Sunday, July 28, 2019

*RAHASIA MENGAPA HTI DITEMBAK

*RAHASIA MENGAPA HTI DITEMBAK?*

*Oleh: Hafid Karmi Al Julaniy*

_Pengkaji di Forum Kajian Kitab Kuning Aswaja (FK3A) Jawa Barat, Peneliti di Muntada al-Tsaqafah al-Islamiyyah Wil. Jawa Barat, dan Cucu dari Ulama NU di Jampang Tengah Sukabumi yang Juga Merupakan Pejuang Kemerdekaan_
===============

Orang menyangka saya ini pendatang baru di jagat media sosial (medsos), padahal saya adalah pengamat yang setia mengikuti perkembangan dunia Islam. Saya ini dari kampung, “ndeso” kalau kata Kaesang. Tapi cara pandang-ku “ngota” insyaAllah. Meski tak punya TV, tapi saya punya akun medsos. Ba’da memanjatkan syukur kepada Allah yang Maha Ghafur, mari bershalawat kepada Habibana wa Nabiyana Kangjeng Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lupa mohon perkenannya mengirimkan al-Fatihah untuk Mbah-ku rahimahullahu ta’ala yang telah mengajarkan saya ngaji Tafsir Jalalain di Masjid Kecil di Pelosok Kampung Sana. Mbah-ku itu bukan hanya tokoh di lingkungan NU, tapi juga salah satu pejuang kemerdekaan dan merasakan perlawanan terhadap penjajah. *Al-Fatihah…*

Kembali ke judul; Rahasia Mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ditembak? Judulnya serem karena saya lihat judul-judul tulisan sebelumnya yang saya baca juga serem-serem; “Obituari HTI”, “Syahidnya HTI”, HTI Dibunuh”, Kader HTI Dihabisi”, dll pokoknya tema kematian semua. Saya juga buat judul yang kekinian-lah, tapi tidak beraroma kematian, sebab
*boleh jadi HTI itu mati suri, atau tiba-tiba bangkit dari kubur* seperti kisah di salah satu majalah yang yangan populer waktu sama sekolah dulu.

Sebelumnya, saya ini kutip dulu pendapat salah satu pejabat negara ini,
_"Kami meminta kepada seluruh pihak, agar bisa menyampaikan dan mengingatkan saudara-saudara kita yang sebelumnya telah terasuki ajaran dari HTI ini agar dapat kembali ke ajaran Islam yang benar,"_ ujar Soedarmo Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di salah satu media online terpercaya.

Saya benar-benar terkejut, apa gerangan dengan ajaran HTI? Jangan-jangan ajaran setan yang bisa merasuki tubuh manusia dan membuat kesurupan. Setelah saya membaca buku-buku HT(I) mulai Nizham al-Islam sampai dengan al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz III dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, *kok tidak ditemukan ajaran setan ya.* Semuanya adalah ajaran Islam. Semuanya ada dalam kitab-kitab klasik masa lampau. Ini saya yang bodoh atau bapak itu yang kurang belajar?

Saat saya membaca Ilmu Tafsirnya HT, kok rasanya Aswaja banget, apalagi ketika bahas ta’wil ayat mutasyabihat, Asy’ari banget. Ketika baca ilmu haditsnya, seakan saya sedang muraja’ah Muqaddimah Ibnu Shalah atau Tadrib al-Rawi-nya al-Suyuthi. Saat saya tengok ushul fiqihnya, kok rasa al-Ghazali dalam al-Mustasfa dan al-Amidi dalam al-Ihkam ya. Ketika menyelami kitab tashawwufnya, Min Muqawwimat al-Nafsiyyah al-Islamiyyah serasa baca kitab Riyadh al-Shalihin dengan tambahan aroma pergerakan. Kitab al-Daulah al-Islamiyyah juga rasa Tarikh al-Khulafa-nya al-Suyuthi dengan tambahan motivasi untuk mendirikan kembali. Sistem ekonomi, politik, pemerintahan hingga pidana, rasa-rasanya saya tidak menemukan ajaran yang menyimpang. Selaras dengan pendapat ulama masa lalu atau bahkan melengkapinya. *Baca dan rasakan saja, karena rasa tak pernah bohong, bukan?*

Lantas apa itu ajaran HTI yang dianggap membahayakan hingga akhirnya HTI ditembak? Tak lain adalah Khilafah. Lah khilafah kan ajaran Islam, bukan ajaran setan. Saya tidak habis pikir mengapa begitu takut dengan khilafah? Dari sinilah jawaban atas pertanyaan diatas mulai terjawab. HTI ditembak karena membuat kesalahan yang sangat fatal menurut penguasa. *"Kesalahan" HTI itu satu, yaitu karena mendakwahkan Islam yang apa adanya dari A sampai Z, mulai aqidah, syariah hingga khilafah.* Itu saja.

Mengapa khilafah dianggap berbahaya bagi mereka yang tak menghendaki Islam bangkit? Karena *khilafah akan menjadi simpul yang merekatkan simpul lainnya yang sekarang sudah terurai.* Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ngadauh,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ.
Artinya: _"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat"_

Hadits ini diriwayatkan dalam kitab Musnad Ahmad (21655); Shahih Ibnu Hibban (6715), al-Mustadrak al-Hakim (Juz 4, hlm 92); al-Mu’jam al-Kabir al-Thabarani (7486); Musnad Syamiyyin al-Thabarani (1602); Syu’abul Iman Al-Baihaqi (5277); al-Sunnah li Abi Bakrin al-Khalali (1349); al-Sunnah li Abdillah bin Ahmad (juz 1, hlm 356).

*Terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu* sebagaimana dinyatakan Imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’ bahwa ia berkata: dengan i'rab nashab karena sebagai haal (keadaan), perkiraan maknanya: terurai secara berurutan, yang awal sebagaimana perkataan mereka (org arab): masuklah yang awal dan yang awal, maksudnya satu demi satu (al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir juz 5 hlm. 263).

*Ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya lenyap.* Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan fase kekusaan di dunia ini: digantinya hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum thaghut (al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9 hlm. 33).

Adapun yang lepas terakhir adalah shalat, *yaitu ketika orang sudah menyepelekan shalat dan kalaupun ada yang shalat mereka tidak ikhlas.* Sebagaimana disebutkan al-Imam al-Munawi: hingga orang-orang desa dan juga banyak dari orang-orang kota yang tidak segera shalat (hingga keluar waktu shalat), dan diantara mereka shalat dengan riya’ dan pura-pura (al-Munawi, Faidhul Qadir, juz 5 hlm. 263).

Sekarang saya makin mengerti mengapa HTI ditembak, karena HTI inginkan khilafah tegak kembali. Padahal khilafah itu (sebagai ajaran Islam) sudah dilepaskan sejak lama. Mereka ingin semua simpul ajaran Islam lepas tak terkecuali termasuk shalat. *Kalau sampai khilafah hadir kembali, maka ia akan merajut kembali simpul-simpul ajaran Islam yang lain.* Hari ini kita sedang ditimpa musibah besar ketika simpul-simpul Islam telah terlepas oleh kaum muslimin karena usaha orang kafir yang tidak ridha terhadap dinul Islam. Usaha HTI untuk mengembalikan simpul pertama yang dilepas yaitu al-hukm (pemerintahan) akan menjadi sebab terikat kembali simpul lainnya.

*Bersabar dan istiqamahlah saudaraku.* Mari kita bershalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam…

26 Juli 2017
_Di Tatar Pasundan, saat kesedihan sedang melanda._

KHILAFAH TERMASUK ‘URAL ISLAM (BANTAHAN ATAS TUDUHAN SESAT “TIDAK BOLEH BOMBASTISASI KHILAFAH”)

KHILAFAH TERMASUK ‘URAL ISLAM (BANTAHAN ATAS TUDUHAN SESAT “TIDAK BOLEH BOMBASTISASI KHILAFAH”)

Oleh Irfan Abu Naveed | Dosen, peneliti & penulis kajian balaghah dan hadits nabawi
Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)
a. Ungkapan ’Urâ Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa Al-Shalât
Ungkapan ’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya shalat, Menunjukkan bahwa yang dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara yang sangat penting, terlebih ikatan tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi penyokong Islam.
Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imâmah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim, dan segala puji bagi Allah.
Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان وأركن، الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu (pilar atau fondasi). Misalnya arkân al-ka’bah:  yakni tempat pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).
Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefardhuan) dalam Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak penegakkan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kâffah), dimana takkan sempurna penegakkan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakkan sistem persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
b. Penyandingan Ikatan Al-Hukm dengan Al-Shalât
Shalat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang status hukumnya fardhu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan shalat, menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardhu untuk ditegakkan sebagaimana ibadah shalat.
Menguatkan pendalilan di atas, Syaikh Abdullah al-Dumaiji lalu menguatkannya dengan hadits yang mengandung perintah berpegang teguh pada sunnah Rasulullah ﷺ dan al-khulafâ’ al-râsyidîn, dari Al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Pesan mendalam yang mulia Rasulullah ﷺ dalam hadits yang agung ini, digambarkan dalam bentuk kalimat balaghiyyah: al-isti’ârah al-tamtsîliyyah, dimana Rasulullah ﷺ meminjam ungkapan “عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”, gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, untuk menggambarkan konsistensi berpegang teguh terhadap sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullah ﷺ dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, sebagaimana digambarkan oleh Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H).
Lafal al-khulafâ’ adalah jamak dari kata khalifah, menunjukkan cakupan sunnah dalam membangun kehidupan umat di atas landasan Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menguraikan:
إنما وصف الخلفاء بـ “الراشدين”؛ لأنهم عرفوا الحقّ، وقَضَوا به، فالراشد ضد الغاوي، والغاوي من عرف الحق وعمل بخلافه، وقوله: “المهديين” يعني أن الله يَهديهم للحق، ولا يُضلهم عنه
Penyifatan al-khulafâ’ dengan sifat al-râsyidîn, karena mereka mengetahui kebenaran, dan menghukumi manusia dengannya, karena lafal al-rasyid adalah antonim dari al-ghâwi. Istilah al-ghâwi yakni orang yang mengetahui kebenaran namun amal perbuatannya bertolak belakang dengannya. Sabda baginda ﷺ al-mahdiyyîn, yakni bahwa Allah Swt menunjuki mereka pada jalan kebenaran, tidak tersesat darinya.
Dalam hal ini, Ibn Rajab, mencirikan kaum yang disebut al-rasyidin adalah mereka yang mendapatkan petunjuk dan mampu mengamalkannya -wa biLlâhi al-taufîq-.  Salah satu sunnah (jalan) para al-khulafâ’ al-râsyidûn, digambarkan oleh Syaikh Abdullah al-Dumaiji: Telah diriwayatkan secara mutawatir dari sikap para sahabat, bahwa mereka membai’at Abu Bakar r.a. memegang kekhilafahan setelah baginda Rasulullah ﷺ kembali keharibaan-Nya, kemudian Abu Bakar mengangkat Umar bin al-Khaththab r.a. sebagai penggantinya, kemudian ’Umar mengangkat penggantinya satu dari enam orang yang terpilih (menjadi bakal calon khalifah) yakni ’Utsman bin ’Affan r.a., kemudian pasca syahidnya ’Utsman r.a., para sahabat membai’at ’Ali r.a. pemegang tampuk kekhilafahan. Ini merupakan sunnah mereka –radhiyaLlâhu ’anhum- dalam menegakkan kekhilafahan, dan tidak ada (dari mereka) sikap mengabaikan pengangkatan Khalifah, maka wajib hukumnya meniti jalan mereka dalam perkara tersebut, berdasarkan perintah Nabi ﷺ.
Diperjelas hadits-hadits lainnya yang menunjukkan wajibnya keta’atan kepada penguasa dalam perkara yang tidak ada kemaksiatan di dalamnya; hadits-hadits bai’at berikut perintah Rasulullah ﷺ untuk mencukupkan diri dengan bai’at pertama dan pertama; keharaman memisahkan diri dari para penguasa Muslim; dan anjuran untuk memenggal kepada orang yang datang menyelisihi Imam yang haq (sah secara syar’i). Seluruh hadits-hadits ini, berkonsekuensi pada wajibnya keberadaan penguasa muslim, hal ini menunjukkan pada kewajiban mengangkat Khalifah, waLlâhu a’lam bi al-shawâb.

DIALOG HIZBUT TAHRIR INDONESIA DENGAN KEDUBES JERMAN

DIALOG HIZBUT TAHRIR INDONESIA
DENGAN KEDUBES JERMAN

(Sebuah diskusi yang menarik dan sangat inspiratif antara Ust Ismail Yusanto dengan Kedubes Jerman. Pernah dimuat di majalah Al-waie).

