Friday, July 29, 2022

Fatahilah

 Sejarah putra aceh di ibukota jakarta 


Fatahillah

( Faletehan/Pangeran Jayakarta I/ Pangeran Pasai/ Fathullah Khan)


Lahir : Pasai, Aceh Utara 1471 M

Sultan Cirebon ke - 3 : 1568 - 1570 M

Penakhluk Sunda Kelapa.

Orang Tua : ♂Mahdar Ibrahim, ♀Syarifah Siti Musallimah.

Istri : ♀Ratu Pambayun / Nyai Pembaya, ♀Ratu Wulung Ayu / Nyai Ratu Ayu, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras.

Anak : ♂Pangeran Sendang Garuda, ♀Ratu Ayu Pembayun, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras, Kyai Mas Abdul Aziz, Maulana Abdullah.

Wafat : Kesultanan Cirebon, Cirebon, Jawa Barat 1570 M

Makam : Jl. Alun-Alun Ciledug No.53, Astana, Kec. Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 45151.


Keterangan : 


Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka. Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur. Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).


Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut. Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.


Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung. Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka. Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar "Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan. Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.


Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa. Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan. Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.


Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai. Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati. Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus. Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.


Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.


Tetapi saat perang baru berlangsung tiga hari, ada peluru nyasar menghantam kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan, dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak. Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama. Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam. Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.


Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.


Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527. Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT. Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.

Wednesday, July 20, 2022

TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??

 TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??


Oleh : Ustadzah Inayah Faizah


 Sekulerisme merupakan induk dari sistem kapitalisme dan sistem sosialis-komunis. Th 1648 negara2 Kristen Eropa mengadakan Perdamaian Westphalia(Peace of Westphalia) untuk mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Jerman. Pada perjanjian ini ditetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan atas konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus&gereja Katolik Roma. sehingga Perjanjian Westphalia dianggap sebagai cikal bakal Sekulerisme. 


 Sekulerisme ini lahir sebagai jalan tengah atau sikap moderat antara dua pemikiran yang kontradiktif yaitu :

1. Pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh rohaniawan gereja di eropa sepanjang Abad Pertengahan( abad V-XV) yaitu pemikiran yg mengharuskan ketundukan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama.

2.Pemikiran sebagian para filsuf&cendekiawan yang mengingkari keberadaan Al-Khaliq.

 

Akibatnya muncullah gerakan2 penentangan terhadap dogma2 gereja yg menjadi pemicu berbagai revolusi tak terkecuali dalam pmbentukan sistem pemerintahan. Pemisahan fungsi Agama dalam seluruh aspek kehidupan (Sekulerisasi)pun terjadi.


Sementara itu di Eropa Timur,Khilafah Ustmani mengalami kemunduran yang sangat cepat. Ditinggalkannya bahasa Arab sebagai Bahasa yg wajib dipelajari,ditutupnya pintu Ijtihad,masuknya paham2/pemikiran2 asing serta berbagai faktor yg menyebabkan kemunduran Islam-pun semakin masiv. Pada Th 1828 di masa Sultan Mahmud II, pemikiran dan sistem sekuler merasuk cepat ke tubuh Khilafah menggantikan pemikiran&sistem Islam.


Sekulerisme melalui jalur Demokrasi masuk lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi,munculnya mentri dalam struktur negara dan disusunnya beberapa undang2 yang diadopsi dari undang2 Barat. Keadaan semakin memburuk karena krisis ekonomi dan kekalahan atas perang Krimea dg Rusia(1856)sehingga negara Kristen Eropa berhasil memaksa Khilafah Ustmaniyah melepaskan diri sebagai Negara Islam sebagai syarat untuk masuk kedalam Keluarga Internasional,akibatnya kontrol terhadap wilayah2nya makin lemah. Hingga hilanglah kekuatan Khilafah Ustmaniyah yg berakhir dg pembubaran kekhilafahan pd tahun 1924.


Diatas hanya sedikit sejarah secara garis besar tentang awal sekulerisme&penyebarannya hingga sampai pd umat muslim. Patutnya kaum muslim sadar bahwa virus sekulerisme ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.


Pemisahan fungsi agama dalam seluruh aspek kehidupan (baca-sekulerisasi)membuat sebagian besar kaum muslim anti melibatkan agama dalam beberapa urusan umat. Tak hanya dibidang politik yang mereka bilang "jangan bawa2 agama dalam berpolitik",tapi hampir disegala bidang kehidupan. seolah Islam hanyalah agama ruhiyah yang hanya boleh diranah ibadah saja.


Mari kita cek lagi ayat ini :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

[البقرة/208]


“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]


Kata kaffah ini berasal dari bahasa Arab,  , yang dalam kamus “al-Munjid” (1986) berarti  (kelompok), atau   (seluruh mereka). Demikian pula dalam A Dictionary of Moderen Written Arabic (1974), kata   diartikan sebagai totality, entirety (keseluruhan, semuanya). Al-Jalalain (1984) menafsirkan kaffah: masuklah ke dalam Islam dengan seluruh keadaan lahir maupun batin. Hal ini juga sejalan dengan tafsiran al-Wajiz (tnp. Th): masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak sebagian-sebagian, dan amalkanlah seluruh hukum-hukumnya, dan tidak bersikap munafik. Al-Maraghi (tnp. Th) menerangkan bahwa ayat itu berarti perintah untuk mengambil Islam secara keseluruhannya, memahami maksud-maksudnya, mengamalkannya, serta menerapkan keseluruhan hukum-hukumnya tanpa terkecuali.


Belum lagi ayat-ayat lain yang mewajibkan kita untuk melakukan setiap amal perbuatan tak boleh terlepas dr hukum-hukum syara'. mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, aturan masuk kamar mandi hingga keluar negri-pun ada. Pantaslah jika ada yang mengaku muslim tapi masih menganggap Islam sebagai agama ritual belaka, tak mau menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya,bahkan masih mengambil hukum-hukum selain Islam dalam urusan umat, maka akan digolongkan sebagai kaum SEKULER.


Renungkanlah...


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [50]”


Tak ada kata terlambat untuk merubah pemikiran, campakkan pemikiran sekuler dan kembali pada pemikiran Islam agar predikat muslim tak hanya sekedar identitas disaat kita wafat saja. wallahu'alam bisshowab..


#UninstallSekulerisme

#InstallIslamKaffah

#khilafahAjaranIslam


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2232422866848395&id=2176570719100277

Saturday, July 16, 2022

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

Oleh : Prof. Dr.Ing. H. Fahmi Amhar 

Orang itu, subhanallah, begitu sholehnya.
Tak pernah ia ketinggalan sholat shubuh di masjidnya. Puasa Dawud juga selalu dikerjakannya. Istri dan putri-putrinya juga memakai jilbab dengan anggunnya. Taddarus Qur'an, ya setiap hari minimal satu juz dibacanya. Menghafal Qur'an bahkan salah satu obsesinya. Dia juga gemar bersedekah ke siapa saja. Atau silaturahmi ke para Ulama dan orang-orang tua.

Shalawat dan dzikir sering menghias bibirnya. Kalau pilih makanan, halal itu nomor satu baginya. Dan pergi umrah menjadi ritual tahunannya. Ya, orang itu begitu sholehnya.

Namun dia menganggap perbankan ribawi tak usah dilarang negara; toh bank syariah sudah dibolehkan, biarlah semuanya saling berlomba. 

Soal HPH, konsensi tambang atau sejenisnya itu bukan urusan ulama; biarlah semua diserahkan kepada para ahlinya.

Ulama juga tidak usah ribut soal hutang luar negeri yang terus berbunga,kalau perlu datangkan pakar dari IMF atau Bank Dunia.

Dia juga menganggap pelacuran di berbagai kota bukan urusannya; toh negara belum mampu memberikan solusi pada para PSK-nya; yang penting dia tidak terlibat, apalagi menikmatinya.

Kalau soal pornografi, ulama silakan menjaga umatnya saja; tidak usah ribut-ribut, apalagi mendemo televisi dan media.

Dia juga menganggap wajar miras ditawarkan di hotel bintang lima; kan ada turis asing atau non muslim yang menikmatinya; yang penting bukan di minimarket di dekat rumahnya.

Dia bahkan menganggap hukuman hudud dan qishash itu tidak perlu ada, karena hukuman yang sekarang ini sudah lebih adil begitu rupa.

Maka ternyata, orang sholeh itu bisa sekuler juga.

Seolah-olah Qur'an yang dia baca, itu hanya untuk individu saja, sama sekali tidak berlaku untuk masyarakat, apalagi negara.

Kita yang selama ini salah duga, seolah-olah, yang sekuler itu pasti fasik lah orangnya. Padahal antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, ya inilah bedanya.

Orang sholeh yang sebenarnya tidak pernah membedakan ayat tentang puasa: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al Baqarah: 183),

dengan ayat tentang qishaash atas pembunuhan berencana: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka siksa yang sangat pedih baginya." (QS. Al Baqarah: 178)

Dia tidak membeda-bedakan ayat, karena semua adalah perintah-Nya. Dan Dia Yang Maha Tinggi lebih tahu tentang segalanya.[]

Sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah

 Nih silahkan di simak sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah


Ustadz Ahmad bin Mukhtar (anggota grup FTI ini) sedang melakukan penelusuran ke berbagai sumber terkait silsilah guru dan murid, ditemukan ringkasan sanad syaikh Taqiyuddin al-Nabhani sbb:


1. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam Ahmad


Syaikh al-Mujaahid Taqiyuddin an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf bin Isma'il an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf al-Barqaawiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Hasan asy-Syiththiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Mushthafa bin Sa'id ar-Ruhaybaaniy as-Suyuthiy al-Hanbaliy, dari Syaikh asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdullah ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Mawaahib Muhammad bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy dan Syaikh al-'allamah al-Fahhamah 'abdul Qadir bin 'umar at-Taghlubiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, [**keduanya**] dari Syaikh 'Abdul Baqiy bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Mu'ammar 'Abdur Rahman bin Yusuf 'Ali al-Buhuutiy al-Mishriy al-Hanbaliy, dari Syaikh Taqiyuddin bin Ahmad an-Najjaar al-Futuuhiy al-Hanbaliy dari Syaikh Abu al-Qadhiy asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdul 'Aziz al-Qaahiriy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Qadhiy asy-Syihab Abu Haamid Ahmad bin Nuur ad-Din al-Hanbaliy dan Syaikh Badr ad-Din Abu al-Ma'aaliy Muhammad an-Naashir al-Mishriy al-Hanbaliy dan asy-Syihab Ahmad al-Jawjariy al-Qahiriy al-Hanbaliy, [**semuanya**] dari Syaikh al-Qadhiy 'Izzuddin abu al-Barkaat Ahmad bin al-Qadhiy Burhan ad-Din al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Jamaal 'Abdullaah bin al-Qadhiy 'Ala ad-Din 'Ali al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari 'Ala ad-Din Abu al-Hasan 'Ali ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Fakhr 'Ali bin Ahmad al-Maqdisiy al-Hanbaliy (dikenal sebagai Ibn al-Bukhaariy), dari Syaikh Abu 'Ali Hanbal bin 'Abdullah ar-Rishaafiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Qaasim Hubatullaah bin Muhammad al-Hanbaliy, dari Abu 'Ali al-Hasan bin 'Ali at-Tamiimiy al-Baghdaadiy (dikenal sebagai ibn al-Mudzhib al-Wa'izh al-Hanbali) , dari Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ja'far al-Qathii'iy al-Hanbaliy, dari 'Abdullah bin al-Imaam Ahmad bin Hanbal, dari al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaaniy


2. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam at-Tirmidziy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ إبراهيم السقا ، عن ثعيلب بن سالم الفشني ، عن الشهاب أحمد بن عبد الفتاح الملوي والشهاب أحمد بن الحسن الجوهري ،كلاهما ( أي الملوي والجوهري ) عن عبد الله بن سالم البصري ، عن الشمس محمّد بن العلاء البابلي ، عن الشيخ سالم بن محمّد السنهوري ، عن النجم محمّد بن أحمد الغيطي ، عن القاضي زكريا بن محمّد الأنصاري ،عن العزّ عبد الرحيم بن محمّد المعروف بابن الفرات الحنفي ، عن أبي حفص عمر ابن الحسن بن مزيد بن أميلة المراغي ، عن الفخر علي بن أحمد بن البخاري الحنبلي ، عن أبي حفص عمر بن محمّد بن طَبَرْزد البغدادي ،أخبرنا أبوالفتح عبد الملك بن عبد الله بن أبي سهل الكَروخي ، عن أبي عامر محمود بن القاسم الأزْدي ، أخبرنا أبو محمّد عبد الجبار بن محمّد بن عبد الله الجرَّاحي المَرْوزِي , أخبرنا أبو العباس محمّد بن أحمد المَحْبُوبي , أخبرنا الامام أبو عيسى محمّد بن عيسى بن سَوْرَة التِرْمِذي


3. Sanad Ilmu Syaikh Taqiyuddin bersambung hingga Imam al-Bukhariy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ ابراهيم بن حسن السقا (١٢١٢ - ١٢٩٨) عن الشيخ محمد بن محمد الامير الصغير - محدث (١٢٤٦) عن ابيه محمد الامير الكبير عن الشيخ علي بن محمد العربي السقاط عن الشيخ محمد بن احمد بن عقيلة عن المحدث الكبير الشيخ حسن بن علي العجيمي المكي عن الشيخ عيسى بن محمد الثعلبي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن الشيخ احمد بن خليل السبكي عن الشيخ محمد بن احمد الغيطي عن الشيخ زَكَريَّا بنِ مُحمَّدٍ الأنْصَارِي (926)، عَنْ الحَافظِ أحمَدَ بنِ عَليِّ بنِ حَجَرٍ العَسْقَلانيِّ (852)، وهُو بسَماعِه لجَمِيْعِه عَلى الحَافِظِ أبي إسْحَاقَ إبْرَاهيمَ بنِ أحمَدَ التَّنُوخِي البَعْلي الأصْلِ، ثُمَّ الدِّمِشْقِي (709-800)، بسَماعِه لجَمِيْعِه على الشيخ أبي العَبَّاسِ أحمَدَ بنِ أبي طَالِبِ بنِ نِعْمَةَ بنِ الشِّحْنَةِ الحَجَّارِ (624-730) عن الشيخ السِّرَاجُ أبُو عَبْدِ اللهِ بنُ الحُسَينِ بنِ المُبَارَكِ الزَّبِيْدِيُّ الحَنْبليُّ (546-631) عن الشيخ أبو الوَقْتِ عَبْدُ الأوَّلِ بنُ عِيْسَى بنِ شُعَيْبٍ السِّجْزيُّ (458-553) عن الشيخ أبو الحَسَنِ عَبْدُ الرَّحمنُ بنُ مُحمَّدِ بنِ الم

ُظَفَّرِ بنِ مُعَاذٍ الدَّاوُدِيُّ (374-467) عن الشيخ أبُو مُحمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بنُ أحمَدَ بنِ حمُّوْيَه السَّرَخْسِيُّ (293-381) عن الشيخ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ يُوسُفَ بنِ مَطَرِ بنِ صَالِحٍ بنِ بِشْرِ بنِ إبْرَاهِيْم البُخَارِيُّ الفَرَبْرِيُّ (231-320) عن الإمَامُ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ إسْماعِيْلَ بنِ إبْرَاهِيْم بنِ المُغِيرَةِ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ رَحِمهُ الله


4. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin yang bersambung hingga Imam asy-Syafi'iy


*تقي الدين النبهاني* عن يوسف بن اسماعيل النبهاني عن *شمس الدين محمد الانبابي الشافعي* عن ابراهيم بن محمد الباجوري عن شيخيه محمد الفضالي والسيد حسن بن درويس القويسني كلاهما عن عبدالله ابن حجازي الشرقاوى عن *محمد بن سالم الحفني* عن ابي حامد محمد بن محمد البديري عن البرهان ابراهيم بن حسن الكورانى عن الصفى احمد بن محمد القشاغي سماعا لبعضه واجازه لسائره عن *الشمس محمد بن احمد الرملي الصغير* اجازه عن *شيخ الاسلام زكرياء بن محمد الانصارى* عن *الحافظ ابن حجر العسقلانى* عن الصلاه محمد بن احمد بن ابى عمرو المقدسي عن مسند الدنيا الفخر ابى الحسن غلى بن احمد بن عبد الواهد السعدي عرف بابن البخاري عن ابي المكارم احمد بن محمد اللبان وابي جعفر محمد ابن احمد بن نصر الصيدلاني كلاهما عن ابي على الحسن بن احمد الحداد عن *الحافظ ابي نعيم احمد بن عبدالله الاسبهاني* عن ابي العباس محمد بن يعقوب الاصم قال اخبرنا ابومحمد الربيع بن سليمان المراري قال اخبرنا به *الامام المجتهد ابو عبدالله محمد bبن ادريس الشافعى المطلبى القرشي*

Thursday, July 14, 2022

HUKUM HUKUM SYIRKAH

 HUKUM HUKUM SYIRKAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Syirkah


Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku(fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziridalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).


Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).


Hukum Dan Rukun Syirkah


Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:


Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:


Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].


Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;

(2)dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);

(3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

(1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;

(2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah


Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukumsyirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1)syirkah inân;

(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah(Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).


Syirkah Inân


Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.


Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.


Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah ‘Abdan


Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.


Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).


Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).


Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].


Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîrbeliau (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah Mudhârabah


Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilahmudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnyaqirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).


Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah.


Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja.


Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).


Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.


Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath,Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).


Syirkah Wujûh


Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).


Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).


Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).


Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).


Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).


Syirkah Mufâwadhah


Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).


Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).


Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.


Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.


Daftar Pustaka

1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.

2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.

3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.

4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.

5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.

6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.

7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.

Wednesday, July 13, 2022

Kisah Shalahuddin Al Ayyubi dan Impiannya Untuk Berhaji

 Kisah Shalahuddin Al Ayyubi dan Impiannya Untuk Berhaji


Shalahuddin, nama itu kita kenang dengan megah dan indah di hati. Sosok pahlawan yang terkenal dengan kalimatnya, "bagaimana bisa aku tersenyum, sementara Al Quds terjajah?"


Namun kali ini ada sebuah kisah tentang beliau yang jarang kita dengar. Kisah tentang azamnya untuk berhaji, yang tertunda sebab beliau tak punya biaya. Begini kisahnya...


Setelah melakukan perjuangan panjang membebaskan setiap jengkal bumi suci Palestina, Shalahuddin memutuskan untuk melakukan perjalanan haji. Ia berniat haji di tahun 588 Hijriah (1192 M), tepat setelah menyepakati gencatan senjata antara beliau dan Raja Richard The Lionheart dari Inggris.


Gencatan senjata itu bernama perjanjian Ramla, dan isinya adalah kesepakatan bahwa Baitul Maqdis tetap berada di tangan Kaum Muslimin tapi umat Kristen diizinkan untuk menziarahinya. Kemudian yang kedua; Tentara salib akan tetap mempertahankan pantai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.


Perjanjian itu telah disepakati, dan niat Shalahuddin untuk haji pun semakin meninggi. Namun kondisi keuangan pribadinya ternyata tak memungkinkannya untuk berangkat. Para menteri dan orang-orang dekat Shalahuddin memberi tahu bahwa kas pribadi Shalahuddin telah sampai ke status di bawah garis kemiskinan. Kas negara pun sedang menipis, karena banyak sekali yang digunakan untuk berjihad melawan pasukan Salib.


Akhirnya, para penasihat Shalahuddin memberi saran untuk menunda haji tahun depannya lagi. Setidaknya ada 2 pertimbangan mengapa niat haji itu perlu ditunda. Pertama, agar Shalahuddin dan kafilah yang dipimpinnya bisa datang berhaji ke Makkah sekaligus menyantuni para faqir di kota suci. Yang kedua, adalah karena Richard —pemimpin pasukan Salib— dikhawatirkan akan menyerang Baitul Maqdis selagi Shalahuddin berangkat haji.


Akhirnya Shalahuddin menunda niat hajinya meski rindu telah berbuncah ingin bertamu ke Baitullah dan berziarah ke Kota Rasulullah ﷺ. Beliau tetap melakukan tugasnya sebagai kepala negara: melepas jama'ah haji pada bulan Dzulqa'dah 588 Hijriah, dan menyambut mereka lagi setelah pulang haji pada bulan Shafar di tahun yang sama.


Namun titah Allah berkata lain. Allah telah menyiapkan takdir yang berbeda bagi impian Shalahuddin. Di bulan Shafar, setelah menyambut kedatangan jama'ah haji, Shalahuddin jatuh sakit. Di akhir bulan Shafar, Shalahuddin menghembuskan napasnya yang terakhir. Beliau wafat dalam keadaan tak ada uang yang cukup bahkan untuk dibelikan kain kafan. Maka orang-orang saling berinfaq untuk memenuhi kebutuhan jenazahnya.


Bayangkan, kawan. Shalahuddin, nama itu megah dan gagah, dikagumi musuh dan dicintai sahabat. Namun Shalahuddin, raja negeri kaya Mesir dan Syam itu, wafat dalam keadaan telah mendermakan dunianya sepenuhnya di jalan Allah. Impiannya untuk bertamu ke Baitullah, dibalas Allah dengan kesyahidan yang indah untuk langsung menghadap-Nya, berbaris bersama para syuhada dan pejuang kebenaran. Rahimahullah rahmatal abraar.


Gen Saladin | @gen. saladin | t.me/ gensaladin


Sumber : Qanat Harakah At Tarikh, Prof. Dr Ali Muhammad Al Audah Al Ghamidi, Pakar Sejarah Perang Salib


========


حافظوا على الإسلام في حال صحتكم وسلامتكم لتموتوا عليه، …. من عاش على شيء مات عليه، ومن مات على شيء بُعث عليه


Jagalah Islam pada diri kalian sewaktu sehat dan selamat agar kalian mati dalam keadaan berIslam. Siapa yg hidup dengan menjalani suatu keadaan maka demikianlah keadaanya ketika mati. Dan bagimana keadaannya ketika mati demikianlah keadaanya ketika dibangkitkan (Imam Ibnu Katsir rahimahullah) https://t.co/z0R5AZZ8JG

Thursday, July 7, 2022

QADHA' DAN QADHAR dalam kitab NIDZOM AL ISLAM

 " QADHA' DAN QADHAR dalam kitab NIDZOM AL ISLAM"

( sedikit pembahasan , bukan untuk memperdebatkan)


Oleh : Asma'


(Sebelum baca siapkan kopinya)


Al-Faqir akan mencoba berbagi ilmu berkenaan Qadha dan Qadar.


