Monday, April 29, 2024

Inilah Kitab yang Dicari Imaduddin Utsman Kitab Abad 4 H

 Inilah Kitab yang Dicari Imaduddin Utsman Kitab Abad 4 H


Setelah tulisan untuk Meluruskan seorang kyai dari Banten yang mau mencoba menolak nasab habaib dari keturunan Sayid Alwi Ubaidillah, ternyata dia masih berusaha menentang dengan membuat tulisan baru yang intinya tidak berkenan jika Kitab nasab yang dihadirkan adalah kitab nasab yang ditulis jauh dari masa kehidupan Sayid Alwi Bin Ubaidillah.


Dia ngeyel minta Kitab nasab abad yang lebih awal atau yang dekat masa kehidupannya dengan Sayid Ubaidillah Bin Ahmad. 

Mungkin karena dia sudah terlanjur penasaran, 

maka kami sodorkan Kitab nasab yang ditulis oleh ulama yang wafat di tahun 478 Hijriyah. 

Sayid Ubaidillah Bin Ahmad sendiri menurut biografi dan manaqib beliau wafat pada tahun 383 Hijriyah pada usia 93 tahun.


Ulama yang menulis kitab nasab tersebut adalah Syekh Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim bin Muhammad bin Tabataba Al-Alawi Abi Al-Muammar. 

Beliau terkenal dengan nama Ibnu Tabataba yang menurut biografi meninggal pada tahun 478 Hijriyah. Tanggal lahirnya tidak diketahui tapi jelas sangat kemungkinan bisa diperkirakan kalau umur beliau dimisalkan 60an tahun maka dekat sekali dengan tahun wafat Sayid Ubaidillah Bin Ahmad.


Kitab beliau bernama أبناء الإمام في المصر والشام الحسن والحسين رضي الله عنهما yaitu Anak-anak al Imam Ali Bin Abi Tholib di Mesir dan Syam dari Keturunan Hasan dan Husain Radhiyallahu Anhuma.


Dalam kitab beliau halaman 176 (lihat scan kitab) dalam judul


‎ذكر ولد السيد عيسى بن محمد بن علي العريضي


Diterangkan bahwa anak dan putra keturunan dari Sayid Ahmad Bin Isa Al Muhajir yang ada di Hadhramaut Yaman dan Negara Islam Yang Lain Banyak Sekali diantaranya anaknya ada yang bernama Sayid Abdullah Bin Ahmad. Sebagaimana sudah masyhur bahwa Sayid Abdullah menamai dirinya Ubaidillah karena sangat tawadlu kepada Allah (Sudah kami jelaskan dalam tulisan kami sebelumnya.


‎لكن عقب السيد عيسى بن محمد من ابنه أحمد بن عيسى الشهير بالمهاجر كان كثيرا جدا في حضرموت وبعض بلاد المسلمين له اربعة أولاد محمد بن أحمد *وعبد الله بن أحمد* وعلي بن أحمد وحسين بن أحمد.


Artinya: Tetapi Keturunan Sayid Isa Bin Muhammad dari anaknya Ahmad Bin Isa yang terkenal dengan nama Al Muhajir banyak sekali di Hadramaut dan Sebagian Negara Muslimin yang lain. Beliau mempunyai 4 anak yaitu Muhammad Bin Ahmad, *Abdullah Bin Ahmad*, Ali Bin Ahmad, dan Husain Bin Ahmad.


Yang kami tulis tebal adalah beliau Sayid Ubaidillah Bin Ahmad yang mempunyai nama lahir Abdullah dan menamai dirinya Ubaidillah.


Sekiranya sudah jelas seperti matahari dalam masalah ini, 

maka kami meminta kepada imamuddin dan para pendukungnya untuk berhenti membahas polemik ini. 

Sebagai orang yang dianggap ulama marilah kita melakukan hal lain yang lebih manfaat untuk Islam dan Kaum Muslimin daripada sekedar meributkan nasab.

HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQH ISLAM

 *HUKUM MUSIK DAN MENYANYI DALAM FIQH ISLAM* 


(Oleh : K.H. MUHAMMAD SHIDDIQ AL JAWI )


#Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan. Mohon penjelasannya.


#Jawab:


1. Pendahuluan


Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.


Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).


Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.


Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.


Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).


Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.


Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:


#Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).


#Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.


#Ketiga, hukum memainkan alat musik.


#Keempat, hukum mendengarkan musik.


Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.


Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.


3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)


Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu(Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas(hal. 97-101):


Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:

Berdasarkan firman Allah:

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)


Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.


Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).


Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].


Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].


Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].


Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].


Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”


Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).


Hadits dari Nafi’ ra, katanya:

Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].


Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:


“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].


Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].


Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].


Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.


Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).


Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:


Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).


Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:


Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).


Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).


Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halaldidasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).


3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian


Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)

Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:


Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).


Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.


Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.


Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:


“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].


Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.


Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.


Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:


“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).


“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).


3.3. Hukum Memainkan Alat Musik


Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duffatau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:


“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).


Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyahdan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).


Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:


“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).


Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.


3.4. Hukum Mendengarkan Musik


Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.


Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.


Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).


Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.


Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:


Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).


Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:


Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).


Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):


Musisi/Penyanyi.

Instrumen (alat musik).

Sya’ir dalam bait lagu.

Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:


1). Musisi/Penyanyi


a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik


Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:


a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.


3). Sya’ir


Berisi:


a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)

b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.

c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.

e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:


a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf(mencela jilbab,dsb).

b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.

c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.

d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).

e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

4). Waktu Dan Tempat


a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.

b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).

c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).

d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat(campur baur).

Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.


Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.


Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]


Wallahu a’lam bi ash-showab.


Daftar Bacaan


* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).


* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).


* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).


* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).


* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).


* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).


* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).


* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).


* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).


* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).


* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).


* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).


* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/


* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/


* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/


* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/


* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/


* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).


* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/


* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).


Oleh : K.H. M. Shiddiq al Jawi 


Rekaman audio ceramah :

https://www.dropbox.com/s/1earaga3pxcghij/KH.M.Shiddiq%20Al%20Jawi%20-%20Seniman%20Bertanya%20Islam%20Menjawab.mp3?dl=0

Friday, April 12, 2024

METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR

 METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/11/metode-dakwah-hizbut-tahrir.html?m=1


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim


Nubuwwah terbagi menjadi dua; dakwah nubuwwah di Mekkah dan daulah nubuwwah di Madinah dimana pemisah antara keduanya adalah bai'at aqobah. 


https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/10/baiat-aqobah-adalah-metode-syari-untuk.html?m=1


Dan karena untuk menegakkan khilafah belum bisa memenuhi syarat-syaratnya yang digali dari sunnah Nabi saw dan sunnah Alkhulafaa Arrosyidiin, maka kewajiban umat Islam adalah dakwah nubuwwah / dakwah ala minhajin nubuwwah. Yakni dakwah dengan mengikuti metode dakwah Nabi saw pada fase Makkah, tidak boleh menyimpang sehelai rambut pun. Bukan malah dengan memalsukan khilafah seperti halnya kelompok Abdul Qodir Hasan Baraja dengan khilmusnya.


Lalu bagaimana menegakkan khilafah pertama kali? Klik di sini :


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/09/bagaimana-menegakkan-khilafah-pertama.html?m=1


*****


Bismillaah...


Metode Dakwah Hizbut Tahrir 


Telah disebutkan di kitab at-Ta’rîf (Ta'rif Hizb at-Tahrir, hal. 28-39) sebagai berikut:


"Metode Hizbut Tahrir (طريقة حزب التحرير)


• Metode perjalanan dalam mengemban dakwah merupakan hukum syara’, diambil dari metode perjalanan Rasul saw dalam mengemban dakwah, sebab itu adalah wajib diikuti. Hal itu karena firman Allah SWT:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (TQS al-Ahzab [33]: 21).


Dan firman Allah SWT:

﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS Ali Imran [3]: 31).


Dan firman Allah SWT:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Dan banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan wajibnya mengikuti Rasul saw dan meneladani Beliau serta mengambil dari beliau.


• Keberadaan kaum Muslim hari ini mereka hidup di Dar al-Kufur, karena mereka diperintah dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka negeri (dâr) mereka menyerupai Mekah ketika Rasul saw diutus. Oleh karena itu periode Mekah dalam mengemban dakwah wajib menjadi obyek peneladanan.


• Dan dari menelaah sirah Rasul saw di Mekah hingga tegak daulah di Madinah menjadi jelas bahwa beliau berjalan dalam tahapan-tahapan yang ajarannya jelas sekali. Beliau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang menonjol di tahapan-tahapan itu. Maka dari hal itu, Hizb (Hizbut Tahrir) mengambil metodenya dalam menjalani dakwah, tahapan-tahapannya, dan aktivitas-aktivitas yang wajib dilakukan di tahapan-tahapan ini sebagai peneladanan terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Rasul saw di tahapan-tahapan perjalanan dakwah beliau.


Berdasarkan hal itu, Hizb menentukan metode perjalanannya dengan tiga tahapan:


Pertama; tahapan pembinaan (مرحلة التثقيف) untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang mengimani ide (fikrah) Hizb dan metode (tharîqah)nya untuk membentuk kelompok kepartaian.


Kedua; tahapan berinteraksi dengan umat ( مرحلة التفاعل مع الأمة ), untuk mengemban Islam kepada umat sehingga umat mengambilnya menjadi agenda umat, supaya umat beraktifitas mewujudkannya di tengah realitas kehidupan.


Ketiga; tahapan penerimaan kekuasaan ( مرحلة استلام الحكم ) dan penerapan Islam secara umum dan menyeluruh dan mengembannya sebagai risalah ke seluruh dunia.


• Adapun tahapan pertama, maka Hizb telah memulainya di al-Quds pada tahun 1372 H-1953 M melalui tangan sang pendiri, al-‘alim al-jalil dan pemikir besar, politisi ulung, dan qadhi di Mahkamah Banding di al-Quds al-ustadz Taqiyuddin an-Nabhani ‘alayhi rahmatullâh. Hizb dalam tahapan itu melakukan kontak dengan individu-individu umat, menyodorkan kepada mereka secara individual, ide dan metode Hizb. Siapa yang menjawab seruan Hizb maka Hizb mengaturnya untuk kajian intensif (dirâsah murakkazah) di dalam halqah-halqah Hizb, sampai Hizb meleburnya dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb. Dan dia pun menjadi pribadi yang islami yang berinteraksi dengan Islam, memiliki pola pikir islami (‘aqliyah islâmiyah) dan pola jiwa islami (nafsiyah islâmiyah) dan bertolak untuk mengemban dakwah kepada masyarakat. Jika seseorang telah sampai ke tingkat ini, dia mewajibkan dirinya sendiri untuk bergabung dengan Hizb dan Hizb pun menggabungkannya ke para anggotanya. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw di tahapan pertama dakwah yang berlangsung selama tiga tahun, mulai dari beliau menyeru manusia secara individu-individu, dan menyodorkan kepada mereka apa yang Allah utus beliau dengannya. Siapa yang beriman, beliau kelompokkan bersama beliau di atas asas agama ini secara rahasia. Beliau konsern untuk mengajarkan Islam padanya dan membacakan apa dari al-Quran yang telah dan sedang diturunkan, sampai beliau melebur mereka dengan Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak tampak. Mereka melakukan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebutan Islam menyebar di Mekah dan masyarakat pun membicarakannya dan mereka masuk ke dalam Islam secara berbanyakan …


• Setelah Hizb mampu membentuk kelompok kepartaian ini, dan masyarakat merasakannya dan mengetahuinya dan ide-idenya serta apa yang diserukannya, Hizb beralih ke:


Tahapan kedua: yaitu tahapan berinteraksi dengan umat untuk mengemban Islam kepada umat, menciptakan kesadaran umum dan opini umum di tengah umat terhadap ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang diadopsi oleh Hizb, sampai umat mengambilnya menjadi ide umat dan berjuang untuk mewujudkannya di tengah realitas kehidupan dan umat berjalan bersama Hizb dalam perjuangan untuk menegakkan Daulah al-Khilafah dan mengangkat seorang khalifah untuk melanjutkan kehidupan islami dan mengemban dakwah islamiyah ke seluruh dunia. Di dalam tahapan ini, Hizb beralih ke menyeru publik dengan seruan secara komunal (jama’iyah). Hizb dalam tahapan ini melakukan aktifitas-aktifitas berikut:


1- Pembinaan intensif ( الثقافة المركزة ) di halqah-halqah untuk individu-individu guna mengembangkan tubuh Hizb, memperbanyak kadernya dan mewujudkan pribadi-pribadi islami yang mampu mengemban dakwah dan mengarungi medan pergolakan intelektual dan perjuangan politik.


2- Pembinaan secara komunal ( الثقافة الجماعية ) untuk masyarakat umum dengan ide-ide islam dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb, di dalam kajian-kajian masjid, berbagai forum, dan seminar dan tempat-tempat pertemuan umum, dan dengan media, buku dan leaflet, untuk mewujudkan kesadaran publik di tengah umat dan berinteraksi dengan umat.


3- Pergolakan intelektual ( الصراع الفكري ) untuk keyakinan-keyakinan kufur, sistem dan ide-idenya, dan untuk keyakinan-keyakinan rusak, ide-ide yang salah dan konsepsi-konsepsi keliru, dengan menjelaskan penyimpangan, kesalahan dan pertentangannya dengan Islam, untuk membersihkan umat dari semua itu dan dari dampak-dampaknya.


4- Perjuangan politis ( الكفاح السياسي ) … ... ... (Penjelasannya agak panjang)


• Dan ketika masyarakat jumud di depan Hizb akibat umat kehilangan kepercayaannya kepada para pemimpin mereka yang sebelumnya menjadi tumpuan harapan mereka, dan akibat situasi sulit yang wilayah itu ditempatkan di dalamnya untuk meloloskan rencana-rencana konspiratif, dan akibat penguasaan dan paksaan yang dilakukan oleh para penguasa melawan bangsa-bangsa mereka, serta akibat kerasnya siksaan yang dijatuhkan oleh para penguasa terhadap Hizb dan syababnya, ketika umat jumud akibat semua itu Hizb melakukan thalab an-nushrah (meminta pertolongan) dari orang-orang yang mampu atasnya …


Berbarengan dengan pelaksanaan thalab an-nushrah ini, Hizb terus melakukan semua aktifitas yang telah dilakukan, berupa pembinaan intensif (ats-tsaqâfah al-murakkazah) di dalam halqah-halqah; pembinaan secara komunal (ats-tsaqâfah al-jamâ’iyah), pemusatan terhadap umat untuk membuat umat mengemban Islam dan mewujudkan opini umum di tengah umat; melawan negara-negara kafir imperialis dan membongkar rencana-rencananya dan menelanjangi makar-makarnya; melawan para penguasa; dan mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan umat serta mengurusi urusan-urusan umat.


• Hizb terus dalam semua itu mengharap dari Allah agar merealisasi untuk Hizb dan untuk Umat Islam keberuntungan, kesuksesan dan kemenangan, maka berikutnya:


Tahapan ketiga: yang mana tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah dan ketika itu orang-orang mukmin bergembira karena pertolongan Allah". 


Cukup terjemah kutipan dari kitab at-Ta’rîf.

https://drive.google.com/file/d/1GA_qxFQsEzGwql5zH_j7-VJkTbL1IpKF/view?usp=drivesdk


#khilafahajaranislam

#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah

Monday, April 8, 2024

Memahami Rukyat Hilal Global

 Memahami Rukyat Hilal Global


KH. Hafidz Abdurrahman *


Jika siaran langsung shalat tarawih dari Masjid Haram sepanjang bulan Ramadhan dapat diikuti kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, tapi mengapa tak bisa diadakan siaran langsung informasi rukyatul hilal dan kesamaan awal dan akhir Ramadhan?


Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek pengamatan guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu. Sebab bulan bagi planet bumi kita memang hanya ada satu.


Faktor Penyebab Perbedaan


Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, menurut analisis sebagian pemikir muslim bisa terjadi karena tiga faktor: (1) faktor astronomi, (2) fikih dan (3) faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah jelas yang paling dominan.


Secara politik, umat Islam kini hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap kepala negara menentukan awal dan akhir Ramadhannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan nash-nash syara’. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqaha, nampaknya hanya dijadikan dalil sekunder atau bahkan sekedar justifikasi.


Dalil primernya adalah kekuasaan dan fanatisme atas wilayah negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni.


Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 325 juta terpecah dalam sekitar 24 negara? Indonesia, Malaysia, Brunei, yang serumpun pun menjadi negara-negara yang terpisah. Bukankah seharusnya 1,7 miliar kaum muslimin di dunia hidup dalam satu naungan negara, sebagaimana masa peradaban Islam dahulu!


Faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu, termasuk dalam penentuan awal-akhir Ramadhan. Misalnya, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999.


Sehingga 1 Ramadhan jatuh tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.


Pada tahun 2012, ada sebagian umat Islam di Indonesia yang berpuasa 1 Ramadhan pada Kamis 19/7/2012, ada yang Jumat 20/7/2012, sedangkan pemerintah kala itu memutuskan puasa pada Sabtu 21/7/2012.


Adapun muslim di belahan negeri yang lain (seperti Timur Tengah, Eropa, dan Asia) menetapkan awal puasa Ramadhan Jumat 20/7/2012. Jadi, perbedaan karena faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu dalam puasa Ramadhan.


Problem Mathla’ Modern


Mengenai perbedaan mathla’ (tempat-waktu terbitnya hilal), yang digunakan sebagian kalangan sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri, sebenarnya merupakan manâth (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji para ulama terdahulu.


Fakta saat itu, kaum muslim memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah Khilafah Umayyah atau Abbasiyyah yang teramat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah.


Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla’) digunakan menjadi tidak logis dan mempersulit diri sendiri. Dalam konsep mathla’, setiap daerah yang berjarak 24 farsakh atau 133 km memiliki mathla’ sendiri. Artinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 133 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tanpa terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu.


Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar, demikian seterusnya. Dengan konsep mathla’ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu, tentu akan disintegrasi menjadi 39 mathla’.


Karena kesulitan itu sebagian kalangan konon mencipkatan ‘mazhab’ baru yakni wilayah al-hukmi, yakni penyamaan awal dan akhir Ramadhan diserahkan pada negara nasional masing-masing. Pertanyaan kita, apa landasan syar’i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi?


Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, sebagaimana masa keemasan Khulafa ar-Rasyidin! Adapun dalil yang sering digunakan demi membenarkan adanya lebih dari satu mathla’ dalam menentukan awal-akhir Ramadhan adalah riwayat dari Kuraib. Suatu ketika, Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib menghadap Mu’awiyah di Syam.


Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan.


Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, “Kapan kalian melihatnya?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi, “Apakah kamu yang melihatnya?” Aku menjawab, “Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu’awiyah.”


Ibnu ‘Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kami pun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal.”


Aku pun bertanya, “Tidakkah cukup bagimu mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim, 1819).


Jadi, Ibnu ‘Abbas tidak mengakui rukyat Mu’awiyah, dan tidak berpuasa mengikuti puasa Mu’awiyah. Pernyataan tersebut sejatinya tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara’, sebab hanyalah ijtihad Ibnu ‘Abbas dalam memahami hadist “Shûmû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi.” Imam asy-Syaukani rahimahullah dengan teliti menjelaskan:


واعلم أن الحجة إنما هي في المرفوع من رواية ابن عباس لا في اجتهاده الذي فهم عنه الناس والمشار إليه بقوله: هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم


Ketahuilah, yang menjadi hujjah hanya hadits marfu yang dituturkan Ibnu ‘Abbas saja, sedangkan ijtihad Ibnu ‘Abbas yang dipahami orang dan ditunjukkan dengan perkataannya “Beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami” tidak bisa menjadi hujjah. (Nail al-Authâr, IV/230).


Selain itu, ijtihad Ibnu ‘Abbas ini juga lemah, karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar:


أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ


“Kami terhalang melihat hilal Syawal, sehingga pagi harinya tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kemarin telah melihat hilal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan mereka membatalkan puasa, kemudian besoknya semua berangkat melaksanakan shalat Id.”


(HR. Ahmad, 19675; Ibnu Majah, 1643; dishahihkan Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm).


Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas telah memerintahkan mereka membatalkan puasa pada hari yang mereka sangka Ramadhan, karena penduduk lain di luar Madinah telah melihat hilal Syawal.


Saat ini, sarana informasi sangat canggih, sehingga dalam satu menit, informasi awal-akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Fitri-Adha ini bisa dishare ke seluruh dunia. Kaum muslim pun bisa melaksanakan puasa dan berhari raya di hari yang sama.


Urgensi Rukyat Hilal Global


Sesuai argumentasi terkuat, syariah Islam menjelaskan bahwa rukyat hilal merupakan sabab (ketentuan) dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa dirukyat, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (digenapakan) bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Misal, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ


“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR. Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).


Berdasarkan hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisâb al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini diriwayatkan Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, Ibnu Hajar, al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan asy-Syaukani.


(Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XXV/132; Fathul Bari, IV/158; Tafsir al-Qurthubi, II/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, III/408; Bidayatul Mujtahid, II/557). Ibnu Rusyd (w. 1198 M) rahimahullah menyampaikan:


إنّ العلماء أجمعوا على أنّ الشهر العربي يكون تسعاً وعشرين، ويكون ثلاثين، وعلى أن الاعتبار في تحديد شهر رمضان إنّما هو الرؤية


Para ulama menyepakati, bulan di kalangan Arab ada dua puluh sembilan dan ada yang tiga puluh hari, namun tolok ukur penentuan bulan Ramadhan hanya berdasarkan rukyat semata (bukan hisab).


Lebih lanjut, ini menunjukan bahwa umat Islam semestinya berpatokan pada rukyat hilal global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur.


Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) rahimahullah menjelaskan:


إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع


Apabila rukyat hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri yang lain wajib juga berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila informasi rukyat hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa.


Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat lain: Apabila rukyat hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa.


Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan rukyat ini, karena terdapat perbedaan mathla’. (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, I/550).


Di sisi lain, meski ulama syafi’iyyah berbeda dengan jumhur, ada pula ulama syafi’iyyah lain yang berpedoman pada rukyat global, imam an-Nawawi (w. 1277 M) rahimahullah berkata:


وقال بعض أصحابنا تعم الرؤية في موضع جميع أهل الأرض


Sebagian ulama kalangan kami ada yang berpendapat, satu rukyat berlaku untuk seluruh tempat bagi semua penduduk bumi. (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, V/197). Imam asy-Syaukani (w. 1834 M) rahimahullah menyebutkan:


والذي ينبغي اعتماده هو … أنه إذا رآه أهل بلد، لزم أهل البلاد كلها


Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah: apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyat hilal), maka rukyat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain. (Nail al-Authâr, IV/195). Imam ash-Shan’ani (w. 1768 M) rahimahullah berkata:


فمعنى إذا رأيتموه أي إذا وجدت فيما بينكم الرؤية، فيدل هذا على أن رؤية بلد رؤية لجميع أهل البلاد فيلزم الحكم


Makna dari ungkapan hadits “jika kalian melihatnya” artinya apabila rukyat didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan rukyat pada suatu negeri berlaku bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib. (Subulus Salâm, II/310). Sayyid Sabiq (w. 2000 M) rahimahullah pun menegaskan:


ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع، فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته، وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا


Mayoritas ulama berpendapat, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’. Karena itu, kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”


Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat Islam. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi mereka semuanya. (Fiqh as-Sunnah, I/368). Kata Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 M) rahimahullah:


وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية دون تفرقة بين الأقطار


Pendapat jumhur inilah yang kuat menurut saya, sebagai pemersatu ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang, pasalnya kewajiban puasa itu berkaitan dengan rukyat tanpa pembedaan antar wilayah. (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/610; lihat pula al-Hafizh al-Ghumari, Taujîh al-Anzhâr li Tauhîd al-Muslimîn fi al-Shaum wa al-Ifthâr, hal. 19).


Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur Jauh (benua Asia) melihat bulan sabit Ramadhan, maka hasil rukyatnya wajib diikuti kaum muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah) tanpa kecuali.


Siapapun kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan rukyat hilal maka rukyat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri sama kedudukannya dengan kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.


Terjadinya perbedaan pendapat di dalam internal umat Islam dapat ditoleransi, selama termasuk pendapat Islami dan tidak menyebabkan perpecahan di tubuh umat Islam. Sedangkan perbedaan dalam menetapkan awal-akhir Ramadhan ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi, sebab berdampak luas pada disintegrasi umat Islam,


Yaitu kekacauan dan ketidakbersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa serta dalam menampakkan syi’ar hari raya. Perbedaan dalam hal ini bukan tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, serta perpecahan dunia Islam. Dari perbedaan awal-akhir Ramadhan ini, kita semua paham pentingya persatuan umat Islam di seluruh dunia tentunya.


Perbedaan awal-akhir Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun-tahun tertentu, sungguh sangat memalukan. Umat Nasrani saja bisa bersatu saat Natal 25 Desember, sebagaimana Yahudi, Budha, Hindu, mereka semua kompak dalam kebersamaan hari-hari besar perayaan agama mereka, mengapa umat Islam, sebagai umat terbaik tidak bisa?


Dari sini ada pelajaran penting yang amat berharga, umat Islam sangat memerlukan Institusi politik pemersatu, dengan kekuatan yang sanggup menyatukan Maroko hingga Merauke. Sehingga, ketika melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam.


Imam al-Maziri (w. 1141 M) rahimahullah ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal, memberi arahan kepada kita, tentang institusi politik seperti apa yang sanggup mempersatukan umat Islam dalam awal-akhir Ramadhan, ia menjelaskan:


إذا ثبت الهلال عند الخليفة لزم سائر الأمصار الرجوع إلى ما عنده … والفرق بين رؤية الخليفة وغيره أن سائر البلدان لمّا كانت بحكمه فهي كبلد واحد


Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu … Sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45). Wallahu a’lam.[]

Thursday, April 4, 2024

MENJADI TAU

 *MELURUSKAN  SEJARAH YANG SEBENARNYA, agar KITA MENJADI TAU & TIDAK TERTIPU oleh SEJARAH PALSU*


*1).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama memberitakan kemerdekaan Indonesia..?

Ternyata

Koran-koran ARAB.

*(Bukan koran2 China)*


*2).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama mengakui kedaulatan Republik Indonesia..?

Ternyata

ARAB, MESIR dan PALESTINA.

*(Bukan China)*


*3).MENJADI TAU :*

Siapa yang pertama mengirim *bantuan Senjata* dari luar negeri pasca Perjuangan Proklamasi.

Terbukti

Senjata dari MESIR diangkut atas biaya ARAB SAUDI.

 *(Bukan China)*


*4).MENJADI TAU :*

Siapa tokoh yang pertama mengucapkan *Selamat atas Kemerdekaan Indonesia..?*

Ternyata 

Syaikh Ismail Husein Mufti Palestina Pendukung Indonesia Merdeka.

 *(Bukan China)*


*5).MENJADI TAU :*

Proklamasi 1945 dibacakan *di Rumah Orang ARAB,* Faraj Martak. Jalan Proklamasi 56..

*(Bukan Rumah Orang China)*


*6).MENJADI TAU :*

*Bung Karno sakit beri-beri sebelum proklamasi,* bisa sembuh diberi MADU ARAB oleh Faraj Martak.

*(Bukan Madu China)*


*7).MENJADI TAU :*

Kakeknya Bung Hatta pergi belajar di ARAB

 *(Bukan belajar di China)*


*8).MENJADI TAU :*

*KYAI AHMAD DAHLAN* dan *KYAI HASYIM* menimba *ILMU* di *NEGERI ARAB.*

 *(Bukan di Negeri China)*


*9).MENJADI TAU :*

Orang yang dianggap berbahaya oleh Snouck Hurgronje adalah Orang yang pulang dari ARAB, karena Orang Orang ISLAM yang pernah berguru di NEGERI ARAB itulah yang dengan GAGAH BERANI melawan Kompeni Penjajah dan oleh sebab itu ditandai dengan gelar HAJI dan hanya HAJI yang boleh mengenakan kopiah putih agar mudah dikenali.

*(Bukan Orang China)*


*10).MENJADI TAU :*

Yang Menyelamatkan Bendera Pusaka saat agresi militer Belanda II. 

Th 1948 adalah Orang ARAB, Mayor Husein Muthahhar. 

Beliau juga penyusun lagu Dirgahayu Indonesiaku, Hymne Syukur dan Mars Pramuka. *(Bukan Orang China)*


*11). Terbukti Salah satu Bapak Pendiri Bangsa Kita adalah Orang ARAB, namanya AR. Baswedan anggota BPUPKI dan Wakil Menteri Penerangan 1946.* 

Beliau adalah Kakek Anies Baswedan mantan Gubernur Jakarta.

*(Bukan Orang China)*


*12).MENJADI TAU :*

Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila, dibuat oleh keturunan ARAB, Syarif Abdul Hamid al-Kadrie. Sultan Pontianak.

*(Bukan Orang China)*


*13).MENJADI TAU :*

Sultan Syarif Kasim II keturunan ARAB, menyerahkan MAHKOTA, ISTANA, dan hampir seluruh Kekayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada Pemerintah RI termasuk Uang sebesar *13 juta gulden setara lebih dari 1000 triliun Rupiah..*

*(Bukan Orang China)*


*Tumpukan Uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno juga Lapangan minyak Stanvac yang menjadi pemasukan utama NKRI selama 73 tahun ini (Bukan dari China)*


*14).MENJADI TAU :*

Siapa yang ingin mengeruk kekayaan indonesia?

Bukan Arab Tetapi *(China RRC Komunis)*


*15). MENJADI TAU :*

Siapa yang masuk/exodus besar2an ke Indonesia (NKRI Harga Mati) secara diam2 dan dapat KTP palsu.

(Bukan ARAB tapi *China Komunis BerKTP Palsu)*


*Waspadalah....*

*Komunis kini 2014-2022 :*

Menyesatkan Mengajarkan anak Milenium untuk membenci Orang Arab.


*ORANG-ORANG ARAB TELAH BANYAK BERJASA untuk mencapai " INDONESIA MERDEKA "...(NKRI Jaya Abadi).*


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1193434377485352&id=1160621010766689&sfnsn=mo


Sebar luaskan Kebenaran sejarah ini, dan agar anak didk kita tdk gagal faham, berharaplah hanya kepada Allah swt.


Semoga Allah selamatkan Agama, Bangsa dan Negara Indonesia, 

terhindar dari kejahatan para pengkhianat.


Semoga kita adalah bagian dari perjuangan Kejayaan Bangsa Negara 🇲🇨 - 

Aamiin Yaa Robbal Aalamiin