Wednesday, February 24, 2021

PERBEDAAN MENDASAR SISTEM KHILAFAH DENGAN SISTEM DEMOKRASI

 PERBEDAAN MENDASAR SISTEM KHILAFAH DENGAN SISTEM DEMOKRASI


Dr. Yusuf al-'Isy dalam buku Sejarah Dinasti Umawiyah menuliskan,


"Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, maka tidak didapati pada sistem khulafaur rasyidin pembagian kekuasaan dan pembatasannya, sebagaimana dimaklumi saat ini adanya tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada pemerintahan masa itu, ketiga kekuasaan tadi ada ditangan sang khalifah, namun dia bisa melakukan pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan yudikatif kepada seorang Qadhi, namun si hakim (qadhi) harus mengikutinya, dan seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang yang lain kapan saja diinginkannya. Begitu juga undang-undang (legislatif) juga merupakan hak kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadits. Sedang kekuasaan eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali yang telah ditetapkan oleh syara'."


***


Inilah yang membedakan sistem khilafah dengan sistem demokrasi. Demokrasi adalah antitesis dari sistem kediktatoran dimana kekuasaan terpusat. Karena itu, para cendekiawan Barat meminta agar kekuasaan penguasa tidak terlalu besar, yaitu dengan cara memecah kekuasaan menjadi tiga (eksekutif/pelaksana hukum, legislatif/pembuat hukum, dan yudikatif/pemutus hukum jika ada sengketa).


Namun berbeda dengan sistem khilafah. Dia tidak lahir dari sebuah memori kelam sejarah kekuasaan. Melainkan dari tuntunan wahyu.

Monday, February 22, 2021

TERNYATA BEGINILAH LATAR BELAKANG KENAPA DINAR-DIRHAM DICETAK DENGAN MOTIF ISLAMI

 TERNYATA BEGINILAH LATAR BELAKANG KENAPA DINAR-DIRHAM DICETAK DENGAN MOTIF ISLAMI


Gambaran Khalifah Sebagai Junnah/Perisai, Penjaga Ajaran Islam dan Kehormatan Nabi Muhammad ﷺ, serta Pelindung Umatnya


Copas tulisan orang yang layak dibaca:


Boikot Khilafah Umawiyyah Terhadap Romawi Timur Tersebab Ancaman Penghinaan Atas Rasulullah  ﷺ


Saat sedang berdiskusi santai, Khalifah Harun Ar-Rasyid (w. 193 H) pimpinan Kekhalifahan Bani ‘Abbasiyyah, bertanya kepada Al-Imam Al-Kisai (w. 189 H), sang imam qiraat dan nahwu, “Tahukah engkau siapakah yang paling pertama mencetak ukiran (Islami) di  uang emas dan perak seperti ini?”


Al-Imam Al-Kisai menjawab, “Wahai Tuanku, beliau adalah ‘Abdulmalik bin Marwan (w. 86 H).”


“Apakah gerangan sebab beliau melakukan demikian?” tanya Khalifah Harun kembali.


“Aku tidak memiliki pengetahuan mengenai itu hanya saja beliaulah yang pertama kali melakukannya.” Jawab Al-Imam Al-Kisai.


Khalifah Harun lantas berkata, “Aku akan mengisahkannya padamu.”


Perbincangan ini secara lengkap diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Damiri (w. 808 H) dalam kitab Hayatul Hayawan Al-Kubra [1] yang menukil dari Al-Imam Ibrahim Al-Baihaqi (w. 320 H, bukan Al-Hafidzh Al-Baihaqi yang wafat tahun 458 H) dalam kitab Al-Mahasin wal Masawi’ [2]. Adapun secara ringkas, maka banyak disebutkan dalam kitab sejarah lainnya semisal dalam Tarikhul Khulafa’ karya Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) [3]. Adapaun kelanjutan kisah dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dalam kedua kitab ini adalah sebagaimana berikut.


