Wednesday, December 13, 2023

10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani

 10 Hal Tentang Syaikh Taqiyuddin An Nabhani


1. Nama lengkapnya adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim, P4le5t1na.


2. Masa kecil beliau mendapat didikan ilmu dan agama dari ayahnya seorang syaikh yang faqih fid din, dan juga dari kakeknya yaitu Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani, seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani.


3. Syaikh Taqiyuddin telah hafal Al Qur'an sejak usia 13 tahun.


4. Beliau memulai pendidikannya di sekolah dasar negeri di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sekolah di Akko untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah.


5. Pada tahun 1928 Syaikh Taqiyuddin meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang.


6. Tahun berikutnya beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.


7. Pada tahun 1940, Beliau diangkat sebagai Musyawir (Pembantu Qadhi) hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi di Mahkamah Ramallah.


8. Pada tahun 1948, beliau kembali ke Palestina dan diangkat sebagai Qadhi (Hakim) di Mahkamah Syar'iyah Al Quds.


9. Sejak remaja Syaikh Taqiyuddin sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani. Pengalaman itulah yang mengantarkannya mendirikan partai politik berasas Islam, H1zbut Tahrir di Al Quds (Yerusalem) pada tahun 1953.


10. Syekh Taqiyuddin An Nabhani meninggal dunia pada tahun 1398 H/ 1977 M dan dimakamkan di Al Auza'i Beirut.


Inilah sekilas tentang sosok Syaikh Taqiyuddin An Nabhani rahimahullata'ala. Semoga beliau berada diposisi yang tinggi bersama Rasulullah  ﷺ dan para Sahabat. Semoga beliau menjadi imam atas umat yang sedang meneruskan perjuangan beliau. Aamiin.

Monday, December 11, 2023

hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn)

 Hukum Uang Tanda Jadi (Hāmisy Jiddiyyah) dan Bedanya dengan DP (‘Urbūn)


KH M Shidiq Al Jawi


Tanya:


 Ustaz, mohon dijelaskan hukum uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? Apa bedanya antara uang muka (DP/’urbūn) dengan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah)? (Hamba Allah)


Jawab:


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah earnest money. Definisi uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli, sebagai tanda keseriusan untuk melakukan akad jual beli, dengan ketentuan jika akad jual belinya terjadi, uang tanda jadi akan mengurangi total harga, dan jika akad jual belinya tidak terjadi, uang tanda jadi itu wajib dikembalikan oleh calon penjual kepada calon pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) hukumnya boleh (jā’iz) asalkan memenuhi empat syarat sebagai berikut.


Pertama, uang tanda jadi diberikan oleh calon pembeli kepada calon penjual sebelum terjadinya akad jual beli.


Kedua, uang tanda jadi statusnya adalah titipan (wadī’ah) di tangan calon penjual, jadi uang itu tidak boleh di-tasharruf-kan (dimanfaatkan) oleh calon penjual, misalnya digunakan untuk berjual beli, dijadikan gaji karyawan, dan sebagainya.


Ketiga, uang tanda jadi itu mengurangi total harga jika calon pembeli jadi melakukan akad jual beli.


Keempat, uang tanda jadi wajib dikembalikan kepada calon pembeli jika calon pembeli itu tidak jadi membeli (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115).


Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) (هامش الجدية) ini mempunyai persamaan dan perbedaan dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn).


Persamaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn) adalah bahwa uang tanda jadi dan DP sama-sama akan mengurangi total harga jika akad jual belinya terjadi atau tidak dibatalkan oleh pembeli. (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Adapun perbedaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (uang muka/down payment/’urbūn), terdapat dalam tiga hal sebagai berikut.


Pertama, perbedaan dari segi waktunya, apakah sebelum atau sesudah akad jual beli. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) diberikan saat pra-akad (sebelum terjadinya akad jual beli) (qabla injāzi al-bay’).


Sedangkan DP (urbūn) diberikan pasca-akad atau bersamaan saat akad (berbarengan atau sesudah terjadinya akad jual beli) (ma’a injāzi al-bay’ aw ba’dahu) (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118).


Kedua, perbedaan dari segi terjadi perpindahan hak milik (naqlul milkiyyah, transfer of ownership) atau tidak. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) jika diberikan, sifatnya adalah titipan (amanah), yaitu wadī’ah, di tangan pihak penjual. Artinya, uang tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dan dengan demikian pihak penjual tidak boleh melakukan tasharruf (pemanfaatan) uang tersebut, misalnya digunakan untuk berjual beli sesuatu, atau untuk menyewa sesuatu, atau diberikan sebagai gaji karyawan, dsb.


Adapun DP (urbūn), jika diberikan, sudah menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian pihak penjual berhak melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap uang DP tersebut (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 115-116).


Ketiga, perbedaan dari segi jika akad jual beli tidak terjadi atau dibatalkan. Jika akad jual beli tidak terjadi, uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) wajib hukumnya dikembalikan oleh penjual kepada pembeli. Hal itu karena uang tanda jadi itu sebenarnya belum menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian, penjual wajib mengembalikannya jika akad jual beli tidak terjadi.


Adapun DP (urbūn), jika akad jual belinya dibatalkan pembeli, DP itu sudah menjadi hak milik pihak kedua (penjual) sehingga oleh karenanya, tidak dikembalikan oleh penjual kepada pembeli (yakni, DP hangus). (Muhammad Taqi al-Utsmani, Fiqhul Buyū’ ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 118). Wallahualam.[]

Wednesday, December 6, 2023

BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

 BERMUAMALAH DENGAN BANK (ISLAMI)

  

Oleh : asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah


Sesungguhnya akad-akad di dalam Islam itu tidak rumit dan bukan tidak jelas. Tetapi akad-akad di dalam Islam itu mudah dan jelas dan telah dijelaskan di dalam syara’ secara jelas:


1- Penjual suatu barang haruslah pemilik barang itu, lalu dia tawarkan untuk dijual. Pembeli melihatnya dan jika dia menerima maka terjadikan akad, dan jika tidak, maka barang itu tetap milik pemiliknya itu. Tidak sahnya jual beli barang yang tidak dimiliki oleh penjualnya adalah tidak boleh di dalam Islam. Di antara dalil-dalilnya:


Dari Hakim bin Hizam, ia berkata:


«قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ مِنْهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنْ السُّوقِ»، فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ» رواه أحمد


“Aku katakan: “ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku memintaku menjual apa yang bukan milikku yang aku jual, kemudian aku membelinya dari pasar”. Beliau bersabda: “jangan engkau jual apa yang bukan milikmu”. (HR Ahmad).


2- Semisal itu, seandainya Khalifah ingin mendistribusikan kepemilikan umum kepada masyarakat, atau mendistribusikan kepada masyarakat makanan dari kepemilikan negara, dan masing-masing orang mengetahui bagiannya, maka orang tidak boleh menjual bagiannya lebih dahulu sebelum dia menerimanya dari negara.


Dan ini yang dijalani oleh para shahabat Rasulullah saw:


Imam Malik telah mengeluarkan dari Nafi’ bahwa:


أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ ابْتَاعَ طَعَاماً أَمَرَ بِهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلنَّاسِ، فَبَاعَ حَكِيمٌ الطَّعَامَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: (لَا تَبِعْ طَعَاماً ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ)


Hakim bin Hizam membeli makanan yang diperintahkan oleh Umar bin al-Khaththab untuk orang-orang, lalu Hakim menjual makanan itu sebelum dia menerimanya dan hal itu sampai kepada Umar bin al-Khaththab maka Umar mengembalikannya kepadanya dan Umar berkata: “jangan engkau jual makanan yang engkau beli sampai engkau menerimanya”.


Imam Malik telah mengeluarkan bahwa bahwa telah sampai kepadanya bahwa:


أَنَّ صُكُوكاً خَرَجَتْ لِلنَّاسِ فِي زَمَانِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ مِنْ طَعَامِ الْجَارِ، فَتَبَايَعَ النَّاسُ تِلْكَ الصُّكُوكَ بَيْنَهُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا، فَدَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَرَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَقَالَا: (أَتُحِلُّ بَيْعَ الرِّبَا يَا مَرْوَانُ؟ فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ، وَمَا ذَاكَ؟ فَقَالَا: هَذِهِ الصُّكُوكُ تَبَايَعَهَا النَّاسُ ثُمَّ بَاعُوهَا قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا. فَبَعَثَ مَرْوَانُ الْحَرَسَ يَتْبَعُونَهَا يَنْزِعُونَهَا مِنْ أَيْدِي النَّاسِ وَيَرُدُّونَهَا إِلَى أَهْلِهَا)


Shukuk (cek) telah keluar untuk orang-orang pada zaman Marwan bin al-Hakam berupa makanan yang disimpan di al-Jâri (tempat di pantai yang di situ makanan dikumpulkan dan disimpan), lalu orang-orang memperjualbelikan shukuk (cek) itu di antara mereka sebelum mereka menerimanya, maka Zaid bin Tsabit dan seseorang dari shahabat Rasulullah saw masuk menemui Marwan bin al-Hakam, keduanya pun berkata: “Apakah engkau menghalalkan jual beli riba ya Marwan?” Marwan berkata: “Aku berlindung kepada Allah, apa itu?” Keduanya berkata: “shukuk (cek) ini diperjualbelikan orang-orang dan mereka menjualnya sebelum mereka menerimanya (makanan)”. Maka Marwan pun mengirim para penjaga untuk menelusuri shukuk (cek) itu, mereka ambil dari tangan orang-orang dan mereka kembalikan kepada pemiliknya”.


3- Tetapi muncul di negeri-negeri kaum Muslim lembaga-lembaga yang melakukan trik terhadap syara’ dan menyebut dirinya sendiri “islâmiy” seperti bank yang disebut “islamiy”. Lembaga itu bermuamalah secara haram tetapi tidak dengan cara ribawi seperti muamalah bank-bank ribawi, tetapi dia berjalan dengan cara haram yang lain:


a- Jika Anda pergi ke bank konvensional, Anda ingin utang, maka bank memberi Anda (utang) dengan bunga ribawi tertentu. Tetapi jika Anda pergi ke bank yang disebut “islamiy” dan Anda ingin utang, maka bank itu memberi Anda utang tanpa tambahan, tetapi karena bank manapun bukanlah lembaga yang membantu orang karena Allah, maka dia menginginkan tambahan, tetapi tidak secara gamblang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional, sebab bank itu namanya islamiy! Dia tidak ingin bermuamalah dengan riba yang haram dengan pengharaman yang diketahui hingga oleh orang umum sekalipun. Melainkan bank itu berkata kepada Anda: “untuk apa Anda ingin utang?” Lalu Anda katakan: “untuk membeli mobil atau barang tertentu … sementara saya tidak memiliki harganya”. Maka bank berkata kepada Anda: “baik, kami belikan mobil (barang) itu dan kami bayar harganya secara kontan dan kami jual kepada Anda secara kredit dengan tambahan begini” dan dibuat kesepakatan dengan Anda sebelum bank membelinya. Artinya, jual beli antara bank dengan Anda secara angsuran (kredit) telah terjadi dan ditandatangani akadnya dan menjadi mengikat sebelum bank membeli barang tersebut, dan berikutnya Anda terikat untuk mengambilnya setelah bank membelinya. Artinya, akad jual beli telah dilakukan sebelum pemilikan bank atas barang itu. Anda tidak membelinya setelah bank memilikinya dan menawarkannya kepada Anda sehingga Anda bisa setuju atau tidak setuju. Melainkan di sini Anda tidak mampu menolaknya sebab pada asalnya barang itu dibeli untuk Anda bukan untuk bank. Jadi itu merupakan jual beli apa yang tidak dimiliki dan itu secara syar’iy tidak boleh… Tetapi, seandainya bank itu punya showroom mobil miliknya dan menawarkannya kepada orang-orang, dan dia jual kepada orang yang ingin secara angsuran (kredit) niscaya sah lah jual beli tersebut. Hanya saja bank bukanlah pedagang dengan makna yang telah dikenal, tetapi bank menginginkan keuntungan atas harta yang dia bayarkan. Maka bukannya bank itu mengambil bungan ribawi yang tidak sesuai dengan namanya yang “islâmiy”, malahan bank mendapatkannya dan lebih banyak dari itu melalui muamalah yang tidak syar’iy, yaitu jual beli apa yang tidak dimiliki yang diharamkan di dalam Islam!


b- Mereka menyebutnya “murâbahah”, padahal itu bukanlah demikian. Jual beli murâbahah secara syar’iy adalah Anda pemilik barang dan Anda tawarkan untuk dijual, lalu pembeli datang dan menawar harganya kepada Anda, maka Anda katakan kepadanya “beri saya untung sekian atas apa yang Anda beli itu”, lalu dia sepakat setelah dia menelaahnya atas harga yang bebankan untuk pembeliannya dan dia merasa tenteram dengan itu. Lalu dia membayar harga ini dan keuntungan yang Anda berdua sepakati. Seperti yang Anda lihat, barang itu dimiliki oleh penjual ketika dia menawarkannya kepada pembeli. Jelas bahwa ini bukan yang ditransaksikan oleh bank yang disebut islâmiy itu atau lembaga-lembaga serupa.


c- Kadang-kadang mereka menyebutnya “wa’dun -komitmen-“ dan bukan “bay’un -jual beli-“ dan ini rancu! Dan itu perkataan yang tidak benar. Sebab al-wa’du -komitmen- atau al-muwâ’adah -komitmen timbal balik- itu tidak bersifat mengikat. Tetapi di dalam muamalah bank, dia (wa’dun) itu bersifat mengikat. Kesepakatan dibuat sebelum bank memiliki barang. Oleh karena itu, orang tidak berkata kepada bank setelah bank memiliki mobil itu, orang itu mengatakan “saya tidak ingin membeli”. Ini tidak mungkin terjadi di dalam muamalah bank. Sebab akad telah terjadi sebelum pembeliannya (oleh bank), dan itu bersifat mengikat dan bukanlah wa’dun -komitmen-. Adapun al-wa’du bi al-bay’i -komitmen menjual- atau al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- maka itu tentu saja tidak bersifat mengikat.


Al-wa’du bi asy-syirâ`i -komitmen membeli- adalah tidak bersifat mengikat. Melainkan yang mengikat itu adalah akad yang dilakukan dengan ijab dan qabul. Dan ini telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Yang terjadi di antara bank dan orang itu adalah akad jual beli yang mengikat bagi orang itu. Jadi jual beli secara riil dan praktis telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Dalilnya bahwa bank ketika memiliki mobil tersebut, orang itu tidak bisa menolak untuk membelinya. Ini menyalahi hukum syara’ yang menjelaskan jual beli di dalam Islam.


d- Dan kadang-kadang mereka menyebutnya pembelian dan bukan penjualan dan bahwa orang itu adalah orang yang menyuruh membeli (âmiru bi asy-syirâ`i). Dia berkata kepada bank, “beli untukku mobil …. “. Ini juga merupakan perkataan yang rancu. Sebab muamalah ini dengan sifat ini merupakan wakalah, yakni bahwa orang itu mewakilkan kepada bank dalam membeli untuknya mobil itu dengan harga sekian dengan imbalan upah tertentu untuk bank sebagai wakil membeli… Tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Sebab mobil itu dicatatkan dengan nama bank. Jadi bank lah yang membelinya dari show room. Dan bank menjualnya dengan angsuran (kredit) untuk orang itu. Dan mobil itu tetap dicatatkan dengan nama bank sampai orang itu membayar harganya yang disebut angsuran. Mobil itu tidak dicatatkan dengan nama orang itu. Dan bank adalah wakil orang itu dalam membeli dengan imbalan upah tertentu, tetapi tidak demikian sama sekali … Itu dari semua aspek bukanlah wakalah. Seandainya orang itu mampu secara finansial dan dia ingin mewakilkan kepada bank untuk membelikan mobil untuknya dengan upah sekian, seandainya orang itu mampu secara finansial atas yang demikian niscaya dia tidak datang ke bank tetapi niscaya dia lebih afdhal secara pengalaman dalam membeli dan lebih ringan upah (biaya)nya dari bank …


Oleh karena itu apa yang mereka namakan jual beli seperti itu tidak boleh. Ringkasnya, bahwa muamalah ini tidak boleh secara syar’iy.


Sungguh membuat saya takjub, komentar salah seorang mereka seputar bank islamiy. Dia mengatakan bahwa bank konvensional menarik harta orang-orang yang tidak peduli dengan transaksi dengan riba. Tinggallah orang-orang yang agamis (relijius) yang tidak bermuamalah dengan riba dan harta mereka tetap berada di luar bank-bank konvensional. Bank-bank yang disebut “islâmiy” lah yang menarik harta orang-orang yang agamis, dengan bank-bank ini memanfaatkannya dengan cara bukan riba yang pengharamannya diketahui oleh orang umum. Bank itu memanfaatkannya dengan cara muamalah yang tidak syar’iy. Tetapi mudah meyakinkan orang-orang sederhana bahwa itu berasal dari syara’ seperti dicari untuknya sebutan di dalam syara’ seperti al-murâbahah misalnya, dan itu tidak jelas seperti riba tetapi kadang tidak diketahui oleh banyak orang yang agamis sehingga mereka menduga kebolehannya.


Adapun tentang menempatkan harta sebagai amanah pada bank penjelasannya sebagai berikut :


Al-wasîlah ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-. Benar hal itu berlaku atas segala hal, baik perbuatan individual seperti seseorang melakukan secara sepihak, atau perbuatan dari dua pihak, yakni akad … Melainkan pembedanya adalah bahwa ketika Anda melakukan wasilah yang mengantarkan kepada yang haram, Anda bertanggungjawab atas keharaman ini. Dan ketika Anda menjadi satu pihak di dalam akad maka keharaman itu terjadi pada pihak yang menempuh wasilah yang mengantarkan kepada yang haram itu. Dan jika kedua pihak menempuh jalan ini maka dosanya atas keduanya.


Dan penempatan harta Anda sebagai amanah, yakni rekening giro tanpa bunga ribawi di bank, maka jika dalam dugaan kuat Anda bahwa bank akan menggunakan rekening giro Anda dalam riba maka tidak boleh Anda tempatkan amanah ini “rekening giro” pada bank tersebut. Hanya saja bank memisahkan antara amanah-amanah dengan bunga ribawi dan rekening giro tanpa bunga ribawi. Adapun harta yang ditempatkan dengan bunga maka digunakan dalam riba dan tidak diragukan dalam hal itu. Adapun rekening giro maka kadang digunakan, kadang dari rekening giro Anda atau dari rekening selain Anda. Hal itu karena rekening giro bisa ditarik kapan saja oleh pemiliknya … Oleh karenanya, itu menyerupai menempatkan amanah pada orang fasik. Jika Anda terpaksa untuk melakukan itu maka tidak ada dosa atas Anda. Dosa terhadapnya jika dia menggunakan amanah itu bukan pada tempatnya selama Anda tidak mengetahui hal itu atau rela. Begitulah bank, jika Anda tahu bahwa bank menggunakan rekening giro Anda di dalam riba maka tidak boleh.


Dan tentu saja yang lebih afdhal, Anda tidak menempatkannya di bank atau pada orang fasik itu. Tetapi semua ini jika bank itu terakadkan secara shahih, seperti merupakan milik individu, atau milik negara, atau syirkah yang islamiy, atau syirkah musâhamah (PT) yang terakadkan bagi pelakunya … dan bukan syirkah musâhamah (PT) yang memiliki akad yang batil. Dan jika tidak, maka bermuamalah dengannya adalah tidak boleh dalam semua kondisi.


Saudaramu,

Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah