Saturday, July 27, 2019

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Hizbut Tahrir Mengkafirkan Kaum Muslim?

Idrus Ramli berkata:
“Sikap yang paling baik dalam mengahadapi suatu persoalan adalah sikap moderat, netral dan tidak berlebih-lebihan. Sikap demikian ini akan dapat
mengantarkan seseorang untuk mengambil keputusan secara bijak, adil, berimbang dan tidak memihak. Agama kita juga melarang bersikap ekstrem (ghuluw) dalam menghadapi persoalan, meskipun berkaitan dengan soal-soal agama. Karena tidak jarang sikap ekstrem menjerumuskan seseorang kedalam keputusan yang fatal dan merugikan diri sendiri. Nabi SAW bersabda:

عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين.

Ibn Abbas berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kamu adalah sikap ekstrem dalam agama”. (HR al-Nasai, (hadis no. 3007), Ibn Majah, (hadis no. 3020), Ahmad, (hadis no. 1754), dan dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, (hadis no. 1664).

Tegaknya khilafah Islamiyyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum muslim pada masa silam, memang diwajibkan dalam agama apabila kita mampu melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu bersemangat dalam menyikapi khilafah, juga kurang baik dan dapat menjerumuskan kita pada sikap yang keliru. Tidak sedikit sikap ekstrem seseorang justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyuddin al-Nabhani dalam pernyataannya berikut ini:

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Tentu saja pernyataan al-Nabhani di atas sangat berlebih-lebihan. Dalam pernyataan di atas, al-Nabhani menganggap orang yang tidak ikut memperjuangkan visi dan misi Hizbut Tahrir tentang khilafah, berdosa besar. Menurutnya pula, ketika khilafah tidak ada, maka Islam pun tidak ada di muka bumi ini. Hal ini, berarti menurut al-Nabhani, ketika khilafah tidak ada, maka semua orang di muka bumi ini menjadi kafir, karena Islam mereka anggap tidak ada. Ini merupakan statemen al-Nabhani yang sangat ekstrem dan ceroboh.

Dalam bukunya, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah dan al-Nizham al-Ijtimai fi al-Islam, al-Nabhani tidak pernah menyinggung kewajiban-kewajiban utama dalam Islam seperti membaca syahadat, menunaikan shalat, zakat, puasa dan haji. Al-Nabhani juga tidak pernah menyinggung dosa-dosa besar dan terbesar dalam Islam seperti kekufuran dan kesyirikan, membunuh orang dan lain-lain. Namun di bagian akhir bukunya al-Nabhani berlebih-lebihan dalam menyikapi khilafah, seakan tidak ada kewajiban lain yang lebih penting dari pada khilafah, dan tidak ada dosa lain selain berpangku tangan dari memperjuangkan tegaknya khilafah.

Urgensi khilafah dalam ranah politik Islam sebagai simbol pemersatu kaum muslimin dan lambang kejayaan umat Islam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab mereka. Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa khilafah bukan termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.

Sedangkan pernyataan al-Nabhani di atas bahwa, “wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah,” jelas keliru fatal dan tidak benar. Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa, Islam itu ada kalau ada khalifah, dan Islam tidak ada ketika tidak ada khalifah. Pernyataan tersebut bermakna pula terhadap pengkafiran kaum muslimin di muka bumi sejak satu abad yang lalu, setelah sistem khilafah dihapus dari negara Turki. Demikian pula, pernyataan sebagian aktivis Hizbut Tahrir, la syari’ata illa bidaulah al-khilafah (Tidak ada syariat kecuali ada negara khilafah) dan pernyataan Hizbut Tahrir, la islama bila khilafatin (Tidak ada Islam tanpa khilafah).
Makna pernyataan di atas adalah pengkafiran terhadap seluruh kaum muslimin sejak satu abad yang silam, setelah khilafah tidak ada. Tentu saja pernyataan tersebut sangat ekstrem dan berlebih-lebihan… Bahkan menurut al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, kajian tentang khilafah itu tidak terlalu penting. Dalam hal ini Hujjatul Islam al-Ghazali berkata:

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ.