Telah kita maklumi bersama bahwa pembahasan Qadha dan Qadar ini memiliki ragam penafsiran. Namun terlepas dari itu semua, penulis akan mencoba berbagi ilmu Qadha dan Qadar yang penulis pahami dari Kitab Nizham Al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memisahkan Qadha dan Qadar sebagai dua komponen yang berbeda.


Pertama-tama yang harus dipahami bahwa manusia hidup di dalamnya. Area pertama yakni area yang menguasai manusia , area kedua yakni area yang dikuasai oleh manusia. Bagaimana maksudnya?


Area pertama, area yang menguasai manusia dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun. Dalam area ini Syaikh Taqiyuddin membagi menjadi dua bagian berkenaan kejadian-kejadian yang menimpa manusia.


Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunatullah). Yakni, kejadian yang manusia manusia dipaksa tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuannya dan manusia tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya, manusia tidak dapat memilih dalam kondisi apa ia dilahirkan, manusia tidak dapat memilih bagaimana keadaan fisiknya ketika dilahirkan. Itu semua mutlak diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba-Nya.


Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, yang tidak akan mampu dihindari dan tidak terikat dengan nizhamul wujud. Yakni, kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja justru mengenai seseorang hingga mati.


Area kedua, area yang dikuasai oleh manusia. Area ini berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan ataupun kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Misalnya, manusia mau memilih pekerjaan halal atau haram, memakan makanan halal atau haram, memilih berlari atau berjalan, dan kejadian semacamnya merupakan area yang dikuasai oleh manusia.


Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha (keputusan Allah), sebab Allah-lah yang memutuskannya tanpa andil manusia. Karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggung jawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfaat ataupun kerugiannya, disukai atau dibenci, meski kejadian tersebut mengandung kebaikan ataupun keburukan menurut tafsiran manusia.


Adapun qadar, Syaikh Taqiyuddi An-Nabhani menguraikan bahwa semua perbuatan baik yang berada pada area yang menguasai manusia maupun area yang dikuasai oleh manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar, sedangkan kayu terdapat khasiat terbakar, dan seterusnya.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karna Allah Subahanhu Wa Ta'ala telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka.


Seperti halnya khasiat yang terdapat pada benda, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, gharizah nau' (naluri mempertahankan keturunan) telah diciptakan khasiat dorong seksual. Begitupun dalam kebutuhan jasmani tekah diciptakan khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Dalam potensi naluri, terdapat tiga naluri yang melekat pada diri setiap manusia. Yakni, naluri berkasih sayang / menambah keturunan (gharizatun nau'), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa'), dan naluri mensucikan sesuatu / naluri beragama (gharizatun taddayun).


Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan bila melanggar perintah dan larangan Allah. Baik itu dilakukan dengan menggunakan khasiat-khasiat yang terdapat pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya.


Perbuatan itu menjadi baik bila sesuai dengan perintah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila bertantangan dengan perintah dan larangan-Nya. Misalnya, seseorang menggunakan golok yang tajam untuk menyembelih hewan qurban dengan tata cara sesuai tuntunan rasul, maka dia telah menggunakan khasiat tajamnya golok tersebut sesuai perintah Allah. Berbeda ketika seseorang menggunakan khasiat tajam pada golok untuk melukai orang lain dengan maksud jahat, seperti begal dan sebagainya, maka dia telah menyalah gunakan khasiat tajam pada golok dan melanggar perintah serta larangan Allah.


Ok yuk kita coba menyederhanakan semua pembahasan di atas tadu dengan analogi singkat biar mudah difahami.


Mukidi merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, berkulit sawo matang, lahir di solo. Inilah area yang menguasai manusia yang ditentukan oleh nizhamul wujud. Mukidi tidak dapat memilih lahir dengan jenis kelamin apa, fisik seperti apa, lahir dimana, dan sebagainya.


Mukidi bermain bola, Mukidi menendang bola tersebut ke arah gawang. Namun bola tersebut justru melaju ke arah gerobak pedagang bubur, sehingga kaca gerobak tersebut pecah. Inilah area yang menguasai manusia namun tidak ditentukan oleh nizhamul wujud.


