ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع، فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته، وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا


Mayoritas ulama berpendapat, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’. Karena itu, kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”


Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat Islam. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi mereka semuanya. (Fiqh as-Sunnah, I/368). Kata Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 M) rahimahullah:


وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية دون تفرقة بين الأقطار


Pendapat jumhur inilah yang kuat menurut saya, sebagai pemersatu ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang, pasalnya kewajiban puasa itu berkaitan dengan rukyat tanpa pembedaan antar wilayah. (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/610; lihat pula al-Hafizh al-Ghumari, Taujîh al-Anzhâr li Tauhîd al-Muslimîn fi al-Shaum wa al-Ifthâr, hal. 19).


Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur Jauh (benua Asia) melihat bulan sabit Ramadhan, maka hasil rukyatnya wajib diikuti kaum muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah) tanpa kecuali.


Siapapun kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan rukyat hilal maka rukyat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri sama kedudukannya dengan kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.


Terjadinya perbedaan pendapat di dalam internal umat Islam dapat ditoleransi, selama termasuk pendapat Islami dan tidak menyebabkan perpecahan di tubuh umat Islam. Sedangkan perbedaan dalam menetapkan awal-akhir Ramadhan ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi, sebab berdampak luas pada disintegrasi umat Islam,


Yaitu kekacauan dan ketidakbersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa serta dalam menampakkan syi’ar hari raya. Perbedaan dalam hal ini bukan tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, serta perpecahan dunia Islam. Dari perbedaan awal-akhir Ramadhan ini, kita semua paham pentingya persatuan umat Islam di seluruh dunia tentunya.


Perbedaan awal-akhir Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun-tahun tertentu, sungguh sangat memalukan. Umat Nasrani saja bisa bersatu saat Natal 25 Desember, sebagaimana Yahudi, Budha, Hindu, mereka semua kompak dalam kebersamaan hari-hari besar perayaan agama mereka, mengapa umat Islam, sebagai umat terbaik tidak bisa?


Dari sini ada pelajaran penting yang amat berharga, umat Islam sangat memerlukan Institusi politik pemersatu, dengan kekuatan yang sanggup menyatukan Maroko hingga Merauke. Sehingga, ketika melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam.


Imam al-Maziri (w. 1141 M) rahimahullah ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal, memberi arahan kepada kita, tentang institusi politik seperti apa yang sanggup mempersatukan umat Islam dalam awal-akhir Ramadhan, ia menjelaskan:


إذا ثبت الهلال عند الخليفة لزم سائر الأمصار الرجوع إلى ما عنده … والفرق بين رؤية الخليفة وغيره أن سائر البلدان لمّا كانت بحكمه فهي كبلد واحد


Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu … Sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45). Wallahu a’lam.[]

Thursday, April 4, 2024

MENJADI TAU

 *MELURUSKAN  SEJARAH YANG SEBENARNYA, agar KITA MENJADI TAU & TIDAK TERTIPU oleh SEJARAH PALSU*


*1).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama memberitakan kemerdekaan Indonesia..?

Ternyata

Koran-koran ARAB.

*(Bukan koran2 China)*


*2).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama mengakui kedaulatan Republik Indonesia..?

Ternyata

ARAB, MESIR dan PALESTINA.

*(Bukan China)*


*3).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama mengirim *bantuan Senjata* dari luar negeri pasca Perjuangan Proklamasi.

Terbukti

Senjata dari MESIR diangkut atas biaya ARAB SAUDI.

 *(Bukan China)*


*4).MENJADI TAU :*

Siapa tokoh yang pertama mengucapkan *Selamat atas Kemerdekaan Indonesia..?*

Ternyata 

Syaikh Ismail Husein Mufti Palestina Pendukung Indonesia Merdeka.

 *(Bukan China)*


*5).MENJADI TAU :*

Proklamasi 1945 dibacakan *di Rumah Orang ARAB,* Faraj Martak. Jalan Proklamasi 56..

*(Bukan Rumah Orang China)*


*6).MENJADI TAU :*

*Bung Karno sakit beri-beri sebelum proklamasi,* bisa sembuh diberi MADU ARAB oleh Faraj Martak.

*(Bukan Madu China)*


*7).MENJADI TAU :*

Kakeknya Bung Hatta pergi belajar di ARAB

 *(Bukan belajar di China)*


*8).MENJADI TAU :*

*KYAI AHMAD DAHLAN* dan *KYAI HASYIM* menimba *ILMU* di *NEGERI ARAB.*

 *(Bukan di Negeri China)*


*9).MENJADI TAU :*

Orang yang dianggap berbahaya oleh Snouck Hurgronje adalah Orang yang pulang dari ARAB, karena Orang Orang ISLAM yang pernah berguru di NEGERI ARAB itulah yang dengan GAGAH BERANI melawan Kompeni Penjajah dan oleh sebab itu ditandai dengan gelar HAJI dan hanya HAJI yang boleh mengenakan kopiah putih agar mudah dikenali.

*(Bukan Orang China)*


*10).MENJADI TAU :*

Yang Menyelamatkan Bendera Pusaka saat agresi militer Belanda II. 

Th 1948 adalah Orang ARAB, Mayor Husein Muthahhar. 

Beliau juga penyusun lagu Dirgahayu Indonesiaku, Hymne Syukur dan Mars Pramuka. *(Bukan Orang China)*


*11). Terbukti Salah satu Bapak Pendiri Bangsa Kita adalah Orang ARAB, namanya AR. Baswedan anggota BPUPKI dan Wakil Menteri Penerangan 1946.* 

Beliau adalah Kakek Anies Baswedan mantan Gubernur Jakarta.

*(Bukan Orang China)*


*12).MENJADI TAU :*

Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila, dibuat oleh keturunan ARAB, Syarif Abdul Hamid al-Kadrie. Sultan Pontianak.

*(Bukan Orang China)*


*13).MENJADI TAU :*

Sultan Syarif Kasim II keturunan ARAB, menyerahkan MAHKOTA, ISTANA, dan hampir seluruh Kekayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada Pemerintah RI termasuk Uang sebesar *13 juta gulden setara lebih dari 1000 triliun Rupiah..*

*(Bukan Orang China)*


*Tumpukan Uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno juga Lapangan minyak Stanvac yang menjadi pemasukan utama NKRI selama 73 tahun ini (Bukan dari China)*


*14).MENJADI TAU :*

Siapa yang ingin mengeruk kekayaan indonesia?

Bukan Arab Tetapi *(China RRC Komunis)*


*15). MENJADI TAU :*

Siapa yang masuk/exodus besar2an ke Indonesia (NKRI Harga Mati) secara diam2 dan dapat KTP palsu.

(Bukan ARAB tapi *China Komunis BerKTP Palsu)*


*Waspadalah....*

*Komunis kini 2014-2022 :*

Menyesatkan Mengajarkan anak Milenium untuk membenci Orang Arab.


*ORANG-ORANG ARAB TELAH BANYAK BERJASA untuk mencapai " INDONESIA MERDEKA "...(NKRI Jaya Abadi).*


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1193434377485352&id=1160621010766689&sfnsn=mo


Sebar luaskan Kebenaran sejarah ini, dan agar anak didk kita tdk gagal faham, berharaplah hanya kepada Allah swt.


Semoga Allah selamatkan Agama, Bangsa dan Negara Indonesia, 

terhindar dari kejahatan para pengkhianat.


Semoga kita adalah bagian dari perjuangan Kejayaan Bangsa Negara 🇲🇨 - 

Aamiin Yaa Robbal Aalamiin


Saturday, March 9, 2024

PENJELASAN MEMADAHI SEPUTAR KHILAFAH YANG DIMUSYKILAN HARI INI

 PENJELASAN MEMADAHI SEPUTAR KHILAFAH YANG DIMUSYKILAN HARI INI


Oleh Al Imam Sa'duddin At Taftazani dalam Syarh Al Aqoid An Nasafiyah 


Yaitu dalam menjawab hal-hal berikut ini:


1. Khilafah pasca Nabi hanya 30 tahun?

2. Apakah hukum khilafah? Kalau wajib wajib bagi siapa?

3. Apakah cukup adanya penguasa di masing-masing negeri kaum muslimin?

4. Apakah cukup sekedar penguasa umum atas umat Islam (tidak harus khalifah)?

5. Dengan asumsi khilafah 30 tahun apa berarti umat berdosa setelah khulafa' rasyidun?


Berikut jawaban-jawaban nya:


1. Khilafah pasca Nabi hanya 30 tahun?


Itu musykil, bahwa maksud hadits khilafah 30 tahun adalah periode khilafah yang ideal (khilafah kaamilah) yang tidak tercampuri oleh penyimpangan apapun dalam penerapannya. Sedangkan khilafah selepas 30 tahun itu, adakalanya tercampuri penyimpangan adakalanya tidak. 