Tadinya kertas papirus dicetak oleh Romawi karena tanaman Bardi (Cyperus papyrus) yang menjadi bahan bakunya banyak tumbuh di Mesir. Lalu meski kemudian Mesir masuk dalam wilayah kaum muslimin, kaum Nasrani masih diberikan kemerdekaan menjalankan agama mereka di sana dan banyak pekerja di pabrik kertas yang beragama Nasrani. Di kertas papyrus tersebut selama ini ternyata ada semacam hiasan tepi yang bertuliskan ‘Dengan Nama Bapa, Anak, dan Ruh Kudus” dalam bahasa Romawi yang memang sudah menjadi desain sejak Mesir dikuasai Romawi. 


Kaum muslimin semenjak zaman Khalifah Umar ibnul Khaththab (w. 23 H) belum ada yang menyadari hal itu (mungkin karena berukuran kecil atau samar). Akan tetapi dengan taufik Allah hal itu disadari oleh Khalifah ‘Abdulmalik. Beliau penasaran dengan hiasan tersebut kemudian minta stafnya menelitinya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Setelah mengetahui artinya, beliau pun mengingkarinya seraya mengatakan, “Betapa parahnya hal ini dalam pandangan Islam. Apalagi Mesir tak hanya memproduksi kertas, hiasan tersebut juga ada di bejana, pakaian, dan kain. Semua tersebar ke seluruh wilayah Islam dalam kondisi hiasan berupa kalimat kemusyrikan ada di atasnya.”


Segeralah beliau menyurati ‘Abdulaziz bin Marwan (w. 86 H), saudaranya yang merupakan gubernur Mesir agar meniadakan hiasan tersebut dari kertas, pakaian, dan kain produksi pabrik-pabrik peninggalan Romawi di Mesir. Juga agar sebagai gantinya, di atas kertas papyrus diletakkan semacam hiasan bertuliskan “Syahidallahu annahu Laa Ilaaha illaa Huwa (Allah bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Dia, QS. 3: 18).” Kemudian kertas papirus baru itu diproduksi massal dan didistribusikan ke seluruh wilayah Khilafah Umawiyyah. Diumumkan pula bahwa barangsiapa masih menggunakan kertas papirus model lama akan dihukum keras.


Lama-kelamaan, sampai pulalah kertas papirus model baru itu ke Romawi. Dilaporkanlah ke Kaisar Romawi. Setelah ia minta hiasan bertuliskan Arab itu diterjemahkan, beranglah ia. Lantas Kaisar menuliskan surat ke Khalifah ‘Abdulmalik:


“Sungguh produksi kertas di Mesir dan produk lainnya sudah diberi hiasan tersebut sejak wilayah itu di bawah kuasa Romawi hingga baru Engkaulah yang menggantinya. Jika memang para khalifah sebelum Engkau telah berbuat benar (dengan tidak mengubahnya), maka Engkau telah berbuat salah. Tetapi jika Engkau yang berbuat benar, berarti mereka semua telah berbuat salah. Silakan pilih antara kedua opsi ini yang Engkau inginkan dan sukai. Saya pun mengirimkan hadiah yang layak bagi kemuliaan Engkau dan saya berharap balasannya adalah hiasan lama tersebut dalam kertas papirus dan selainnya. Saya berterima kasih dan mohon Engkau terima hadiah ini.”


Seketika surat tersebut sampai dan dibaca oleh Khalifah ‘Abdulmalik, beliau tidak menerima hadiah tersebut seraya meminta utusan Romawi agar pulang kembali membawa hadiah tadi dan agar menyampaikan kepada Sang Kaisar bahwa tidak ada jawaban atas suratnya.


Begitu utusan Romawi tersebut tiba dan menyampaikan semuanya kepada Sang Kaisar, ia segera menuliskan surat berisi permintaan yang sama seraya melipatgandakan besar hadiah menjadi dua kali lipat. Tetapi hal yang sama dilakukan oleh Khalifah ‘Abdulmalik. Mendengar itu, Kaisar pun dengan geram menulis surat:


“Sungguh Engkau telah meremehkan surat dan hadiah saya serta tidak mengabulkan permintaan saya. Anggapan saya adalah bahwa Engkau menilai kecil hadiah saya. Maka dengan ini saya lipat gandakan hadiah saya menjadi tiga kali lipatnya. Saya pun bersumpah dengan Al-Masih bahwa Engkau harus mengembalikan hiasan tersebut seperti sedia kalanya atau aku akan memerintahkan agar mata uang emas dan perak dari Romawi dicetak dengan bertuliskan celaan atas Nabi Engkau yang jika Engkau membacanya pasti akan berkeringat keningmu. Sebab saya tahu bahwa tidaklah mata uang emas dan perak dicetak oleh orang Islam. Semuanya cetakan negeriku. …”


Tibalah surat itu di tangan Khalifah ‘Abdulmalik, maka sempitlah bumi bagi beliau. “Sungguh aku akan menjadi orang yang paling celaka jika aku menodai kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membiarkan hinaan orang non-muslim ini atas Rasulullah tersebar di seluruh negeri Arab.” Hal itu karena kaum muslimin masih menggunakan mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) asal Romawi. 


Beliau pun segera kumpulkan tokoh-tokoh kaum muslimin di Damaskus dan meminta solusi dari mereka tetapi tak menemukannya. Lantas beliau dinasihati agar meminta saran dari Al-Imam Muhammad Al-Baqir (w. 114 H). Dalam sumber lain ulama yang dimintai pendapat adalah Al-Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (w. 95 H), ayah dari Al-Imam Al-Baqir. Hal itu sebab Al-Imam Al-Baqir di tahun kejadian ini diperkirakan masih remaja dan karena di sebagian teks kitab tertulis “Al-Baaqii (الباقي) min Ahlilbait”, yakni sang ulama yang tersisa dari Ahlulbait, bukan Al-Baqir (الباقر). Begitu pula nama Muhammad bin ‘Ali di sebagian manuskrip tertulis ‘Ali saja [4]. Pandangan ini sangat masuk akal dan memang sangat mungkin ada kekurangakuratan penyalinan di sebagian naskah. Bagaimana pun itu, keduanya memang termasuk ulama besar dari Ahlulbait, rahimahumallah.


Sang Imam pun memberi masukan agar beliau membentuk tim yang mencetak sendiri dinar dan dirham. Di satu sisi koin dituliskan syahadat Laa Ilaaha Illallah dan di sisi satunya lagi dituliskan syahadat Muhammadur Rasulullah. Sementara itu di tepiannya melingkar dituliskan nama kota tempat dicetaknya dan tahun pencetakannya. Kemudian dinar dan dirham tadi diedarkan ke seluruh wilayah Kekhalifahan dan mata uang Romawi tidak boleh masuk. Yang sudah telanjur ada pun ditarik dari peredaran, dilebur, dan dicetak ulang. Khalifah juga mengumumkan akan menghukum keras siapa yang masih menggunakan mata uang Romawi. Boikot uang Romawi, sebut saja demikian.


Khalifah juga menyurati Kaisar Romawi untuk mengabarkan itu sehingga Sang Kaisar pun tak jadi melakukan apa yang ia ancamkan sebab ia merasa tak ada gunanya sebab mata uang berisi celaan atas Rasulullah itu takkan beredar di tengah kaum muslimin. Justru yang ada adalah Romawi kian merugi sebab uang cetakan mereka tak lagi digunakan di wilayah Umawiyyah yang teramat luas itu. Demikian.


Sebetulnya banyak hal menarik yang dapat diulas dari kisah historik di atas. Di antaranya adalah nampak “tak garangnya” Kaisar Romawi atas Khalifah saat itu. Perhatikan sikapnya dan pernyataannya tadi. Masyaallah. Sungguh amat berwibawanya kaum muslimin beserta pimpinan mereka kala itu.


Ada juga hal menyentuh lainnya dalam kejadian di atas karena Khalifah Bani Umayyah, ‘Abdulmalik bin Marwan, meminta saran langsung kepada Al-Imam Zainal ‘Abidin (atau Al-Imam Al-Baqir) dan kisah itu dipopulerkan dengan penuh apresiasi oleh Harun Ar-Rasyid, khalifah Bani Abbasiyyah.


Sebagian dari pembaca tentu ada yang tertarik dengan fakta ini. Semoga Allah merahmati mereka semua. Ya, memang demikianlah seharusnya apalagi jika urusannya sudah menyangkut rencana pencemaran nama baik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. 