Kedutaan Besar Jerman baru-baru mengundang Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia untuk sebuah dialog. Hadir dalam acara yang diadakan pada hari Rabu, 4 Juni 2003 jam 16.30 sampai 18.00 di Hotel Mandarin Jakarta itu Duta Besar Jerman untuk RI, Dr. Gerhard Fulda, Dr. Gunter Mulack (Botschafter Beauftragter fur Islam – Dialog, Dialog der Kulturen), Irja Berg (First Secretary Political Affair,) dan Lantip Prakoso Kusmanhadji yang menjabat sebagai Seksi Politik dan Protokoler Kedubes Jerman. Sementara itu, dalam dialog tersebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) diwakili oleh juru bicaranya, Islamil Yusanto, yang didampingi oleh Farid Wajdi. Berikut petikan dialog kedua belah pihak.
Gerhard Fulda: Apa arti dari Hizbut Tahrir? Mengapa Anda menamakan ini?
Jubir HTI: Tahrîr artinya pembebasan. Jadi, Hizbut Tahrir artinya Partai Pembebasan. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, Dunia Islam dewasa ini dalam keadaan terjajah baik secara langsung seperti yang tengah dialami oleh Irak saat ini maupun secara tidak langsung oleh negara-negara besar Barat. Hizbut Tahrir datang untuk membebaskan umat Islam dari penjajahan itu dengan cara menegakkan kehidupan Islam melalui Khilafah Islamiyah.
(Dialog selanjutnya lebih banyak terjadi antara Dr. Gunter Mulack yang ternyata sangat fasih berbahasa Arab dengan Jubir HTI. Gunter Mulack diperkenalkan sebagai ahli Islam yang diutus secara khusus untuk melakukan dialog dengan sejumlah tokoh dan kelompok Islam di Indonesia. Sebelumnya, Lantip Prakoso menjelaskan bahwa pertemuan yang sama akan dilakukan dengan beberapa kelompok lainnya. Sebelum ini mereka sudah bertemu dengan Muhammadiyah, NU, dan juga kelompok Ulil [Jaringan Islam Liberal]. Selanjutnya mereka berencana akan bertemu dengan Majelis Mujahidin di Solo. Berikut ini transkrip dialog yang terjadi, terutama antara Jubir HTI dan Gunter Mulack, ditambah dengan penjelasan Pak Lantip).
Gunter Mulack: Saya tahu, Hizbut Tahrir bersifat internasional; selain di Timur Tengah juga terdapat di Eropa, terutama London. Kami melarang Hizbut Tahrir (langsung ditukas oleh Jubir untuk minta penjelasan) karena mereka melanggar hukum. Hizbut Tahrir diketahui telah menyerukan peperangan terhadap Israel dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi. Menurut konstitusi Jerman, tindakan ini termasuk melanggar hukum.
Jubir HTI: Tapi itu yang dimaksud kan di Palestina, bukan Jerman; untuk konteks Palestina dimana di sana Israel memang terus membunuhi rakyat Paletina. Lagi pula, katakanlah Hizbut Tahrir Jerman benar menyerukan seperti itu, itu kan hanya seruan, ucapan; sementara Anda lihat sendiri, di Palestina, Israel bukan hanya ngomong tapi benar-benar secara nyata membunuhi rakyat Palestina.
Gunter Mulack: Ya, tetap saja di negara kami ucapan itu melanggar hukum.
Jubir: Apakah itu sifatnya sementara atau permanen?
(Gunter Mulack tidak menjawab. Gunter Mulack hanya memaparakan pengetahuannya tentang Hizbut Tahrir yang bertujuan menegakkan kembali Daulah Khilafah Islam. Gunter Mulack mengkritik gagasan ini).
Gunter Mulack: Dengan ide itu Anda berarti ingin mengajak masyarakat mundur ke belakang. Bukankah seharusnya Anda mengajak ke depan? Juga, apakah sistem ini, di tengah arus globalisasi, tetap relevan?
Jubir HTI: Gagasan penerapan syariah dan penegakan Khilafah berlandaskan al-Quran dan al-Hadits. Keduanya memang berasal dari masa lampau. Tapi tidak berarti kita hendak mengajak masyarakat kembali hidup seperti di masa lalu. Yang kami serukan adalah ide yang landasannya berupa wahyu yang diturunkan kepada Nabi di masa lalu. Kami yakin ide ini tetap relevan di sepanjang masa. Lagi pula, ide ini sesungguhnya tidaklah baru, karena pernah ada di masa lalu. Apalagi dengan adanya kecenderungan globalisasi. Ke depan, negara-bangsa, sebagaimana dirasakan oleh negara-negara Eropa yang kemudian membentuk Uni Eropa, makin tidak mampu menghadapi tantangan perkembangan. Justru Khilafahlah yang akan mampu menjawab tantangan global. Jadi, ide ini juga relevan secara empirik.
(Ditambahkan oleh Farid Wajdi): Lagi pula, menurut kami, baik buruknya sebuah gagasan bukanlah dilihat dari apakah itu berasal di masa lalu atau tidak, tapi dari kemampuannya menyelesaikan problematika kehidupan. Demokrasi yang Anda anut, sebagai contoh, bahkan berasal dari pemikiran yang lebih lampau di banding Islam. Mengapa Anda anut?
(Dijelaskan pula bahwa Islam membedakan antara sains teknologi dengan pem ikiran [tsaqaâfah]. Berkaitan dengan sains/teknologi Islam tidak melarang kaum Muslim untuk mengambilnya dari manapun, bahkan Islam menekankan kepada umatnya untuk menguasai ilmu dan teknologi semaksimal mungkin. Kembali ke Islam bukan berarti kembali menggunakan unta. Boleh saja menggunakan pesawat canggih. Beda dengan tsaqâfah, karena memuat pandangan hidup tertentu; Islam hanya membolehkan tsaqofah Islam. Penjelasan terakhir ini kelihatannya benar-benar jitu, sehingga mereka tidak lagi memasalahkan tentang “masa lampau”- nya Islam).
(Mr. Fulda ikut nimbrung): Sekarang tentang syariah. Apakah dalam syariah yang Anda maksud, orang-orang non-Muslim juga harus tunduk?
Jubir HTI: Syariah bisa dibagi menjadi dua, privat dan publik. Untuk masalah privat, non-Muslim tidak wajib mengikuti syariah. Mereka tidak dipaksa masuk Islam. Mereka bebas makan, minum, beribadah, dan berpakaian yang menurut mereka baik. Sementara dalam masalah publik; menyangkut ekonomi, politik pemerintahan, sosial budaya, pendidikan, dan hukuman, mereka harus tunduk pada syariah.
(Ditambahkan Farid): Sudah merupakan sifat alami dari sebuah negara untuk menerapkan hukum yang satu (sama) bagi setiap warganya dalam sektor publik.
Gunter Mulack: Kalau mereka berzina, apakah akan dihukum rajam?
Jubir HTI: Ya. Di masa lampau, Nabi juga pernah merajam orang Yahudi.
Gunter Mulack: Ya, tapi itu kan hanya sekali. Cukupkah itu menjadi dasar? Kalau Anda ingin menerapkan syariah, syariah yang mana; mengingat Islam itu banyak versi, banyak mazhab dan sebagainya.
Jubir HTI: Itu tidak menjadi soal. Yang penting Islam. Betul, memang ada banyak versi pemahaman mengenai hukum syariah dalam Islam. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menetapkan bahwa kesatuan hukum itu hanya untuk masalah publik dan yang menyangkut kemaslahatan bersama. Ketika di tengah masyarakat terdapat banyak pendapat tentang hukum, Khalifah, sesuai kaidah amr al-imâm yarfa‘u al-khilâf, akan menetapkan hukum mana yang akan ditetapkan sebagai hukum negara. Sementara, dalam masalah privat, misalnya dalam masalah shalat, Hizbut Tahrir tidak mewajibkan umat harus satu cara. Umat boleh berbeda-beda, yang penting shalat.
Gunter Mulack: Bagaimana syariat Islam bisa diterapkan di Indonesia yang plural, heterogen, terdiri dari berbagai agama dan suku?
Jubir HTI: Secara statistik, Indonesia dengan sekitar 85% Muslim adalah homogen, bukan heterogen. Jadi, tidak ada alasan menolak syariah dengan alasan pluralitas. Bahkan sebaliknya, syariah itu sesuai dengan agama mayoritas penduduk negeri ini.
Gunter Mulack: Ya, tapi kan tidak semua mereka beragama, maksudnya pemahaman Islamnya seperti Anda?
Jubir HTI: Ya, justru itulah, menjadi tugas kami untuk meningkatkan pemahaman Islam mereka, termasuk meningkatkan pengertiannya tentang syariah. Lebih dari 30 tahun, kami di sini tidak boleh berbicara tentang syariah. Baru sekaranglah, setelah era reformasi, peluang itu terbuka. Sejauh saya berbicara di berbagi forum di berbagai tempat, mereka bisa menerima, tuh?
Gunter Mulack: Apakah Anda akan melarang wanita bekerja, belajar, dan mengendarai mobil?
Jubir HTI: Kami tidak melarang wanita bekerja, meski kami mengingatkan bahwa tugas utama mereka adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kami juga tidak melarang wanita belajar, karena itu kewajiban setiap Muslim. Secara syar‘î, wanita juga boleh menyetir mobil sendiri.
(Terhadap jawaban terakhir, mereka semua tampak terperanjat, kaget, lalu berseru): Wah, Anda berpandangan lebih maju dari Saudi dan Taliban.
(Selanjutnya mereka bertanya tentang pandangan Hizbut Tahrir di seputar demokrasi, pemilu, dan sistem sekulr. Berkaitan dengan pemilu, Gunter Mulack menanyakan apakah benar Hizbut Tahrir tidak ikut pemilu karena sistem sekarang adalah sekular?)
Gunter Mulack: Jadi, Anda hanya ikut pemilu dalam sistem ideal Anda?
Jubir HTI (menjawab dengan diplomatis): Bukan Hizbut Tahrir yang mencegah ikut pemilu, tapi sistem sekular itu sendiri. Seandainya sistem sekular itu membolehkan secara bebas Hizbut Tahrir mengkritik sistem sekular dan bebas untuk mengganti sistem sekular lewat pemilu, Hizbut Tahrir boleh saja mengikuti pemilu. Tapi, apakah demokrasi membolehkan hal tersebut.
(Jubir HTI juga secara retoris mempertanyakan kejujuran dan ke-‘fair’-an sistem demokrasi yang diterapkan Barat sekarang. Jubir HTI mengatakan, kalau jujur dan fair, dalam demokrasi yang katanya mengikuti suara mayoritas seharusnya tidak ada larangan-larangan bagi kelompok Islam yang secara damai menyampaikan pendapatnya dan mengajak masyarakat secara terbuka kepada Islam. Jubir HTI bertanya, “Mengapa yang terjadi tidak seperti itu?” “Terbukti di beberapa negara seperti di Turki dan Aljazair, gerakan Islam dilarang. FIS yang menang dalam pemilu, diberangus secara tidak fair,” lanjut Jubir HTI. Jubir HTI juga menjelaskan apa yang diderita Hizbut Tahrir di beberapa negara: Di Timur Tengah, Asia Tengah, dan di sejumlah negara lain, Hizbut Tahrir dilarang berjuang dengan damai, tanpa kekerasaan. Bila ketidakjujuran dan ketidakfairan terus berlanjut, maka jangan salahkan bila dunia Islam semakin tidak menyukai Barat. Jubir HTI meminta Mulack untuk menyampaikan soal ini kepada pemimpin negara Barat.
Sementara itu, Farid menambahkan, mengapa di Jerman dilarang, bukankah Hizbut Tahrir telah menjelaskan bahwa perjuangannya tanpa kekerasaan. Hizbut Tahrir tidak pernah menyerukan pembunuhan terhadap orang Yahudi. Hizbut Tahrir juga bukan rasialis [anti semit]. Hizbut Tahrir hanya menyerukan perlawanan terhadap penjajahan Israel di Palestina yang memang harus dilawan dengan senjata. Sebab, Israel juga menggunakan senjata untuk menghancurkan rakyat Palestina.
Pembicaraan juga menyinggung tentang sikap Hizbut Tahrir terhadap investasi asing. Mereka juga mengkhawatirkan, investor asing bakal keluar bila syariat Islam diterapkan).
Gunter Mulack: Apakah Anda akan mengusir investasi asing?
Jubir HTI: Mengapa Anda mengatakan bahwa kami akan mengusir investasi asing? Sepanjang sesuai dengan syariah, kami tidak keberatan dengan investasi asing. Ingat, investasi asing sangat ditentukan oleh penegakan hukum yang baik, minimnya korupsi, ketersediaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia yang mencukupi, keamanan dan regulasi yang bagus, serta iklim yang kondusif. Dengan syariah, kami yakin semua itu bisa dipenuhi. Oleh karena itu, tidak ada sama sekali yang perlu dikhawatirkan dari penerapan syariah karena justru dengan syariah korupsi bisa dihapuskan, keamanan terjamin, regulasi terjaga, sumberdaya manusia bagus, dan iklim juga akhirnya kondusif untuk investasi termasuk investasi asing.
(Pembicaraan kembali ke topik di dalam negeri Indonesia. Menurut Gunter Mulack, kondisi Indonesia dengan sistem yang ada adalah yang terbaik. Masyarakat di sini dari berbagai agama bisa hidup dengan penuh toleransi. Ia mempertanyakan, apa perlunya Hizbut Tahrir berjuang untuk penerapan syariah?)
(Dijawab oleh Jubir HTI): Itu kan menurut Anda, bahwa sistem yang ada di Indonesia sudah baik. Kalau benar sudah baik, pasti kami di sini tidak akan mengalami krisis dan berbagai persoalan yang ada. Dalam pandangan Islam, banyak sekali hal di sini yang tidak sesuai dengan syariah. Misalnya, terakhir kita menghadapi kontroversi menyangkut pornografi. Tidak bisa diselesaikan karena tidak ditemukan definisi yang definit tentang apa itu pornografi. Bila kembali pada syariah, dengan mudah pornografi itu didefinisikan, yakni bahwa setiap penampakan aurat adalah pornografi. Kalau hanya toleransi, Islam juga bisa memberikan. Dalam sejarah, ketika Islam berkuasa, misalnya di Spanyol hidup damai pemeluk agama selain Islam hingga Spanyol disebut Espanol in Three Religions.
Gunter Mulack: Tapi, dengan begitu kan Anda akan memaksa orang non-Muslim mengikuti syariah?
Jubir HTI: Ya, mengapa tidak. Dalam sektor publik, negara manapun pasti akan memaksa masyarakat yang hidup di dalamnya mengikuti sistem yang ada. Tadi Anda bilang, bahwa sistem yang ada sekarang sudah cukup toleran. Toleran bagaimana? Sekarang ini, kami dipaksa mengikuti sistem sekular yang bertentangan dengan Islam dan kami dipaksa pula untuk meninggalkan syariah. Bagaimana disebut toleran? Kami juga tidak pernah ditanya, apakah setuju dengan sistem ini atau tidak.
(Pembicaraan lantas melompat ke persoalan mungkin tidaknya sistem Khilafah kembali ditegakkan. Gunter Mulack mengatakan bahwa sistem itu utopis).
Jubir HTI: Utopis tidak, sulit iya. Kami menyadari bahwa perlu waktu, tenaga, dan upaya yang sangat besar untuk menegakkan kembalil Khilafah. Sulit, tapi bukan utopis, karena utopis itu artinya impossible (mustahil).
(Jubir kemudian menceritakan bagaimana dulu orang mengira tidak mungkin Uni Soviet jatuh atau Jerman akan bersatu kembali. Tapi ternyata, Soviet bisa jatuh dan Jerman bisa bersatu).
Jubir HTI: Pernahkan Anda membayangkan dua Jerman bakal bersatu?
Gunter Mulack: Ya, dan sejak dulu saya percaya dan yakin bahwa Jerman akan bersatu kembali.
Jubir HTI: Ya, apa bedanya dengan kami? Kami juga yakin dan percaya, Khilafah Islam akan tegak kembali.
Gunter Mulack (sambil tertawa): Yes, yes, yes….

(Dialog diakhiri. Mereka menyatakan senang bisa berdialog dengan Hizbut Tahrir Indonesia).

Saturday, July 27, 2019

Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?


Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?

Terakhir A.Biyadi pada majalah Ijtihad PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31 pada hal 11 mengatakan ;
Walhasil, konsep khilafah Hizbut Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlussunah. Ahlussunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi lebih longgar. Dengan khilafiyah furu'iyah yang beragam dapat menjadi solusi jika memang realita yang ada tidak memungkinkan.
Terlepas dari itu semua, coba anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan akidah mereka. Maka bisa jadi setelah khilafah tegak, mereka akan menekan umat yang tidak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Ahlussunah hakekatnya adalah jabariyah [asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, 53-54]. Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk merealisasikan ajaran Islam secara sempurna. Namun yang jelas kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlussunah. Dengan akidah Ahlussunah dan tentu saja dengan cara yang sesuai dengan Ahlussunah. Wallahu A'lam". A.Biyadi

MEMBONGKAR PAT :

Konsep khilafah Hizbut Tahrir lebih kaku dari konsep Aswaja?

Dari gaya kesimpulannya yang provokatif seperti itu, saya bisa mengasumsikan bahwa A.Biyadi telah terkontaminasi oleh virus liberal dari seniornya, yaitu M Idrus Ramli atau dari seseorang yang namanya saya rahasiakan, karena ia lebih memilih beraksi di balik layar. Atau seperti sebelumnya, yaitu bahwa penulis sebenarnya adalah M Idrus Ramli.

Terkait konsep khilafah Hizbut Tahrir yang katanya kaku, dan konsep Ahlussunah yang katanya longgar. Ini adalah dikotomi yang menyesatkan. Karena konsep khilafah Hizbut Tahrir adalah konsep yang lurus sesuai doanya yang terus menerus dipanjatkan kepada-Nya, yaitu;

اهدنا الصراط المستقيم، صراط الذين أنعمت عليهم، غير المغضوب عليهم ولا الضالين.
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".

Dalam at-Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi Banten, jalan yang lurus adalah agama Islam, sedang orang-orang yang diberi nikmat adalah nabiyun [para nabi], shidiqun [orang-orang yang jujur dalam keimanannya], syuhada [orang-orang yang mati syahid] dan shalihun [orang-orang saleh].

Dan dalam Tafsir Jalalain, mereka yang dimurkai adalah orang Yahudi, dan mereka yang sesat adalah orang Nasrani. Dan dalam at-Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi Banten, mereka yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi atau orang-orang kafir, sedang mereka yang sesat adalah orang-orang Nasrani atau orang-orang munafik.

Dan sesuai firman-Nya;
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون. {فصلت: 30}.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka lurus, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". TQS Fushilat ayat 30.

Dan sesuai perintah Rasul-Nya;
قل آمنت بالله ثم استقم. رواه مسلم عن أبي عمرو وقيل أبي عمرة سفيان بن عبد الله.
"Berkatalah; "Aku beriman kepada Allah", kemudian luruslah".

Jadi konsep khilafah Hizbut Tahrir adalah konsep [Islam] yang lurus, yang diambil dari konsep Nabi SAW dan para sahabatnya, karena shidiqun, syuhada dan shalihun, semuanya itu ada pada shahabat. Bukan konsep yang bengkong dan berbelok-belok atau berliku-liku. Karena konsep yang bengkong dan berbelok-belok atau berliku-liku itu diambil dari kaum Yahudi dan Nasrani atau dari kaum kuffar dan munafiqun.

Paktanya juga demikian, kelompok yang diklaim oleh A.Biyadi sebagai Aswaja, mereka mengambil konsep demokrasi, HAM dan seterusnya dari peradaban Barat yang nota bene adalah kaum Yahudi dan Nasrani, juga mengambilnya dari kaum nasionalis sekular yang munafik.

A.Biyadi belum menyadari, atau pura-pura bodoh, atau sengaja merekayasa, berbohong, memitnah dan memprovokasi, bahwa akidah Hizbut Tahrir adalah Akidah Islam, yaitu Rukun Iman yang enam, bukan lima. Bukan akidah Muktazilah seperti tertulis di tengah-tengah tulisannya (pada majalah Ijtihad). Hukum menolak dan mengingkari akidah Hizbut Tahrir itu sama dengan menolak dan mengingkari Akidah Islam, yaitu murtad atau kafir. Maka hendaknya orang seperti A.Biyadi jangan mau dijerumuskan oleh orang seperti M Idrus Ramli.

Sedangkan terkait kritik Syaikh Taqiyyuddin terhadap Ahlussunah, seperti telah saya kemukakan di atas, adalah kritik terhadap Ahlussunah Mutakallimin, bukan Ahlussunah secara keseluruhan atau Ahlussunnah ala Rasulullah saw. Dan kritik tersebut hanya menyangkut masalah yang sangat sepele yang tidak layak disebut sebagai akidah, karena tidak memiliki dalil yang qath'iy, yaitu kritik terkait teori kasbu sebagai solusi mutakallimin terkait masalah qadha dan qadar yang datang dari peradaban Yunani, maka saya katakan tidak layak menjadi akidah. Bukan masalah qadha atau qadar yang tersebut dalam hadis Jibril atau yang datang dari Islam.

A.Biyadi juga belum menyadari bahwa kita kaum muslim di seluruh negeri-negeri Islam, termasuk yang mengklaim atau diklaim sebagai Aswaja, sedang dipaksa untuk meyakini akidah sekularisme dan mempraktekkan syariat yang memancar dari ideologi kapitalisme, yaitu syariat demokrasi dan HAM, bukan syariat Aswaja yang katanya longgar.

Terakhir, A.Biyadi juga belum menyadari bahwa usaha merealisasikan ajaran Islam secara sempurna itu mustahil bisa terwujud tanpa lebih dahulu menegakkan Daulah Khilafah Ala Minhajin Nubuwah atau Daulah Khilafah Rasyidah Mahdiyyah.
(Abulwafa Romli)

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

Definisi Daarul Islam Hizbut Tahrih Tidak Tepat?

A.Biyadi (Idrus Ramli) dan orang-orang yang seideologi dengannya mengatakan ;

"Ketiga, tentang Darul Islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut Tahrir, hal 5, "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Juga pada hal 29 dan Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8, "Dan di neger
i-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Menurut Imam ar-Rafi'I dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan syafi'iyyah, darul-Islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukim para muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukkan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir. Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir daerah itu tetap disebut darul-Islam".
(Majalah Ijtihad PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 12).

MEMBONGKAR PAT :

Definisi Negara Islam yang mengambang mengakibatkan langkah dakwah yang tidak jelas.

Terdapat kesalahan yang patal pada perkataan A.Biyadi ketika mengutip dan menerjemahkan redaksi dari kitab Hizbut Tahrir hal 5. Padahal redaksi dan terjemahannya yang tepat demikian;

والمسلمون مند أن قضي على دولة الخلافة في الحرب العالمية الأولى يعيشون بدون دولة إسلامية وبدون الحكم بالإسلام .......
"Kaum muslim sejak Daulah Khilafah dihancurkan pada Perang Dunia II, mereka hidup dengan tanpa Negara Islam, dan dengan tanpa pemerintahan Islam…..".
Lalu oleh A.Biyadi disimpulkan menjadi; "Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam". Negara Islam menjadi Daerah Islam, dan Pemerintahan Islam menjadi Hukum Islam. Sehingga pembaca Majalah Ijtihad menuduh Hizbut Tahrir itu ngawur, karena Pasuruan adalah daerah Islam dan hukum-hukum Islam terkait ubudiyah mahdhah juga diterapkan oleh masyarakatnya. Mungkin ini tujuan dari rekayasa A.Biyadi.

Juga kesalahan seperti itu dalam menyimpulkan redaksi dari kitab Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5 dan 8 sehingga menerjemahnya juga keliru. Padahal redaksi aslinya demikian;

وبهذا يتضح أن جميع البلاد الإسلامية اليوم لا يتحقق فيها شرط حكم الإسلام، وإن كان أمان غالبيتها العظمى بأمان المسلمين وسلطانهم. لذلك فإنها مع الأسف لا تعتبر دار الإسلام، بالرغم من أنها بلاد إسلامية، وبالرغم من أن أهلها مسلمون. إذ العبرة في الدار بالأحكام والأمان، ليس بالبلد والسكان.
"Dengan ini menjadi jelas bahwa semua negeri Islam, saat ini, tidak terwujud padanya syarat pemerintahan Islam, meskipun keamanan mayoritasnya adalah dengan keamanan dan kekuasaan kaum muslim. Oleh karena itu, dengan sangat mengecewakan, tidak dinilai Negara Islam, meskipun termasuk negeri-negeri Islam, dan meskipun penduduknya terdiri dari kaum muslim. Karena penilaian terkait status Negara itu dengan hukum dan keamanan, bukan dengan negeri dan penduduk". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 5].