2. Apakah hukum khilafah? Kalau wajib wajib bagi siapa?


Hukum khilafah adalah wajib secara syar'i bukan 'aqli, berdasarkan:


a. hadits yang dikenal umum di kalangan ulama kalam berbunyi: 


من مات ولم يعرف إمام زمانه مات ميتة جاهلية


"Barangsiapa mati sedangkan ia tidak mengenal imam/khalifah di masanya itu maka ia mati jahiliyah"


asalnya ada di shahih Muslim dengan redaksi 


من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية


"Barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at (terhadap imam/khalifah) maka ia mati jahiliyah"


b. Ijmak sahabat menjadikannya sebagai ahammul wâjibât (kewajiban yang paling prioritas) sehingga lebih didahulukan daripada kewajiban memakamkan jenazah Rasulullah


c. karena banyaknya kewajiban syar'i yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang khalifah 


Kewajiban khilafah adalah kewajiban atas umat, bukan kewajiban atas Allah seperti anggapan orang Syi'ah Imamiyah.


3. Apakah cukup adanya penguasa di masing-masing negeri kaum muslimin?


Tidak cukup, karena akan menyebabkan perpecahan dan pertentangan antar umat sebagaimana menjadi realita di masa mushannif. (terjadinya perpecahan di masa khilafah menjadi khilafah umawiyah, abbasyiyah, dan fathimiyah)


4. Apakah cukup sekedar penguasa umum atas umat (tidak harus khalifah)?


Tidak cukup, karena jika bukan imam/khalifah urusan syariat akan terbengkalai, padahal itu tujuan utamanya. 


5. Dengan asumsi khilafah 30 tahun apa berarti umat berdosa setelah khulafa' rasyidun?


Jika mengacu pada jawaban nomor 1 di atas, maka selesai perkara, bahwa umat tidak terbilang maksiat meninggalkan kewajiban khilafah selepas 30 tahun, sebab kekhilafahan masih terus berlanjut, terlepas dari naik turun tingkat keidealannya. Kalaupun mau membedakan antara khilafah dan imamah, bahwa khilafah lebih khusus daripada imamah, bahwa yang berakhir 30 tahun itu khilafah, sedangkan setelahnya tetap berlangsung imamah, sehingga umat tidak berdosa karena tidak meninggalkan imamah, tapi itu musykil! Sebab tidak dikenal pembedaan tersebut di kalangan ulama. Kecuali oleh kalangan Syi'ah yang mengatakan khilafah lebih umum daripada imamah.


Disarikan dari kitab;


Syarh Al 'Aqoid An Nasafiyyah, oleh Al Imam At Taftazani, (Damaskus: Darut Taqwa) hlm 734


Fawaid: 


• Terkait "khilafah setelah Nabi 30 tahun" jelas maksudnya bukan membatasi kekhilafahan, melainkan menjelaskan masa ideal khilafah 


• Terkait "hukum khilafah wajib secara syar'i" maka meninggalkannya dengan sengaja tanpa peduli terhadap penerapannya akan menyebabkan dosa


• Terkait "khilafah kewajiban bagi umat, bukan kewajiban bagi Allah" maka meniscayakan perjuangan oleh umat untuk mewujudkannya, tidak hanya menunggu macam orang Syi'ah yang menganggap imamah itu kewajiban bagi Allah 


• Terkait "tidak cukup adanya penguasa (dzu syaukah) di masing-masing negeri kaum muslimin" sebagaimana halnya saat ini, karena merupakan wujud terpecah-belah dan tercerai-beraian, maka harus mewujudkan satu kepemimpinan atas umat Islam di seluruh dunia.


• Terkait "tidak cukup sekedar penguasa umum atas umat sedunia" melainkan harus dengan format khilafah, menerapkan syariat Islam secara sempurna sebagai tujuan utamanya.


• Terkait point nomor lima, bisa disimpulkan:


a. Tanpa khilafah umat mengalami dosa


b. Selepas 30 tahun umat masih menerapkan imamah/khilafah, maka tidak berdosa. Namun setelah tahun 1342/1924 umat tidak menerapkan lagi khilafah, bahkan sistem yang diberlakukan menganggap khilafah sebagai ajaran terlarang, maka dosa mulai berlaku sejak ketiadaan khilafah tersebut.


c. bahwa khilafah dan imamah adalah dua istilah yang sinonim, memiliki arti yang sama

Saturday, February 24, 2024

Menyatakan Ketidaklayakan Syariat Islam Untuk Diterapkan Dianggap Kafir dan Murtad Dari Islam;

 Gus Syams


Menyatakan Ketidaklayakan Syariat Islam Untuk Diterapkan Dianggap Kafir dan Murtad Dari Islam; & Bukan Dianggap Ahlul Bait Siapa Saja Yang Rela Menjadi Gedibalnya Penguasa Anti Syariat & Khilafah


Prof Dr Asy Syaikh Wahbah al-Zuhailiy menyatakan:


وإنكار حكم من أحكام الشريعة التي ثبتت بدليل قطعي، أو زعم قسوة حكم ما كالحدود مثلاً، أو ادعاء عدم صلاحية الشريعة للتطبيق، يعتبر كفراً وردة عن الإسلام. أما إنكار الأحكام الثابتة بالاجتهاد المبني على غلبة الظن فهو معصية وفسق وظلم

”Mengingkari salah satu hukum dari hukum-hukum syariat yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy, atau menuduh kebengisan hukum syariat apapun itu, hudud misalnya; atau menyerukan ketidaklayakan hukum syari’ah untuk diterapkan, dianggap kekufuran dan murtad dari Islam.  Adapun pengingkaran terhadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabat al-dhann), adalah kemaksiyatan, kefasikan, dan kedhaliman”.[ Prof Dr. Syaikh Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu, Juz 1/25]


Habaaib (dzurriyat Nabi saw) yang rela mengabdikan dirinya pada penguasa dhalim, mendapatkan harta dari mereka, seraya berkhianat terhadap ajaran leluhur mereka --Nabi mereka, Mohammad saw--, menolak ajaran Nabi saw, di antaranya adalah Khilafah dan syariat Islam, mestinya mereka harus malu mengaku sebagai keturunan Nabi saw. Imam al-Thabaraniy di dalam al-Mu’jam al-Ausath meriwayatkan sebuah riwayat yang perawi-perawinya tsiqah dari Tsauban ra, maulanya Rasulullah saw, bahwasanya Tsauban berkata:


يا رسول الله أ من أهل البيت أنا؟ فسكت ثم قال : في الثالثة: نعم, مالم تقف على باب سدة أو تأتي أميرا تسأله

“Ya Rasulallah, apakah aku termasuk ahlul bait?  Nabi saw diam, kemudian berkata pada ketiga, “Iya, selama kamu tidak berdiam di pintu gerbang (penguasa), atau kamu mendatangi pemimpin untuk meminta (sesuatu) darinya”.[HR. Imam Thabaraniy].[Dikutip dari Kitab Maa Rawaahu al-Asaathiin fiy ‘Adam al-Maji` ila al-Salaathiin ((Riwayat-riwayat Yang Dituturkan Para Pengabdi Ilmu Untuk Tidak Mendatangi Para Penguasa), Karya Al-Hafidh Jalaal al-Diin As Suyuthiy Asy Syafi’iy]

Wednesday, February 21, 2024

KHILAFAH RUKUN IMAN KEBERAPA ?

 *KHILAFAH RUKUN IMAN KEBERAPA ?*


Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik


Saat pengemban dakwah meyakinkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, Khilafah adalah janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah Saw, ada sebagian kecil orang yang ada penyakit di hatinya mempersoalkannya. Dengan nada mengejek, mereka berkata : Khilafah rukun iman ke berapa ?


Mereka, seolah mengolok-olok keyakinan dan iman kaum muslimin yang meyakini kembalinya Khilafah al Minhajin Nubuwah. Mereka, menganggap remeh persoalan Khilafah karena menduga bukan bagian dari rukun iman. Padahal, pertanyaan yang mempertanyakan Khilafah rukun iman yang keberapa, adalah konfirmasi kebodohan pada tingkat yang menghawatirkan.


Sejak Rasulullah Saw diutus hingga hari kiamat, rukun Iman hanya ada 6 (enam). Pertama, iman kepada Allah SWT, kedua, iman kepada malaikat, ketiga, iman kepada kitab-kitab, kempat, iman kepada para Rasul, kelima, iman pada hari kiamat, ke-enam, iman kepada Qadla dan Qadar. Tidak ada tambahan iman kepada Khilafah.