Akan tetapi, penulis ingin mengajak para pembaca budiman untuk mengingat-ingat bahwa kejadian ini terjadi kira-kira tahun 74-77 Hijriah (Mei 695-Maret 697 Masehi) sebagaimana diutarakan oleh Al-Imam Al-Baladzri (w. 279 H) dalam Futuhul Buldan [5] dan Al-Imam As-Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’ [6]. Jika demikian, maka berarti Kaisar Romawi (Timur) yang dimaksud di kisah ini adalah antara Leontios yang memerintah tahun 695-698 M atau Tiberius III yang menjabat tahun 698-705 M [7]. 


Meski menurut dugaan penulis kemungkinan besar sosok tersebut adalah Leontios, tetapi akhir dari kekuasaan kedua kaisar ini sama-sama tragis. Leontios dijungkalkan oleh salah satu pejabat militernya, Tiberius III, yang juga saat itu memotong hidung dan lidah Leontios. Tiberius III lantas menjadi kaisar dan mengurung Leontios [8]. Tragisnya Tiberius III juga kelak diberontak oleh Justinian II, salah satu panglimanya sendiri. Justinian II lalu memanggil Leontios dari pengurungan dan mengumpulkannya bersama Tiberius III di hadapan rakyat di sebuah stadion area pacuan kuda secara hina untuk kemudian leher keduanya diinjak oleh Justinian II lalu leher keduanya dipancung. Jasad keduanya lalu dibuang ke laut olehnya [9].


Barangkali inilah hukuman dunia bagi orang yang hendak melecehkan Habiibanaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas bagaimana pula hukuman (setidaknya di akhirat) bagi yang memerintahkan pemajangan karikatur mendiskreditkan Kanjeng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dipublish dalam ukuran besar di seantero ibukota ,seraya menjaganya dengan petugas bersenjata, dan mengancam akan menghukum warga negaranya sendiri jika protes?


Jeddah, 12 Rabi’ul Awwal 1442 H

Nur Fajri Romadhon


FOOTNOTE:

[1] Lihat: Ad-Damiri, Hayatul Hayawan Al-Kubra (I/225-229). Damaskus: Darul Basyair, 2005 M.

[2] Lihat: Ibrahim Al-Baihaqi, Al-Mahasin wal-Masawi’ (h. 467-470). Beirut: Dar Shadir, 1970 M.

[3] Lihat: As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’ (h. 164). Mekkah, Maktabah Nizar, 2004 M.

[4] Lihat: Al-Mazandarani, Al-‘Iqd Al-Munir (I/72-73). Teheran: Maktabah Ash-Shaduq, 1962 M.

[5] Lihat: Al-Baladzri, Futuhul Buldan (h. 451). Beirut: Maktabah Al-Hilal, 1988 M.

[6] Lihat: As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’ (h. 164).

[7] Lihat: Norwich, A Short History of Byzantium (h. 98-108). New York: Vintage Publishing, 1997 M.

[8] Lihat: Garland, Byzantine Women (h. 2). Surrey: Ashgate Publishing, 2006 M.

[9] Lihat: Grierson, et.al., The Tombs and Obits of the Byzantine Emperors (h. 51). Washington: Dumbarton Oaks, vol. 16, 1962 M.

Friday, February 19, 2021

Di Balik Penundaan Pemakaman Jenazah Nabi SAW.

 REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH#75.


Di Balik Penundaan Pemakaman Jenazah Nabi SAW. 


Pertanyaan:


Ada yang mengatakan bahwa istidlâl Hizbut Tahrir dan sebagian fukaha atas penundaan pemakaman jenazah Nabi saw. sebagai dalil atas kewajiban membaiat seorang khalifah adalah tidak benar. Pasalnya, penundaan itu disebabkan oleh sebab-sebab lainnya seperti penundaan kaum Muslim untuk penyiapan jenazah. Yang menjadi dalil adalah semata-mata kewafatan Nabi saw., lalu mereka mengangkat seorang imam/khalifah. Inilah dalil atas kewajiban baiat kepada Khalifah dan bukan penundaan pemakanan jenazah Nabi saw. Jadi tidak ada hubungan penundaan pemakanan jenazah itu dengan baiat.


Bagaimana penjelasan atas masalah ini  secara rinci?


Jawab:


Sebelum menjawab masalah seputar penundaan pemakaman jenazah Nabi saw., ada baiknya disebutkan beberapa perkara ushul tentang beberapa hukum syariah.


Asal dalam perintah secara syar’i memberikan pengertian “tuntutan untuk mengerjakan (thalab al-fi’li)”. Perintah ini memerlukan indikasi (qarînah) yang menjelaskan jenis tuntutannya. Jika qarînah dari perintah itu memberi faedah pasti/tegas (jazm) maka tuntutan perintah itu juga bersifat jazm (pasti/tegas), yakni fardhu/wajib. Jika qarînah-nya tidak memberikan pengertian jazm, tetapi sekadar penguatan (tarjîh) atas kebaikan di dalamnya maka tuntutan perintah itu juga tidak jazm (tegas/pasti), yakni hanya mandûb/sunnah saja. Jika qarînah-nya memberikan pengertian pilihan maka tuntutan perintahnya sekadar menunjukkan makna mubah/halal.


Ini berlaku atas setiap nas syariah di dalam Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Di dalam al-Quran, misalnya, Allah SWT berfirman:


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Jika telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kalian di muka bumi,  carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyak supaya kalian beruntung (QS al-Jumu’ah [62]: 10).


Di sini ada perintah “fa[i]ntasyirû (bertebaranlah kalian)”, yakni tuntutan keluar dari masjid setelah shalat Jumat.  Dalam hal ini, kita bisa mencari qarînah untuk kita lihat apakah intisyâr—yakni  keluar dari masjid setelah selesai shalat—itu sebagai fardhu, mandub atau mubah? Lalu kita mendapati bahwa kaum Muslim dulu setelah selesai shalat Jumat ada yang keluar segera dan ada juga yang duduk sebentar atau lama. Yang demikian mereka lakukan dengan persetujuan Rasul saw. Artinya, orang yang keluar dan yang duduk sama saja.  Ini menunjukkan bahwa “fa[I]ntasyirû (bertebaranlah kalian)” merupakan perintah yang menunjukkan tuntutan atas ibâhah (pilihan).


Contoh lain: berdiri untuk menghormati jenazah. Syu’bah telah menceritakan dari Abdullah bin Abi as-Safar yang berkata: Aku mendengar asy-Sya’bi menceritakan dari Abi Said:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرُّوا عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَقَامَ. وَقَالَ عَمْرٌو: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ

“Sungguh mereka membawa sesosok jenazah melewati Rasulullah saw. lalu beliau berdiri.” Amru berkata, “Sungguh Rasulullah saw. dilewati sesosok jenazah lalu beliau berdiri.” (HR an-Nasa’i).


Perbuatan Rasul saw. ini berfaedah tuntutan untuk berdiri. Kemudian kita bisa mencari qarînah untuk mengetahui apakah tuntutan itu jazm sehingga menjadi fardhu, atau tidak jazm disertai tarjîh sehingga menjadi mandûb, atau pilihan sehingga menjadi mubah. Kita menemukan di dalam Sunan an-Nasa’i riwayat dari Ayyub dari Muhammad:


أَنَّ جَنَازَةً مَرَّتْ بِالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَامَ الْحَسَنُ وَلَمْ يَقُمْ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَقَالَ الْحَسَنُ: أَلَيْسَ قَدْ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِجَنَازَةِ يَهُودِيٍّ؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَعَمْ، ثُمَّ جَلَسَ صلى الله عليه وسلم.

Sesosok jenazah dibawa melewati Hasan bin Ali dan Ibnu Abbas. Lalu Hasan berdiri, sementara Ibnu Abbas tidak berdiri. Kemudian Hasan berkata, “Bukankah Rasulullah saw. pernah berdiri untuk jenazah seorang Yahudi?”  Ibn Abbas berkata, “Benar, kemudian beliau (juga) duduk.” (HR an-Nasa’i).


Berdasarkan kedua hadis di atas, berdiri dan duduk saat jenazah lewat itu pilihan, yakni mubah.