Saat hendak menendang bola, Mukidi memiliki pilihan, apakah mau menendang dengan keras atau pelan, meniatkan memasukan bola ke gawang, atau justru memang berniat dan sengaja menendang bola ke arah gerobak tukang bubur. Inilah area yang dikuasai manusia.


Khasiat bola adalah keras, khasiat tendangan adalah menghantarkan bola ke suatu tempat, khasiat kaca adalah mudah pecah. Inilah yang dinamakan khasiat pada benda.


Setelah bermain bola Mukidi merasa haus, Mukidi memenuhi rasa hausnya tersebut dengan membeli air mineral di warung. Berbeda dengan Opung yang memenuhi rasa hausnya dengan mencuri air mineral di warung yang sama. Inilah yang dimaksud khasiat atau potensi yang terdapat pada manusia. Mukidi memenuhi rasa haus yang merupakan kebutuhan jasmaninya sesuai syariat Allah, sedangkan Opung memenuhi rasa hausnya bertentangan dengan syariat Allah.


Semoga dengan penjabaran ini, kita dapat memahami qadha dan qadar dengan baik dan benar. Sebab pemahaman yang salah akan melahirkan pengamalan yang salah pula. Seperti halnya pemahaman yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia besertanya amal perbuatannya, sehingga menjadi legalitas bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Padahal Allah tidak memaksa seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Mana mungkin Allah mengharamkan pencurian, tapi Allah mentakdirkan seseorang menjadi seorang pencuri.


Wallohu A'lam Bish-shawab!


Jika masih belum faham

MAKANYA YUK NGAJI !


#BelajarIslamKaffah

#IslamSolusinya

Monday, July 4, 2022

Kritik hizbuttahrir terhadap sistem khilafah

 KRITIK HIZBUT TAHRIR TERHADAP SISTEM KHILAFAH 


Kata sebagian orang Hizbut Tahrir nggak adil, sebab kebobrokan demokrasi dibuka lebar-lebar sementara kebobrokan kekhalifahan disembunyikan. Lalu dikatakan standar ganda.


Sekalipun hal ini ditujukan terhadap Hizbut Tahrir, tetapi orang yang ada di luar Hizbut Tahrir pun berhak memberikan komentar. Apalagi orang tersebut dengan hati yang bersih telah mengkaji beberapa buku yang di-halaqah-kan di Hizbut Tahrir.


Siapa pun yang berhati bersih dan memiliki akal yang jernih, maka akan melihat bahwa Hizbut Tahrir telah memberikan kritik terhadap sejarah penerapan syariat Islam pada masa dulu. Dalam banyak buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, sangat jelas terlihat bahwa Hizbut Tahrir telah mengkritik berbagai macam kesalahan penerapan syariat Islam pada masa dulu.


Dan perlu diketahui, kritik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ini bukan hanya kritik atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kasat mata di hadapan kebanyakan orang, seperti muktazilah yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah selama beberapa waktu, perjalanan sejarah kekhalifahan bani Umayyah yang berdarah-darah, peristiwa Karbala yang menumpahkan darah cucu Rasulullah, kezaliman dan kefasikan Yazid bin Muawiyah (Yazid I), pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah yang menjadi cikal bakal sistem dinasti (wilayatul 'ahdi), dan lain-lain.


Tetapi Hizbut Tahrir juga telah mengkritisi berbagai kesalahan penerapan langkah-langkah yang ditempuh para khalifah itu dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, Hizbut Tahrir memahami bahwa kesalahan itu agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang saat Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah kembali ada.


Di antara kritik Hizbut Tahrir adalah pengangkatan Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Hal ini bisa dijumpai dalam buku Nizhamul Hukmi fil Islam karangan amir Hizbut Tahrir kedua, Syaikh Abdul Qadim Zallum. Tentang hal ini bahwa Syaikh Zallum menyebutnya sebagai "bid'ah" dan kemungkaran yang belum pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw. Padahal, sebagaimana dipahami Hizbut Tahrir, kekhilafahan itu adalah hak kaum muslim, bukan hak keluarga khalifah sebelumnya.


Dalam konteks itu juga, Hizbut Tahrir mengkritik Muawiyah yang mengancam kaum muslim, termasuk dua sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, dengan uang dan pedang, agar mereka memilih Yazid, anaknya. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, khilafah adalah aqad, antara kaum muslim (atau wakilnya) dan calon khalifah. Lantas, bagaimana bisa ada ancaman di sana? Tentu ini adalah sebuah kesalahan.