Lantas, darimana dasar meyakini khilafah dan iman (percaya) bahwa Khilafah ala minhajin nubuwah akan tegak kembali ?


Jawabnya demikian,


Surga dan Neraka, itu bukan rukun iman, tetapi wajib di imani. Siapa saja yang tak percaya surga dan neraka maka dia kafir. Meskipun Surga Dan Neraka tidak disebutkan dalam rukun iman.


Dasarnya, informasi tentang adanya surga dan neraka terdapat dalam al Qur'an. Sementara, al Qur'an adalah kitab Allah SWT. Mengimani surga dan neraka, berarti beriman kepada kitab Allah SWT, yang merupakan rukun iman yang ketiga.


Meyakini adanya pembantaian pada orang yang beriman dalam kisah Ashhabul Ukhdud, tidak terdapat dalam rukun iman. Tetapi kisah ini wajib diyakini (diimani) kebenarannya, bukan Khurofat seperti kisah si lidah pahit, Sangkuriang, Nyi Roro Kidul, dll. Karena kisah Ashhabul Ukhdud diceritakan oleh Rasulullah Saw, manusia suci yang tidak pernah berdusta.


Karena itu, meyakini keberadaan kisah Ashhabul Ukhdud, adalah bagian dari iman kepada para Rasul yakni iman kepada Rasulullah Muhammad Saw. Sebab, bagi yang beriman kepada Rasulullah tentu percaya apapun yang dikisahkan Rasulullah Saw.


Kalau tidak iman kepada kitab-kitab, tidak iman kepada para rasul, maka manusia akan seperti tokoh nasional yang mempertanyakan kampung akhirat hanya dengan dalih notabene belum pernah ke sana. Padahal, dasar iman kepada yang gaib termasuk surga, neraka, hari kiamat, bahkan adanya pahala dan dosa, itu adalah dengan menukil informasi. Dalam hal ini, keimanan pada yang ghaib tersebut didasari dari menukil informasi yang dikabarkan oleh Wahyu, baik dari al Qur'an maupun as Sunnah.


Nah, sampai pada bahasan kenapa umat Islam meyakini Khilafah janji Allah SWT ? karena, Allah SWT telah mengabarkannya dalam kitab sucinya :


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا


_"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam); dan akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa"_


*(TQS an-Nur [24]: 55).*


Meyakini kembalinya Khilafah berdasarkan ayat ini, berarti beriman kepada al Qur'an. Sebab, janji Allah SWT atas khilafah terdapat dalam kitab suci al Qur'an.


Kemudian, Rasulullah Saw bersabda :


ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ …


_"…Kemudian akan ada kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah"_ 


*(HR Ahmad).*


Meyakini kembalinya Khilafah sebagaimana dikabarkan Rasulullah Saw dalam haditsnya adalah bagian dari keimanan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Sebab, siapapun yang beriman kepada Rasulullah wajib percaya apapun yang beliau kabarkan.


Khilafah itu rukun iman keberapa ? pertanyaan model ini adalah pertanyaan keliru yang mengkonfirmasi kebodohan sekaligus adanya penyakit hati dari penuturnya. Sejak Rasulullah diutus hingga hari kiamat, rukun iman ya hanya ada enam.


Apakah Khilafah bagian dari rukun iman ? jawabnya jelas iya, sebab janji Khilafah berasal dari Allah SWT dalam kitab al Qur'an. Meyakini janji Allah, adalah bagian dari beriman kepada Allah SWT dan kitab Al Qur'an, rukun iman pertama dan ketiga. 


Sementara, meyakini kabar gembira akan kembalinya Khilafah termasuk bagian dari beriman kepada Muhammad Saw, sebab kabar itu berasal dari lisan yang mulia, kabar dari Rasulullah Muhammad Saw. Beriman kepada Rasulullah Saw termasuk rukun iman keempat, yakni iman kepada para Rasul. 


Jadi, bukankah orang yang mempertanyakan Khilafah rukun iman keberapa, termasuk orang-orang yang bodoh ? [].

Monday, February 12, 2024

Golput memang bukan solusi.

 GOLPUT MEMANG BUKAN SOLUSI


Oleh: Prof. Fahmi Amhar.


Golput memang bukan solusi. 

Tetapi Memilih kandidat yang tidak jelas mau memperjuangkan islam atau tidak, apalagi.. (bukan solusi jg)


Solusi yg sebenarnya saat ini adalah berjuang tidak hanya di saat jelang pemilu, tetapi seharusnya berjuang bertahun-tahun tanpa henti menyebarkan pemikiran (aqidah & tsaqafah Islam), mengubah perasaan ummat (dengan nafsiyah Islam), menanamkan kebiasaan (amal syar'iyah & ahlaqul karimah) dan menumbuhkan kebersamaan (ukhuwah & jama'ah). Maka nanti pada saatnya, dengan pertolongan Allah, tanpa kudeta, juga tanpa pemilu, sistem akan diubah oleh para pemegang kekuasaan yang telah berubah pola pikirnya. Dan rakyat yang akan membelanya, yg juga telah berubah pola pikirnya. Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah, _uswah hasanah_ kita. (Ini yg dimaksud "Thoriqoh Ummah")


*Ingat:* Afrika Selatan meninggalkan sistem apartheid, itu tanpa pemilu. Uni Soviet meninggalkan sistem komunisme, itu tanpa pemilu. Dan Soeharto tahun 1998 mundur juga bukan karena pemilu. 


Sebaliknya, Aljazair atau Mesir ternyata juga gagal berubah, meski pemilu dimenangkan.


Jangan memberhalakan pemilu, apalagi demokrasi...

Friday, February 9, 2024

Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada ?

 Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada ?


Oleh : M. Shiddiq al-Jawi


Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) mempunyai ushul fiqih ? 

Pertanyaan ini harus dijawab dulu, jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. 

Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong.


Untuk itu patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. 

Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. 

(asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3, Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24) 


Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi'i, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tata cara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum. 

(al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10)


Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu :

(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas dan seterusnya.


(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.


(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).


(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tata cara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).


Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka mempunyai ushul fikih sendiri ?


Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan bahwa ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal (mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain dan yang lainnya) tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan. 

(Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn, hlm. 268) 


Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih dalam definisi yang sesungguhnya.


Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dan kawan kawan, 2004 : 85-88). 

Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). 

Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru), tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti langit dan bumi. 

Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West : The Making of an Image, hlm. 53) yang menegaskan, 

“The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” 

(Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, http://www.insistnet.com)


Walhasil ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya, akan tetapi barang kali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih ? 

Hasan at-Turabi misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung : Mizan, 2003). 

Jauh sebelum itu, pada 70-an Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974 juga Ahmad Kamal Abul Majid dan tokoh liberal lainnya dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977 telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995 : 266).


Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru, Nurcholish Madjid dan kawan kawan misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). 

Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal :

(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]).


(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat).


(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik). 

(www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003)


Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal ?

Jawabnya tegas : tidak ! 

Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih (seperti kaidah-kaidah ushul di atas) sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur, bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. 

Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.


Paradigma Ushul Fikih Liberal


Mengapa ushul fikih mereka palsu ? 

Sebab paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme yang menjadi pangkal peradaban Barat, peradaban kaum penjajah. 

Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.


Karenanya tidak aneh jika Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. 

Abdul Moqsith Ghazali juga begitu, kaidah baru yang diusulkannya seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik) harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadits cocok dengan selera publik (baca : demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.


Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah yang panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.


Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda :

Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular, itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq dan sebagainya. (Busthami M. Said, 1995 : 127-161) 

Mereka berpendapat bahwa umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi dan nasionalisme. 

(Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004 : 19-dan seterusnya). 

Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat. 

(William Montgomery Watt, 1997 : 147-256).


Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr dan sebagainya. 

(Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996 : 115-dan seterusnya). 

Menurut mereka kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan inilah tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. 

Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme dan gender dianggap mutlak benar dan dijadikan standar, tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.


Sebenarnya ini modus yang sangat jahat, akan tetapi kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi dan bahkan ijtihad. 

Ketua Tim Pengarus utamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).


Padahal draft tersebut (yang konon menggunakan ushul fikih alternatif) telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam, misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54) dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep gender, pluralisme, HAM dan demokrasi. 

Mengapa semua itu terjadi ? 

Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. 

Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.


Penutup


Secara intelektual perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal, sebab mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. 

Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar ngutang ke luar negeri, bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]


Daftar Pustaka


1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut : Darul Bayariq.


2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir : Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta : Qalam.


3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut : Darul Fikr.


4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo : Duta Rohmah.


5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung : Mizan


6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta : Gema Insani Press.


7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut : Darul Fikr.


8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus : Darul Fikr.


9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” http://www.islamlib.com


10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” http://www.insistnet.com


11. Madjid, Nurcholish dan kawan kawan. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation.


12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi : Wacanalazuardi Amanah.


13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Rajagrafindo Persada.


Source :

Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal

Wednesday, February 7, 2024

Pemikiran

 Judulnya BACA PELAN-PELAN yah....


"Pemikiran"


Dulu waktu Anda belum bergabung dengan Hizbut Tahrir, anda selalu disinggung karena masih bersikap apatis terhadap dakwah, membuka aurat dan lainnya. Kini, setelah masuk dalam jamaah, Anda juga tidak berhenti diuji. Bahkan, kini lebih berat lagi.


Apakah yang mereka katakan bahwa Dakwah Pemikiran / Ideologi tidak akan menegakkan Khilafah? Tunggu, jangan terburu-buru menyimpulkan, menyalahkan bahkan mencaci dan menghina, karena semuanya adalah tanda dari kemalasan berpikir.


Mari kita simak FAKTANYA!


----------


1. Syeikh Taqiyyudin sudah menjelaskan dalam Kitab Takatul Hizby, bahwa yang meruntuhkan Khilafah tahun 1924 adalah karena lemahnya pemahaman kaum Muslim. Dan itu …. | Pemikiran.


2. Banyak gerakan dakwah dari gerakan bersenjata, sosial, pendidikan, ahlak, dan lainnya yang sudah mencoba menegakkan Khilafah namun gagal. Itu karena lemahnya … | Pemikiran.


3. Khilafah Utsmaniy, dikalahkan bukan karena lemahnya tentara atau kurangnya persenjataan. Tapi, karena … | Pemikiran.


4. Tentara Khilafah Utsmaniy sangat kuat dan disegani, bahkan dikatakan takkan terkalahkan, namun Khilafah jatuh karena lemahnya bahasa Arab, berhentinya kaum muslim dari aktifitas ijtihad. Dan itu … | Pemikiran.


5. Ratusan tahun Barat mencari kelemahan kaum Muslim, perang demi perang, puluhan kali perang salib, Khilafah tidak bisa dikalahkan. Namun akhirnya jatuh karena lemahnya kaum Muslim akan …. | Pemikiran.


6. Barat mengetahui bahwa cara terbaik mengalahkan Khilafah bukan dengan peperangan fisik, tapi dengan …. | Pemikiran.


7. Mereka berpikir keras untuk meruntuhkan Khilafah, ratusan tahun akhirnya ditemukan bahwa cara yang paling ampuh adalah dengan menjauhkan Alquran dari dada kaum Muslim. Dan itu … | Pemikiran.


8. Kaum Muslim dilemahkan dari sisi pemahaman tentang Islam, diberikan pemahaman Asing. Itu … | Pemikiran.


9. Oleh sebab itu, kaum Muslim sebelum dipecah-belah menjadi beberapa bagian Negara kecil seperti sekarang, mereka dicekoki pemahaman asing seperti nasionalisme. Dan itu … | Pemikiran.


10. Arab meminta lepas dari Turki Utsmaniy, Turki memerdekakan diri oleh Kamal At-Tarturk dan menjadi Negara sekuler. Itu karena … | Pemikiran.


11. Sebelumnya, didirikan sekolah Orientalis, kaum orientalis disebar ke seluruh penjuru dunia Islam dan bertujuan untuk melemahkan Kaum muslim dari segi … | Pemikiran.


12. Dari pemahaman yang rancu tentang Islam, lemahnya pemikiran akhirnya mereka mengadopsi hukum-hukum Barat. Dan itu karena lemahnya … | Pemikiran.


13. Kaum Muslim dinistakan seperti sekarang karena mereka lemah akan pemahaman yang benar tentang Islam. Dan itu juga disebabkan oleh … | Pemikiran.


14. Sulitnya (bukan mustahil) perjuangan mengembalikan Daulah Islam juga karena banyak kaum muslim yang tidak paham bahwa Khilafah / Daulah itu wajib ditegakkan dan meninggalkan hukum-hukum sekarang. Itu juga karena … | Pemikiran.


15. Kaum muslim dicekoki pemahaman asing dari mulai sekolah dasar dengan kurikulum liberal dan sekuler hingga mereka dibentuk menjadi apatis terhadap islam. Itu juga masalah … | Pemikiran.


16. Banyak orang Islam tapi tidak mau menerapkan hukum Islam, tidak sholat, tidak menutup aurat dan lainnya. Juga akibat dari lemahnya … | Pemikiran.


17. Barat merencanakan ini ratusan tahun dan kini bisa terlihat hasilnya. Kaum muslim terbagi 42 negara dan seakan tidak pernah bersatu dahulunya, karena mereka tidak memahami sejarah yang memang sudah diputarbalikkan oleh Barat dan antek. Itu masalah … | Pemikiran.


18. Jika Barat menghancurkan Khilafah, melemahkan pemahaman kaum Muslim, dan men-sekulerkan dan meliberlakan Kaum Muslim dengan pemikiran, bukankah solusinya juga … | Pemikiran.


19. Barat mengetahui senjata tidak akan mempan terhadap Khilafah, begitu juga senjata tidak akan mempan untuk menegakkan Khilafah. Namun yang akan menegakkan adalah … | Pemikiran.


20. Kita lihat sejarah, waktu Rosul dakwah di Makkah, saat belum menjumpai Nushroh. Apa yang beliau dakwahkan? … | Pemikiran.


21. Apa yang ditakutkan oleh kaum Quraisy terhadap Rosul dan Sahabat? Mereka tidak memiliki senjata. Tapi karena mereka membawa … | Pemikiran.


22. Quraisy memahami betul bahwa apa yang dibawa oleh Rosul dan Sahabat akan membuat mereka kalah baik dari sisi jumlah, pengaruh dan … | Pemikiran.


23. Oleh sebab itu, kaum muslim disiksa, dicaci, dihina, diburu, dibunuh oleh Quraisy. Itu bukan karena mereka membawa senjata atau melakukan perlawanan. Tapi karena … | Pemikiran.


24. Kemudian, apa yang dilakukan Mus’ab di Madinah hingga suku Aus dan Khazraj masuk Islam dan siap menjadi Nushroh untuk menyebarkan Islam, dimana ini sebelum Khilafah tegak. Apakah Mus’ab datang dengan senjata? atau… | Pemikiran.


25. Sekarang, Barat juga mengetahui, seberapapun kuatnya kelompok bersenjata, selama pemahaman tentang Islam masih lemah, maka itu sama saja. Dan itu disebabkan … | Pemikiran.


26. Berkaca dari runtuhnya Khilafah Utsmaniy, kurang apa mereka coba? Mereka memiliki tentara superpower, menjadi adidaya. Namun kalah akibat lemahnya … | Pemikiran.


27. Maka, bagi Barat, seberapapun banyak dan kuat kelompok bersenjata mengancam mereka, jika itu bukan oleh Khilafah, maka akan tetap melanggengkan hegemoni Barat di Negara-negara Islam. Afghanistan banyak klan Mujahidin namun Demokrasi masih berjalan. Itu karena masyarakat lemah akan … | Pemikiran.


28. ISIS sudah berjuang keras, namun hanya sebatas beberapa wilayah dari Iraq dan Suriah saja yang dikuasai, sistem Demokrasi masih berjalan disebagian besar wilayah Iraq dan Suriah. Ini karena … | Pemikiran.


29. Dan, yang dimaksud Amerika, Eropa dan Rusia takut dengan Hizbut Tahrir bukanlah takut dalam arti Hizb sebagai gerakan tanpa senjata. Tapi kareana … | Pemikiran.


30. Oleh sebab itu, di Amerika, Eropa dan Rusia banyak syabab yang ditangkap dan dipenjara bukan karena membawa senjata. Mereka takut dengan apa yang dibawa Hizb, yaitu … | Pemikiran.


31. Mereka sadar betul dengan apa yang dibawa Hizb akan menyatukan seluruh negeri-negeri Muslim dan Khilafah akan tegak. Ini yang mereka takutkan. Bukan Hizb sendiri tapi apa yang diemban. Itu … | Pemikiran.


32. Mereka mengetahui bahwa ideology Islam yang menyadarkan seluruh muslim bersatu. Ketika bersatu, sudah pasti Khilafah tegak. Itu … | Pemikiran.


33. Mereka mengetahui jika umat Islam sadar akan kekuatan agama dan ideology Islam akan bisa menyatukan kaum Muslim dan mampu menegakkan Khilafah. Dan itu juga … | Pemikiran.


34. Jadi, umat Islam dipecah belah oleh pemikiran maka disatukan kembali juga dengan … | Pemikiran.


35. Oleh sebab itu, jika ingin memahami fakta tentang konstalasi politik dalam dan luar negeri, harus dengan jeli dan harus dengan kecermelangan dan kejernihan … | Pemikiran.


36. Bukan dengan semangat saja, melihat darah dan senjata menjadi wah. Dan bukan begitu cara memahami alur peta politik luar negeri. Harus dengan mendalamnya pemahaman tentang fakta. Itu juga … | Pemikiran.


37. Itulah yang dikatakan sebagai politikus muslim yang ulung dan negarawan yang handal. Sebab dengan … | Pemikiran.


38. Itupula yang menyebabkan Hizbut Tahrir tidak bisa dipidanakan dengan alasan kekerasan atau sabotase dan teroris. Karena apa yang dibawah Hizb adalah … | Pemikiran.


39. Ingat, satu peluru menembus paling banyak dua kepala dengan Magnum Sniper Rifle Kaliber 7.62×51 mm NATO. Namun, dengan Dakwah memahamkan kaum muslim, satu ide, jutaan kepala bisa dirubah, itu terbukti dengan jumlah Hizb yang berkembang pesat. Itu juga … | Pemikiran.


40. Apa yang dibawa Rosul tentang Islam juga … | Pemikiran.


41. Bahkan, Dakwah adalah … | Pemikiran.


42. Jihad juga untuk menyebarkan … | Pemikiran.


43. Semua bersimpul dari … | Pemikiran.


44. Jadi, jangan hina dakwah yang mengedepankan persatuan kaum Muslim dengan tegakknya Khilafah melalui … | Pemikiran.


45. Maka, Khilafah akan tegak sebagaimana janji Rosul bahwa Khilafah yang kedua adalah sama persis seperti Khilafah yang pertama, dari mulai permulaan, perjuangan, penyebaran dan penerapan. Itu semua adalah … | Pemikiran.

Monday, January 22, 2024

TERKUKUNG DEMOKRASI

 TERKUKUNG DEMOKRASI


Oleh: Ustdz Azizi Fathoni 


memperihatinkan memang situasi yang seperti sekarang ini..


umat seakan terkungkung oleh aturan main demokrasi, pilihannya hanya siapa pemimpin terbaik diantara yang ada, tidak diberi kesempatan memilih sistem apa yang terbaik diantara sistem-sistem yang ada


Angin seolah berhembus ke arah pengharusan nyoblos dengan ancaman dosa bagi yang tidak.. padahal sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah, bahwa 


1. tidak menerapkan hukum Allah adalah dosa besar, jika disertai keyakinan akan menyebabkan kekafiran, kalau tidak disertai keyakinan jatuhnya kepada kezaliman atau kefasiqan 


(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة: 44]) 

(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [المائدة: 45]) 

(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [المائدة: 47])


تفسير الماوردي = النكت والعيون (2/ 43)

قال ابن عباس رضي الله عنه: أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً به فهو كافر , ومن لم يحكم مقراً به فهو ظالم فاسق


Ibnu 'Abbas: "barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dengan disertai pengingkaran terhadap hukum Allah tersebut maka dia kafir, sedangkan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah namun masih mengakuinya maka dia zhalim dan fasiq".


التفسير المنير للزحيلي (5/ 125)

ومن أخطر أنواع الظلم: الحكم بغير ما أنزل الله


ٍSyaikh Wahbah Az-Zuhaili: "Diantara macam kezaliman yang paling bahaya adalah: berhukum dengan selain hukum Allah."


2. pemilu dalam sistem demokrasi adalah wasilah untuk berkuasanya seseorang yang akan menerapkan hukum atau bahkan membuat hukum kufur, karena menerapkah hukum kufur adalah haram bahkan menyebabkan kekufuran jika disertai keridhaan maka wasilah yang mengantarkan kepadanya yaitu mencalonkan dan memilihnya hukumnya juga haram. berlaku kaidah mengatakan

 

الوسيلة إلى الاحرام محرمة

"wasilah kepada keharaman hukumnya adalah haram" 


atau juga kaidah 


للوسائل حكم المقاصد

"hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuannya"


maka haram mencalonkan pun haram pula memilih penguasa yang tidak menerapkan syari'at Islam. Kecuali apabila calon benar-benar secara terang-terangan menyatakan akan menerapkan hukum-hukum Allah, maka bisa boleh memilihnya atau bahkan memungkinkan wajib. 


3.lantas kalau tidak memilih apakah dosa? Jawabnya: ya, kalau diam saja tidak memperjuangkan Khilafah sebagai alternatif satu-satunya pengganti demokrasi. ini yang dimaksud tidak boleh abai terhadap urusan politik, tapi berpolitik tidak harus dengan aturan main demokrasi, justru harus dengan politik Islam saja. 


4. apakah memilih sudah dalam taraf dharurat? Jawabnya: belum, karena dikatakan dharurat yang membolehkan mengambil keharaman adalah, pertama: jika menyangkut hidup dan mati atau membahayakan jiwa, kedua: tidak ada jalan lain selain itu. Selain pertama tidak benar-benar terealisasi (kalau tidak memilih tidak mati atau terluka), juga karena ada jalan lain yang bisa ditempuh umat untuk mewujudkan kepemimpinan yang syar'ie, yaitu berjuang untuk mengubah sistem kufur demokrasi menjadi sistem Islam, khilafah. 


5. bukankah khilafah masih lama, sedangkan memilih pemimpin ini mendesak tinggal menghitung hari? jawabnya: justru jauh lebih mendesak khilafah, karena kewajiban khilafah sudah jatuh tempo sejak hampir 100 tahun yang lalu, bahkan lebih menurut hitungan kalender hijriyah.


6. apa bahayanya jika umat terus memilih dalam konteks demokrasi? jawabnya: akan berlarut-larut dalam kemasiatan tidak menerapkan hukum Allah. Kata al Imam Ibnu Hajar al

 Haitami:


والتمادي في الفسق فسق

"Berlarut-larut dalam kefasikan itu merupakan kefasikan."


dan terus menerus menjadikan umat menaruh harapan kebaikan dan kemuliaan dari aturan main demokrasi, padahal kemuliaan hanya akan didapatkan dari Islam.


تفسير ابن كثير ت سلامة (4/ 40)

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه: "نحن قوم أعزنا الله بالإسلام فمتى. ابتغينا بغير الإسلام أذلنا الله"


Umar bin Khaththab "kita adalah umat yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka saat kita mencari kemuliaan dengan selain Islam maka Allah justru akan menghinakan kita."


7. Apakah ada dalil bahwa kita diperintahkan berlepas diri sistem atau aturan main kufur? jawabnya: ada hadits Hudzaifah bin Yaman, bertanya kalau saja nanti umat islam tidak memiliki persatuan "jama'ah" dan tidak pula dipimpin olah khalifah "imam": hindari semua kelompok yang mengajak kepada neraka/kesesatan meski harus memegang kebenaran seperti menggigit akar pohon.


صحيح البخاري (9/ 51)

حذيفة بن اليمان، يقول: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر، مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: «نعم» قلت: وهل بعد ذلك الشر من خير؟ قال: «نعم، وفيه دخن» قلت: وما دخنه؟ قال: «قوم يهدون بغير هديي، تعرف منهم وتنكر» قلت: فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال: «نعم، دعاة على أبواب جهنم، من أجابهم إليها قذفوه فيها» قلت: يا رسول الله صفهم لنا، قال: «هم من جلدتنا، ويتكلمون بألسنتنا» قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال: «تلزم جماعة المسلمين وإمامهم» قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: «فاعتزل تلك الفرق كلها، ولو أن تعض بأصل شجرة، حتى يدركك الموت وأنت على ذلك»


jika Alqur'an dan kekuasaan terpisah (diterapkan hukum sekular), ikutlah al-Qur'an saja walaupun kondisi menjadi sangat buruk akibat hukum dan penguasa kufur: sebab mati dalam ketaatan (dalam hal ini berlepas diri dari demokrasi dan memperjuangkan sistem Islam) lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan (hidup dengan mengikuti aturan main demokrasi tidak menerapkan hukum Islam, karena slogannya: negara berdemokrasi bukan negara agama) 


المعجم الكبير للطبراني (20/ 90)

عن معاذ بن جبل، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «خذوا العطاء ما دام عطاء، فإذا صار رشوة في الدين فلا تأخذوه، ولستم بتاركيه، يمنعكم الفقر والحاجة، ألا إن رحى الإسلام دائرة، فدوروا مع الكتاب حيث دار، ألا إن الكتاب والسلطان سيفترقان، فلا تفارقوا الكتاب، ألا إنه سيكون عليكم أمراء يقضون لأنفسهم ما لا يقضون لكم، إن عصيتموهم قتلوكم، وإن أطعتموهم أضلوكم» قالوا: يا رسول الله، كيف نصنع؟ قال: «كما صنع أصحاب عيسى ابن مريم، نشروا بالمناشير، وحملوا على الخشب، موت في طاعة الله خير من حياة في معصية الله»


Intinya, wajib berlepas diri dari paham atau sistem demokrasi, dan wajib memperjuangkan sistem islam sebagai penggantinya.


*tulisan di atas asalnya adalah respon sy atas postingan seorang tokoh di salah satu WAG, repost di sini semoga bermanfaat bagi umat.

By: Ustdz Azizi Fathoni

Saturday, January 20, 2024

Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain

 *Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين)*

Oleh: Ustadz M. Yasin Muthahhar 


Sebagian ulama dan intelektual muslim ada yang melegalisasi beberapa aktifitas yang diharamkan. Baik untuk dirinya atau untuk orang lain dengan menggunakan Qaidah Ahwanusy syarroini (أهون الشرين) yaitu: melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang buruk, Aqalu al-dhararain (أقل الضررين): yaitu melakukan yang paling sedikit bahayanya dari dua perkara yang berbahaya, Akhafu al-mafsadatain (أخف المفسدتين),yaitu melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang merusak, atau Dar’ul mafsadat al akbar bil mafsadat al ashghar (درء المفسدة الأكبر بالمفسدة الأصغر),yaitu menangkal kerusakan yang paling besar dengan melakukan kerusakan yang paling kecil (Qaidah-Qaidah tersebut maknanya sama). Contohnya:

1. membolehkan lokalisasi zina dan judi dengan alasan jika tidak dilokalisasi akan menimbulkan bahaya yang lebih besar yaitu menyebarluasnya perzinaan dan perjudiaan di tengah masyarakat. 

2. Membolehkan ada di parlemen atau memilih pemimpin/wakil rakyat muslim yang sekuler dengan alasan jika itu tidak dilakukan akan munccul bahaya yang lebih besar yaitu kepemimpinan dan parlemen akan dikuasai oleh non muslim. 

Apa makna yang sebenarnya dari Qaidah tersebut dan bagaimana menerapkannya?Tulisan ini akan membahas hakikat makna syar’iy dari Qaidah tersebut. 

Ulama yang mengambil Qaidah ini telah memahami batasan-batasan dan objek-objek pengamalannya. Karena itu Qaidah ini tidak bisa dijadikan seolah-olah secara mutlak selalu syar’iy untuk diterapkan atau diamalkan tanpa terikat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kemudian Qaidah ini dijadikan sebagai legalisasi terhadap beberapa perkara yang diharamkan untuk menipu kaum muslimin. 

Qaidah syar’iyah bukan nash syara melainkan hanya sebatas hukum syara. Karena Qaidah ini redaksinya dibuat oleh manusia yaitu ahli fiqh atau mujtahid. Nash syara itu hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Namun akan sangat tepat hukum syara ini jika disebut dengan istillah dengan Qaidah Syariyyah (Syekh Atho Bin Khlail : Taisiril Wushul Ila Al-Ushul hal 48) bukan hukum syara. Karena pada faktanya Qaidah ini selain merupakan hukum syara juga bersifat umum dan global, bisa ditujukan pada bagian-bagiannya(juz/afrad) yang tercakup oleh lafadznya yang umum atau mutlak. 

Berdasarkan hal ini apabila terjadi perbedaan pendapat tentang Qaidah ini atau tentang penerapannya maka wajib merujuk kepada sumbernya yaitu nash-nash syara. Nash syara inilah yang akan menjelaskan maknanya, batasan penerapannya, objek-objeknya dan pengecualiannya.

Qaidah ini -dengan redaksi yang berbeda-beda- menurut ulama yang mengadopsinya dikembalikan kepada satu makna yaitu kebolehan melakukan salah satu dari dua perkara yang diharamkan atau melaksanakan yang lebih sedikit keharamannya. Namun tidak mutlak begitu saja melainkan dibatasi dengan kondisi jika kita tidak bisa menghindari kecuali melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan. Karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita. Atau pada kondisi dimana kita bisa menghindari dua perkara yang diharamkan itu tetapi jika kita menghindari keduanya maka akan terjadi keharaman yang lebih besar lagi. Itulah syarat/batasan pengamalan Qaidah ini. 

Adapun yang menjadi landasan Qaidah ini adalah sesuatu yang telah diketahui dengan gamblang dari agama (معلوم من الدين بالضرورة) ini yaitu perkara yang diharamkan harus ditinggalkan dan perkara yang diwajibkan harus dilaksanakan. Jika perkara yang diharamkan itu banyak maka semuanya harus ditinggalkan. Begitu juga jika perkara yang diwajibkan itu banyak maka semuanya harus dilaksanakan. Hal ini juga berlaku pada perkara yang dimakruhkan atau perkara yang disunnahkan dengan tetap membedakan bahwa yang makruh tidak bisa diharamkan dan sunnah tidak bisa diwajibkan. 

Para ulama hanya membolehkan melakukan “yang paling ringan dari dua perkara yang diharamkan padahal statusnya tetap haram atau membolehkan melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang dimakruhkan padahal statusnya makruh, atau mengambil yang lebih ringan dari dua perkara yang buruk, merusak, atau berbahaya(akhaful mafsadatain)” pada kondisi jika tidak mungkin meninggalakan dua perkara yang diharamkan itu secara bersamaan atau pada kondisi jika dengan meninggalkan kedua-duanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. 

Allah berfirman: 

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

“Manusia tidak dibebani kecuali sesuai dengan batas kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286). 

إتقوا الله مااستطعتم

“Bertaqwalah kepada Allah sebatas kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16). 

Dari nash-nash tersebut jelaslah makna Qaidah “أهون الشرين ” dan bagaimana cara menerapkannya. Berdasarkan dua ayat di atas, juga bisa disimpulkan keharusan melakukan yang lebih wajib meski berakibat ditinggalkannya kewajiban lain yang lebih ringan, jika dua kewajiban tersebut tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Dengan kata lain kita harus melakukan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih kecil. 

Berkaitan dengan permasalahan ini kita perlu memperhatikan bahwa maslahat dan mafsadat bukan berarti manfaat dan bahaya menurut perasaan manusia melainkan maslahat dan mafsadat yang sesuai dengan perintah atau larangan Allah. Imam Gazali pernah berkata: “Kemaslahatan menurut asalnya adalah manfaat dan bahaya menurut selera dan perasaan. Namun yang dimaksud di sini bukan itu, karena mengambil manfaat dan menolak mafsadat seperti itu adalah tujuan manusia dan kemaslahatan manusia untuk menghasilkan tujuan-tujuan mereka. Yang dimaksud dengan maslahat yang sebenarnya adalah menjaga tujuan-tujuan syariat yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. 

Berdasarkan penjelasan di atas menggunakan Qaidah “أهون الشرين ” untuk menfatwakan kebolehan melakukkan perkara yang diharamkan bukan pada kondisi-kondisi yang telah disebutkan tadi adalah fatwa yang bertentangan dengan wahyu yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur. 

Rasulullah saw bersabda: 

من أفتى بغير علم لعنته ملائكة السماء والأرض

Siapa yang memberikan fatwa tanpa ilmu maka ia akan dilaknat oleh malaikat langit dan bumi(hadits hasan ditakhrij oleh Asy Suyuti dalam kitab Al Jamiush shagir). 

Karena itu pendapat yang mengatakan (tentang pemilu) “pilihlah si A meski sekuler, kafir, fasik dan jangan pilih si B, karena si A mendukung kita dan Si B tidak mendukung kita” atau perkataan sejenisnya adalah perkataan yang tertolak secara syar’i, siapa pun yang mengatakannya. Yang harus dikatakan dalam maslah ini adalah dua pilihan yang dilontarkan kepada kita itu, kedua-duanya adalah perkara yang diharamkan. Karena kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum muslim dalam menyampaikan pendapat. Karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan, seperti membuat hukum (at-tasyri; legislasi), menyetujui program-program yang diharamkan dan menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Dengan kata lain orang yang sekuler akan melarang yang ma’ruf dan memerintahkan kemungkaran. Maka kita tidak boleh memilih kedua-duanya. Karena memilih si A atau memilih si B sama saja haramnya. Dan karena tidak memilih si A atau si B ada dalam batas kemampuan kita. 

Dalam permasalahan ini tidak bisa dikatakan: apabila kita tidak memilih atau tidak mendukung si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Sebagaimana kita tidak boleh mengatakan apabila kita tidak membuka kedai tempat minum khamr dan memanfaatkannya maka kedai itu akan dibuka oleh orang lain yang tidak berfihak kepada kita. Yang harus kita dilakukan dalam maslah ini adalah meninggalkan dua perkara yang diharamkan itu dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya. 

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk[453]. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 105)

Imam At Tirmidzi dalam kitab shahihnya, Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwa Abu Bakar pernah berkhutbah : wahay saudara-saudara kalian membaca ayat ini tapi meletakan bukan pada tempatnya. Aku pernah mendangar bahwa Rasulullah saw bersabda:

إن الناس إذا رأوا المنكر ولم يغيِّروه أوشك أن يعمهم الله بعقاب»

“jika manusia melihat kemungkaran tapi mereka tidak merubahnya maka Allah akan meliputi mereka dengan siksanya. 

Berdasarkan ayat dan hadits di atas maka dua perkara yang diharamkan harus ditinggalkan dan kita harus mengajak orang lain untuk meninggalkannya. Dalam kondisi seperti itu. Qaidah ” أهون الشرين ” tidak bisa diamalkan. 

Sungguh menggelikan jika ada orang yang mengatakan kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri tidak melakukan apapun. Jawaban atas perkataan seperti ini adalah: “jika anda diminta memilih dua perkara yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun-tidak ada pilihan ketiga yakni melakukan yang baik- maka yang wajib anda lakukan adalah anda harus diam dan menjaga diri anda dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, anda harus menjaga lisan anda dari merubah agama Allah. Bukankah Rasulullah pernah bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam”. Yang menjadi asal adalah anda harus berbuat sesuatu-tidak diam-. Anda harus memerintahkan kepada yang baik mencegah dari yang mungkar dan berusaha mewujudkan yang layak untuk dipilih atau berusaha untuk merubah situasi secara menyeluruh. Karena yang wajib adalah anda tidak boleh menghukumi atau dihukumi kecuali dengan Islam. Maka bangkitlah untuk memperbaiki keadaan umat”. 

Kondisi yang dibolehkan oleh orang-orang yang salah dalam menerapkan Qaidah ini sama seperti halnya ketika seseorang dihadapkan pada dua makanan. Yang pertama adalah bangkai dan yang kedua adalah daging babi. Apakah makna Qaidah “ahwanusy syaraini” -berkaitan dengan keadaan ini - adalah ia harus mencari mana yang lebih ringan keharamannya dari dua perkara itu, kemudian ia memakannya? Atau karena kedua-duanya adalah perkara yang diharamkan maka harus ditinggalkan keduanya? Benar, keduanya adalah haram. Yang harus ia lakukan adalah bersungguh-sungguh mencari makanan yang dihalalkan atau bersabar tidak memakan keduanya kecuali jika dengan tidak memakan salah satu dari keduanya(dan tidak ada pilihan ketiga) ia akan sampai pada kondisi yang membahayakan(dharar). Maka berlakulah Qaidah di atas.

Contoh penerapan Qaidah “أهون الشرين ” yang benar: 

1. Jika ada seorang ibu yang sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janin secara bersamaan, dan kondisinya mendesak harus ada keputusan yang cepat yaitu: menyelamatkan ibu tapi akan mengakibatkan kematian janin atau menyelamatkan janin tapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan akan mengakibatkan kematian kedua-duanya maka dalam kondisi ini Qaidah “ أهون الشرين “ harus diterapkan. Yaitu dengan cara menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin. Hal yang harus diperhatikan dalam hal ini bahwa menentukan perbuatan yang lebih ringan keharamannya tidak bisa merujuk kepada perasaan atau keinginan manusia (suami atau orang tua-nya) melainkan harus merujuk kepada ketentuan syariat. Karena syariat selain menjelaskan perkara yang halal dan haram , juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya. 

2. Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan di bunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mampu mencegah kemunkaran tersebut namun di saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya. Maka pada kondisi ini kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu mencegah kemunkaran tapi akan mengakibatkan ditinggalkannya kewajiban atau melaksanakan kewajiban tapi berakibat terjadinya kemungkaran yang bisa kita cegah. Sementara waktu yang ada tidak memungkinkan kita untuk melakukan dua perkara itu secara bersamaan, maka pada kondisi ini kita harus mengamalkan Qaidah “ أهون الشرين “. Pertimbangan memilih mana yang lebih ringan bahayanya dalam hal ini juga harus merujuk kepada ketentuan syariat yang telah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih utama daripada menunaikan kewajiban. Andai saja kita bisa melaksanakan dua kewajiban itu (kewajiban mencegah kemungkaran dan kewajiban shalat di akhir waktu) secara bersamaan maka kita harus melakukan keduanya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita harus melakukan yang lebih wajib kemudian diam dari kewajiban yang lebih ringan, seperti memilih untuk melaksanakan kewajiban menegakkan khilafah namun meninggalkan kewajiban yang lebih ringan seperti taat kepada suami. 

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa menentukan hukum mana yang lebih kuat dan mana yang lebih ringan harus merujuk kepada ketentuan syariat. 

Syariat telah menetapkan menjaga dua nyawa lebih utama daripada menjaga salah satunya. Menjaga tiga nyawa lebih utama daripada menjaga dua nyawa. Menjaga nyawa harus didahulukan daripada menjaga harta. Menjaga darul Islam yang termasuk ke dalam menjaga agama lebih utama dari menjaga nyawa dan harta. Begitu juga jihad dan khilafah yang termasuk ke dalam menjaga agama merupakan hal mendesak yang harus didahulukan dari yang lainnya. Imam Asy- Syatibi berkata dalam al-Muwafaqat: Jiwa manusia itu terhormat, harus dijaga, dan dituntut selamatkan. Sehingga jika ada pilihan antara menyelamatkan jiwa dan mengorbankan harta untuk memperahankannya atau antara mengorbankan jiwa dan menyelamatkan harta, maka menyelamatkan jiwa lebih utama. Namun jika menyelamatkan jiwa berlawanan dengan kematian (baca:kerusakan) agama maka menghidupkan (menyelamatkan) agama lebih utama meski mengakibatkan kematian jiwa, seperti jihad melawan kaum kafir atau membunuh orang murtad. Atau seperti upaya menyelamatkan satu nyawa berlawanan dengan kematian orang banyak. 

Demikianlah hakikat dari Qaidah “ أهون الشرين “, dan bagiamana menerapkannya. Contoh-contoh lainnya bisa dibaca pada kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh. 

Yang tidak boleh luput dari perhatian kita berkaitan dengan kaidah ini adalah bahwa yang menjadi pemicu menggunakan Qaidah “ أهون الشرين “ untuk melegalisi perbuatan yang diharamkan adalah ketidaktahuan terhadap hakikat sebenarnya dari Qaidah ini. Selain itu, juga ada upaya merubah hukum-hukum Islam dengan cara menerapkannya bukan pada tempatnya. Kondisi inilah yang menjadi cobaan bagi umat secara umum dan bagi kita secara khusus sebagai pengemban dakwah. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Friday, January 19, 2024

TAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH

 PENGAKUAN TERBARU DARI ULAMA BESAR ATAS TIDAK DIRAGUKANNYA, ASY-SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI ADALAH SEORANG ULAMA BESAR AHLUSSUNNAH


Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020.

Berikut ini adalah keterangan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah-, dalam status FB beliau tertanggal 19 Juli 2020. Beliau menuliskan:


سماحة العلامة المجتهد أبو إبراهيم تقي الدين النبهاني( ت 1398 هـ) رحمه الله تعالى :


Tentang Yang Mulia al-Allamah al-Mujtahid Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H) -semoga Allah merahmati beliau-.


سألني اليوم أحد المحبين فقال : ما رأيكم عن الشيخ تقي الدين النبهاني واتباعه ؟


Hari ini aku ditanya oleh salah seorang Muhibbin (sebutan bagi para pecinta ulama): "Bagaimana pendapat anda tentang Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan para pengikutnya?"


فأجبته بقولي : سماحة الشيخ تقي الدين النبهاني عالم علامة مجتهد مجدد مصنف رضي الله عنه ورحمه وقد ترجمته في حاشية ترجمتي لجده لأمه الشيخ يوسف بن اسماعيل النبهاني بالجزء الثاني من "التشنيف" ( 2/ 662-669).


Maka aku menjawabnya dengan berkata: "Yang Mulia Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang ulama yang sangat tinggi ilmunya, seorang mujtahid, seorang mujaddid, sekaligus seorang penulis. Semoga Allah meridhai dan merahmati beliau. Sudah saya jelaskan biografi beliau di hasyiyah (catatan kaki) saat menjelaskan biografi kakek beliau dari jalur Ibu. Yaitu Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, tepatnya di juz dua dari kitab At-Tasynîf halaman 662-669."


ثم قال السائل : هل الشيخ تقي الدين النبهاني من أهل السنة شيخي الحبيب ؟


Lalu si Penanya berkata: "Wahai Guruku tercinta, apakah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani itu tergolong Ahlussunnah?"


فقلت : نعم هو من أجل وأفضل علماء أهل السنة وكان داعيا للتقريب على بصيرة.


Aku jawab: "Ya, beliau termasuk ulama besar Ahlussunnah yang terkemuka. Beliau juga termasuk juru dakwah yang mengajak kepada persatuan dengan berdasarkan ilmu."


وزدت هنا : كان رحمه لله تعالى عالما عاملا فردا في بابه، ذا استقلالية في الفكر لايقلد في الأصلين فضلا عن الفروع ،


Dan di sini aku tambahkan: "Beliau -semoga Allah merahmati- adalah seorang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, satu-satunya ahli di bidangnya, memiliki independensi dalam berfikir, tidak ber-taqlid dalam dua bidang ushul (ushuluddin dan ushulul fiqh), apalagi dalam perkara furu'.


وله مصنفات نافعة جدا منها كتابه الكبير " الشخصية الإسلامية " في ثلاثة مجلدات . و" نظام الإسلام " ، والنظام الإجتماعي في الإسلام " ، و" النظام الإقتصادي في الإسلام" ، و" التفكير" ، و" مفاهيم سياسية " وغير ذلك .


Beliau juga memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat. Diantaranya adalah kitab beliau yang tebal Asy-syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (Kepribadian Islam) yang terdiri dari tiga jilid, Nizhâmul Islam (Aturan Hidup Islam), an-Nizhâm al-Ijtimâ'i fil Islâm (Sistem Pergaulan Islam), an-Nizhâm al-Iqtishâdi fil Islâm (Sistem Ekonomi Islam), at-Tafkîr (Perihal Berfikir), Mafâhîm Siyâsiyyah (Konsepsi-konsepsi Politik), dan lain-lain.


وهو صاحب مشروع إسلامي واضح المعالم . وكان من أجل الدعاة للإسلام على نور وبصيرة ، وفي اتباعه علماء وطلبة علم ودعاة .


Beliau adalah seorang konseptor Islami yang memiliki pandangan jelas. Beliau termasuk pengemban dakwah yang mengajak kepada Islam berdasarkan cahaya dan ilmu. Diantara pengikut beliau ada para ulama, para pelajar, dan para pengemban dakwah.


وقال لي صديقي السَّيدُ يوسفُ الرِّفاعيُّ الكويتيُّ: "التقيتُ بالشيخ تقيِّ الدين النبهانيِّ، وكان له عقلٌ لو وُزِّع على المسلمين المعاصرين لكفاهم".


Sahabatku as-Sayyid Yusuf ar-Rifa'i al-Kuwaiti pernah berkata kepadaku: "Aku pernah bertemu dengan Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau memiliki kepandaian yang apabila dibagikan kepada seluruh kaum muslimin yang hidup saat ini, niscaya mencukupi (menjadikan mereka pandai -penj.)."


وقد ظلم في حياته وبعد وفاته . ولد في بلدة " إجزم " من قضاء حيفا الإسلامية المحتلة سنة 1328 ، وتوفي ببيروت سنة 1398، ودُفن بمقبرة الأوزاعيِّ رحمه الله تعالى.


Sungguh beliau telah terzalimi semasa hidupnya dan setelah wafatnya. Beliau terlahir di daerah Ijzim yang masuk wilayah Haifa yang dikuasai penjajah pada tahun 1328. Beliau wafat di Beirut pada tahun 1398, dan dimakamkan di pemakaman al-Auza'i, semoga Allah merahmati beliau.


Alih bahasa: Azizi Fathoni


Nb. Silahkan dishare, Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh -hafizhahullah- sudah mengizinkan.


Malang. 20 Juli 2020.

Wednesday, January 17, 2024

"GEMBIRA DENGAN KEMATIAN TOKOH KESESATAN"

 "GEMBIRA DENGAN KEMATIAN TOKOH KESESATAN"


abu zaid


(Anak Bertanya kepada Bapaknya)


Anak: Ayah, ketika tokoh kesesatan dan musuh Islam mati bagaimana sikap kita? 


Ayah: Hal itu pernah terjadi di jaman Nabi Muhammad SAW Nak. 


Teladan Nabi Muhammad SAW saat orang yang menebar kerusakan di muka bumi meninggal, dengan mengucapkan maka Beliau SAW mengucapkan:


يستريح منه العباد والبلاد والشجر والدواب


“Orang-orang beriman, negeri, pepohonan, serta binatang-binatang lega dengan kematiannya” (HR. Bukhari dan Muslim).


Anak: jadi kita bergembira ya Yah. 


Ayah: alhamdulillah lega begitu Nak. 


Anak: bukan kah ada larangan mencela mayat Ayah? 


Ayah: betul Nak. Tapi Imam Badruddin Al Aini menjelaskan sebagai berikut:

فإن قيل : كيف يجوز ذكر شر الموتى مع ورود الحديث الصحيح عن زيد بن أرقم في النهي عن سب الموتى وذكرهم إلا بخير ؟ وأجيب : بأن النهي عن سب الأموات غير المنافق والكافر والمجاهر بالفسق أو بالبدعة ، فإن هؤلاء لا يحرُم ذكرُهم بالشر للحذر من طريقهم ومن الاقتداء بهم


“Jika ada yang menanyakan, ‘Apa boleh menyebut-nyebut keburukan mayit, padahal ada hadis sahih dari sahabat Zaid bin Arqom Radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan larangan mencela mayit dan perintah menyebutkan kebaikan-kebaikannya?’


Saya jawab,


‘Larangan mencela mayit yang dijelaskan oleh hadis tersebut, berlaku kepada selain munafik, kafir, orang yang terang-terang melakukan tindakan fasik atau bidah (kesesatan). Mayit-mayit yang seperti itu tidak haram menyebut mereka dengan buruk, agar masyarakat berhati-hati dari ajarannya dan tidak menjadikannya sebagai teladan'” (‘Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, 8: 282, Darul Kutub Ilmiyah 1421 H).


Anak: kalo contoh sikap para ulama

Bagaimana Ayah? 


Ayah: ada banyak riwayat Nak. Bahwa para ulama gembira dengan kematian tokoh kesesatan. Diantaranya adalah:


Salamah bin Syabib berkata, “Aku pernah duduk di dekat ‘Abdurrazaq As-Shan’ani, lalu tibalah kabar kematian Abdul Majid (tokoh sesat di zamannya). Lantas ‘Abdurrazaq mengatakan,


الحمد لله الذي أراح أُمة محمد من عبد المجيد


“Segala puji bagi Allah yang telah melegakan Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kematian Abdul Majid” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9: 435, Mu-assasah Ar-Risalah 1402 H).


Saat tiba kabar kematian Wahb Al-Qurasyi (tokoh kesesatan), kepada Abdurrahman bin Mahdi, beliau Rahimahullah berkata,


الحمد لله الذي أراح المسلمين منه


“Segala puji bagi Allah yang telah mengistirahatkan kaum muslimin dari gangguannya” (Tarikh Madinah Dimasq 63: 422, Darul Fikr 1415 H).


Di dalam Bidayah wan Nihayah (12: 338) Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang kematian pemuka Syi’ah Rafidhah di zaman beliau yang bernama Hasan bin Shafi At-Turki,


أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة منها، ودفن بداره، ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة، وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحاً شديداً، وأظهروا الشكر لله، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله


“Allah telah melegakan kaum muslimin dari kesesatannya di tahun ini, di bulan Dzulhijjah. Dia dikubur di rumahnya, lalu dipindah ke pemakaman Quraisy. Segala puji bagi Allah. Di saat kematiannya, ahlussunnah beriang gembira. Mereka menampakkan syukur kepada Allah. Tak ada satu pun ahlussunnah, kecuali memuji Allah atas kematiannya.”


Anak: alhamdulillah ananda faham Ayah. Terimakasih Ayah. 


Ayah: alhamdulillah Nak, Sama sama Nak[]