ومن جميع ما تقدم يتضح أن المسلمين في جميع البلاد الإسلامية، بالرغم من كونهم مسلمين فإنهم يعيشون في مجتمع غير إسلامي، وإن بلاد الإسلام التي يعيشون فيها ليست دار إسلام.
"Dan dari semua keterangan di atas, menjadi jelas bahwa kaum muslim di semua negeri-negeri Islam, meskipun status mereka adalah kaum muslim, maka mereka hidup di dalam masyarakat yang tidak Islam. Dan bahwa negeri-negeri Islam di mana mereka hidup di dalamnya itu bukan Negara Islam". [Manhaj Hizbit Tahrir, hal 8].

Lalu disimpulkan oleh A.Biyadi menjadi ; "Dan di negeri-negeri kaum muslimin sakarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin".

Jadi bagaimana A.Biyadi bisa menyalahkan Hizbut Tahrir, sedang ia sendiri tidak dapat memahami istilah dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir.

Sesungguhnya Hizbut Tahrir telah membedakan konotasi dari term ad-Dar [Negara] dan al-Balad [negeri], dan konotasi al-Hukm [hukum] dalam bab shalat dll. dan al-Hukm [pemerintahan] dalam pembahasan politik. Sebagai contohnya adalah Indonesia, dalam pandangan Hizbut Tahrir termasuk Negara Kufur [Darul Kufri], tetapi termasuk Negeri Islam [Min Biladil Islamiyyah]. Jadi negara itu tidak sama dengan negeri.

Terkait dengan definisi Negara sebenarnya Hizbut Tahrir telah mengadopsi definisi unggul yang tidak memiliki kelemahan dibanding definisi yang lain. Karena di samping hasil kajian yang mendalam dari pakta Negara Islam pada masa Nabi SAW dan masa al-Khulafa ar-Rasyidin, juga didukung dalil-dalil syar'iy yang sangat kuat dan akurat. Juga sebagai penyempurna bagi semua definisi yang telah dikemukakan oleh berbagai lapisan ulama mujtahid dan muqallid, bahkan bisa dikatakan sebagai gabungan dari semua definisi tersebut. Inilah kehebatan Hizbut Tahrir. Bagi yang berminat untuk mengecek kebenaran pendapat saya, monggo membaca secara keseluruhan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang terkait dengan pembahasan ini, seperti kitab Manhaj Hizbit Tahrir yang disebut di atas dll. Lebih sempurna lagi monggo membaca al-Wa'ie, edisi 34, Juni 2003, dan kitab al-Jihad Wa al-Qital, karya M. Khair Haikal. Karena terlalu panjang ketika saya membahasnya di sini, kecuali definisi Negara bagi Hizbut Tahrir yang harus diketahui oleh pembaca sebagai berikut;

أما دار الإسلام في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الإسلام، ويكون أمانها بأمان الإسلام، أي بسلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من غير المسلمين.
وأما دار الكفر في الإصطلاح الشرعي، فهي الدار التي يحكم فيها بأحكام الكفر، ويكون أمانها بغير أمان الإسلام، أي بغير سلطان المسلمين وأمانهم، في الداخل والخارج، ولو كان أكثر أهلها من المسلمين.
فالعبرة في الدار من كونها دار إسلام أو دار كفر ليس بالبلد ولا بالسكان، وإنما بالأحكام وبالأمان. فإن كانت أحكامها أحكام الإسلام، وأمانها بأمان المسلمين فهي دار إسلام، وإن كانت أحكامها أحكام كفر، وأمانها بغير أمان المسلمين فهي دار كفر أو دار حرب. {منهج حزب التحرير في التغيير}.
Adapun Negara Islam dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, dan keamanannya adalah dengan keamanan Islam, yakni dengan kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang non muslim.
Adapun Negara kufur dalam terminologi syara' ialah Negara yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum kufur, dan keamanannya adalah dengan selain keamanan Islam, yakni dengan selain kekuasaan dan keamanan kaum muslim, di dalam dan di luar negeri, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslim.
Jadi penilaian terkait status Negara sebagai Negara Islam atau negara kufur itu bukan dengan negeri dan bukan pula dengan penduduk[nya], tetapi hanya dengan hukum-hukum dan keamanan[nya]. Maka apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum Islam, dan keamanannya dengan keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara Islam. Dan apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum kufur, dan keamanannya dengan selain keamanan kaum muslim, maka ia adalah Negara kufur atau Negara perang. [Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir].

Jadi definisi sebuah Negara itu harus jami' dan mani', atau kamil dan syamil, tidak mengambang dan asal-asalan, karena untuk menentukan langkah dakwah kedepan, tidak kebelakang. Definisi Negara yang mengambang dan asal-asalan akan menjadikan dakwah yang mengambang dan asal-asalan juga, bahkan dapat menjadikan dakwah mundur kebelakang, yakni menuju kekondisi jahiliyah, tidak maju kedepan, yakni kekondisi islami. Sebagai contohnya adalah definisi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam.

Akibat definisi ini, terjadi penolakan terhadap dakwah menuju tegaknya Negara Islam yang benar, yaitu Khilafah. Alasannya, karena dianggap sebagai tahshilul hashil atau mematangkan perkara yang sudah matang, maka akibatnya menjadi rusak atau hangus. Padahal penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muslim, keadaan mereka semakin hari semakin rusak, akibat tidak diterapkannya hukum-hukum syariat Islam yang berhubungan dengan kehidupan, bermasyarakat dan bernegara.

Sedangkan hukum-hukum syariat Islam itu mustahil dapat diterapkan secara kaffah, kecuali oleh Negara Islam yang benar, yaitu Negara Islam yang tabiatnya adalah untuk menampung menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan tabiat ini adalah indikasi untuk menentukan bahwa Negara itu adalah Negara Islam.

Sedangkan fakta Negara Indonesia sama sekali tidak memiliki indikasi sedikitpun sebagai Negara Islam, karena tidak ada kesediaan menampung penerapan hukum-hukum Islam secara total. Dengan kata lain, Islam itu rahmatan lil alamin, yakni hukum-hukum Islam itu diperuntukkan untuk mengatur seluruh alam semesta. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah institusi yang bisa menampung hukum-hukum Islam yang kaffah itu. Laksana kompetisi sepak bola dunia. Ini membutuhkan lapangan yang bisa menampungnya, yaitu lapangan sepak bola yang bertarap Internasional. Bukan yang bertarap nasional atau lapangan poli.

Dengan demikian, sistem pemerintahan yang ada didunia saat ini, baik monarki Arab Saudi atau demokrasi dengan segala macamnya, semuanya tidak dapat menampung penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah. Sedangkan sebagian hukum Islam yang diterapkan seperti hukum perkawinan Islam bagi orang Islam, maka di Amerika juga diterapkan. Maka satu-satunya jalan untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara total di Indonesia ini adalah dengan merobah bentuk negaranya menjadi Negara Islam, Khilafah Rasyidah. Dan ini harus dimulai dari pendefinisian Negara Islam yang jami' dan mani', atau yang kamil dan syamil, tidak yang mengambang dan asal-asalan. Maka definisi Negara Islam oleh Hizbut Tahrir benar-benar telah memenuhi criteria tersebut.
(Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

KH Masduqi Mahfudz sebagai Dewan Syura PWNU Jawa Timur, ketika ditanya wartawan Ijtihad;
"Bagaimana pandangan kiai tentang Hizbut Tahrir?".
Beliau
menjawab ;
"Hizbut Tahrir ini kan pecahan dari Muktazilah yang sangat mendewakan akal. Orang NU yang ikut Hizbut Tahrir itu namanya kesasar".
(Majalah Ijtihad, PP Sidogiri Pasuruan Jatim, edisi 31, hal 17).

MEMBONGKAR PAT:
Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang sangat mendewakan akal?

Terkait Hizbut Tahrir pecahan Muktazilah yang mendewakan akal, ini adalah tuduhan miring yang jauh panggang dari api. Andai saja KH Masduqi Mahfudz membaca kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, terkait akidah secara keseluruhan, maka di sana justru Syakh Taqiyyuddin an-Nabhani mengkritik dengan sangat pedas terhadap kesalahan manhaj mutakallimin yang sangat mendewakan akal. Berikut adalah sebagian perkataan beliau;

"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Ketiga; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu memberikan kepada akal kebebasan meneliti pada segala sesuatu, baik yang tersentuh indra maupun yang tidak tersentuh indra. Secara otomatis manhaj ini mendorong akal meneliti suatu perkara yang tidak dapat dihukumi, meneliti pada sejumlah hipotesa dan imajinasi, dan menegakkan burhan atas gambaran perkara semata, yang bisa ada dan bisa pula tidak ada.
Ini dapat memungkinkan pengingkaran terhadap perkara yang ada secara pasti, ketika ada seseorang yang kami meyakini kebenaran khabarnya menyampaikan khabar kepada kami terkait perkara itu, tetapi akal tidak dapat memahaminya.
Dan dapat memungkinkan pengimanan kepada perkara Khayalan yang tidak memiliki eksistensi, tetapi akal mengimajinasikan keberadaannya. Sebagai contohnya, mereka membahas zat dan shifat Allah. Lalu di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu intinya maushuf", dan di antara mereka ada yang berkata; "Shifat itu bukan maushuf". Dan mereka berkata; "'Ilmu Allah adalah tersingkapnya ma'lum [perkara yang diketahui] sesuai keadaan sebenarnya. Sedangkan ma'lum itu berubah dari waktu kewaktu, sebagaimana daun pohoh itu jatuh setelah sebelumnya tidak jatuh. Allah SWT berfirman; wama tasqutu min waroqatin illa ya'lamuha [dan tidaklah sehelai daun jatuh kecuali Dia mengetahuinya].
Ilmu Allah itu tersingkap dengannya sesuatu sesuai kondisi sebenarnya. Maka Allah mengetahui sesuatu sebelum ia ada sesuai kondisinya yang ia akan ada, mengetahui sesuatu ketika telah ada sesuai kondisinya yang ia telah ada, dan mengetahui sesuatu ketika tidak ada sesuai kondisinya yang ia tidak ada". Bagaimana bisa, 'ilmu Allah berubah mengikuti perubahan perkara yang maujud? Dan ilmu yang berubah mengikuti perubahan perkara yang baru adalah ilmu yang baru. Sedangkan Allah itu tidak berdiri dengan-Nya perkara baru, karena sesuatu yang berkaitan dengannya perkara baru adalah baru………".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Perkataan ini telah digambarkan oleh para peneliti dan mereka memperkirakannya padahal tidak memiliki realita yang terindra. Akan tetapi mereka memberikan kepada akal kebebasan meneliti, lalu akal meneliti perkara ini dan menemukan gambar dihadapannya. Lalu mereka mewajibkan iman kepada perkara yang telah digambarkannya, dan mengucapkan kepadanya nama kasb dan ikhtiyar. Andaikan saja mereka menjadikan akal hanya membahas pada perkara yang tersentuh oleh indra, niscaya mereka menemukan bahwa penciptaan perbuatan dari sisi pengadaan semua materinya itu hanya dari Allah, karena penciptaan dari tidak ada itu tidak mudah kecuali dari al-Khaliq. Adapun pelaksanaan materi dan pengadaan perbuatan dari padanya, maka itu dari hamba, seperti layaknya pertukangan yang ia kerjakan, contohnya seperti membuat kursi. Dan seandainya mereka menjadikan akal hanya meneliti pada perkara yang tersentuh indra, niscaya mereka tidak mengimani banyak perkara dari imajinasi dan hipotesa".

Kemudian Syaikh Taqiyyuddin berkata;
"Kekeliruan manhaj mutakallimin yang;
Keempat; Sesungguhnya manhaj mutakallimin itu menjadikan akal sebagai asas penelitian pada keimanan semuanya. Maka dampaknya, mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an, dan tidak menjadikan al-Qur'an sebagai asas bagi akal………
Memang, sesungguhnya iman dengan adanya al-Qur'an sebagai kalam Allah itu hanya dibangun berdasarkan akal. Akan tetapi al-Qur'an sendiri setelah keimanan dengannya sempurna, menjadi asas bagi keimanan dengan perkara yang telah dibawanya, bukan akal. Oleh karena itu, katika datang ayat-ayat dalam al-Qur'an, wajib tidak menjadikan akal menghukumi pada kebenaran maknanya atau tidak adanya kebenaran, dan hanya ayat itu yang menghukumi dirinya. Sedangkan tugas akal dalam kondisi ini hanyalah memahami. Akan tetapi para mutakallimin tidak melakukannya, tapi mereka menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur'an. Dengan demikian terjadilah bagi mereka takwil pada ayat-ayat al-Qur'an".