Kritik yang lain. Dalam buku Ajhizah Daulah al-khilafah disebutkan pada pembahasan tentang wali, Hizbut Tahrir telah mengkritik pandangan tentang pengangkatan wali dengan kepemimpinan umum, agar melakukan pengangkatan wali dengan kepemimpinan khusus. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau wali dengan kepemimpinan umum itu memiliki ketakwaan yang lemah. Jika lemah, maka kepemimpinan wali tersebut akan berpotensi memisahkan diri dari khalifah dan memunculkan penguasa-penguasa kecil (di daerah) dalam negara khilafah, sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah. Padahal, kepemimpinan dalam Islam itu bersifat tunggal, dan sistem politik khilafah adalah kesatuan (sentralisasi). Inilah juga yang dulu dijadikan dasar bagi Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengkritik kelahirkannya UU Otonomi Daerah di Indonesia, sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir (secara teori politik) hal itu bisa memecah kesatuan Indonesia.


Hizbut Tahrir juga mengkritik pandangan yang menginginkan khilafah menjadi negara mazhab. Misalnya khilafah berdiri atas dasar Mazhab Hambali, Mazhab Wahabi, Mazhab Asy'ari, Mazhab Muktazilah, atau Mazhab Syiah, dan sebagainya. Sebab, jika khilafah yang berdiri adalah khilafah mazhabiyah, maka secara politik hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam konflik horizontal dan menimbulkan kemadharatan sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Walau secara hukum syara' diperbolehkan sebuah negara khilafah menganut suatu mazhab tertentu, tetapi Hizbut Tahrir mengkritik hal tersebut dan memilih untuk mengadopsi pandangan bahwa negara hendaknya tidak berdiri atas dasar mazhab tertentu.


Kritik lain yang juga dilontarkan terkait syarat baginseorang khalifah, yaitu harus seorang ulama (atau bahkan mujtahid) dan juga harus keturunan Quraisy. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, kedua jenis syarat tersebut bukanlah syarat in'iqad (syarat pengangkatan), melainkan hanyalah syarat afdhaliyah (keutamaan). Sehingga, kalau pun seorang khalifah itu bukan merupakan seorang mujtahid atau dari keturunan Quraisy, hal itu tidaklah mengapa. Sebab, itu hanyalah syarat keutamaan (lebih utama), dan bukan syarat pengangkatan (sah diangkat). Dalil-dalil yang mewajibkan seorang khalifah harus Quraisy dinyatakan oleh Hizbut Tahrir 'hanyalah' dalil yang bersifat ikhbar (berita), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Pembahasan tentang hal ini, bisa dirujuk di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir semisal an-Nizham al-Hukm fil Islam, atau Ajhizatu Daulah al-Khilafah, atau buku-buku yang lain.


Dalam kritik yang terakhir tersebut, memang Hizbut Tahrir agak bertentangan dengan banyak ulama yang mengharuskan khalifah adalah keturunan Quraisy. Hanya saja, berdasarkan hasil penggalian hukumnya, Hizbut Tahrir meyakini bahwa syarat tersebut adalah syarat keutamaan. Sehingga pendapat ini tetap dipegang oleh Hizbut Tahrir sekalipun bertentangan dengan pendapat banyak ulama. Dan Hizbut Tahrir tidak sendiri dalam hal ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf Musa dari kalangan ulama kontemporer pun menyatakan hal yang sama. Dalam buku al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami (terjemahannya Pengantar Studi Fikih Islam) beliau mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa ketika orang-orang Quraisy sudah mulai melemah kecakapannya dalam kepemimpinan, sudah mulai bercerai berai (saling bertikai) dan terbuai dengan dunia, maka syarat ini sudah tidak lagi relevan. Juga karena Asy-Syari' (Allah swt) tidak mengkhususkan hukum pada suatu generasi tertentu. Ketika mengutip ini, Dr. Muhammad Yusuf Musa pun menyetujuinya.


Ini adalah sekian dari berbagai kritik Hizbut Tahrir terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam sistem Khilafah pada masa dulu. Hanya orang-orang yang berhati bersih lah yang akan mampu mencerna itu semua. Namun bagi orang yang di dalam hatinya bersembunyi rasa dengki, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun selain rasa dengki yang terus tumbuh. Para pendengki itu mengkaji sejarah khilafah, bukan untuk diambil pelajaran darinya. Melainkan untuk dijelek-jelekkan, karena hanya membongkar keburukannya. Jika ini dilakukan oleh orang kafir yang memusuhi Islam, barangkali kita bisa memakluminya. Tapi mungkinkah orang Islam melakukan hal semacam itu? Naudzubillahi min dzalik.


Wallahu a'lam.


Ust Agus Trisa

-----------