Begitu juga terkait baiat para Sahabat di Saqifah.  Baiat itu merupakan perbuatan yang disepakati oleh para Sahabat. Hal itu menunjukkan tuntutan baiat kepada Khalifah jika jabatan Khilafah kosong.  Untuk menetapkan bahwa tuntutan ini merupakan fardhu, mandûb atau mubah, maka kita bisa mencari qarînah-nya. Kita menemukan qarînah-nya memberikan faedah jazm. Pasalnya, para Sahabat mengedepankan baiat atas pemakaman jenazah, padahal memakamkan jenazah itu adalah fardhu.  Ini berarti bahwa baiat adalah fardhu dan lebih penting dari kefardhuan memakamkan jenazah.


Atas dasar itu, dalil atas baiat Khalifah jika jabatan Khilafah kosong adalah fardhu. Dalil atas yang demikian adalah penundaan pemakaman jenazah Rasulullah saw. oleh para Sahabat. Begitulah. Penundaan pemakaman dilakukan sampai baiat sempurna. Karena pemakaman jenazah adalah fardhu maka yang dijadikan lebih utama dari pemakaman itu adalah fardhu.


Begitulah. Penundaan pemakaman jenazah sampai sempurna dilakukan baiat menjelaskan bahwa baiat kepada Khalifah adalah wajib dan sebaik-baik fardhu. Ini dari sisi fikih.


Adapun dari sisi ucapan, bahwa penundaan pemakaman tidak ada hubungannya dengan baiat, tetapi demi menyiapkan jenazah, maka perkara ini jauh dari fakta yang terjadi.  Berita wafatnya Rasul saw. adalah kejadian yang gamblang didengar oleh para Sahabat di Madinah dan sekitarnya. Kaum Muslim berbondong-bondong ke Madinah dan ke masjid. Akan tetapi, mereka lebih menyibukkan diri dengan memberikan baiat untuk Abbu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat.


Berikut adalah rangkaian kejadian seperti yang dinyatakan di dalam berbagai kitab sirah:


Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin. Jenazah beliau belum dimakamkan hingga malam Selasa. Selasa siang Abu Bakar dibaiat. Jenazah Rasul saw. baru dimakamkan pada tengah malam Rabu, sementara Abu Bakar dibaiat sebelum pemakaman jenazah Rasul saw.  Yang demikian itu menjadi ijmak yang menunjukkan bahwa para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan mengangkat khalifah daripada pemakaman jenazah.  Yang demikian tidak terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib dari pemakaman jenazah.


Oleh karena itu penundaan pemakaman bukanlah karena agar kaum Muslim berkumpul untuk menyiapkan jenazah. Buktinya, saat mereka dan khususnya para Sahabat telah berkumpul, mereka lebih menyibukkan diri untuk berbaiat. Ketika mereka telah selesai membaiat Abu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat, mereka baru menyibukkan diri dengan memakamkan jenazah Rasulullah saw. Kapan itu terjadi? Pada tengah malam setelah mereka menyelesaikan baiat. Seandainya penundaan pemakanan jenazah Rasul saw. itu dimaksudkan agar masyarakat berkumpul untuk sama-sama menyaksikan atau mengurus jenazah, niscaya pada siang hari Senin, atau malam Selasa, atau Selasa siang jenazah Rasul saw. sudah dimakamkan. Akan tetapi, mereka menunggu sampai baiat untuk Abu Bakar sempurna dengan baiat in’iqâd dan baiat taat. Setelah selesai mereka bersegera langsung menyibukkan diri dengan memakamkan jenazah Rasulullah saw. pada tengah malam Rabu.


Oleh karena itu, dengan pemikiran dan perenungan atas penundaan pemakaman jenazah Rasul saw. tersebut, jelaslah bahwa penundaan itu tidak karena suatu sebab kecuali karena mereka telah menyelesaikan baiat kepada Abu Bakar baik baiat in’iqâd maupun baiat taat. Dengan demikian jelas pula hubungan penundaan jenazah Rasul saw. dengan pembaiatan Abu Bakar ra. sebagai khalifah.


[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 22 Rabiuts Tsani 1435 H-22 Februari 2014)