Dari petikan perkataan Syaikh Taqiyyuddin di atas, dan perkataan beliau yang lain yang tidak dapat dikemukakan disini, sudah cukup untuk membuktikan bahwa tuduhan miring di atas adalah jauh panggang dari api, dan tidak ada paktanya sama sekali. Bisa saja tuduhan miring tersebut berangkat dari pemikiran Hizbut Tahrir yang cemerlang dan terlalu tinggi, dan sulit dapat dipahami oleh akal kebanyakan orang yang belum halaqah dengan Hizbut Tahrir, sehingga mereka menganggap Hizbut Tahrir mendewakan akal. Atau mereka hanya berdasarkan qila wa qala yang datang dari ulama salafi salathin / wahabi.

Memang, Hizbut Tahrir terkait pemikiran, ide, sistem dan teknis, mereka mendewakan akal untuk memahami sejumlah nash yang terkait dengannya. Akan tetapi dalam urusan akidah terkait dengan perkara yang tidak dapat tersentuh oleh indra, mereka sama sekali tidak mendewakan akal atau akal-akalan sepaerti mutakallimin, dan kutipan perkataan Syaikh Taqiyyuddin diatas adalah sebagian buktinya.
(Abulwafa Romli).

Khalifah Yang Saleh Tidak Dapat Merubah Keadaan Masyarakatnya Menjadi Lebih Baik?

Khalifah Yang Saleh Tidak Dapat Merubah Keadaan Masyarakatnya Menjadi Lebih Baik?

Pada topik Lingkungan Masyarakat Ideal, Idrus Ramli berkata:
“Ada asumsi di sebagian kalangan, terutama kalangan Hizbut Tahrir
, bahwa pemimpin yang baik dapat merubah keadaan masyarakatnya menjadi lebih baik dan menanamkan nilai-nilai kesalehan dalam ranah individu dan social. Asumsi ini dapat dibenarkan apabila yang dimaksud dengan pemimpin tersebut adalah seorang nabi atau rasul. Akan tetapi apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang kepala pemerintahan seperti presiden, raja dan khalifah, maka asumsi tersebut tidak benar. Sebab lahirnya pemimpin yang baik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak akan dapat menerapkan berlakunya hukum-hukum syariat terhadap rakyatnya tanpa dukungan masyarakat yang dipimpinnya.”

Lalu Idrus Ramli mengemukakan hadits Imam Bukhari terkait kronologi Kaisar Romawi Heraclius dengan rakyatnya setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Lalu Idrus Ramli berkomentar:

“Hadits di atas menggambarkan, bagaimana seorang pemimpin yang bermaksud membawa rakyatnya ke jalan yang benar, namun tidak di dukung oleh situasi yang kondusif, di mana rakyatnya tidak dapat menerima ajakannya dengan senang hati. Alih-alih akan diikuti oleh mereka, justru dia sendiri yang pada akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya yang membangkang terhadap ajakan baik raja itu. Dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menceritakan sebab kokohnya kerajaan Fir’aun terhadap kaumnya. Dalam hal tersebut Allah SWT berfirman:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” QS al-Zukhruf : 54…………………………

Berdasarkan kenyataan di atas, para ulama kita berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh baik secara individual maupun secara social. Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 29-33).

MEMBONGKAR PAT:
Pembongkaran ini paling tidak terdiri dari tiga bagian:

Pertama: Idrus Ramli tidak memahami bahwa lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik itu tidak serta-merta terwujud tanpa adanya pemimpin yang telah berusaha mewujudkannya. Ia sama sekali tidak memahami hukum sabab-musabbab, sebab-akibat, atau sunnatullah, atau ia memahaminya tapi bertujuan jahat, yaitu sengaja menghantam Hizbut Tahrir. Sejarah Nabi SAW dari Mekah sampai Madinah itu sudah lebih dari cukup bagi siapa saja yang mempelajarinya. Juga sejarah Wali Songo di pulau Jawa ini. Di mana masyarakat Arab dan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali adalah masyarakat jahiliyah yang terdiri dari kaum kafir dan musyrik.

Apakah kedua macam masyarakat itu sudah kondusif dan baik sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali? Tentu tidak. Jadi pemimpin yang salehlah yang telah membentuk masyarakat sehingga menjadi baik. Dan pemimpin itu tidak harus nabi dan rasul. Saya juga tidak mengingkari bahwa ada di antara para pemimpin yang telah gagal mewujudkan masyarakat yang baik walaupun ia nabi dan rasul. Tetapi juga tidak boleh diingkari bahwa di sana banyak para pemimpin yang berhasil mewujudkan masyarakat yang baik meskipun bukan nabi dan rasul. Dan perlu diketahui bahwa kegagalan dan keberhasilan itu adalah hak Allah. Sedangkan kewajiban kita hanyalah beriman, beramal saleh dan berusaha. Ini yang akan dihisab di akhirat kelak, bukan berhasil dan gagalnya.

Kedua : Idrus Ramli salah membuat contoh. Ia menganggap Kaisar Romawi Hiraclius sebagai pemimpin yang baik yang tidak bisa membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Padahal Hiraclius sendiri berkata: “Kembali semua kesini! Sebenarnya aku barusan mengatakan begitu hanya karena ingin membuktikan militansi dan kesetiaan kalian terhadap agama kalian. Sekarang aku telah yakin terhadap hal itu.” Jadi Hiraclius mengajak rakyatnya untuk menerima dakwah Nabi SAW itu hanya pura-pura, tidak sungguh-sungguh. Dengan demikian Hiraclius itu bukan tipe pemimpin yang baik. Jadi Idrus Ramli keliru. Apalagi mencontohkan dengan Fir’aun, sangat tidak nyambung.

Ketiga : Idrus Ramli tidak memahami, atau berpura-pura tidak paham karena tujuan jahat, bahwa Hizbut Tahrir sekarang sedang berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh, baik secara individual maupun secara social. Tapi Hizbut Tahrir tidak mengatakan: “Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan, baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh.” Karena kata “maka dengan sendirinya” harus disesuaikan dengan hukum kausalitas (sebab-akibat, sabab-musabbab, atau sunnatullah), tidak dimakan mentah-mentah.

Kemudian sebagai indikasi dan bukti bahwa masyarakat itu sudah saleh adalah ketika mereka mau memilih dan mengangkat pemimpin yang saleh, dan akan golput dan menolak ketika diajak untuk memilih pemimpin yang tidak saleh. Sedang indikasi dan bukti bahwa pemimpin itu saleh adalah ketundukannya terhadap kewajiban menerapkan syariat Islam secara sempurna, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pemerintahannya. Dan kondisi ini telah terbukti pada masyarakat yang telah dididik dan dibina oleh Hizbut Tahrir. Dan ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil dalam mendidik dan membina masyarakat.

Tidak seperti kelompoknya Idrus Ramli yang mengklaim paling Aswaja dan sedang mendidik dan membina masyarakat agar menjadi saleh, tetapi mereka malah disuruh dan dipaksa untuk memilih pemimpin yang nyata-nyata tidak mau menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahannya, dan diajak untuk menolak penegakkan khalifah yang akan menerapkan syariat secara sempurna. Karena kelompoknya Idrus Ramli itu memiliki akidah yang nyeleneh yaitu bahwa ketika masyarakat sudah saleh, maka dengan sendirinya Allah akan mengangkat pemimpin yang saleh bagi mereka. Jadi dalil-dalilnya itu dimakan mentah-mentah, tidak dipahami secara tasyri’ dan secara hukum kausalitas. Jadi sampai kiamatpun mereka tidak akan memiliki pemimpin yang saleh, ketika mereka tidak mau berjuang untuk mewujudkannya. Padahal Nabi SAW dan para sahabat saja harus berjuang untuk menjadi dan memiliki pemimpin yang saleh. Mereka tidak menunggu pemimpin saleh yang diangkat langsung oleh Allah.
(Abulwafa Romli)
K
Pada topik Lingkungan Masyarakat Ideal, Idrus Ramli berkata:
“Ada asumsi di sebagian kalangan, terutama kalangan Hizbut Tahrir
, bahwa pemimpin yang baik dapat merubah keadaan masyarakatnya menjadi lebih baik dan menanamkan nilai-nilai kesalehan dalam ranah individu dan social. Asumsi ini dapat dibenarkan apabila yang dimaksud dengan pemimpin tersebut adalah seorang nabi atau rasul. Akan tetapi apabila yang dimaksudkan dengan pemimpin tersebut adalah seorang kepala pemerintahan seperti presiden, raja dan khalifah, maka asumsi tersebut tidak benar. Sebab lahirnya pemimpin yang baik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak akan dapat menerapkan berlakunya hukum-hukum syariat terhadap rakyatnya tanpa dukungan masyarakat yang dipimpinnya.”

Lalu Idrus Ramli mengemukakan hadits Imam Bukhari terkait kronologi Kaisar Romawi Heraclius dengan rakyatnya setelah menerima surat dari Rasulullah SAW. Lalu Idrus Ramli berkomentar:

“Hadits di atas menggambarkan, bagaimana seorang pemimpin yang bermaksud membawa rakyatnya ke jalan yang benar, namun tidak di dukung oleh situasi yang kondusif, di mana rakyatnya tidak dapat menerima ajakannya dengan senang hati. Alih-alih akan diikuti oleh mereka, justru dia sendiri yang pada akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya yang membangkang terhadap ajakan baik raja itu. Dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menceritakan sebab kokohnya kerajaan Fir’aun terhadap kaumnya. Dalam hal tersebut Allah SWT berfirman:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” QS al-Zukhruf : 54…………………………

Berdasarkan kenyataan di atas, para ulama kita berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh baik secara individual maupun secara social. Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 29-33).

MEMBONGKAR PAT:
Pembongkaran ini paling tidak terdiri dari tiga bagian:

Pertama: Idrus Ramli tidak memahami bahwa lingkungan yang kondusif berupa masyarakat yang baik itu tidak serta-merta terwujud tanpa adanya pemimpin yang telah berusaha mewujudkannya. Ia sama sekali tidak memahami hukum sabab-musabbab, sebab-akibat, atau sunnatullah, atau ia memahaminya tapi bertujuan jahat, yaitu sengaja menghantam Hizbut Tahrir. Sejarah Nabi SAW dari Mekah sampai Madinah itu sudah lebih dari cukup bagi siapa saja yang mempelajarinya. Juga sejarah Wali Songo di pulau Jawa ini. Di mana masyarakat Arab dan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali adalah masyarakat jahiliyah yang terdiri dari kaum kafir dan musyrik.

Apakah kedua macam masyarakat itu sudah kondusif dan baik sebelum kedatangan Nabi SAW dan para wali? Tentu tidak. Jadi pemimpin yang salehlah yang telah membentuk masyarakat sehingga menjadi baik. Dan pemimpin itu tidak harus nabi dan rasul. Saya juga tidak mengingkari bahwa ada di antara para pemimpin yang telah gagal mewujudkan masyarakat yang baik walaupun ia nabi dan rasul. Tetapi juga tidak boleh diingkari bahwa di sana banyak para pemimpin yang berhasil mewujudkan masyarakat yang baik meskipun bukan nabi dan rasul. Dan perlu diketahui bahwa kegagalan dan keberhasilan itu adalah hak Allah. Sedangkan kewajiban kita hanyalah beriman, beramal saleh dan berusaha. Ini yang akan dihisab di akhirat kelak, bukan berhasil dan gagalnya.

Kedua : Idrus Ramli salah membuat contoh. Ia menganggap Kaisar Romawi Hiraclius sebagai pemimpin yang baik yang tidak bisa membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Padahal Hiraclius sendiri berkata: “Kembali semua kesini! Sebenarnya aku barusan mengatakan begitu hanya karena ingin membuktikan militansi dan kesetiaan kalian terhadap agama kalian. Sekarang aku telah yakin terhadap hal itu.” Jadi Hiraclius mengajak rakyatnya untuk menerima dakwah Nabi SAW itu hanya pura-pura, tidak sungguh-sungguh. Dengan demikian Hiraclius itu bukan tipe pemimpin yang baik. Jadi Idrus Ramli keliru. Apalagi mencontohkan dengan Fir’aun, sangat tidak nyambung.

Ketiga : Idrus Ramli tidak memahami, atau berpura-pura tidak paham karena tujuan jahat, bahwa Hizbut Tahrir sekarang sedang berjuang melalui proses dakwah dan pendidikan kemasyarakatan untuk menyiapkan mereka sebagai kader masyarakat yang saleh, baik secara individual maupun secara social. Tapi Hizbut Tahrir tidak mengatakan: “Ketika lingkungan masyarakat itu telah menanamkan kesalehan, baik dalam ranah individu maupun social, maka dengan sendirinya Allah akan memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang saleh.” Karena kata “maka dengan sendirinya” harus disesuaikan dengan hukum kausalitas (sebab-akibat, sabab-musabbab, atau sunnatullah), tidak dimakan mentah-mentah.

Kemudian sebagai indikasi dan bukti bahwa masyarakat itu sudah saleh adalah ketika mereka mau memilih dan mengangkat pemimpin yang saleh, dan akan golput dan menolak ketika diajak untuk memilih pemimpin yang tidak saleh. Sedang indikasi dan bukti bahwa pemimpin itu saleh adalah ketundukannya terhadap kewajiban menerapkan syariat Islam secara sempurna, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pemerintahannya. Dan kondisi ini telah terbukti pada masyarakat yang telah dididik dan dibina oleh Hizbut Tahrir. Dan ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil dalam mendidik dan membina masyarakat.

Tidak seperti kelompoknya Idrus Ramli yang mengklaim paling Aswaja dan sedang mendidik dan membina masyarakat agar menjadi saleh, tetapi mereka malah disuruh dan dipaksa untuk memilih pemimpin yang nyata-nyata tidak mau menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahannya, dan diajak untuk menolak penegakkan khalifah yang akan menerapkan syariat secara sempurna. Karena kelompoknya Idrus Ramli itu memiliki akidah yang nyeleneh yaitu bahwa ketika masyarakat sudah saleh, maka dengan sendirinya Allah akan mengangkat pemimpin yang saleh bagi mereka. Jadi dalil-dalilnya itu dimakan mentah-mentah, tidak dipahami secara tasyri’ dan secara hukum kausalitas. Jadi sampai kiamatpun mereka tidak akan memiliki pemimpin yang saleh, ketika mereka tidak mau berjuang untuk mewujudkannya. Padahal Nabi SAW dan para sahabat saja harus berjuang untuk menjadi dan memiliki pemimpin yang saleh. Mereka tidak menunggu pemimpin saleh yang diangkat langsung oleh Allah.
(Abulwafa Romli)

Hizbut Tahrir Hanya Prihatin Terhadap Hilangnya Khilafah?

Hizbut Tahrir Hanya Prihatin Terhadap Hilangnya Khilafah?

Kemudian imajinasi Idrus Ramli berikutnya tertuang dalam topik yang berjudul ‘Keprihatinan Setiap Muslim’. Idrus Ramli berkata:
“Beberapa aliran revivalisme dalam Islam juga mengekspresikan keprihatinan yang mendalam melihat kondisi umat Islam dewasa ini menghadapi aneka problem yang tidak berkesudahan. Namun sayang sekali keprihatinan mereka terkadang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Kelompok Hizbut Tahrir merasa prihatin dan meratapi hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin, sistem yang menjadi simbol persatuan dan kejayaan umat pada masa-masa silam, sejak Mushthafa Kamal Attaturk menghapus sistem khilafah di Negara Turki dan kemudian menyulap Turki menjadi Negara sekular pertama dalam dunia Islam.

Abdul Qadim Zallum, pemimpin Hizbut Tahrir dan pengganti Taqiyyuddin al-Nabhani, telah menulis buku berjudul Hakadza Hudimat al-Khilafah (Demikianlah Khilafah Telah Dirobohkan). Dalam buku ini, Zallum sangat bagus dalam memaparkan sejarah dan kronologi runtuhnya khilafah dalam Islam dengan cermat, teliti dan mendetil. Namun sayang, Zallum tidak melakukan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin dalam perspektif agama. Hasilnya, Zallum mampu membangkitkan emosi kaum muslimin dalam meratapi hilangnya khilafah, namun tidak mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslimin keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka…..

Tentu saja keprihatinan dan ratapan kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir tersebut, salah alamat dan bagaikan berperang tanpa menghadapi musuh. Bukannya musuh yang didapat, namun justru mereka telah berperang dengan perasaannya sendiri. Dalam sekian banyak hadis yang ada, belum pernah didapati bahwa Nabi SAW memprihatinkan umatnya akan kehilangan khilafah. Hadis-hadis yang ada hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW menghawatirkan umatnya akan tergoda dunia, mengikuti hawa nafsu, terjerumus dalam syirik kecil, dirusak oleh orang munafik yang pandai bicara dan para pemimpin yang menyesatkan.”
Lalu Idrus Ramli mendatangkan sejumlah hadis yang di antaranya:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان. رواه أحمد
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai bicara”.

عن طلحة بن مصرف رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أتخوفه على أمتي آخر الزمان ثلاثا: إيمانا بالنجوم وتكذيبا بالقدر وحيف السلطان. رواه أبو عمرو الدوي
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku pada akhir zaman adalah tiga perkara: Percaya kepada bintang, mendustakan qadar Allah dan penyelewengan seorang pemimpin.”

عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين. رواه أحمد
“Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan pada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.”

Lalu Idrus Ramli berkata:
“Rasulullah SAW tidak pernah menghawatirkan, umatnya akan kehilangan khilafah sebagaimana dalam ratapan Hizbut Tahrir.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa keprihatinan Hizbut Tahrir tidak sesuai dengan apa yang menjadi keprihatinan Rasulullah SAW. Justru keprihatinan Hizbut Tahrir tersebut menjadi problem di kalangan umat Islam yang sangat memprihatinkan, dengan banyaknya perpecahan dan penyesatan terhadap ajaran-ajaran agama yang ditimbulkannya.”(Lihat; M Idrus Ramli, Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 44-52.).

MEMBONGKAR PAT:

Sesungguhnya imajinasi Idrus Ramli di atas dengan sendirinya telah menunjukkan kekacauan pemikiran dan keterbatasan ilmiahnya. Sedangkan teks (manthuq) dan konteks (mafhum) hadis-hadis yang disampaikannya telah mencukupi sebagai bantahannya. Jadi ketika Idrus Ramli menggunakan hadis-hadis tersebut untuk menghantam Hizbut Tahrir, maka hadis-hadis itu justru berbalik menghantam Idrus Ramli sendiri. Inilah yang disebut senjata makan tuan. Dan untuk lebih jelasnya pembongkaran ini terbagi menjadi dua bagian:

Pertama:
Terkait Hizbut Tahrir yang merasa prihatin terhadap hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslim. Di mana kata Idrus Ramli kondisi ini tidak sesuai dengan tuntunan agama. Padahal keprihatinan Hizbut Tahrir terhadap hilangnya khilafah adalah majaz, karena yang dimaksud itu bukan khilafahnya, tetapi substansi dari keberadaan khilafahnya, yaitu penerapan hukum-hukum Islam secara sempurna dalam kehidupan, masyarakat dan Negara. Karena hukum-hukum Islam itu tidak akan dapat diterapkan secara sempurna, kecuali oleh khilafah. Memang ada sebagian pihak yang menganggap bahwa kerajaan Arab Saudi itu bisa menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna meskipun bukan khilafah. Anggapan ini sangat keliru, karena kerajaan Arab Saudi itu tidak bisa melindungi kaum muslim yang terzalimi seperti di Palestina padahal dekat, tidak bisa mengomando kaum muslim untuk berjihad. Padahal keduanya adalah hukum syara’ yang harus diterapkan oleh kepala Negara yang bernama Imam atau Khalifah. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به. متفق عليه
“Sesungguhnya Imam (khalifah) adalah perisai yang dibuat berperang dari belakangnya dan dibuat perlindungan”. HR Bukhari dan Muslim.

Dan risalah Islam juga tidak dapat diemban keseluruh dunia kecuali dengan dakwah dan jihad. Jihad tetap berlaku sampai hari kiamat. Dan hadis tentang jihad itu telah mencapai derajat mutawatir. Kerena dakwah dan jihad adalah metode (thariqah) untuk menyampaikan risalah Islam keseluruh peloksok dunia, agar kerahmatan Islam benar-benar menjadi kenyataan.

Keprihatinan Hizbut Tahrir terhadap hilangnya khilafah itu seperti keprihatinan jamaah haji terhadap hilangnya pesawat. Padahal yang dimaksud bukan pesawatnya, tetapi substansi dari keberadaan pesawatnya, yaitu bisa menunaikan ibadah haji dengan sempurna. Seperti keprihatinan seseorang terhadap hilangnya sejumlah uang. Padahal yang dimaksud bukan uangnya, tetapi substansi dari keberadaan uangnya, yaitu dapat membeli ini dan itu. Dan seperti keprihatinan masyarakat dengan robohnya bangunan masjid. Padahal yang dimaksud bukan masjidnya, tetapi bisa shalat di masjidnya. Apakah keprihatinan seperti itu melanggar tuntunan agama? Apakah keprihatinan seperti itu dilarang oleh Nabi SAW? Hanya orang dungu yang berkata; Ya!

Apalagi keprihatinan dan kegembiraan itu termasuk indikasi dari adanya cinta dan benci terhadap segala sesuatu dan amal perbuatan. Keprihatinan Hizbut Tahrir dengan hilangnya khilafah adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir cinta dengan wujudnya khilafah. Sedangkan nama (ismun) dan substansi (musamma) khilafah itu telah diakui keberadaannya oleh Nabi SAW dan menjadi ijmak sahabatnya. Berarti khilafah adalah kebaikan, dan para khalifah serta orang-orang yang terkait dengan khilafah adalah orang-orang baik. Sedangkan mencintai kebaikan dan orang-orang baik adalah kebaikan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

المرء مع من أحب. رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترميذي والنسائي عن أنس وابن مسعود رضي الله عنهما.
“Seseorang itu bersama orang yang dicintainya.”
Dan dalam riwayat lain:

المرء مع من أحب وله ما اكتسب. رواه الترميذي عن أنس رضي الله عنه.
“Seseorang itu bersama orang yang dicintainya dan baginya apa yang telah diusahakannya.”

Berbeda dengan orang yang cinta terhadap hilangnya khilafah. Ini mengindikasikan bahwa dia benci terhadap wujudnya khilafah, baik nama maupun substansinya, dan benci terhadap para khalifah dan orang-orang yang terkait dengan khilafah, padahal semuanya adalah kebaikan dan orang-orang yang baik. Berarti dia cinta kepada keburukan dan orang-orang yang buruk. Berarti dia adalah orang yang buruk, maka dia bersama orang-orang yang buruk. Ingat, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang baik (berbakti) benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang buruk (durhaka) benar-benar berada dalam neraka”. QS al-Infithar [82]: 13-14.

Lebih-lebih kitab Hakadza Hudimat al-Khilafah (Demikianlah Khilafah Telah Dirobohkan) yang diklaim oleh Idrus Ramli sebagai karya Abdul Qadim Zallum yang tidak melakukan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslimin dalam perspektif agama, dan tidak mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslimin keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka, kitab itu tidak dimiliki oleh Hizbut Tahrir, dan tidak pula oleh Zallum. Sedangkan kitab yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir dan hasil karya Zallum (sebenarnya kitab ini karya Syaikh Taqiyyuddin dengan mengatas namakan Abdul Qadim Zallum) adalah kitab Kaifa Hudlimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dirobohkan). Kitab ini penuh dengan kajian dan analisa yang jitu mengenai sebab-sebab hilangnya khilafah dari genggaman kaum muslim dalam perspektif agama, dan mampu memberikan solusi yang tepat agar kaum muslim keluar dari problem yang sebenarnya dihadapi oleh mereka. Karena kitab ini diakhiri dengan pembahasan qadliyyah mashiriyyah (problem utama) yang sangat luas dan mendetil.

Jadi bagaimana Idrus Ramli menyalahkan Hizbut Tahrir dan Zallum wong kitabnya saja keliru. Jangan-jangan yang dibacanya itu adalah kitab yang lain.

Kedua:
Terkait hadis-hadis yang disampaikan oleh Idrus Ramli untuk menghantam Hizbut Tahrir. Sesungguhnya hadis-hadis tersebut justru menghantam Idrus Ramli sendiri. Di antaranya adalah:

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان. رواه أحمد
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku adalah setiap orang munafiq yang pandai bicara”.

Pada hadis ini Nabi SAW menghawatirkan umatnya dirusak oleh setiap orang munafik yang pandai berbicara, bukan oleh orang munafik yang tidak pandai berbicara. Jadi yang dikhawatirkan merusak umat Islam adalah perkataan yang mengandung unsur nifak (hipokrit), atau terdapat indikasi nifak pada perkataan itu. Sebab kalau orang munafik yang tidak pandai berbicara itu bahayanya hanya terhadap dirinya sendiri. Berbeda dengan orang munafik yang pandai bicara, maka bahayanya juga terhadap orang lain, karena ia termasuk orang yang sesat dan menyesatkan (dlaallun-mudlillun).

Sedangkan cirri-ciri (indikasi) orang munafik dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 8-16 adalah:

1. Lahirnya mengaku beriman padahal batinnya kafir.
2. Menipu Alloh dan orang-orang beriman.
3. Pada hatinya ada penyakit (seperti riya, dendam, dengki, sombong, ujub dll).
4. Berbuat kerusakan padahal ia mengaku berbuat baik.
5. Menganggap orang beriman dan beramal saleh sebagai orang bodoh.
6. Berteman dengan orang kafir sebagaimana berteman dengan orang mukmin.
7. Mengolok-olok orang yang beriman dan beramal saleh.
8. Membeli kesesatan dengan petunjuk.

Sedangkan cirri-ciri orang munafik miturut hadis adalah:

1. Kalau berkata berbohong.
2. Kalau berjanji menyalahi.
3. Kalau dipercaya berkhianat.

Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh setiap orang munafik yang pandai berkata itu karena tidak adanya sangsi hukuman yang pasti yang harus dijatuhkan kepadanya, karena lahirnya menampakkan keimanan, bahkan kebaikan. Lalu kalaupun ia berbuat buruk dan keburukannya terbongkar, maka bisa saja ia mengeluarkan seribu alasannya. Berbeda dengan orang kafir, musyrik (yang keduanya berkhianat atau memerangi Islam dan kaum muslim), menghina Rasulullah SAW, menolak pengangkatan khalifah, menolak mengerjakan shalat dan membayar zakat, berzina, mencuri, dll., karena sangsi hukuman terhadap semuanya sudah ditetapkan oleh Islam dan sudah sangat jelas, maka Nabi SAW tidak menghawatirkannya.

Sikap Rasulullah SAW terhadap orang munafik di antaranya terekam dalam kitab Nurul Yaqin:

“Ketika Rasulullah SAW membagi harta rampasan perang di mana orang yang berjalan kaki mendapat empat unta dan empat puluh kambing, dan orang yang naik kuda mendapat tiga kali lipatnya (dua belas unta dan seratus dua puluh kambing). Maka laki-laki munafik berkata: “Pembagian ini tidak karena Allah!” Maka Nabi SAW marah sampai mukanya memerah dan barsabda: “Cilaka kamu. Siapa yang bisa adil kalau aku tidak adil?!” Kemarahan Nabi tidak sampai menjatuhkan sangsi karena dirinya. Maha suci beliau dari hal itu. Akan tetapi tidak lebih dari menasihati dan memperingati. Umar dan Khalid bin Walid berkata kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, biarkan kami memenggal lehernya!” Lalu Nabi bersabda: “Jangan, barangkali ia mengerjakan shalat.” Lalu Khalid berkata: “Banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya terhadap sesuatu yang tidak ada pada hatinya!” Lalu Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk melubangi hati manusia dan tidak pula untuk membelah perut mereka.”( Muhammad Hadlari Bika, Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin, hal. 236-237, Maktabah Daru Ihyail Kutubil Arobiyyah, Indonesia).

وعن عبد الله بن عتبة بن مسعود قال: سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: إن ناسا كانوا يؤخذون بالوحي فى عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن الوحي قد انقطع، وإنما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم، فمن أظهر لنا خيرا أمناه وقربناه، وليس لنا من سريرته شيئ، الله يحاسبه فى سريرته، ومن أظهر لنا سوءاً لم نأمنه ولم نصدّقه وإن قال أن سريرته حسنة. رواه البخاري.

“Dari Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata: “Aku pernah mendengar ‘Uman Ibn al-Khaththab RA berkata: “Sesungguhnya orang-orang pada periode Rasulullah SAW telah diambil tindakan melalui wahyu, dan benar-benar telah terputus. Sekarang kami hanya bisa mengambil tindakan terhadap kalian melalui amal perbuatan kalian yang nampak kepada kami. Maka siapa saja yang menampakkan kebaikan kepada kami, maka kami mempercayainya dan mendekatkannya, dan tidak ada urusan bagi kami terkait isi hatinya, Allah yang akan menghisab isi hatinya. Dan siapa saja yang menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya, meskipun ia mengatakan bahwa isi hatinya baik.” HR Bukhari ( Lihat Riyadlush Shalihin, bab Ijrou Ahkamin Nasi ‘ala al-Zhahiri, hal. 89-91,Daarul Fikri, Berut).

Dari pemaparan di atas dapat difahami bahwa inti dari sikap nifak (hipokrit) adalah penggembosan, penolakan, atau pengingkaran terhadap diterapkannya syariat Islam secara sempurna, baik secara langsung maupun dengan memakai dalil-dalil syara’ yang diselewengkan dari makna dan tujuannya. Dengan bahasa kasarnya, menggunakan dalil-dalil halalnya kambing untuk menghalalkan babi, atau menggunakan dalil-dalil haramnya babi untuk mengharamkan kambing. Dan indikasi sikap nifak juga dapat terdeteksi dari kecerdikan dalam merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi yang selama ini diperankan oleh Idrus Ramli CS. Sebagai bukti kongkritnya adalah tulisannya dalam majalah Ijtihad Sidogiri dan dalam buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan, di mana semuanya telah dan sedang saya bongkar. Jadi bukan hanya Rsulullah SAW, Hizbut Tahrir juga mengkhawatirkan dakwahnya digembosi oleh setiap orang munafik yang pandai berkata, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

Dan hadis yang disampaikan Idrus Ramli berikutnya:

عن طلحة بن مصرف، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أخوف ما أتخوفه على أمتي آخر الزمان ثلاثا: إيمانا بالنجوم وتكذيبا بالقدر وحيف السلطان. رواه أبو عمرو الدوي

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada umatku pada akhir zaman adalah tiga perkara: Percaya kepada bintang, mendustakan qadar Allah dan penyelewengan seorang pemimpin.”

Pada hadis ini Nabi SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh pemimpin yang menyeleweng, yaitu pemimpin suatu Negara (sultan) yang menyelewengkan sistem Islam dalam pemerintahannya, baik dengan menyelewengkan makna dan tujuannya atau dengan membuangnya dan menggantikannya dengan sistem dari luar Islam. Ini juga bukan hanya Nabi SAW yang menghawatirkannya, tetapi juga Hizbut Tahrir. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir berjuang untuk menegakkan khalifah yang tidak menyelewengkan atau membuang sistem Islam. Justru yang nyeleneh adalah Idrus Ramli CS yang menggunakan hadis itu untuk menolak penegakkan khalifah, tapi justru menganggap presiden yang menyeleweng sebagai ulil amri yang sah dan wajib ditaati. Seharusnya menggunakan hadis itu untuk menolak presiden dan untuk mendukung khalifah.

Dan hadis yang disampaikan Idrus Ramli berikutnya:
عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين. رواه أحمد
“Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan pada umatku akan dirusak oleh para pemimpin yang menyesatkan.”

Pada hadis ini Nabi SAW mengkhawatirkan umatnya dirusak oleh para imam yang menyesatkan. Yang dimaksud dengan para imam pada hadis ini adalah para kepala pemerintahan (umara), bukan imam madzhab atau organisasi, sebagaimana sabda Nabi SAW:

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم. رواه مسلم عن عوف بن مالك.

“Sebaik-baik para imam kalian adalah mereka yang kalian menyintainya dan mereka menyintai kalian dan kalian mendoakannya dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk para imam kalian adalah mereka yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian dan kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian”. HR Muslim dari ‘Auf bin Malik. (As-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 2, hal. 8, Maktabah Daaru Ihyail Kutubil ‘Arabiyyah, Indonesia).

Dan beliau bersabda:

الأئمة من قريش. أخرجه البيهقي عن علي رضي الله عنه
“Para imam itu dari suku Quraisy.” HR Baihaqi dari Ali RA.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأمراء من قريش، الأمراء من قريش، الأمراء من قريش، ولي عليهم حق، ولكم عليهم حق، ما عملوا فيكم بثلاث: ما إذا استرْحِموا رَحِمُوْا، وقسطوا إذا قسموا، وعدلوا إذا حكموا. أخرجه البيهقي واللفظ له والحاكم وقال: صحيح على شرط الشيخين ووافقه الذهبي.

“Dan dari Anas bin Malik RA berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Para amir itu dari suku Quraisy, Para amir itu dari suku Quraisy, Para amir itu dari suku Quraisy. Dan aku memiliki hak atas mereka, dan kalian memiliki hak atas mereka, selama mereka melaksanakan tiga perkara pada kalian: Ketika diminta belas kasih, mereka belas kasih; ketika membagi, mereka adil; dan ketika memutuskan perkara, mereka adil.”

Faktanya, saat ini kaum muslim di seluruh dunia sedang dirusak dan disesatkan oleh para imam berupa para kepala negara nasional yang menerapkan ideologi kufur. Jadi justru karena kekhawatiran terhadap umat Islam dirusak oleh para imam yang menyesatkan, Hizbut Tahrir terus berjuang untuk mengangkat imam yang saleh dan adil terhadap seluruh kaum muslim di seluruh dunia. Perjuangan Hizbut Tahrir ini adalah indikasi bahwa Hizbut Tahrir benar-benar khawatir dan prihatian terhadap umat Islam. Sebagaimana orang tua khawatir terhadap anaknya dirusak oleh temannya yang buruk, maka orang tua itu berjuang untuk menggantikan teman baik bagi anaknya. Tidak seperti Idrus Ramli yang keblinger yang khawatir terhadap umat Islam dirusak dan disesatkan oleh para imam yang menyesatkan, tetapi justru membiarkan para imam itu dan menghalangi Hizbut Tahrir untuk mengangkat para imam yang saleh dan adil, yaitu khalifah. Sebab tidak ada keadilan kecuali pada sistem Islam, dan tidak ada yang bisa menerapkan sistem Islam kecuali khilafah, di mana khalifah adalah kepala negaranya. Idrus Ramli laksana orang tua yang buruk, yang mengkhawatirkan anaknya dirusak oleh temannya yang buruk, tetapi membiarkannya dan tidak berusaha menggantikannya dengan teman yang baik. Ini adalah dusta yang nyata. Atau klaim kosong tanpa fakta. Bahkan termasuk orang tua yang dungu, yang menganggap baik teman buruk anaknya, dan menganggap buruk teman baik anaknya.

(Abulwafa Romli).

Hizbut Tahrir Tidak Mau Menengok Sejarah Islam Masa Silam?

Hizbut Tahrir Tidak Mau Menengok Sejarah Islam Masa Silam?

Imajinasi Idrus Ramli berikutnya tertuang dalam topik ‘Balajar dari Sejarah’:
“Para aktipis Hizbut Tahrir biasanya merasa enggan apabila diajak bediskusi dengan menengok kesejarah Islam masa silam. Mungkin karena terbawa oleh semangat yang berlebihan dalam memperjuangkan tegaknya khilafah tunggal di muka bumi. Hizbut Tahrir merasa akan mudah dipatahkan ketika dihadapkan dengan realita sejarah bahwa sebagian khalifah masa silam tidak konsisten dengan ajaran agama. Menurut mereka, “Kelompok yang anti HT selalu berargumen dengan sejarah, padahal sejarah bukanlah dalil dalam beragama. Para ulama telah menetapkan bahwa dalil dalam agama adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi). Dan tak seorangpun dari ulama menganggap sejarah sebagai dalil.” Demikian argumen mereka.

Pada dasarnya sejarah memang bukan dalil dalam pengambilan keputusan hukum dalam agama. Tetapi sejarah masa silam tetap harus kita jadikan pelajaran yang berharga sebagai pertimbangan dalam menghadapi ranah kehidupan yang sedang dan akan kita jalani. Rasulullah SAW bersabda:

لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ. متفق عليه عن أبي هريرة رضي الله عنه.

“Janganlah seorang mukmin terperosok kedalam jurang yang sama sampai dua kali”. HR Bukhari dan Muslim.”…..

Kemudian Idrus Ramli mengemukakan sejumlah tokoh dan peristiwa yang dianggap menyimpang dan menyesatkan termasuk Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrirnya. Dan Idrus Ramli mengulangi kekeliruannya dengan mengatakan: “Hadis di atas (tentang para imam yang menyesatkan) dan hadis-hadis lain yang serupa menjelaskan kepada kita tentang apa sebenarnya yang menjadi keprihatinan Nabi SAW terhadap umatnya. Sepertinya kita kesulitan menemukan hadis yang menjelaskan keprihatinan Nabi SAW terhadap hilangnya khilafah dari tangan kaum muslimin seperti dalam ratapan Hizbut Tahrir”. [Seperti sudah saya jelaskan pada pemikiran Aswaja topeng ke 33]. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 52-57).

MEMBONGKAR PAT:

Sesungguhnya Hizbut Tahrir tidak mengabaikan fakta sejarah umat Islam masa silam. Hizbut Tahrir mempelajari sejarah itu untuk menjadi ibrah (pelajaran), tidak menjadi dalil, kecuali sejarah Nabi SAW sejak beliau diutus menjadi Rasul serta sejarah para sahabatnya (al-Khulafa’ al-Rasyidin), karena termasuk Sunnah dan ijmak di mana keduanya sebagai dalil syara’. Dalam hal ini Hizbut Tahrir berkata:

وحزب التحرير لم يكتف بأن يقوم على الفكرة الإسلامية بشكل إجمالي، بل إنه بعد الدراسة والبحث والفكر لواقع الأمة وما وصلت إليه، وواقع المجتمع في البلاد الإسلامية، ولواقع عصر الرسول - صلى الله عليه وسلم - وعصر الخلفاء الراشدين وعصر التابعين من بعده، وبالرجوع إلى سيره وكيفية حمله للدعوة منذ بدأت الرسالة حتى وصل إلى إقامة الدولة في المدينة، ثم دراسة كيفية سيره في المدينة. وبالرجوع إلى كتاب الله وسنة رسوله وإلى ما أرشدا إليه من إجماع الصحابة والقياس، وبالإستنارة بأقوال الصحابة والتابعين وأقوال الأئمة المجتهدين.

“Hizbut Tahrir tidak mencukupkan diri berdiri di atas fikrah Islam secara global, tetapi setelah melakukan kajian, penelitian dan pemikiran terhadap realita umat beserta capaiannya, relita masyarakat di negeri-negeri Islam, realita masa Rasulullah SAW, masa al-Khulafa’ al-Rasyidin, masa tabi’in dan setelahnya, dan dengan merujuk kepada perjalanan dan cara beliau dalam mengemban dakwah sejak menjadi rasul sampai mendirikan negara di Madinah, kemudian mempelajari cara perjalanan beliau di Madinah, dan merujuk kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya, dan kepada sesuatu yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijmak sahabat dan qiyas, dan mencari penerangan dari perkataan para sahabat dan tabi’in, juga perkataan para imam mujtahid…..” (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 31).

Juga sebagai bukti kongkrit bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan fakta sejarah adalah kitab Kaifa Hudlimat al-Khilafah (Bagaimana Khilafah Dirobohkan) karya Abdul Qadim Zallum. Kitab ini memuat enam puluh delapan pasal pembahasan yang sangat mendetil sejak khilafah berdiri sampai khilafah ditumbangkan oleh Mustafa Kemal. Kitab ini juga membicarakan sebab-sebab robohnya khilafah serta solusi bagaimana menegakkannya kembali di kemudian hari. Dan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang lain seperti kitab Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam) dan Nizhamul Islam (Sistem Islam) dll, di mana semuanya menjadi bukti tertulis bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan sejarah.

Hizbut Tahrir tidak ngawur seperti kaum liberal dan kelompok Aswaja Topeng dalam membagi dan memposisikan sejarah. Mana sejarah yang menjadi dalil dan mana sejarah yang menjadi ibrah, mana sejarah yang harus diterima dan mana yang harus ditolak, di mana semuanya harus diposisikan sesuai kondisinya, tidak dibalik posisinya. Karena termasuk kezaliman ketika kita salah dalam memposisikan sejarah atau membalik posisi sejarah, seperti menjadikan sejarah Rasulullah SAW dan al-Khulafa al-Rasyidin sebagai ibrah, dan menjadikan sejarah umat Islam pasca sahabat sebagai dalil, atau menjadikan sejarah yang ditulis oleh ulama yang saleh sebagai ibrah dan menjadikan sejarah yang ditulis oleh ulama suu’ (ulama liberal) atau ulama salathin (ulama pro penguasa zalim) sebagai dalil, karena yang dinamakan zalim adalah wadh’u al-syaii fi ghairi maudhi’ihi (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya). (Al-Jurjani, al-ta’rifat, hal. 144).

Dari kajiannya yang mendalam terhadap fakta sejarah, Hizbut Tahrir dapat memilah sebuah fakta secara tepat, mana yang ideologi Islam dan mana yang ideologi kufur, mana yang sistem Islam dan mana yang sistem kufur, mana yang pemikiran Islam dan mana yang pemikiran kufur, dan mana yang konsepsi Islam dan mana yang konsepsi kufur. Hizbut Tahrir berkata:

بعد كل ذلك تبنى حزب التحرير أفكاراً وآراء وأحكاماً تفصيلية تتعلق بالفكرة الإسلامية وبطريقة تنفيذها، وهي أفكار وآراء وأحكام إسلامية ليس غير، وليس فيها أي شيء غير إسلامي، ولا تتأثر بأي شيء غير إسلامي، بل هي إسلامية فحسب، لا تعتمد إلا على أصول الإسلام ونصوصه، وقد تبنّاها بناء على قوة الدليل، حسب إجتهاده وفهمه، لذلك فإنه يعتبرها صحيحة وفيها قابلية الخطأ.

“Setelah melakukan semua itu (pengkajian terhadap fakta sejarah), Hizbut Tahrir mengadopsi pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan hukum-hukum secara mendetil yang berkaitan dengan fikrah Islam serta thariqah penerapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan hukum-hukum Islam, tidak selain Islam, tidak ada padanya sedikitpun yang bukan Islam, dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan selain Islam, akan tetapi semuanya adalah Islam, cukup Islam. Semuanya tidak bersandar kecuali pada ushul dan nushush Islam. Dan Hizbut Tahrir telah mengadopsi semuanya berdasarkan kuatnya dalil, sesuai ijtihad dan pemahamannya. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menganggap semuanya adalah benar, dan padanya ada kemungkinan salah”. (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 31-32).

Dan dari kajiannya terhadap fakta sejarah, Hizbut Tahrir dapat mengetahui sebab-sebab kegagalan bergagai gerakan dalam membangkitkan kaum muslim dengan Islam. Paling tidak kembali kepada tiga sebab:

1. Tidak adanya pemahaman fikrah Islam secara mendetil dari orang-orang yang berjuang untuk kebangkitan kaum muslim.
2. Tidak adanya kejelasan thariqah (metode) Islam pada mereka dalam menerapkan fikrah Islam.
3. Mereka tidak mengikat fikrah Islam dengan thariqah Islam dengan ikatan yang kokoh yang tidak bisa terlepas. (Taqiyyuddin al-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, hal. 4, cet. ke 6, 2001, dan al-Takattul al-Hizbi, hal. 3-4, cet. Ke 4, 2001).

Sedangkan cara yang benar dan yang (Insya Allah) tidak akan menemui kegagalan dalam membangkitkan kaum muslim dengan Islam adalah dengan memahami dan mewujudkan qadliyyah mashiriyyah, yaitu mengembalikan pemerintahan sesuai sistem (hukum) yang telah diturunkan oleh Allah melalui penegakkan daulah khilafah dan pengangkatan seorang khalifah bagi kaum muslim, yang dibai’at atas dasar kitabullah dan sunnah rasul-Nya, untuk merobohkan sistem kufur dan menggantikannya dengan penerapan sistem Islam, mengintegrasikan negeri-negeri Islam kepangkuan negara Islam, dan masyarakat di negeri-negeri Islam kepada masyarakat Islam, dan mengemban risalah Islam keseluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. (Lihat, Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 3-4, dan Abdul Qadim Zalum, Kaifa Hudlimat al-Khilafah, hal. 183-201). Dengan kata lain, mewujudkan fikrah Islam dengan thariqah penerapannya dalam kehidupan, masyarakat dan negara. (Lihat, Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir, hal. 33-40).

Memang hingga saat ini bagi orang-orang yang selama ini berseberangan dengan Hizbut Tahrir, belum ada bukti bahwa Hizbut Tahrir telah berhasil membangkitkan kaum muslim dengan Islam, karena Hizbut Tahrir belum dapat menegakkan daulah khilafah dan belum bisa mengangkat dan membaiat seorang khalifah. Akan tetapi bagi saya dan orang-orang yang telah melakukan kajian yang mendalam terhadap fikrah dan thariqah Hizbut Tahrir, terhadap aktifitas Hizbut Tahrir, dan terhadap perkembangan Hizbut Tahrir di seluruh dunia, dari Timur sampai Barat, maka kami berkata bahwa Hizbut Tahrir telah mampu membangkitkan kaum muslim, dengan kebangkitan kecil (nahdlah shughra), dengan (ideologi) Islam, tidak dengan (ideologi) selain Islam. Dan kami sangat yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Hizbut Tahrir akan dapat membangkitan kaum muslim, dengan kebangkitan besar (nahdlah kubra), dengan Islam, yaitu ketika khilafah telah berdiri dan khalifah telah diangkat dan dibai’at. Dan Hizbut Tahrir telah berhasil menggaungkan kalimat: “Khilafah, khilafah, khilafah…. “ keseluruh atmosfer dunia. Jadi khilafah adalah kunci bagi kebangkitan besar kaum muslim, dan khilafah adalah rahasia Allah, hanya hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya yang mengerti kapan dan dimana khilafah akan berdiri nanti.

Juga terkait sabda Nabi SAW;
لا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين.
“Orang mukmin tidak akan dipatuk ular dua kali dari lobang yang sama”.

Hizbut Tahrir sangat memahami hadis ini, dan telah mengaitkannya dengan fakta sejarah kegagalan berbagai gerakan Islam dalam membangkitkan kaum muslim dengan (ideologi) Islam. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir telah golput dari memilih calon pemimpin eksekutif dan legislatif yang tidak mau menerapkan dan memperjuangkan ideologi Islam dalam pemerintahan dan perwakilannya, dan Hizbut Tahrir meskipun sebagai partai politik praktis, tidak mau terjebak dalam kubangan politik praktis ala demokrasi, meskipun dengan mengatas namakan Islam dan memperjuangkan Islam lewat parlemen. Karena fakta sejarah telah membuktikan bahwa perjuangan membangkitkan kaum muslim dengan Islam melalui politik praktis ala demokrasi selalu menemui jalan buntu dan berujung pada kegagalan. Lebih-lebih perjuangan membangkitkan kaum muslim lewat jalur parlemen termasuk menghabiskan energi kaum muslim tanpa faidah yang berarti, dan termasuk memalingkan kaum muslim dari perjuangan yang lurus, yaitu membangkitkan kaum muslim melalui jalur qadliyyah mashiriyyah tersebut di atas.

Kondisi ini adalah bukti dan indikasi bahwa Hizbut Tahrir tidak mengabaikan sejarah, dan Hizbut Tahrir sangat memahami sejarah. Hizbut Tahrir telah melihat dengan jelas bahwa di sana, bahkan dihadapannya ada orang yang dipatuk ular sekali, ada yang dua kali, ada yang tiga kali, ada yang empat kali, sampai ada yang berkali-kali dari lobang yang sama, meskipun dalam waktu yang berbeda. Dan karena Hizbut Tahrir telah mengerti, maka jangankan terpatuk, mendekat pada lobangnya saja tidak mau, bahkan haram. Inilah tujuan dan substansi dari hadis di atas.

Tidak seperti Idrus Ramli c.s. yang mengklaim memahami sejarah dan menuduh Hizbut Tahrir tidak memahami sejarah, akan tetapi berkali-kali terpatuk ular dari lobang yang sama, bahkan mengajak dan menjebak orang lain agar sama-sama dipatuk ular dari lobang itu. Mereka hampir tidak pernah absen pada setiap kali pesta demokrasi digelar, bahkan di antara mereka tidak sedikit yang rela menjual akidahnya dengan harga murah demi menjadi badut-badut demokrasi. Padahal mereka mengerti bahwa di antara para badut itu tidak ada seorangpun yang akan menerapkan atau memperjuangkan penerapan syariat Islam secara sempurna dalam pemerintahan atau perwakilannya.

Bahkan mereka mewajibkan memilih para badut itu, dan mengharamkan golput dengan seharam-haramnya. Padahal sudah berapa kali pemilu digelar toh hasilnya tetap sama, tidak ada perubahan mendasar yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslim, selain menghinakan Islam dan memurtadkan kaum muslim, yaitu dengan melepas akidah Islam dan memakai akidah sekular, bahkan materialis-komunis, dalam kehidupan, masyarakat dan negara. Sesungguhnya Idrus Ramli c.s. tidak memahami konotasi dan substansi hadis di atas. Sesungguhnya hadis tersebut justru menghantam dirinya sendiri. Dan sesungguhnya sangat jauh panggang dari api menggunakan hadis tersebut untuk menghantam Hizbut Tahrir. Sadarlah wahai saudara-saudaraku!

(Abulwafa Romli, alumnus ’94, Pon Pes Lirboyo, Kediri, Jatim).