Sunday, August 23, 2020

Relasi Agama dan Negara

 EMPAT PILAR NEGARA KHILAFAH


Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi, S.Si, MSI**


Relasi Agama dan Negara


Khilafah dapat disebut juga "negara Islam" (ad dawlah al islamiyah) atau "sistem pemerintah Islam" (nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine), namun banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran Khilafah itu dapat dibuktikan dari pandangan Islam mengenai relasi (hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini dirumuskan dalam kalimat "Al Islam diin wa minhu ad daulah." (Isam adalah agama, di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam tidak terpisah, karena dua sebab berikut ;


Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah). Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya berkedudukan sebagai nabi (penyampai risalah), namun juga berkedudukan sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah). Terbukti Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara, seperti mengadakan perjanjian, mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1]


Ini berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan dipertuhankan) bagi kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah). Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah Kerajaan Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara terpisah, karena Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak menjalankan fungsi sebagai penguasa.


Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89). Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.[2]


Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW :

أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ


"Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Qur`an)." (HR Thabrani). [3]


Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam :

لينقضن عرى الإسلام عروة ، عروة ، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها ، وأولهن نقضًا الحكم ، وآخرهن الصلاة


"Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat." (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).[4]


Karakter agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek kekuasaan) berbeda dengan karakter agama Nasrani yang tidak komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah dan akhlak. Agama Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life) dan tak punya konsep bernegara, karena itu agama Nasrani dapat terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri dengan tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam Matius,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius 22:21).


Jelaslah bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan pandangan sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm karya Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama (Islam) dari negara, adalah kitab yang batil karena nyata-nyata memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran bernegara.[5]


Takrif (Definisi) Khilafah


Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi menegaskan dalam kitabnya Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).[6]


Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut :

اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ


"Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia."[7]


Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :


Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.[8]


Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah.[9]


Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.[10]


Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107).


Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).


Kewajiban Khilafah (Imamah)


Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu'taddu bihi). [11]


Disebutkan dalam kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه


"Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat." [12]


Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,"Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini - sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya." [13]


Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, "Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]..."[1]


Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,"Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan." [14]


Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah


Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qaidah Syar'iyyah.


Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ


"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu." (QS An-Nisaa` : 59)


Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. [15]


Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ


"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (QS Al Maidah : 48)


Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.[16]


Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.[17]


Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية


"Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah." (HR Muslim, no 1851).


Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.[18]


Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم


"Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin)." (HR Abu Dawud).


Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).


Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.


Adapun dalil Ijma' Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين


"Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma' (kesepakatan) para shahabat dan tabi'in..." (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).


Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله


"Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW." (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa'iqul Muhriqah, hlm. 7).


Adapun dalil Qaidah Syar'iah, adalah kaidah yang berbunyi :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب


"Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya."


Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah.[19]


Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qaidah Syar'iyyah.


Empat Pilar Negara Khilafah


Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT.


Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut [20]  :


Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.


Kedua, kekuasaan di tangan umat.


Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.


Keempat, hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara', dan khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU.


Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar'i), dengan kata lain ialah bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur perbuatan manusia dan benda-benda yang digunakan manusia.[21]


Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa kedaulatan di tangan syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat misalnya QS Al An'am : 57; QS Asy Syura : 10).[22]


Jika pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah menjadi di tangan rakyat, berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Inilah perbedaan paling mendasar antara sistem Khilafah dan sistem demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan syariah. Sedang dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.


Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan. Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah) ini mengandung arti bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin (khalifah), kecuali dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir), yakni bahwa dalam perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak yang dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam itu ada di tangan umat (as sulthan li al ummah).[23]


Jika pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan umat, misalnya berubah menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu, berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah menjadi sistem monarki (kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif. Inilah perbedaan mendasar Khilafah dengan sistem monarki. Dalam Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem monarki, kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu.


Pilar ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya, bukan sunnah, mubah, dan sebagainya.[24]


Jika pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat ada dua orang, maka otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi sistem lain. Sebab Syariah Islam telah mengharamkan membaiat dua orang khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,"Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR Muslim).


Jadi pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Maka dari itu, jelas kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana dalam sistem negara-bangsa (nation state) sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika mengangkat khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap perbuatan criminal.


Pilar keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam melegislasikan hukum syara' menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Ijma' Shahabat yang melahirkan kaidah syar'iyah yang termasyhur,"Amrul Imam yarfa'ul khilaf." (Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar'iyah lain yang tak kalah masyhur,"Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat." (Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).[25]


Jika pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada lembaga legislatif, bukan menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi yang menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif.


Penutup


Demikianlah sekilas penjelasan tentang wajibnya Khilafah dan empat pilar Khilafah. Diharapkan, umat Islam mulai terbuka mata hati dan pikirannya untuk bersedia mempelajari dan mendukung ajaran Islam yang asli ini.


Umat Islam tak boleh lagi tertipu oleh kaum liberal sekular yang terus menerus menjajakan ide-ide kufur dan menyesatkan seperti sekularisme dan demokrasi dari Dunia Barat yang memang sekular dan Kristen. Marilah kembali ke konsep Khilafah, ajaran bernegara yang asli dari Islam, walaupun orang-orang kafir dan munafik pasti akan membencinya. Wallahu a'lam.


= = = =


*Makalah disampaikan dalam Seminar Khilafah Islamiyah, dengan tema Khilafah Solusi Terbaik Permasalahan Umat, diselenggarakan oleh HTI Bengkulu, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Bengkulu, Minggu, 10 Juni 2012.


**DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).


CATATAN AKHIR :


[1] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 116-117.


[2] Sayyid Muhammad Habib Al Ubaidi Al Maushili, Hablul I'tisham wa Wujub Al Khilafah fi Diinil Islam, hlm. 70-71; Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba'da Hadm Daulah Al Khilafah, hlm. 46.


[3] Lihat Ath Thabrani, Al Mu'jam Al Shaghir no 794; dalam Al Mu'jam Al Kabir, juz 20 hlm. 76; no 172; Ibnu Hajar Al Haitsami, Majma'uz Zawa`id, Juz 5 hlm. 225-226.


[4] Lihat Musnad Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al Mustadrak, 4/92; disahihkan oleh Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami' As Shaghir no. 4951, Juz 5 hlm.15.


[5] Sangat menyedihkan kaum liberal yang dangkal pikirannya terus menerus menggunakan kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm karya Ali Abdur Raziq untuk membodohi umat Islam bahwa Islam tidak mengajarkan konsep Negara (Khilafah). Padahal sudah banyak kitab yang mengkritik secara telak kitab tersebut, misalnya : Muhammad Imarah, Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq Dirasah wa Watsa`iq, (Beirut : Al Mu`assah Al Arabiyah), 2000; Ruysdi Ilyan, Al Islam wa Al Khilafah, (Baghdad: Darus Salam), 1976; Sayyid Taqiyuddin Sayyid, Radd Hai`ah Kibar Al ‘Ulama ‘Ala Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq, (Kairo : t.p), 1414 H; Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Naqd ‘Ilmi li Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, (Kairo : Mathba'ah Salafiyah), 1344 H; Muhammad Imarah, Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Syaikh Al Islam Muhammad Khidhir Al Husain, (Kairo : Dar Nahdhah Mishr), 1998.


[6] Lihat Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 35. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190.


[7] Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14


[8] Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Definisi Imarah, Juz 6 hlm.149.


[9] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.


[10] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.


[11] Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163.


[12] Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Bab Al Imamah Al Kubra, Juz 6 hlm. 164.


[13] Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34.


[14] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78


[15] Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.


[16] Ibid. hlm. 50.


[17] Ibid. hlm. 51.


[18] Ibid. hlm. 52.


[19] Ibid., hlm. 61.


[20] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa'id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980. Kitab ini adalah pengembangan dari konsep Hizbut Tahrir yang terdapat dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir, seperti Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002; atau Muqaddimah Ad Dustur, 2010, dan sebagainya. Pada gilirannya, kitab Mahmud Abdul Majid Al Khalidi itu lalu dirujuk oleh ulama lain, seperti Dr. Shalah as Shawi, dalam kitabnya Nazhariyah As Siyadah.


[21] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa'id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain, Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman : Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar'iyyah Al Anzhimah Al Wadh'iyyah, hlm. 10.


[22] Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar'iyyah Al Anzhimah Al Wadh'iyyah, hlm. 31-32.


[23] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 41-42.


[24] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44


[25] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 44-45.


[1] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78

Saturday, August 22, 2020

THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

 THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


[Agus Trisa]


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang beragam ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.


Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.


Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain.


Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. 


Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). 


Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.


Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. 


Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. 


Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan "alat baku" untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Bisa jadi karena sumber daya yang dimiliki juga terbatas.


Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. 


Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/

tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. 


Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya sebagaimana disinggung di atas, negara merupakan “alat baku" untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.


Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini bisa jadi muncul karena menganggap bahwa NKRI (negara) adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bisa jadi muncul anggapan (artinya bisa jadi ya, bisa jadi tidak) bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? 


Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktivitas kecil saja. Maka dengan asumsi NKRI adalah tujuan, wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan. Ini kalau dilihat dari anggapan bahwa NKRI adalah tujuan.


Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi.


Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. 


Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.


Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. 


Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.


KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah).


Dengan memahami ini, maka thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.


Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode atau jalan baku untuk tercapainya tujuan. Lantas, apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan atau menjalankan kehidupan Islam. Disebut “menjalankan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan berjalan (terwujud) tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam.


Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan baku untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:


ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ


“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)


ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ


“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)


Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan keberadaan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.


Karena menerapkan syariat Islam adalah kewajiban, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan oleh mereka). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim. Jadi, dakwah adalah thariqah atau jalan baku untuk meraih tujuan, yaitu tumbuhnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam.


Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah dijadikan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat Islam siap atau tidak dengan diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.


Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menjalankan kehidupan Islam” adalah yang dijadikan tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.


Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. 


Jika sampai ada aktivitas semacam ini (pembentukan kelaskaran), itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Dia kurang belajar atau kurang dalam memahami HTI itu seperti apa. Allah berfirman :


ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ


“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)


Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. 


Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.


Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. 


Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan singkong atau roti. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN


Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaranya acara dakwah”. 


Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. 


Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. 


Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintah dari Allah:


ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN


Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, Syarikat Islam, al-Washliyah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Padahal tidak. Orang yang menganggap semacam ini sesungguhnya sedang berhalusinasi.


Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelompok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. 


Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.


Wallahu a’lam.

Kasultanan banten

 KESULTANAN BANTEN

Kesultanan Banten adalah sebuah Kesultan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.


Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati[6] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.


Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang di waktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.


Pembentukan awal


Palangka Sriman Sriwacana


"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."


Artinya:


"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten


Pandangan mata burung tentang Bantam, 1599.

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [7](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.[8]


Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[9] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.


Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.


Latar belakang penguasaan Banten

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511.[butuh rujukan] Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.


Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[10]


Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten[11]


Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[2] sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),[12] aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[13] dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.


Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, tetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.


Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[10]


Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[14] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.


Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[15] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão yang dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [16] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[17]


Penguasaan Banten

Pada tahun 1522,[18] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.[19] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 M.[20]


Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[21] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang


Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[22]


Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya.[23] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.


Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[24]


Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.[25]


Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[18] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[4] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten[26] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak menahbiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten[27] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.


Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[25]


Penguasaan Lampung

Pada tahun 1525, Syarief Hidayatullah memasuki wilayah Labuhan Meringgai di Kerajaan Pugung[28]


Menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting, Lampung Timur) kedatangan Syarief Hidayatullah ke Pugung pada awalnya dikarenakan oleh surat yang dikirimkan Ratu Galuh (penguasa Pugung, istri dari Anak Dalem Kesuma Ratu) melalui burung merpati yang bermaksud meminta pertolongan kepada penguasa diluar pulau untuk membantu Pugung menghadapi perampok dan bajak laut yang telah meresahkan[29]


Menurut Budiman Yaqub (Radin Kusuma Yuda) seorang budayawan dan sejarahwan daerah Lampung Selatan, Syarief Hidayatullah ketika akan memasuki wilayah Pugung beliau melihat cahaya kilat yang tegak dari langit[30].


Sesampainya Syarief Hidayatullah di kerajaan Pugung beliau bersedia membantu Ratu Galuh menangani perampokan dengan satu syarat yaitu jika perampokan berhasil diatasi, maka Ratu Galuh dan pengikutnya bersedia untuk memeluk agama Islam[31]


Pasca berhasil diatasinya para perampok tersebut, Syarief Hidayatullah kemudian mulai menyebarkan dakwah Islam di wilayah kerajaan Pugung. Ratu Galuh beserta pengikutnya bersedia menerima ajaran Islam dengan dibimbing oleh Syarief Hidayatullah[31]


Syarief Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kepada Ratu Galuh untuk menikahi anaknya yaitu putri Sinar Alam, namun dikarenakan ada peraturan adat di kerajaan Pugung dimana putri pertama harus menikah dengan keluarga yang masih kerabat kerajaan Pugung maka lamaran tersebut ditolak, menurut Budiman Yaqub, Ratu Galuh kemudian menawarkan putri Kandang Rarang anak dari Minak Raja Jalan[31] agar menjadi istri Syarief Hidayatullah dan disetujui, dari pernikahan dengan putri Kandangan Rarang, Syarief Hidayatullah memiliki seorang putera yang diberi nama Muhammad Sholeh atau masyarakat Lampung mengenalnya dengan nama Minak Gejala Ratu[31].


Syarief Hidayatullah kemudian pergi meninggalkan istrinya dan anaknya untuk kembali berdakwah dan pulang ke Cirebon, Syarief Hidayatullah menitipkan sebuah cincin kepada istrinya Kandang Rarang yang kelak harus diberikan kepada putera mereka Muhammad Sholeh[31]


Beberapa lama setelah kepergiannya, Syarief Hidayatullah kembali ke kerajaan Pugung untuk menengok istrinya Kandang Rarang dan anaknya Muhammad Sholeh, disana Syarief Hidayatullah mengetahui jika putri Sinar Alam anak dari Dalem Kesuma Ratu dengan Ratu Galuh belum juga menikah, Syarief Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kembali untuk menikahinya dan disetujui, dari pernikahannya dengan putri Sinar Alam, Syarief Hidayatullah dikaruniai seorang putera yang diberi nama Muhammad Aji Saka[32] atau yang menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting) namanya adalah Minak Gejala Bidin[31], dari keturunan Muhammad Aji Saka inilah kemudian lahir pahlawan nasional asal Lampung yang bernama Radin Inten II[32]


Perluasan dakwah di Lampung

Dengan masuknya masyarakat adat Pugung kedalam Islam, maka secara berangsur-angsur masyarakat Lampung dalam rumpun adat Lampung Peminggir yang berada di pantai selatan Lampung memeluk agama Islam[28]


Wilayah-wilayah di Lampung secara berangsur-angsur berada dibawah kendali kesultanan Cirebon[33] hingga pada sekitar tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung dan menempatkannya dibawah kendali Depati Banten[34]


Depati Banten (gubernur Banten) pada masa itu, Maulana Hasanuddin sangat tertarik dengan wilayah Lampung dikarenakan wilayah ini dianggap menguntungkan untuk menghasilkan lada. Pada masa itu para penguasa di Lampung suka menjual lada dengan harga tinggi guna mendapatkan berbagai barang komoditas[33].


Pembagian kerajaan Pugung

Pembagian terhadap kerajaan Pugung dimulai ketika Muhammad Sholeh dan Muhammad Aji Saka datang ke kesultanan Cirebon untuk menemui ayahnya Syarief Hidayatullah, di Cirebon mereka didik dengan ilmu syariat (agama Islam) dan keahlian beladiri, setelah keilmuan dan kemampuan anak-anaknya dirasa cukup, Syarief Hidayatullah menyuruh mereka kembali ke Pugung, kepada Muhammad Sholeh dia diberikan sebuah kotak kayu yang pada sisinya bertuliskan bacaan surat al Fatihah, shalawat nariyah dan ayat kursi dan kotak tersebut hanya boleh dibuka disaat penobatannya sebagai penguasa di Pugung sementara kepada Muhammad Aji Saka Syarief Hidayatullah memerintahkannya untuk mencari gunung tinggi di wilayahnya yang memiliki batu putih, Muhammad Aji Saka kemudian menemukan gunung yang sesuai dengan deskripsi ayahnya yaitu gunung Rajabasa[35]


Di Labuhan Meringgai kemudian diadakan musyawarah untuk membagi dua kerajaan Pugung, Muhammad Sholeh kemudian naik tahta menjadi penguasa di Labuhan Meringgai dan membuka kotak dari ayahnya, didalam kotak berisi selembar kain yang bertuliskan ratu darah putih, menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting) arti dari ratu darah putih adalah pemimpin yang adil dan bijaksana, bersih dari segala sikap yang tercela[35], kerajaan yang dipimpin oleh Muhammad Sholeh kemudian dikenal dengan nama keratuan (kerajaan) darah putih Melinting atau kerajaan Melinting, sementara Muhammad Aji Saka memilih untuk menetap di wilayah gunung Rajabasa, wilayah kekuasaannya kemudian dikenal dengan nama keratuan (kerajaan) darah putih Rajabasa[35]


Kerajaan-kerajaan darah putih ini kemudian menjadi wilayah penyebaran agama Islam yang di Lampung sekaligus mampu membawa masyarakat rumpun adat Lampung Peminggir untuk memeluk Islam[28]


Banten sebagai kesultanan

Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin (depati Cirebon sekaligus putera mahkota kesultanan Cirebon) di Demak, Syarief Hidayatullah selaku penguasa kesultanan Cirebon pada saat itu tengah menetap di Banten[36], hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putra pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten) dinaikkan statusnya dari depati (gubernur) menjadi sultan atas wilayah Banten[37] yang kemudian mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi kesultanan Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada di tempat diputuskan untuk diisi oleh Fadillah Khan (Fatahilah).[38]


Pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi penguasa kesultanan Banten dengan ditahbiskan oleh ayahnya yaitu Syarief Hidayatullah sebagai Sultan di Banten.[37], Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon[36]


Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon

Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan Pajajaran di tahun 1530 dan setelah kesultanan Banten berdiri di tahun 1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara dibagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[39] pada abad ke 15[40] membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta.[2]'[41]


Pada tahun 1568[42], Maulana Hasanuddin sebagai penguasa Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)[43] sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa penaklukan Kelapa di tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan Fadillah Khan[44]


Perluasan wilayah ke Lampung

Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke Lampung. Pada tahun 1530 ketika wilayah adat Lampung Peminggir telah memeluk agama Islam dan berada dibawah kekuasaan Syarief Hidayatullah[28] wilayah adat Lampung Abung (Pepadun) belum ada yang berada dibawah kekuasaan Syarief Hidayatullah, bahkan pada masa kekuasaan Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten, masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) belum ada yang melakukan seba (menghadap Sultan) ke Banten, masyarakat Lampung Abung (Pepadun) pada masa itu masih mempertahankan adat istiadatnya yang bercorak animisme[28].


Pada sekitar awal abad ke 16 memang ada seorang minak dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) yang telah memeluk Islam seperti Minak Sangaji (dari kalangan Tulang Bawang) yang merupakan suami dari Bolan, namun Minak Sangaji diperkirakan menerima Islam bukan dari kesultanan Banten melainkan dari Melaka[28]


Maulana Hasanuddin berperan dalam penyebaran Islam di kawasan Lampung, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[2]


Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik takhta pada tahun 1570[45] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di Nusantara, tetapi gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut.[46]


Masyarakat Lampung Abung seba ke Banten

Pasca meninggalnya Sultan Banten Maulana Muhammad pada tahun 1596 pada penyerangan ke Palembang atas bujukan Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang[47] dan pasca meninggalnya Unyai terjadilah perselisihan diantara anak cucu Minak Paduka Begeduh, perselisihan tersebut berkenaan dengan persoalan seba (menghadap sultan), seba ke Banten atau ke Palembang[48] hingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti kekuasaan kesultanan Banten[28] dan yang satunya lagi seba ke Palembang dan meninggalkan wilayah adat Lampung Abung.


Minak Paduka Begeduh memiliki 4 orang anak, yaitu Unyi, Nunyai, Nuban (perempuan) dan Subing. Minak Paduka Begeduh merupakan anak dari Minak Rio Begeduh, cucu dari Indra Gajah dan cicit dari Umpu Serunting yang mendirikan keratuan (kerajaan) Pemanggilan[28]. Minak Paduka Begeduh memiliki dua orang istri yaitu Minak Majeu Lemaweng dari keratuan (kerajaan) Pogung dan Minak Munggah di Abung dari Selebar[48]


Perwakilan dari masyarakat adat Abung yang seba (menghadap sultan) ke Banten adalah Minak Semelesem (cucu Unyai)[28], sementara dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) yang memilih untuk seba (menghadap sultan) ke Palembang adalah Mukodum muter alam, beliau kemudian tidak kembali lagi ke wilayah adat Lampung Abung dan memilih untuk membentuk masyarakat Kayu Agung dan menetap disana[48].


Hubungan erat kesultanan Banten dan Inggris

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[2]


Pada tahun 1629, Sultan Banten Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir mengirimkan surat kepada penguasa Inggris Raja Charles I menyatakan kegembiraannya karena orang-orang Inggris mau membuka lagi kantor dagangnya di Banten, selain itu Sultan Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir juga meminta bantuan persenjataan dan mesiu kepada Inggris, hal tersebut berguna untuk memperkuat pertahanan kesultanan Banten[2]'[49]


Permintaan kesultanan Banten akan senjata dan mesiu sangat dimungkinkan untuk menghindari peristiwa penyerangan wilayah Banten pada 1626 terulang, saat itu dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan penyerangan kembali kepada kesultanan Banten yang kali ini dibantu oleh Palembang, namun penyerangan ini juga tidak berhasil[39]


Blokade Vereenigde Oostindische Compagnie dan Peristiwa Pabaranang

Sikap Bersahabat kesultanan Banten dengan Inggris ini bertolak belakang dengan sikap yang diambil kesultanan Banten kepada Belanda. Pada tahun 1633, Vereenigde Oostindische Compagnie melakukan penyerangan ke wilayah kesultanan Banten diantaranya Tanahara, Anyer dan Lampung, hal tersebut dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische Compagnie orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik Vereenigde Oostindische Compagnie, pada bulan November terjadi peperangan besar antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie yang pada masa itu sedang lemah akibat berperang dengan Mataram[11]


Pada tanggal 5 Januari 1634 Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Surosowan, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas wilayah perairan teluk Banten. Pengepungan Vereenigde Oostindische Compagnie di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, pejabat kesultanan Banten di Tanahara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik yang baru[11] yaitu dengan melakukan pembakaran blokade Vereenigde Oostindische Compagnie dengan kapal besar yang disebut Barungut, kapal Barungut yang sebelumnya diperbaiki di Batavia pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa[2], peristiwa pembakaran blokade ini dikenal dengan nama Pabaranang[50].


Pembakaran blokade laut Vereenigde Oostindische Compagnie oleh kesultanan Banten terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634[39]'[49].


Penyerangan kapal dagang kesultanan Banten oleh Vereenigde Oostindische Compagnie

Satu tahun setelah peristiwa Pabaranang yaitu pada tahun 1635 Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Banten kali ini yang menjadi sasarannya adalah kapal dagang Banten yang mengangkut cengkeh dari Ambon[49], Pangeran Anom (Abu al Ma'ali Ahmad) yang merupakan anak dari Sultan Banten Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir sekaligus wakilnya lantas mengirimkan surat kepada Raja Charles I dari Inggis untuk meminta bantuan menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie di Batavia, Pangeran Abu al Ma'ali Ahmad meminta agar Inggris mau mengirimkan prajuritnya dalam membantu kesultanan Banten menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie namun jika Inggris berkeberatan atau tidak bersedia dengan alasan apapun maka Pangeran hanya akan meminta bantuan persenjataan saja, yakni meriam dan mesiu[2]'[49]


Penjajakan perdamaian dengan Belanda

Pada tahun 1636 kesultanan Banten melakukan penjajakan perdamaian dengan Belanda, pada masa ini situasi keamanan cenderung kondusif, Hindia Belanda pada saat itu ada dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Antonio van Diemen yang mulai menjabat sejak 1 Januari 1636. Pada masa penjajakan perdamaian ini kesultanan Banten pun mulai menghimbau kepada seluruh masyarakat di wilayah kesultanan Banten agar mulai menanam lada. Pada tahun 1639 perjanjian perdamaian berhasil dicapai[49]


Puncak kejayaan


De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[51]

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[52] Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.[53]


Perintah penanaman lada dan perlawanan dari masyarakat

Himbauan penanaman kembali lada yang telah dimulai sejak 1636 menemui perlawanan masyarakat di daerah Lampung dan Bengkulu, masyarakat kerajaan-kerajaan di Bengkulu yang berada dibawah kendali kesultanan Banten seperti Selebar misalnya melawan himbauan penanaman lada yang mulai terkesan memaksa[49]


Penguasaan Sukadana

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[54] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[45] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[55] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[45]


Pengaturan lada di Bengkulu

Pada tanggal 12 Februari 1663, Sultan Banten Abdul Fatah mengeluarkan keputusan membolehkan komoditas lada dijual kepada siapa saja namun lada yang hendak tersebut harus terlebih dahulu dibawa ke Banten, jika keputusan pengaturan penjualan lada ini dilanggar maka sebagai hukumannya istri dan anaknya akan dibawa ke Banten[56]


Banten dalam Kasus Perwalian kesultanan Cirebon dan perjuangan Raden Trunajaya

Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[57] Keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.


Lepasnya Karawang kepada Belanda dari Cirebon dan pembebasan para pangeran Cirebon

Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya).[58]


Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[58]


Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri[59], awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten.[58]


Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.


Penyerangan Banten atas loji Belanda dan disingkirkannya wakil Mataram di Cirebon

Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[60]


Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[60]


Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[61]


1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,

2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,

3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,

4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,

5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,

6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung


Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima[61]. Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[60] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[62]


Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[61]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[57]


Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:


Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)

Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)

Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.


Misi Rijckloff van Goens menghancurkan kesultanan Banten

Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa


“  yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap  ”

[63]


Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681

Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[61]


Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[61]


Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu

Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir[64], penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.


Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[61] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[61]


Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[65]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda[66]. Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[66]


Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[66]


Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon

Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680[66].


Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[11] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda[67].


Perjanjian 1681

Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[61],[68]


Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[61],[68].


Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[69][70]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[71], perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula[71], lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[72]


Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[67]


Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[2] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, tetapi pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.


Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[73] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, tetapi terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[74]


Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[75] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.[76]


Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkeramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.


Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[77] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vasal dari VOC.[55]


Penghapusan kesultanan Banten dan lepasnya Lampung


Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran


Reruntuhan Keraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")


Reruntuhan Keraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[78] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pad