“Kajian tentang imamah/khilafah bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fiqih. Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya”. (Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 99-104).

Kemudian sebagaimana biasanya, Idrus Ramli menyampaikan dalil-dalil dari hadis dan al-Qur’an terkait iman dan Islam yang mengokohkan kesimpulannya lalu berkomentar:

“Dalam hadis-hadis diatas, Islam didefinisikan dengan amaliah-amaliah pokok dalam agama seperti mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan puasa. Terkadang Islam didefinisikan dengan keimanan, dan terkadang pula dengan budi pekerti yang luhur seperti perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain. Agaknya kita kesulitan menemukan teks al-Qur’an dan sunnah atau perkataan ulama yang mendefinisikan Islam dengan khilafah yang memang bukan ajaran pokok dalam agama. Oleh karena wujudnya khilafah dalam Islam bukan termasuk kewajiban pokok, para ulama mengatakan bahwa mengangkat seorang khalifah itu wajib ketika umat Islam mampu melakukannya. Dalam konteks ini al-Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini yang menyandang gelar Imam al-Haramain berkata:

فنصب الإمام عند الإمكان واجب.
“Mengangkat seorang imam adalah wajib ketika mampu melakukan”.
Dewasa ini kaum muslimin tidak memiliki khalifah, karena memang tidak mampu melakukannya. Suatu kewajiban akan menjadi gugur ketika tidak mampu dilakukan…” (Ibid, hal. 108-110).

MEMBONGKAR PAT :

Untuk memudahkan para pembaca, bantahan ini akan terbagi menjadi lima bagian:

Pertama, terkait pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ، بل و يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah”.

Di situ ada redaksi yang dibuang dan terjemahan yang dikorupsi. Padahal redaksi dan terjemahan yang tepat adalah sebagai berikut;

والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي، لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام، ويتوقف عليه إقامة أحكام الدين، بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة. {الشخصية الإسلامية، 2/12}.

“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seoang khalifah bagi kaum muslimin adalah termasuk maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling penting dan tergantung padanya penegakkan hukum-hukum agama, bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada kewajiban itu”.

Sehingga dengan redaksi dan terjemah seperti ini kesimpulannya sangat berbeda dengan kesimpulan Idrus Ramli. Kesimpulannya adalah: 1) Berpangku tangan dari menegakkan khalifah adalah maksiat diantara maksiat-maksiat yang paling besar. Berarti masih banyak maksiat yang paling besar selain dari padanya seperti syirik, sihir, zina, membunuh dll. 2) Karena termasuk berpangku tangan dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Islam yang paling besar. Berarti masih banyak kewajiban Islam yang paling besar selain dari padanya seperti shalat, puasa, zakat dll. 3) Penegakkan hukum-hukum agama bergantung pada kewajiban itu, yaitu hukum-hukum yang terkait kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini dapat dipahami dari redaksi setelahnya. Jadi menegakkan khilafah termasuk kewajiban yang paling besar karena kewajiban yang paling besar yang lain bergantung kepadanya, yaitu kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah dalam realita kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti hudud dll. Dan 4) Wujudnya Islam dalam kancah kehidupan bergantung pada kewajiban itu, yaitu wujudnya hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi arti kehidupan dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir adalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau kehidupan politik dan berpolitik, bukan hanya kehidupan pribadi atau individu.

Sedangkan kenapa Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir dalam sejumlah kitabnya tidak menuturkan kewajiban-kewajiban besar yang lain dan tidak pula menuturkan dosa-dosa besar yang lain? Jawabannya karena, 1) Mencukupkan diri dengan kitab-kitab terkait yang telah ditulis oleh para ulama yang lain. 2) Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam ideologis dan Syaikh Taqiyyuddin adalah pendirinya, maka kitab-kitabnya pun harus yang dibutuhkan dan terkait dengan politik dan ideologi Islam.

Akan tetapi secara pribadi, para syabab Hizbut Tahrir termasuk Syaikh Taqiyyuddin juga telah menulis kitab-kitab yang lain yang menjelaskan kewajiban-kewajiban besar dan dosa-dosa besar yang lain, dan saya juga telah menulis kitab Iqadzul Himah litaqwiyah al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah yang di antara isinya menjelaskan kewajiban-kewajiban dan dosa-dosa besar yang lain. Dan perlu diketahui bahwa dalam dunia tashnif dan ta’lif, penulisan isi kitab adalah hak pribadi penulis dan sesuai kebutuhan yang menjadi motifnya. Dan juga perlu diketahui bahwa para mushannif dan muallif itu saling melengkapi antara satu sama lainnya. Maka kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir juga oleh para syababnya pada dasarnya adalah melengkapi hazanah tsaqafah Islam yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Jadi bukan kesalahan yang harus dipermasalahkan apalagi dosa yang harus dikritik, dibenci dan dicaci-maki, ketika seorang mushannif atau muallif dalam kitabnya tidak menjelaskan ini dan itu.
Dengan demikian, dapat kita pastikan bahwa redaksi pernyataan Syaikh Taqiyyuddin dan terjemahnya yang telah disampaikan, dikurangi dan dikorupsi oleh Idrus Ramli seperti di atas adalah kesalahan dari Idrus Ramli. Maka semua kesimpulan pokok, kesimpulan cabang dan kesimpulan rantingnya pun ikut salah, karena semuanya hanyalah pengikut dari yang diikuti yang juga salah. Apalagi Idrus Ramli terlalu ekstrem dan berlebih-lebihan dalam membuat semua kesimpulannya.

Kedua, terkait fardhu kifayah serta karakternya. Bukan hal yang asing bagi para ulama Ahlussunnah Waljamaah dan para aktivis Hizbut Tahrir bahwa menegakkan khilafah dan mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah, fardhu ‘alal kifayah atau fardhu ‘alal muslimin atau ‘ala jami’il muslimin. Dalam hal ini Imam Nawawi berkata:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية...

“Umat Islam harus memiliki Imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, menyempurnakan serta meletakkan sejumlah hak pada tempatnya. Aku berkata: “Mengatur imamah adalah fardhu kifayah…..” (Al-Nawawi, Raudhatut Thalibiin wa 'Umdatul Muftiin, juz III, hal. 433, al-Maktabah al-Syamilah).

Abu Yahya Zakaria al-Anshari berkata:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء...
“(Fasal) Syarat-syarat Imam Agung (khalifah) dan menjelaskan metode legalitas imamah. Imamah adalah fardhu kifayah seperti pengadilan…..” (Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahhab, juz II, hal. 268, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berkata:
وإقامة خليفة فرضٌ على كافة المسلمين في جميع أقطار العالم. والقيام به -كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين...
“Menegakkan khalifah adalah fardhu atas semua kaum muslim (fardhu kifayah) di semua penjuru dunia. Sedang melaksanakannya itu seperti halnya melaksanakan fardhu yang lain dari sejumlah fardhu yang telah difardhukan oleh Allah atas kaum muslim…..” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz II, hal. 15, cetakan ke III, 1994 M. Daar al-Ummah, Berut).

Dan terkait karakter fardhu kifayah, Syarif Ali bin Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’rifat-nya berkata:

وفرض الكفاية: ما يلزم جميع المسلمين إقامته ويسقط بإقامة البعض عن الباقين كالجهاد وصلاة الجنازة.
“Fardhu kifayah ialah perkara dimana semua kaum muslim berkewajiban menegakkannya, dan dengan ditegakkan oleh sebagian kaum muslim,dosanya gugur dari kaum muslim yang lainnya, seperti jihad dan shalat janazah”.

Dan komunitas ulama al-Azhar berkata:
فرض كفاية متى قام به البعض سقط عن الباقين وإذا تركه الجميع أثموا....
“Fardhu kifayah kapan saja ada sebagian (dari kaum muslim) yang telah melaksanakannya, maka (dosanya) gugur dari sebagian yang lainnya,dan apabila mereka semua meninggalannya, maka semuanya berdosa…..” (Fatawa al-Azhar, jus I, hal. 185, al-Maktabah al-Syamilah).

Dan komunitas ulama Hijaz berkata:
صلاة العيدين فرض كفاية؛ إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الباقين...
“Shalat ‘idul fitri dan ‘idul adhha adalah fardhu kifayah dimana ketika telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain… ” (Fatawa al-Lajnah al-Daaimah lil buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta', juz X, hal. 289,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Sayyid Abu Bakar al-Bakri bin Sayyid Muhammad Shatha al-Dimyathi berkata:
وقولهم فرض الكفاية يسقط بفعل واحد: معناه يسقط الاثم به.
“Pernyataan ulama “Fardhu kifayah gugur dengan pekerjaan satu orang (seperti mengurus janazah)”, maknanya dosanya gugur denga pekerjannya… ”. (I’anatuh al-Thalibiin, juz II, hal. 150,al-Maktabah al-Syamilah).

Dan Imam Nawawi berkata:
وان فرض الكفاية إذا فعله من حصل به المطلوب سقط الحرج عن الباقين والا اثموا كلهم...
“Dan bahwa fardhu kifayah ketika telah dikerjakan oleh orang yang bisa menghasilkan tuntutan, maka dosa itu gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila tidak ada yang mengerjakan (sampai selesai), maka semua kaum muslim berdosa...” (Al-Majmu’, juz I, hal. 32,al-Maktabah al-Syamilah).

Dalam bagian lain Imam Nawawi berkata:
لان فرض الكفاية واجب علي جميعهم ولكن يسقط الحرج بفعل البعض ولهذا لو تركوه كلهم عصوا...
“Karena fardhu kifayah itu wajib atas semua kaum muslim, tetapi dosanya gugur dengan pekerjaan sebagian mereka, oleh karena ini, apabila mereka semua meninggalkannya, maka semuanya maksiat... (Ibid, juz V, hal. 3).

Dan pada bagian lain Imam Nawawi berkata:
ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا ...
“Konotasi fardhu kifayah ialah apabila telah dikerjakan oleh orang yang mencukupi, maka dosanya gugur dari orang-orang yang lain, dan apabila meraka semua meninggalkannya, maka semuanya berdosa…..” (Ibid, juz V, hal. 128).

Dan al-‘Allamah Zainuddin al-Malaibari berkata:
وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين، ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا،.....
“Hukum fardhu kifayah ialah ketika telah dikerjakan oleh orang-orang yang bisa mencukupi, maka dosanya gugur darinya juga dari orang-rang yang lain, dan setiap orang muslim yang tidak memiliki udzur itu berdosa ketika mereka meninggalkannya meskipun mereka bodoh,…..” (Lihat; Fathul Mu’in, juz IV, hal. 206, al-Maktabah al-Syamilah.

Dengan mengutif sejumlah pernyataan ulama di atas terkait fardhu kifayah serta karakternya, maka pernyataan Syaikh Taqiyyuddin yang dipermasalahkan oleh Idrus Ramli di atas adalah pernyataan yang sesuai dengan realita dan karakter fardhu kifayah yang sebenarnya, yang padanya tidak terselip sedikitpun sikap ekstrem dan berlebih-lebihan, sebagaimana kesimpulan Idrus Ramli yang sangat ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi sebenarnya yang sangat ekstrem dan berlebiha-lebihan adalah Idrus Ramli sendiri, bukan Syaikh Taqiyyuddin atau Hizbut Tahrir.

No comments: