Saturday, October 26, 2019

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?:: ------------------------------

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?::
------------------------------
Oleh: Yunno Al-Haqirin

Kata-kata seperti ini sebuah pikiran kekanak-kanakan yang keluar dari seorang bocah SMP yang sudah kehabisan akal & kata-kata tapi masih ingin menang bacot. Tidak lebih dari itu.

Dan apabila kalimat ini keluar dari mulut seorang ulama, santri, atau profesor Islam, itu menandakan bahwa Al-Qur’an hanyalah sebuah dongeng tanpa hikmah bagi orang itu.

Sekedar dibaca, dihafal, ditilawahkan, tanpa diambil pelajarannya. Hanya sampai tenggorokan, tapi tidak menyentuh hati & akalnya.

Mengapa? Karena bagi orang-orang yang seperti ini, ukuran halal-haram, boleh-tidak, mungkin-mustahil, & benar-salahnya semua disandarkan pada hal-hal yang bersifat duniawi, bukan pelajaran atau hikmah dari Islam (termasuk kisah-kisah dalam Al-Qur’an).

Artinya, dengan watak, mental, & pemikiran seperti itu, orang-orang tersebut akan menjadi budak yang tunduk pada penguasa dunia sekaligus musuh para Nabi & Rasul pada jamannya. INGAT, dengan watak, mental, & pemikiran seperti di atas.

Apakah mereka akan mengatakan dengan lancang seperti:

“Wahai Ibrahim, kalau kamu tidak suka dengan sistem & peraturan di negaranya Namrudz, kenapa kamu tinggal & cari makan disini?”

“Wahai Musa, kalau kamu tidak suka dengan Fir’aun & peraturannya, kenapa kamu masih tinggal disini?”
“Wahai Nuh, pergi saja dari negara ini & jangan mencoba merubahnya kalau kamu tidak suka dengan warisan nenek moyang kami.

“Wahai Isa, kalau kamu tidak suka dengan undang-undang & konstitusi Romawi, jangan mencoba mengubahnya karena ini sudah kesepakatan bangsa Yahudi & Romawi.”

“Wahai Luth, kalau kamu tidak suka dengan kebebasan di negeri kami, keluar saja.”
“Wahai Muhammad, kalau kamu tidak suka dengan tradisi & peninggalan nenek moyang bangsa Quraisy, maka pergilah dari Makkah & jangan mencoba mengubah-ubah apapun dengan da’wahmu. Makkah harga mati!!!”

“Wahai Sulaiman, jangan kritik negara Bilqis karena dia punya negara & aturan sendiri. Jangan ikut campur.”

Dsb dll dst.

Maka jadilah Allah s.w.t yang maha agung yang “harus” tunduk, patuh, & menyesuaikan diri dengan aturan, hukum, & kemauan manusia.

Sebenarnya apabila orang-orang mau berpikir & jantan dalam mengakui kesalahan atau kekhilafannya, maka mudah saja. Cukup dengan mengatakan,
“kenapa bukan kalian yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau tidak suka hukum & ketentuan Allah?

 Menerapkan hukum syariat Islam secara kaffah itu wajib. Tegaknya Khilafah pun sudah menjadi janjiNya. Maka kalau kalian tidak suka, kenapa bukan kalian saja yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau masih punya rasa malu & rasa tahu diri?”

Dengan begitu, memang benar bahwa tugas para penda’wah adalah sama seperti tugas para Nabi & Rasul terdahulu, yaitu berda’wah, mengubah kejahiliyahan & kekafiran menjadi keimanan & ketaatan, membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia ataupun ciptaanNya, mengurus urusan umat dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t, serta menjalankan hukum dariNya dengan kaffah (meskipun kita tidak akan pernah bisa semulia mereka).

Para Nabi memang berda’wah di dalam keasingan sebuah negara, masyarakat, agama palsu, maupun sistem. Namun hal itu tidak membuat mereka “merasa tidak enakan” untuk tidak menyesuaikan diri dengan apapun yang tidak sesuai dengan segala yang telah diturunkan & diperintahkan oleh Allah s.w.t.

Allah, agamaNya, & hukumNya sudah pasti lebih tinggi dari apapun yang berada di dunia maupun alam semesta.

Karena itu, para pejuang yang menggunakan selendang para Nabi & Rasul -yaitu selendang da’wah- pasti tetap akan berda’wah & berjuang untuk menegakkan hukum Allah sekalipun mereka berada di negeri asing yang mereka masih harus mencari tempat tinggal & mencari makan di dalamnya.
Mengingat bahwa dunia ini adalah milik Allah, bukan milik “mereka”.

Monday, October 21, 2019

ANTARA QADHI AL-QUDHAT AL-MAWARDI DAN AL-'ALAMAH QADHI AN-NABHANI

ANTARA QADHI AL-QUDHAT AL-MAWARDI DAN AL-'ALAMAH QADHI AN-NABHANI

KH Hafid Abdurrahman

Nama lengkapnya adalah ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Nama kunyah-nya adalah Abu al-Hasan, dan populer dengan nama al-Mawardi. Al-Mawardi dinisbatkan kepada pembuatan dan penjualan air mawar (al-warad), dimana keluarganya populer dengan sebutan itu.

Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 364 H. Beguru kepada ulama’ Bashrah di zamannya, Abu al-Qasim as-Shumairi (w. 386). Setelah as-Shumairi wafat, beliau melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu di Baghdad, yang nota bene, ketika itu menjadi pusat pengetahuan dan tsaqafah di zamannya. Di sana, beliau belajar kepada ulama’ besar dan terkemuka Baghdad, Abu al-Hamid al-Isfirayini (w. 406 H). Boleh dikatakan, al-Mawardi telah menjadi murid spesialnya.

Beliau belajar bahasa dan sastra kepada Imam Abu Muhammad al-Bafi (w. 398 H). Beliau orang yang paling alim di zamannya dalam bidang Nahwu, sastra dan Balaghah, luar biasa dalam menyampaikan ceramah. Al-Mawardi sangat terpengaruh dengan kehebatan gurunya ini. Karena itu, beliau banyak menimba dari ulama’ ini.

Al-Mawardi adalah salah seorang fuqaha’ mazhab Syafii, yang sudah sampai pada level Mujtahid. Beliau sangat konsisten mengikuti mazhab Syafii sepanjang hayatnya. Belum ada satu bukti pun yang bisa digunakan untuk membuktikan kepindahannya dalam salah satu fase hidupnya ke mazhab yang lain. Ini tampak pada karyanya di bidang fikih, yang dihasilkannya. Kesibukannya untuk mengajar, menghasilkan karya-karya fikih telah mengantarkannya pada jabatan Qadhi al-Qudhat (Kepala Hakim) pada tahun 429 H. Bahkan, juga mengantarkannya sebagai pemimpin mazhab Syafii di zamannya.

Gaya penulisannya sangat jelas dan lugas. Pilihan kata dan maknanya juga sangat jelas. Susunan kata dan redaksinya juga serasi. Tidak hanya itu, beliau juga dikenal dengan akhlaknya yang tinggi, dan mempunyai rekam jejak pergaulan yang besih. Dengan karunia umur yang panjang hingga 86 tahun, wafat tahun 450 H, di tengah berbagai kesibukannya, beliau termasuk ulama’ yang mewariskan khazanah keilmuan yang luar biasa kepada umat Islam.

Karya al-Imam al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat al-Mawardi, rahimahu-Llah, meliputi berbagai bidang keilmuan. Meski perhatiannya yang paling besar beliau curahkan untuk fikih. Di antara karyanya di bidang fikih adalah: al-Iqna’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Hawi, Qawanin al-Wuzara’, Tashil an-Nadhr, dan Ta’jil ad-Dzafr. Karya-karya ini terbukti merupakan karya al-Mawardi, dan telah dinyatakan dengan jelas dan lugas dalam kitab-kitab Tarjamah dan Thabaqat as-Syafiiyah.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, merupakan kitab yang ditulis oleh al-Mawardi atas permintaan Khalifah di zamanannya, yaitu al-Qa’im bi Amri-Llah (422-467 H). Meski tidak ada bukti secara autentik, bahwa Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah yang meminta beliau, sebagaimana Abu Yusuf menulis kitabnya, al-Kharaj, atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid, namun melihat kedudukannya sebagai Qadhi Qudhat tahun 429 H, yang tak lain adalah era Khalifah Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah, maka kemungkinan itu sangat kuat.

Hukum-hukum yang dituangkan dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh al-Mawardi:

“Saya sengaja mengkhususkan sebuah kitab untuk membahas hukum-hukum yang terkait dengan kekuasaan, yang berisi perkara memang wajib ditaati, agar berbagai mazhab para fuqaha’ bisa diketahui, dan apa yang menjadi hak dan kewajibannya bisa dipenuhi, supaya adil pelaksanaan dan keputusannya..”[1]

Karena itu, di dalam kitab ini beliau membahas kaidah tentang sistem politik, administrasi, keuangan, peperangan dan sosial di dalam Negara Khilafah di zamannya. Dalam penulisannya, beliau berpijak pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, sebagaimana dalil yang lazim digunakan di kalangan mazhab Syafii. Beliau juga menjelaskan berbagai pandangan mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik dan tentu Imam Syafii sendiri. Sementara mazhab Hanbali boleh dibilang tidak disinggung sama sekali. Mungkin karena Imam Ahmad lebih dekat sebagai Ahli Hadits, ketimbang sebagai fuqaha’.

Boleh jadi karena alasan itulah, maka al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat, Abu Ya’la al-Farra’ (w. 458) menulis kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, dengan judul dan isi yang kurang lebih sama untuk menjelaskan hukum-hukum yang sama, tetapi berdasarkan mazhab Hanbali, agar Khalifah di zamannya juga mengetahui pandangan mazhab Hanbali, dan bisa menunaikan apa yang menjadi hak dan kewajibanya.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Imam al-Mawardi ini terdiri dari dua puluh bab, antara lain, tentang akad Imamah, pengangkat Wizarat (pembantu Khalifah), bukan wizarat dengan konotasi kementerian seperti dalam sistem Demokrasi, pengangkat Imarah ‘ala al-Bilad (kepala daerah), pengkatan Imarah ‘ala al-Jihad (komando jihad), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan Jizyah dan Kharaj, hukum Ihya’ al-Mawat (menghidupkan tanah mati), eksplorasi air (termasuk tambang), Hima dan Irfaq (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga Diwan (administrasi), Ahkam al-Jara’im (hukum tindak kriminal), dan Hisbah.

Dilihat dari struktur pembahasannya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah memang memuat hukum-hukum yang oleh penulisnya dianggap sangat dibutuhkan oleh para penguasa, khususnya Khalifah dan jajarannya, di satu sisi, agar bisa menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Di sisi lain, juga bisa menjadi pegangan masyarakat, agar mengetahui apa yang menjadi haknya, dan kewajiban para penguasa itu terhadap diri mereka. Dengan begitu, mereka mempunyai pedoman untuk melakukan check and balance.

Namun, kitab ini masih mencampuradukkan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem pemerintahan (Nidzam al-Hukm), sistem ekonomi (an-Nidzam al-Iqtishadi), sanksi hukum (Nidzam al-‘Uqubat), termasuk masalah administrasi dalam satu kitab. Karena itu, jika kita simpulkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini sebagai kitab yang khusus membahas tentang sistem pemerintah, sebenarnya tidak tepat. Karena di dalamnya ada juga pembahasan tentang hukum lain. Tetapi, ini bisa dimaklumi, karena sistematika keilmuan dan sistem di era itu belum se detail saat ini.

Konsekuensinya, jika kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini kita implementasikan pada saat ini, tentu kurang sistematis. Meski, isinya cukup memadai berbagai pembahasan yang dibutuhkan, termasuk sebagai referensi awal dan autentik. Dikatakan sebagai sebagai referensi awal, karena ini merupakan salah kitab paling awal yang membahas sistem pemerintahan. Dikatakan autentik, karena kitab ini sekaligus menjadi dokumen autentik untuk menjawab keraguan orang yang selama ini menuduh, bahwa Khilafah tidak ada. Sistem Khilafah tidak jelas. Khilafah tidak wajib, dan tuduhan-tuduhan bodoh lainnya.

Karena itu, bisa dimengerti, jika saat ini kita membutuhkan referensi lain, selain kitab ini, sebagai pelengkap sekaligus menjawab kebutuhan modern yang belum terjawab dengan lugas dan jelas dalam kitab ini. Inilah yang kemudian bisa kita temukan dalam kitab al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llah (w. 1977 M), Nidzam al-Hukm fi al-Islam. Kitab yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai sistemisasi karya al-Mawardi dalam konteks kekinian, sekaligus menjawab apa yang belum ada di zamannya, dan dibutuhkan ijtihad baru. Istilah Wazir Tafwidh dan Wazir Tanfidz, yang digunakan oleh al-Mawardi, misalnya, digunakan oleh an-Nabhani, tetapi dengan konotasi yang tepat dan akurat dalam konteksnya. Karena itu, beliau istilahkan dengan Mu’awin Tafwidh dan Mu’awin Tanfidz. Karena, istilah Wazir di sini konotasinya Mu’awin, bukan konotasi “Menteri” dalam sistem Demokrasi.

Apa yang tampak tidak jelas dalam pembahasan al-Mawardi, seperti masalah Wilayatu al-‘Ahdi (putra mahkota), status hukumnya, dan bagaimana memahami keabsahannya sebagai proses transisi kekuasaan, juga didudukkan dengan tepat dan akurat oleh an-Nabhani. Meski dalil-dalil dan riwayat yang digunakannya sama, tetapi perspektif dan istimbat-nya berbeda. Dari sini, akhirnya kita tahu, apakah di dalam Islam mengenal putra mahkota, atau tidak? Kalau pun ada, bagaimana proses dan mekanismenya? Termasuk metode baku pengangkatan Khalifah, yang selama ini dianggap tidak jelas. Semuanya dibahas dengan lugas dan jelas.

Kembali kepada karya-karya al-Mawardi di bidang politik, dimana kitab ini bukan satu-satunya karya beliau, bisa disimpulkan, bahwa beliau fokus menjelaskan hukum-hukum fikih berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dalam masalah ini. Beliau sangat sedikit sekali menggunakan syair, kata bijak dan metafor dalam kitabnya. Berbeda ketika kita membaca kitabnya yang lain, seperti Adab ad-Dunya wa ad-Din. Di sini, kita akan menemukan banyak sekali syair, kata bijak dan metafor yang digunakan untuk mendukung pendapatnya.

Ini bisa dipahami, karena tujuan penulisan karya-karyanya di bidang politik ini memang berbeda dengan yang lain. Tetapi, ada yang menarik. Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, maupun karya fikih politik beliau yang lain, beliau sama sekali tidak terpengaruh dengan teori-teori Socrates, Plato, Aristoteles atau filsuf Yunani lainnya. Meski, ketika itu buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Dengan begitu, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Qadhi al-Qudhat al-Mawardi ini merupakan kitab rujukan penting. Namun, kitab ini mempunyai kedudukan dan kekuatan tersendiri. Selain penulisnya yang nota bene adalah Mujtahid, kitab ini ditulis oleh salah seorang pelaku sejarah, dengan jabatan Qadhi al-Qudhat, di zamannya. Karena itu, meski ini bukan rujukan satu-satunya, tetapi kitab ini penting, sekaligus menjadi dokumen autentik penerapan sistem pemerintahan Islam di dalam Negara Khilafah, di era Khilafah ‘Abbasiyyah.

Bogor, 23 Dzulhijjah 1435 H

17 Oktober 2014 M

KH Hafidz Abdurrahman

Tuesday, October 15, 2019

Perjalanan ke Jantungnya Teror

https://g.co/kgs/brdmBZ

*Perjalanan ke Jantungnya Teror*


Mencengangkan, 10 tesis politisi jerman tentang Islam. Seorang  politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, telah membaca Qur'an.

Setelah membaca, mengamati dan berpikir, Todenhöfer menulis. Hasilnya: sebuah buku “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam – Sepuluh Tesis Anti Kebencian”), yang terbit di akhir tahun 2011. Berikut ringkasannya:

1. Barat Lebih “Brutal“ dari Dunia Islam

Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.

Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya.

Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat.

2. Mempromosikan Anti-Terorisme, Melahirkan Terorisme

Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektiv, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru.

“Seorang pemuda muslim,” tulis Todenhöfer, “yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris.”

Beruntung saja, sebagian besar pemuda islam tidak terpancing. Mereka memilih jalan yang berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya, Marokko, dan negara-negara muslim lainnya, mereka menjawab ketidak-adilan yang menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan teriakan kebebasan, bukan teror dan kekerasan.

3. Terorisme: Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam

Pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme: “Tidak setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.

Data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol, menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.

4. Hukum Internasional untuk Semua

Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500 korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir.?

Lebih jauh, Todenhöfer bertanya kritis: “mengapa elite Barat, tidak pernah sekalipun menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Irak.? Apakah hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat.?“.

Perang, bukan jawaban untuk aksi-aksi terorisme. Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak mengenalnya. Teroris yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang kebebasan, bukan pahlawan, bukan pula syuhada. Mereka mengkhianati agama mereka. Mereka adalah pembunuh.

5. Muslim, Toleransi dan “Perang Suci“

Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.

Islam tidak mengenal kata suci dalam kaitannya dengan perang. Jihad bermakna sungguh-sungguh di jalan Tuhan. Tidak ada satu tempat pun di Qur'an yang memaknakan jihad dengan perang suci. Karena perang tidak pernah suci, dan kesucian hanya ada di jalan perdamaian.

6. Kontekstual Qur'an dan Islam-Teroris

Permasalahan besar dalam perdebatan Qur'an di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.

Sebagian besar mereka tidak lagi rasional dan ilmiah. Hanya mengutip beberapa tekstual yang mengesankan islam pro “perang” tanpa pernah mau tahu konteksnya. Padahal pesan-pesan Qur'an yang dikesankan seperti itu, spesifik diterima Muhammad, dalam konteks perlawanan antara penduduk Mekkah dan Madinah, waktu itu.

Seperti Musa dan Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada situasi dunia yang sedang vakum, apalagi damai. Mereka hadir pada saat moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan perlawanan. Adalah sangat lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang” itu bisa ditemukan di Qur'an, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru.

Secara semantis, diksi “islam-teroris”, “kristen-teroris” atau “yahudi-teroris” adalah sebuah penyesatan bahasa. Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen setan, tidak boleh dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan. Memang benar, di dalam Islam, Kristen, atau Yahudi ada ideologi teror – tapi bukan ajaran agamanya. Ideologi ini tidak mengantarkan mereka ke surga, tapi ke neraka.

7. Fakta atau Fake.?

Kalimat andalan kritikus anti-Islam di barat: “siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!” Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak muslim di Barat).

Barat mengidentifikasi jilbab sebagai simbol pengekangan dan ketertindasan. Dari survey resmi, wanita-wanita pemakai jilbab, yang begitu dipedulikan barat itu, justru berkata bukan (atas kesadaran pribadi). Sinisme jilbab, sebagian besar justru datang dari mereka yang tidak berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak asasi. Tidak jauh berbeda, dari prosesi pemaksaan untuk melepasnya.

Barat menuduh perempuan-perempuan islam tidak berpendidikan. Fakta dari dunia islam menjawab lain. Secara statistis, perempuan di negara-negara mayoritas islam, justru lebih berpendidikan dibanding Barat: 30% Profesor di Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya hanya sekitar 20%. Lebih dari 60% mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni Emirat Arab, sudah semenjak tahun 2007, mahasiswa perempuan menginjak angka yang sulit dipercaya: 77%.

8. Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang Kristen

Tidak ada seorang bayipun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.

Tidak jarang kita dengar politikus dan aktivis Barat, demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian terhadap Islam. Frank Graham, penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama iblis dan sihir”. Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam sebagai “agama fasis”. Thilo Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis: “secara genetis, anak-anak dari keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat kecerdasan rata-rata.”

Bayangkan sejenak, jika Frank Graham, Greet Wilders, dan Thilo Sarrazin mengganti objek tesis-nya bukan kepada “Islam”, tetapi menjadi “Yahudi” atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai kemarahan yang dahsyat.? Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik dan rassist terhadap Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi sesuatu yang tabu.? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.

9. Muslim Melawan Teror

Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.

Tidak seperti politikus umumnya, Muhammad, bukan seorang reaksioner. Dia adalah seorang revolusioner, berani berpikir dan berani mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa Muhammad bukanlah agama stagnan, apalagi regresif, tetapi pembaruan dan perubahan. Muhammad berjuang untuk perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin dan orang lemah. Dia mengangkat hak-hak kaum perempuan, yang di periode sebelumnya nyaris tidak ada.

Muhammad bukan seorang fanatik atau seorang ekstrimis. Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang kala itu terjebak pada belenggu politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya yang murni, agama Ibrahim, persis seperti yang disuarakan Musa dan Isa.

Terorisme, yang berada di sekelumit dunia Islam pada hari ini adalah distorsi ajaran Muhammad. Ini adalah kejahatan melawan Islam. Dunia Islam tidak boleh membiarkan citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14 abad yang lalu, dihancurkan seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam perlu memerangi ideologi terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi berhala-berhala dari periode pra-Islam.

10. Politik Bukan Perang

Kalimat bijak pernah mengajarkan: “Ketika kamu tidak bisa menaklukkan musuhmu, peluk dia.!”

Masalah kompleks di Timur tengah, hanya bisa diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang. Barat harus membuka pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat harus membuka ruang bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara Arab. Kesatuan dan stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak berdiri di atas invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh visi.

Sebuah visi akan sebuah dunia, yang setiap negara di dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan yang tanpa diskriminasi. Politik anti-diskriminasi yang dibangun di atas keadilan dan kebebasan, bukan perang, apalagi penindasan. [mc]

*Penulis: Yudi Nurul Ihsan, Mahasiswa Indonesia S3 di Jerman.
Setiap muslim berkewajiban membela Islam dan muslimin dng seluruh kemampuannya.

Friday, October 11, 2019

Komentar Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi Kepada Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-nabhani RahimahulLah :

Komentar Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi Kepada Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-nabhani RahimahulLah :

"Sebagaimana dikutip oleh salah seorang anggota Hizbut Tahrir Sudan, dalam tayangan Youtube yang diupload oleh Mazin Abdul Adhim, Syaikh Asy-Sya'rawi memberikan komentar yang positif tentang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Cuplikannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: When he was asked, ”What do you know about Taqiyuddin An Nabhani?” “He said, ”He was a Sahabi who was delayed to an era that was not his.” “He had long silences, and if he spoke, his words were pearls.” “His proofs were powerful, he was convincing and was firm in the opinions he believed in”. ”This sheikh, Taqiyuddin An Nabhani, while we reviewed our studies in Al Azhar, he would be reading news about the Muslims and their affairs.” “So he had those characteristics” (Ketika beliau ditanya, “Apa yang Anda ketahui tentang Taqiyuddin An Nabhani?” Beliau menjawab, ”Dia adalah sahabat [Nabi saw.] yang tertunda ke masa yang bukan miliknya. Beliau banyak diam dan jika bicara, kata-katanya adalah mutiara. Hujjahnya kuat, meyakinkan dan tegas pada pendapat yang beliau yakini. Syaikh ini, Taqiyuddin an-Nabhani, sementara kami persiapan ujian pelajaran di Al Azhar, ia akan membaca berita tentang kaum Muslim dan urusan mereka. Itulah karakteristik dia).”

Dalam kitab Ahbabullah (Para Kekasih Allah), seorang aktivis senior Hizbut Tahrir, Muhammad Hatim Mishbah Nashiruddin, menulis memoar dakwahnya sebagai berikut: Saya menyebutkan di awal tulisan “Seorang laki-laki Alma’iy Mujaddid Abad Kedua puluh”. Terhadap kata “Alma’iy” ini ada kisah terkenal yang diketahui oleh sahabat Syaikh Taqiyuddin saat belajar di Al-Azhar yang sezaman pada saat itu, di antaranya Syaikh Mutawali asy-Sya’rawi. Syaikh asy-Sya'rawi berkata: "Sungguh, Syaikh Taqiyuddin mengumpulkan kertas dari berbagai surat kabar dan menyimpannya. Beliau memperhatikan apa yang tertulis di dalamnya mengenai masalah politik. Ajaib, sungguh kedudukan dia paling utama di antara kami." (Kata al-alma’iy,
setelah merujuk kembali ke Kamus Al Muhith [III/82] al alma’a – al alma’iy – al yalma’iy = adz-dzakiy al-mutawaqqid =orang yang cerdas dan bersinar... yakni seorang pemikir cerdas dan berpikir cepat. Terletak di dinding Al-Azhar asy-Syarif lembaran yang tertulis, “Seorang yang cerdas dan bersinar sejak tiga ratus tahun adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani”. Namun, tulisan tersebut dihilangkan sama sekali oleh penguasa Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, setelah
Syaikh Taqi mendirikan Hizbut Tahrir).

#Biografi Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi

Muslimedianews ~ Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya. Hal itulah yang menjadikannya dekat di hati manusia, terkhusus metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan sehingga beliau dianggap memiliki kepribadian Muslim yang lebih mencintai dan menghormati Mesir dan dunia Arab. Oleh karena itu beliau diberi gelar Imam ad-Du’at (Pemimpin Para Da’i).

Daftar Isi:
1. Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
2. Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
3. Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
4. Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
5. Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
6. Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
7. Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

1. Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi lahir pada 16 April 1911 M di Desa Daqadus, Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Di usia yang masih dini, 11 tahun, ia sudah hafal al-Quran.

Sejak kecil selalu dipanggil oleh kedua orangtuanya dengan panggilan “Syaikh al-Amin” (yang amanah). Tidak ada keterangan tentang hal ini, namun boleh jadi karena kecerdasan dan kepolosannya kepada orangtuanya.

2. Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh asy-Sya’rawi semasa kecilnya belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar, Zaqaziq. Kecerdasannya telah tampak semenjak kecil dalam menghafal syair dan peribahasa Arab. Beliau berhasil meraih ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah di tempat yang sama hingga bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra.

Ia mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, hingga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di Zaqaziq. Diantara rekan-rekan beliau adalah:
1. Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya)
2. Prof. Khalid Muhammad Khalid
3. Dr. Ahmad Haikal
4. Dr. Hassan Gad.

Mereka semua adalah guru sekaligus rekan sesama kaum muda yang gandrung dengan sastra Arab. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan Syaikh asy-Sya’rawi.

Ketika orangtuanya ingin mendaftarkan dirinya ke al-Azhar, Kairo, ia ingin tinggal dengan saudara-saudaranya di Zaqaziq demi untuk menekuni dunia tani, sebagaimana keluarga besarnya yang hidup sebagai petani desa. Namun mereka tetap mendesak beliau untuk ke Kairo agar dapat mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya dan mengamalkannya sekembalinya ke kampung halaman. Akhirnya tak ada hal yang patut dilakukannya kecuali patuh kepada orangtua dan mewujudkan keinginan mereka. Maka ia pun akhirnya terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M.

Syaikh asy-Sya’rawi tamat dari al-Azhar tahun 1940 M dengan gelar S1. Lalu beliau mendapat izin mengajar pada tahun 1943 M setelah menyelesaikan pendidikan Master of Art. Ia ditugasi mengajar di Thanta, Zaqaziq, dan selanjutnya di Iskandaria.

Setelah masa pengalaman yang panjang di negerinya, Syaikh asy-Sya’râwi pindah ke Arab Saudi pada tahun 1950 M, untuk menjadi dosen syari’ah di Universitas Ummu al-Qurra. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke kampung halamannya.

Di Kairo, ia diangkat sebagai direktur di kantor Syaikh al-Azhar Syaikh Husain Ma’mun, kemudian menjadi duta al-Azhar di Aljazair dan menetap selama tujuh tahun di sana. Setelah itu ia kembali lagi ke Kairo, ditugasi sebagai kepala Departemen Agama Provinsi Gharbiyah dan utusan khusus al-Azhar untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi.

Pada bulan November 1976 M, Perdana Menteri Mesir, Mamduh Salim, memilihnya untuk memimpin Departemen Urusan Wakaf dan Urusan al-Azhar. Perannya bagi al-Azhar dan pemerintahan Mesir sungguh luar biasa. Ia seorang ahli agama yang juga sangat handal dalam tata administrasi pemerintahan.

Sekalipun menduduki kedudukan elite dan termasyhur, sikap wara’ dan tawadhunya tidak luntur. Ia juga seorang yang amat pemurah dan menafkahkan gaji yang diperolehnya bagi para pelajar, mahasiswa, hafidz al-Quran dan orang-orang miskin. Bahkan, royalti atas karya-karyanya banyak digunakannya untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti membangun sekolah, masjid, memberikan santunan dan sebagainya.

Selain berpengetahuan luas, asy-Sya’rawi juga amat menguasai bahasa dialektika. Kedua kemampuan ini menjadikannya ulama dan muballigh yang handal.

3. Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Asy-Sya’râwi juga amat cinta kepada keturunan Rasulullah Saw. Ia sering berkunjung ke kawasan al-Husain (sebuah wilayah yang banyak didiami dzurriyyah Rasul), rutin berziarah ke makam Sayyidah Nafisah, dan menghadiri majelis Maulid di halaman Masjid al-Husain.

Suatu ketika, dalam sebuah diskusi keagamaan, ia pernah ditanya: “Bagaimana pendapat Tuan tentang ziarah ahlul bait dan para wali yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir khususnya orang-orang dari dusun yang bertabarruk kepada mereka?”

Seraya meletakkan tangannya di dada seolah-olah berbicara tentang dirinya, ia menjawab: “Kami besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bait dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami dan saudara-saudara kami semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka.

Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahwa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syari’at) Allah.

Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang Muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka yang dikenal sebagai orang shalih! Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang Muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya.

Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang?

Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari.

Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya.”

Setiap hari Jum’at selama 20 tahun di Masjid Arba’in di kampung kelahirannya dan beberapa masjid di Kairo, ia mengisi sebuah majelis bertajuk “Khawathir Sya’rawi”. Ia berceramah dan mengisi pengajian tafsir al-Quran. Kemampuan orasinya mampu memikat pendengarnya yang terdiri dari kalangan masyarakat biasa. Sungguh pun begitu, para pendengar dari kumpulan kaum intelektual sekuler, seperti Syaikh al-Qimani, senantiasa memperhatikan ceramahnya.

Selepas meninggalkan jabatannya dalam kementerian, ia berkhidmat sebagai ulama al-Azhar. Namun dalam penampilan berpakaian, ia enggan memakai pakaian resmi para ulama al-Azhar dan hanya memakai kopiah dan jubahnya.

4. Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Setelah menikah, Syaikh asy-Sya’rawi dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri: Sami, Abdul Rahim, Ahmad, Fathimah dan Shalihah. Baginya, faktor utama keberhasilan pernikahannya adalah ikhtiar dan kerelaan antara suami dan istri.

Mengenai pendidikan anaknya, ia berkata: “Yang terpenting dalam mendidik anak adalah suri teladan. Seandainya didapatkan suri teladan yang baik, seorang anak akan menjadikannya sebagai contoh. Maka seorang anak harus dicermati dengan baik, dan di sana terdapat perbedaan antara mengajari anak dan mendidiknya.

Seorang anak, jika tidak bergerak kemampuannya dan bersiap untuk menerima dan menampung sesuatu di sekitarnya, artinya, apabila tidak siap telinganya untuk mendengar, kedua matanya untuk melihat, hidungnya untuk mencium, dan ujung-ujung jarinya untuk menyentuh, kita wajib menjaga seluruh kemampuannya dengan tingkah laku kita yang mendidik bersamanya dan di depannya. Oleh karena itu, kita harus menjaga telinganya dari setiap perkataan yang jelek, dan menjaga matanya dari setiap pemandangan yang merusak.

Kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan Islami. Apabila anak melihat kita dan kita mengerjakan yang demikian itu, dia akan mengikutinya, juga yang lainnya. Tapi jika anak itu tidak mengambil pelajaran dalam hal ini, tindakan lebih penting daripada omongan belaka.”

5. Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi adalah salah satu ulama terkemuka masa kini. Ia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan mudah dan sederhana dalam karya-karyanya. Karya-karyanya begitu familiar di tengah-tengah masyarakat muslim, baik karya asli maupun terjemahan.

Ia juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Lisannya yang fasih dan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat Muslim, baik di Mesir, tempat kelahirannya, maupun di berbagai penjuru dunia, sehingga ia diberi gelar Imam ad-Du’at (Imam para Da’i) oleh rekan sejawat sesama ulama di Mesir.

Sebagai seorang ulama yang juga cendekiawan, ia tak hanya fokus dengan dakwah billisan. Ketertarikannya dalam dunia tulis-menulis turut memasyhurkan namanya sebagai ulama penulis handal dan produktif. Beliau juga dijuluki “Mujaddid Abad 20” oleh sebagaian pecinta beliau. Di tengah-tengah kesibukannya dalam aktivitas kepemerintahan dan akademi, Syaikh asy-Sya’rawi masih sempat menelurkan banyak karya diantaranya:

1. Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra dan Mi’raj).
2. Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia di balik kalimat Bismillahirrahmanirrahim).
3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).
4. Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj ( Islam dan Perempuan, Akidah dan Metode).
5. Asy-Syura wa at-Tasyri’ fi al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan dalam Islam).
6. Ash-Shalah wa Arkan al-Islam (Shalat dan Rukun-rukun Islam).
7. Ath-Thariq ila Allah (Jalan Menuju Allah).
8. Al-Fatawa (Fatwa-fatwa).
9. Labbayk Allahumma Labbayka (Ya Allah Kami Memenuhi PanggilanMu).
10. Mi-ah Su-al wa Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 Soal Jawab Fiqih Islam).
11. Al-Mar’ah Kama Aradaha Allah (Perempuan Sebagaimana yang Diinginkan Allah).
12. Mu’jizah al-Qur’an Min Faydhi al-Qur’an (Kemukjizatan Al-Quran Diantara Limpahan Hikmah Al-Quran).
13. Nadzarat al-Qur’an (Pandangan-pandangan Al-Quran).
14. ‘Ala Ma-idah al-Fikr al-Islamiy (Di Atas Hidangan Pemikiran Islam).
15. Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar).
16. Hadza Huwa al-Islam (Inilah Islam).
17. Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Pilihan dari Tafsir Al-Quran Al-Karim).
18. Al-Hayah wa al-Maut (Hidup dan Mati).
19. At-Taubah (Taubat).
20. Adz-Dzalim wa adz-Dzalimun (Dzalim dan Orang-orang yang Dzalim).
21. Sirah an-Nabawiyyah (Sejarah Kenabian).

Karya-karya beliau dapat dipahami sebagai wujud perpaduan keindahan dan penguasaan sastrawi, fiqh, aqidah, tafsir, hingga permasalahan kontemporer kehidupan Muslimin. Para ulama Mesir mengakui kepiawaiannya di bidang tafsir dan fiqh perbandingan madzhab. Ia juga amat menguasai bahasa dialektika, sehingga Syaikh Ahmad Bahjat dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan Syaikh asy-Sya’rawi sebagai seorang ahli tafsir kontemporer yang dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan uslub (metode) yang mudah dipahami orang umum. Bahasanya lugas dan mudah, tapi mendalam.

Al-Qaradhawi, muridnya saat belajar di al-Azhar Thantha, memuji gurunya ini sebagai tokoh yang rendah hati dan luas pemikirannya dalam berbeda pendapat. Sementara Syaikh Umar Hasyim, salah satu petinggi al-Azhar, menganggapnya sebagai tokoh yang pantas disebut sebagai salah seorang mujaddid (pembaharu) abad ke-20.

6. Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Tiga bulan sebelum wafatnya, saat peresmian sebuah masjid di kampungnya, ia berkata: “Semua harta adalah milik Allah Ta’ala, dan setiap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadaku akan aku nafkahkan pada jalan Allah. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa. Harta dan diriku hanya untuk Allah. Seandainya setiap orang merasa bertanggung jawab pada kampung dan bandar tempat kelahirannya, niscaya tempat itu lebih indah daripada bandar-bandar besar di seluruh dunia. Aku ingin tanah tempat kelahiranku ini yang menimbun jasadku nanti.”

Kerajaan Saudi pernah menawarkan kepadanya tanah pekuburan di Baqi’. Tawaran itu adalah tawaran terhormat bagi seorang ulama Mesir yang banyak jasanya bagi studi Islam di Arab Saudi, yang Wahabi-sentris. Namun, kecintaannya kepada kampung halamannya, Mesir, diungkapkannya: “Tanah kelahiranku lebih layak menerima jasadku hingga ia dapat memelukku ketika aku mati sebagaimana aku memeluknya dan memeliharanya ketika hayatku.”

Pada pagi Rabu 17 Juni 1998 M/22 Shafar 1419 H, Syaikh asy-Sya’rawi kembali ke haribaan Ilahi, dalam usia 87 tahun. Saat pemakamannya, ratusan ribu orang memadati kuburnya di Kampung Daqadus, sebagai penghormatan terakhir bagi ‘allamah besar ini.

7. Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Diantara kalam mutiara nasehat beliau yang berbentuk syair adalah:

(من أقوال الشيخ محمد متولي الشعراوي)

إن كنت لا تعرف عنوان رزقك# فإن رزقك يعرف عنوانك.

“Jika kamu tidak tahu alamat tempat rizqimu, maka ketahuilah rizqimu tahu alamat tempatmu.”

إذا أهمّك أمر غيرك فاعلم بأنّك ذوطبعٍ أصيل # وإذا رأيت في غيرك جمالاً فاعلم بأنّ داخلك جميل

“Jika engkau mementingkan urusan orang lain, ketahuilah bahwa kamu punya karakter yang baik. Jika engkau melihat orang lain baik, maka ketahuilah bahwa batinmu juga baik.”

من ابتغى صديقا بلا عيب عاش وحيدا # من ابتغى زوجةً بلا نقص عاش أعزبا

“Siapa yang ingin mencari teman yang sempurna (tanpa aib), maka hidupnya akan sendirian (karena tiada teman yang sempurna). Siapa yang ingin mencari istri yang sempurna (tanpa kekurangan), maka hidupnya akan jomblo (karena tiada istri yang tanpa kekurangan).”

من ابتغى حبيبا بدون مشاكل عاش باحثا # من ابتغى قريباً كاملاً عاش ناقصا

“Siapa yang ingin mencari kekasih tanpa rintangan, maka hidupnya akan dilewati dengan mencari saja (tak akan pernah ketemu). Siapa yang ingin mencari kerabat yang sempurna, ia akan hidup dalam kekurangan.”

إذا أخذ الله منك مالم تتوقع ضياعه # فسوف يعطيك مالم تتوقع تملكه.

“Jika Allah mengambil sesuatu darimu yang tak kau sangka, maka kelak Allah akan memberimu sesuatu yang tak kau sangka kau miliki.”

Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…
Referensi:
• Al-Imam Muhammad Mutawallî asy-Sya'râwî: Musyâhadat an-Nuskhat Kamilatan.
• Al-Imam asy-Sya’rawi wa Haqa-iq al-Islam karya Ma’mun Gharib, 1987.
• Al-Muntadayâtu al-Islâmiyyat fî Rihâbi al-Islâmi.
• An-Nur al-Abhar fi Thabaqat Syuyukh al-Jami' al-Azhar karya Muhyiddin at-Tu’mi, 1992.
• Asy-Syaikh asy-Sya’rawi min al-Qaryah ila al-‘Alamiyyah karya Muhammad Mahgub Hassan, 1990.
• Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi fi al-Hukm wa as-Siyasah karya Abu al-Hassan Abd al-Raziq, 1990.
• Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Hayati min Daqadus ila al-Wizara karya Muhammad Safwat al-Amin, 1992.
• Muntadayâtu Syabâbi Mishra.
• Muntadâ Qashash al-Anbiyâ’ wa al-Mursalîn.

Sumber: Sya’roni As-Samfuriy

Tuesday, October 8, 2019

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI

Oleh: Yuana Ryan Tresna
Muara dalam ilmu hadits adalah terkait penerimaan dan penolakan sebuah hadits. Saat mengkaji kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, barangkali muncul pertanyaan, bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits? Berikut uraiannya:
Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.
يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329)
“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)
Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.
كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332)
“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)
Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.
الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(
“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)
الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)
“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).
الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)
“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.
أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339)
“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)
Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.
فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342)
“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)
Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.
تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345)
“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)
Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.
أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)
“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)
Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.
وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)
“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)
Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.
فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347)
“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)
Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.
ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350)
“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)
Itulah manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.
Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan
Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,
ولا يحتج بالضعيف مطلقاً
Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).
Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,
ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.
Jadi itu (tidak bisanya hadits dha’if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,
فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً
Memberikan keterangan bahwa kedha’ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha’ifannya sangat berat.
Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.
Secara praktik, syaikh Taqiyyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.
Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba’ah (lihat Syuruth A’imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),
الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء
dengan kesimpulan,
والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.
Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta’ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),
تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد
Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,
وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به
Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,
فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن
Perhatikan ungkapan berikut,
كان يتقوى بمتابع أو شاهد
Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.
Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan selama kedha’ifannya tidak parah.[]

Monday, October 7, 2019

YAIKH TAQIYYUDDIN BODOH TIDAK LULUS STUDI DI AL AZHAR ?

YAIKH TAQIYYUDDIN BODOH TIDAK LULUS STUDI DI AL AZHAR ?

By Abulwafa Romli at Oktober 07, 2019 
www.abulwafaromli.com

Menyingkap dusta dan fitnah Singa Aswaja Alkadzdzâb Idrus Ramli terhadap Syaikh Taqiyyuddin Anabhani dan Hizbut Tahrir yang didirikannya.

Idrus Ramli berkata :

"... masa lalu an-Nabhani yang pernah tidak lulus dalam studinya di Universitas al-Azhar karena hasil ujiannya yang buruk, sangat berpengaruh terhadap pemikiran HT. Tidak jarang an-Nabhani sendiri dan petinggi-petinggi HT yang lain mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan keluar dari al-Qur'an dan Hadis, seperti pandangan HT yang tidak mempercayai siksa kubur, fatwa bolehnya jabatan tangan dengan wanita ajnabiyyah, fatwa bolehnya qublat al-muwada'ah (ciuman selamat tinggal) dengan wanita ajnabiyyah sehabis pertemuan semisal acara-acara seminar, pelatihan dan lain-lain". 

BANTAHAN :

● Syaikh Taqiyyuddin Bodoh Tidak Lulus Studi Di Al-Azhar?

Al-'Alamah Syiakh 'Izzuddin Hisyam Ibn Abdul Karim Ibn Shalih al-Badroni al-Husaini al-Mushili dalam risalahnya Tarjamatus Syaikh Muhammad Taqiyyuddin an-Nabhani rh menuturkan ;

"Muhammad Taqiyyuddin Ibn Ibrahim Ibn Mushthafa Ibn Ismail Ibn Yusuf an-Nabhani. Nisbatnya kepada kabilah Bani Nabhan dari Arab Baduwi di Palestina. Sedangkan ibunya adalah bintu Yusuf Ibn Ismail Ibn Yusuf an-Nabhani. Ibunya berdomisili di kabilah Bani Nabhan di desa Ijzim wilayah Haifa bagian utara Palestina. Beliau Muhammad Taqiyyuddin lahir pada tahun 1909 M. di desa Ijzim. Beliau Muhammad Taqiyyuddin tumbuh di gudang ilmu dan agama. Ayahnya Syaikh Ibrahim Ibn Mushthafa adalah mudarris (guru) ilimu-ilmu agama di kementrian pendidikan Palestina. Ibunya adalah ahli dengan perkara-perkara agama yang telah diterimanya dari ayahnya Syaikh Yusuf Ibn Ismail Ibn Yusuf an-Nabhani seorang faqih, qadhi, penyair, sastrawan, salah seorang ulama terkemuka pada era Daulah 'Utsmaniyyah. Dalam biografi Syaikh Yusuf an-Nabhani ulama berkata; "Yusuf Ibn Ismail Ibn Yusuf Ibn Hasan Ibn Muhammad an-Nabhani as-Syafi'iy Abul Mahasin, sastrawan, penyair, shufiy, termasuk qadhi terkemuka……………".

● Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu Wa Manhajuhu Fi Iqamatid Daulatil Khilafatil Islamiyyah hal. 22, 23 dan 24 menuturkan bahwa "Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dilahirkan di desa Ijzim pada tahun 1909 M atau 1910 M. Beliau tumbuh di gudang ilmu dan agama (baitu ilmin wa dinin), di mana ayahnya Syaikh Ibrahim an-Nabhani adalah Syaikh yang ahli ilmu agama dan bekerja sebagai guru ilmu-ilmu agama di kementrian pendidikan Palestina. Ibunya juga termasuk ahli dalam ilmu-limu agama yang telah diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf an-Nabhani yang termasuk salah satu ulama terkenal pada era Daulah 'Utsmaniyyah. As-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah menerima dasar-dasar ilmu agama dari ayah dan kakeknya secara langsung. Beliau telah menghapal Al-Qur'an di luar kepala sebelum memasuki umur 13 tahun ...". ( Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu Wa Manhajuhu Fi Iqamatid Daulatil Khilafatil Islamiyyah hal. 22, 23).

Terkait dengan tuduhan bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak lulus dalam studinya di Universitas al-Azhar karena hasil ujiannya yang buruk, Muhammad Muhsin Radhi berkata :

نال الشيخ تقي الدين النبهاني عدة شهادات، هي شهادة الغرباء من الثانوية الأزهرية، ودبلوم في اللغة العربية وآدابها من كلية دار العلوم في القاهرة، وحصل من المعهد العالي للقضاء الشرعي التابع للأزهر على إجازة في القضاء، وتخرج من الأزهر عام 1932 م حاصلا على الشهادة العالمية في الشريعة
"Syaikh Taqiyyuddin Anabhani memperoleh banyak ijazah, yaitu :

1- Ijazah Alghuroba' dari Tsanawiyah Al Azhar,
2- Ijazah diploma bahasa dan sastra Arab dari pakultas Dârul 'Ulûm Cairo,
3- Ijazah di bidang peradilan agama dari Ma'had Aly untuk peradilan agama cabang Al Azhar, dan 4- Dan  beliau lulus dari Al Azhar tahun 1932 M dan mendapat ijazah alamiyyah di bidang syariah".
(Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu Wa Manhajuhu Fi Iqamatid Daulatil Khilafatil Islamiyyah hal. 24).

Demikian juga, As-Syaikh Fathi Muhammad Salim penulis buku al-Istidlal biz-Zhanni fil Aqidah menuturkan bahwa "Al-'Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh. telah lahir dari gudang ilmu (baitul ilmi). Kakeknya as-Syaikh Yusuf an-Nabhani adalah ulama besar di era Khilafah 'Utsmaniyyah. Beliau, al-'Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah mendapatkan pendidikan agama Islam dari sebuah keluarga yang islami. Kemudian beliau berpindah ke al-Azhar dan belajar di sana, dan beliau telah memperoleh 4 ijazah :
1- Ijazah al-Ghuraba' dari tsanawiyah al-Azhar
2- ijazah diploma bahasa dan sastra Arab dari pakultas Dârul 'Ulûm Cairo
3- Ijazah di Bidang Peradilan
4- Ijazah al'Alamiyyah (saat ini setara dengan ijazah doktor).
Beliau kemudian kembali ke Palestina dan aktif dalam tugas di bidang pendidikan. Setelah itu, beralih ketugas di bidang peradilan dan aktif  di Mahkamah Tinggi di sana". 

Belakangan juga telah populer, bahwa Universitas Al Azhar telah mempublikasikan memorial terkait daftar tokoh-tokoh berpengaruh dari Al Azhar, dan diantaranya adalah Syaikh Taqiyyuddin Anabhani rh serta kakeknya Syaikh Yusuf Anabhani rh.

● Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani Mengeluarkan Fatwa Yang Keluar Dari Al-Qur'an Dan Hadis?
.
Subhanallah! Ini adalah tuduhan yang sangat konyol yang menunjukkan betapa bodohnya sipenuduh dengan kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, baik yang telah diadopsi oleh Hizbut Tahrir atau yang tidak diadopsi. Karena kitab-kitab itu semuanya dipenuhi dengan dalil-dalil syar'iy, baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijmak maupun qiyas, dan dengan metode istinbath yang syar'iy, serta memuaskan akal dan menentramkan hati. Atau dia hanya berpura-pura bodoh, dengan tujuan jahat, untuk merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi terhadap Hizbut Tahrir, untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir, kemudian dari Islam Kâffah dan sistem pemerintahan Islam Khilafah. Biasanya orang yang berani dengan sengaja melakukan hal tersebut adalah orang yang telah menjadi agen Barat yang kafir, atau telah termakan oleh agen Barat. Dan indikasi kesana telah ada, yaitu setelah Idrus Ramli diajak jalan-jalan gratis ke Eropa dan Amerika otaknya berubah terhadap Hizbut Tahrir.
.
● Inilah daftar kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin Anabhani rh yang dipenuhi dalil-dalil syar'iyyah dengan metode istinbath yang syar'iy, yang harus dibaca, dikaji dan diteliti, apakah benar seperti dikatakan oleh Idrus Ramli :
.

1. Nizham al-Islam (sistem Islam)
2. Al-Takattul al-Hizbi (pembentukan partai politik)
3. Mafahimu Hizbal-Tahrir (konsepsi Hizbut Tahrir)
4. Al-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam (sistem ekonomi Islam)
5. Al-Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam (sistem pergaulan Islam)
6. Nizham al-Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintahan Islam)
7. Al-Dustur (undang-undang dasar)
8. Muqaddimah al-Dustur (pengantar undang-undang dasar)
9. Al-Daulah al-Islamiyyah (negara Islam)
10. Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, tsalatsata ajza’in (kepribadian Islam, tiga juz)
11. Mafahim Siyasiyyah li Hizb al-Tahrir (konsepsi politik Hizbut Tahrir)
12. Nazharat siyasiyyah (pandangan politik)
13. Nidaun Haar (seruan hangat)
14. Al-Khilafah (khilafah)
15. Al-Tafkir (metode berpikir)
16. Al-Kurrasah (buku catatan)
17. Sur’atul Badihah (secepat kilat)
18. Nuqthatul Inthilaq (titik permulaan)
19. Dukhulul Mujtama’ (terjun ke masyarakat)
20. Inqazhu Falesthin (menyelamatkan Palestina)
21. Risalatu ‘Arab (risalah Arab)
22. Tasalluhu Mishra (mempersenjatai Mesir)
23. Al-Ittifaqiyat al-Tsunaiyyah al-Mishriyyah al-Suriyyah wa al-Yamaniyyah
24. Hallu Qadhiyyati Falesthina ‘ala Thariqati al-Amriqiyyah wa al-Inkiliziyyah
25. Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (politik ekonomi ideal)
26. Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah (bantahan terhadap sosialisme marxisme)
27. Kaifa Hudhimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dihancurkan)
28. Nizham al-‘Uqubat (sistem persanksian)
29. Ahkam al-Bayyinat (hukum pembuktian)
30. Ahkam al-Shalat (hukum-hukum shalat)
31. Naqdh al-Qanun al-Madani (bantahan terhadap undang-undang sipil)
32. Al-Fikru al-Islami (pemikiran Islam), dll.

Dan untuk mempermudah penyebaran kitab Kaifa Hudhimat al-Khilafah, Nizham al-‘Uqubat, Ahkam al-Bayyinat, Ahkam al-Shalat, al-Fikru al-Islami Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah, dan Naqdhu al-Qanun al-Madani, ditulis atas nama syabab Hizbut Tahrir. Dan masih ada ribuan nasyrah pemikiran, politik dan ekonomi yang telah ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani RH.
.
(Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dengan pengawasan Prof. Dr. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 28, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006).
Wallohu A’lamu Bishshawâb. [].

Saturday, October 5, 2019

BENARKAH INDONESIA SUDAH ISLAMI

BENARKAH INDONESIA SUDAH ISLAMI?
* Prof. Fahmi Amhar

Ada sebagian intelektual yang berusaha keras meyakinkan umat bahwa negeri ini sudah Islami, dan pemerintahnya tidak pernah anti pada Islam. Mereka katakan, buktinya, pemerintah membuat UU Perkawinan, UU Zakat, UU Jaminan Makanan Halal, Peraturan Perbankan Syariah, Peradilan Agama, membentuk KUA di tiap kecamatan, membangun madrasah, pesantren dan PTIN, membantu pembangunan / perbaikan masjid, mengurus haji, membuat Badan Hisab & Rukyat, menyelenggarakan acara MTQ, merayakan Hari Besar Islam, dan kini pemerintah bahkan akan memungut zakat secara otomatis dari gaji PNS.

Mereka lupa, bahwa masih lebih banyak lagi aturan Islam yang belum tegak. Aturan Islam tentang ekonomi, tentang pertanahan, tentang pendidikan, tentang nafkah, tentang pergaulan, tentang pidana, tentang perdata, tentang pemerintahan, tentang hubungan internasional.

Dan masih besar kecurigaan kepada umat Islam yang rindu syariah Islam serta masih ada upaya menyalahgunakan Pancasila untuk memukul umat Islam (dan siapa saja) yang berbeda pendapat dengan penguasa.
Hukum Islam (Syariah) itu ada yang mengatur (1) hubungan manusia dengan Allah (aqidah/ibadah), (2) hubungan manusia dengan dirinya sendiri (makanan/pakaian/ahlaq), dan (3) hubungan antar manusia (muamalah, uqubat). Muamalah ini sebagian bisa dilakukan tanpa negara walau kurang optimal, namun untuk uqubat mutlak memerlukan negara. Walaupun demikian, bila negara hadir, maka seluruh syariah (1,2,3) akan berjalan optimal.
Jumlah yang diatur (diwajibkan dan dilarang) dalam syariah secara detil ada lebih dari seratus. Untuk memudahkan, akan dipakai metode 8 maqashid syariah untuk mendapatkan list 100 hukum terpenting dalam syariah yang wajib ditegakkan negara. Dengan itu kita bisa tahu, sejauh mana suatu negara "sharia comply".
*Dengan metode di atas, penulis tidak mengklaim daftar ini lengkap*

A. MENJAGA KEHIDUPAN (HIFZH AN-NAFS)
Negara menjamin setiap penduduk bebas dari kelaparan
Negara menyediakan jaminan layanan kesehatan
Negara menjamin kehalalan & kethoyiban pangan
Negara menjamin kehidupan dan keselamatan anak yatim
Negara menjamin kehidupan lansia dan penyandang diffabilitas
Negara menjamin kehidupan dhuafa / faqir-miskin
Negara menerapkan hukum qishash atas pidana kekerasan
Negera memberantas sindikat perdagangan organ tubuh
Negara menjamin kelestarian flora-fauna
Negara menjamin kelestarian lingkungan

B. MENJAGA AKAL SEHAT (HIFZH AL-AQL)
Negara menjamin pendidikan seluruh rakyat.
Negara mendukung pembelajaran al-Qur'an & as-Sunnah
Negara mendukung kegiatan ilmiah (R & D).
Negara melindungi dan mendukung para ulama & ilmuwan
Negara meninggalkan segala yang tidak memiliki dalil / dasar ilmiah
Negara mendidik manusia sehingga mengenal tujuan hidupnya
Negara memfasilitasi hiburan dan rekreasi yang islami
Negara memberantas pornografi / pornoaksi
Negara memberantas khamr & narkoba
Negara memberantas tahayyul & paham sesat lainnya

C. MENJAGA HARTA (HIFZH AL-MAAL)
Negara menerapkan sistem moneter berbasis logam mulia
Negara mengelola SDA untuk maslahat ummat
Negara menjalankan hukum pertanahan
Negara membangun infrastruktur (jalan, energi, ...)
Negara menjaga agar dunia bisnis bebas riba
Negara menjaga agar dunia bisnis bebas maisir (judi)
Negara menjaga agar dunia bisnis bebas gharar (manipulasi)
Negara menjaga berfungsinya pasar dan mencegah penimbunan
Negara memfasilitasi aqad-aqad syirkah syar'iyyah
Negara membantu memutar harta rakyat yang menganggur
Negara menjamin lapangan kerja
Negara menjaga agar kewajiban bekerja dijalankan
Negara menjaga agar kewajiban nafkah tertunaikan
Negara memfasilitasi upah sesuai kepatutan (ujrah mitsli)
Negara menjaga agar pencurian tidak terjadi
Negara memfasilitasi pengurusan barang temuan
Negara memfasilitasi agar hukum waris dijalankan
Negara memfasilitasi agar wasiat dijalankan
Negara menjaga dan memfasilitasi wakaf
Negara menjaga hak makan orang yang dalam kondisi darurat
Negara menerapkan pembuktian terbalik untuk mencegah korupsi
Negara mempromosikan dan memfasilitasi sedekah
Negara menarik jizyah dari non muslim
Negara memfasilitas pencatatan aqad non tunai
Negara membantu pelunasan hutang

D. MENJAGA KETURUNAN (HIFZH AN-NASB)
Negara mencegah pergaulan bebas (khalwat, ikhtilat)
Negara mencegah LGBT
Negara mencegah tabarruj
Negara mempromosikan dan memfasilitasi pernikahan
Negara mencarikan suami yang lari dari kewajiban pada istrinya
Negara mempromosikan pengasuhan anak (hadhonah)
Negara mempromosikan berbuat baik pada orang tua
Negara mempromosikan keharmonisan bertetangga
Negara mempromosikan silaturahmi & silah ukhuwah
Negara melakukan pendataan nasab

E. MENJAGA AGAMA (HIFZH AD-DIEN)
Negara memfasilitasi dakwah & penanaman aqidah
Negara memfasilitasi & memberi kesempatan shalat
Negara mewajibkan puasa & memfasilitasi shaum Ramadhan
Negara menarik dan mendistribusikan zakat
Negara memfasilitasi jama'ah haji & umrah
Negara memfasilitasi dakwah
Negara mencegah munculnya rahbaniyah (kependetaan Islam)
Negara menjamin hak-hak non muslim
Negara menerapkan sanksi atas orang-orang yang murtad
Negara menghukum penista agama

F. MENJAGA KEHORMATAN (HIFZH AL-IFFAH)
Negara mempromosikan sikap menahan diri meski benar
Negara mempromosikan sikap menutupi aib pribadi setiap warga
Negara mempromosikan sikap sabar menghadapi cobaan
Negara mempromosikan sikap tawadhu' meski berprestasi
Negara mempromosikan sikap kesatria atas kesalahan
Negara mewajibkan warga menutup aurat di tempat umum
Negara memfasilitasi konsultasi orang yang menghadapi masalah
Negara memberi sanksi orang yang mengolok-olok

G. MENJAGA KEAMANAN (HIFZH AL-AMN)
Negara mendamaikan perselisihan konflik horizontal)
Negara memfasilitasi persaksian yang benar saat dibutuhkan
Negara berlaku adil sekalipun terhadap orang-orang yang dibenci
Negara menyediakan peradilan yang fair
Negara menghukum penjahat/pengacau/teroris
Negara mengantisipasi ancaman cyber
Negara mengatasi bughot dengan cara-cara persuasif

H. MENJAGA NEGARA (HIFZH AD-DAULAH)
Negara menjaga kesatuan negeri-negeri Islam
Negara mempromosikan dan memfasilitasi musyawarah
Negara memfasilitasi munculnya partai-partai politik berasas Islam
Negara memfasilitasi ijtihad
Negara menerapkan tatacara syariah dalam menentukan pemimpin
Negara mewajibkan mentaati pemimpin yang taqwa
Negara mendorong mengingatkan pemimpin dengan ilmu
Negara mendorong rakyat ungkap kemungkaran dengan kata-kata.
Negara mewajibkan rakyat menolak kemungkaran sepenuh hati.
Negara menyingkirkan kemungkaran dengan kekuasaannya.
Negara membebaskan / membantu berhijrah kaum yang tertindas
Negara memudahkan urusan rakyat tanpa diminta (pro-aktif)
Negara mempromosikan dan memfasilitasi penggunaan bahasa arab
Negara menerapkan politik dakwah & jihad terhadap negara kufur.
Negara melakukan jihad untuk membebaskan negeri yang terjajah
Negara mengembangkan industri militer
Negara menolak pangkalan militer asing
Negara memberi amnesti umum bila itu akan membawa kebakan.
Negara melakukan operasi kontra intelijen terhadap intelijen asing
Negara meninggikan bendera tauhid dan mencegah ashabiyah.

TUHAN-TUHAN" PENCIPTA DEMOKRASI

fb.me/agungnugrohosss
t.me/agungnugroho_telegram
wa.me/+62-85216084774

بسم الله الرحمن الرحيم

"TUHAN-TUHAN" PENCIPTA DEMOKRASI

Prof. Dr. Kyai Haji* Georgerius Agung Nugroho, S.Hum., M.A.
.
Universitas Kehidupan Dunia Akhirat (UKDA)

A. GENERASI PERTAMA

1. DRACO (650 SM - 600 SM)

Draco berasal dari negara kota Athena (Athens, Greeks, Greece, Hellenic Republic, Yunani).

Berdasarkan literatur-literatur Barat populer disebutkan bahwa Draco adalah orang yang dianggap pertama kali melontarkan ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena.

Kelak ide yang dilontarkan oleh Draco tersebut dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya ide demokrasi.

Menurut saya, tidak ada yang istimewa dengan ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena yang dilontarkan oleh Draco.

Menjadi istimewa ketika ide tersebut dianggap menjadi cikal bakal terbentuknya ide demokrasi.

Sebuah ide yang diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia saat ini.

Sehingga saat ini seolah-olah tidak ada satu jengkal tanahpun yang tidak terpengaruh oleh ide demokrasi.

Seandainya ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena berhenti hanya sampai di Draco mungkin ide tersebut tidak menjadi ide istimewa karena tidak dianggap menjadi cikal bakal terbentuknya ide demokrasi.

Tetapi, ternyata ide Draco tersebut terus berkembang bukan hanya terbatas dengan ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena saja, tetapi, di kemudian hari, seiring dengan berjalannya waktu, ide tersebut ditambahi oleh kontributor-kontributor ide lainnya setelah Draco.

2. SOLON (hidup sekitar tahun 594 SM)

Solon berasal dari negara kota Athena (Athens, Greeks, Greece, Hellenic Republic, Yunani).

Di atas ide Draco, Solon berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

PERTAMA, Solon berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa semua penduduk negara kota Athena bisa berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena.

KE-DUA, Solon berkontribusi dengan menambahkan ide pembentukan sebuah majelis perwakilan (representative assembly) yang beranggotakan sebanyak 400 orang sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk menjalankan ide Solon yang pertama, yaitu ide bahwa semua penduduk negara kota Athena bisa berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena.

KE-TIGA, Solon berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa fungsi dan tugas majelis perwakilan (representative assembly) yang beranggotakan sebanyak 400 orang selain sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena juga sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk membuat keputusan-keputusan politik pemerintahan negara kota Athena.

Dari sebelumnya hanya sebuah ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena kemudian ide tersebut terus bergulir dan berkembang menjadi semakin jauh dengan memberikan peran kepada semua penduduk negara kota Athena untuk tidak hanya berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena, tetapi juga untuk menghasilkan keputusan-keputusan politik pemerintahan negara kota Athena.

3. CLEISTHENES (hidup sekitar tahun 508 SM / 507 SM)

Cleisthenes berasal dari negara kota Athena (Athens, Greeks, Greece, Hellenic Republic, Yunani).

Di atas ide Draco, Cleisthenes berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

PERTAMA, Cleisthenes berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa majelis perwakilan (representative assembly) yang dibentuk oleh Solon di samping sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena dan sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk membuat keputusan-keputusan politik pemerintahan negara kota Athena, juga ditambah lagi sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk membuat hukum, peraturan, dan perundang-undangan pemerintahan negara kota Athena.

KE-DUA, Cleisthenes berkontribusi  dengan menambahkan ide membagi penduduk negara kota Athena menjadi 10 suku, masing-masing suku mengirimkan perwakilan yang anggotanya berjumlah 50 orang, sehingga terbentuk sebuah dewan (representative council) yang anggotanya berjumlah 500 orang (10 suku X 50 orang).

Anggota dewan bekerja secara penuh dan mendapat upah.

Dari sebelumnya hanya sebuah ide kesetaraan hukum untuk semua penduduk negara kota Athena kemudian ditambah dengan ide pembentukan majelis perwakilan (representative assembly) dan dewan perwakilan (representative council) sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk berperan dan berpartisipasi dalam mengatur jalannya pemerintahan negara kota Athena, ditambah lagi, bukan hanya sekedar untuk berperan dan berpartisipasi dalam mengatur jalannya penerintahan negara kota Athena, tetapi juga untuk membuat keputusan-keputusan politik pemerintahan negara kota Athena.

Kemudian ditambah lagi dengan ide bahwa majelis perwakilan (representative assembly) dan dewan perwakilan (representative council) juga sebagai tempat atau wadah bagi semua penduduk negara kota Athena untuk membuat hukum, peraturan, dan perundang-undangan pemerintahan negara kota Athena.

Dan dari hubungan sebelumnya yang bersifat sukarela tanpa mendapatkan upah dari semua penduduk negara kota Athena, kemudian berubah menjadi hubungan yang bersifat ekonomis dengan mendapatkan upah dari semua penduduk negara kota Athena.

4. PERICLES (495 SM - 429 SM)

Pericles berasal dari negara kota Athena (Athens, Greeks, Greece, Hellenic Republic, Yunani).

Jika Draco, Solon, dan Cleisthenes merupakan kontributor ide sekaligus praktisi awal ide, maka Pericles bukan merupakan salah satu kontributor ide.

Meskipun Pericles bukan merupakan salah satu kontributor ide, tetapi Pericles merupakan pelaksana ide yang paling sukses di negara kota Athena, sehingga negara kota Athena mengalami zaman keemasan (the golden age) yang berlangsung selama kurang lebih 50 tahun (479 SM - 429 SM).

Disebut dengan zaman keemasan Athena karena pada zaman tersebut muncul lebih banyak lagi filsuf-filsuf besar dengan lebih banyak lagi ide-ide filsafat besar yang kelak pada kurang lebih 2000 tahun kemudian akan menjadi bahan bakar yang mendorong lahirnya Zaman rennaissance humanissance (zaman pencerahan, enlightment, aufclarung) yang berlangsung kurang lebih antara tahun 1300 M - 1700 M, dimulai dari Italia kemudian bergerak ke seluruh penjuru Eropa.

Dampak dari lahirnya Zaman rennaissance humanissance (zaman pencerahan, enlightment, aufclarung) adalah terbentuknya peradaban Barat di seluruh penjuru Eropa, kemudian menyebar sampai ke seluruh penjuru dunia, sehingga hampir-hampir tidak ada satu jengkal tanahpun yang tidak dipengaruhi oleh peradaban Barat.

Dan, salah satu bagian dari peradaban Barat dalam bentuk ide yang paling besar dan paling berpengaruh di seluruh penjuru dunia saat ini adalah sistem politik dan pemerintahan demokrasi.

B. GENERASI KE-DUA

1. JOHN LOCKE (1632 M - 1704 M)

Locke berasal dari negara Inggris (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United Kingdom, Britain).

Di atas ide Draco, Locke berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

Ide-ide Locke ditulis di dalam bukunya yang berjudul "Second Treatises on Government" atau "Two Treatises of Government".

PERTAMA, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa manusia itu terlahir dengan sifat baik dan rasional, tetapi sifat tersebut dirusak oleh masyarakat.

KE-DUA, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan adalah untuk melindungi hak azasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan, dan hak untuk memiliki dari kekuasaan pemerintahan itu sendiri.

KE-TIGA, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kedaulatan bukan di tangan raja. Raja tidak dipilih oleh  Tuhan.

KE-EMPAT, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa sistem pemerintahan yang terbaik adalah demokrasi (republik, demokrasi perwakilan -- representative democracy) dengan kekuasaan yang dibatasi.

KE-LIMA, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa jika pemerintah melukai hak azasi manusia maka rakyat berhak untuk mengganti pemerintah.

KE-ENAM, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide kebebasan beragama (freedom of religion) dan toleransi beragama (toleration of religion).

KE-TUJUH, Locke berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa kekuasaan pemerintah dibagi atau dipisah menjadi 3 yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif (trias politica).

Legislatif bertugas untuk membuat undang-undang, eksekutif bertugas untuk melaksanakan undang-undang dan mengadili terhadap terjadinya pelanggaran undang-undang, dan federatif bertugas untuk melakukan hubungan dengan luar negeri.

2. CHARLES LOUIS DE SECONDAT BARON DE MONTESQUIEU (1689 M - 1755 M)

Montesquieu berasal dari negara Perancis (France, French Republic).

Di atas ide Draco, Montesquieu berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

Ide-ide Montesquieu ditulis di dalam bukunya yang berjudul "The Spirit of The Laws".

PERTAMA, Montesquieu berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa pemerintahan dengan model pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan Judikatif merupakan bentuk pemerintahan terbaik untuk melindungi kemerdekaan dan kebebasan serta untuk mencegah terjadinya pemerintahan tirani.

Ketika kekuasaan eksekutif dan legislatif berada dalam satu orang yang sama maka tidak ada kemerdekaan dan kebebasan.

KE-DUA, Montesquieu berkontribusi dengan menambahkan ide pemeriksaan dan keseimbangan dalam pemerintahan (check and balance).

KE-TIGA, Montesquieu berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa kekuasaan pemerintah dibagi atau dipisah menjadi 3 yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif (trias politica).

Legislatif bertugas untuk membuat undang-undang, eksekutif bertugas untuk melaksanakan undang-undang, dan judikatif bertugas untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang serta mengadili terhadap terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang.

3. VOLTAIRE (1694 M - 1778 M)

Voltaire berasal dari negara Perancis (France, French Republic).

Di atas ide Draco, Voltaire berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

PERTAMA, Voltaire juga berkontribusi dengan menambahkan ide kebebasan beragama (freedom of religion) dan toleransi beragama (toleration of religion).

KE-DUA, Voltaire berkontribusi dengan menambahkan ide kebebasan berpikir dan berbicara atau mengemukakan pendapat (freedom of thought and expression).

Voltaire berkata "Meskipun aku tidak setuju dengan pendapatmu tetapi aku akan memperjuangkan hakmu untuk menyatakan pendapatmu meskipun untuk memperjuangkan hakmu tersebut sampai membuat aku mati".

KE-TIGA, Voltaire berkontribusi dengan menambahkan ide pemisahan antara gereja dan negara (separation of church and state).

4. JEAN JACQUES ROUSSEAU (1712 M - 1778 M)

Rousseau berasal dari negara Perancis (France, French Republic).

Di atas ide Draco, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan beberapa ide.

Ide-ide Rousseau ditulis di dalam bukunya yang berjudul "The Social Contract".

PERTAMA, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan bebas atau merdeka, tetapi tidak bermoral.

KE-DUA, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa pemerintahan terbentuk atas dasar kontrak sosial (social contract) antara rakyat dengan rakyat, -- bukan antara pemerintah dengan rakyat, untuk mempersatukan rakyat dan melayani rakyat berdasarkan atas keinginan rakyat atau kehendak umum (the general will).

KE-TIGA, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide menolak kelembagaan agama (institutionalize of religion), -- bukan menolak Tuhan.

KE-EMPAT, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa kediktatoran digunakan untuk mempersatukan rakyat dan melayani rakyat berdasarkan atas keinginan rakyat atau kehendak umum (the general will).

KE-LIMA, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa keinginan individu atau kehendak individu (individual will) berada di bawah keinginan rakyat atau kehendak umum (general will).

KE-ENAM, Rousseau berkontribusi dengan menambahkan ide bahwa sistem pemerintahan demokrasi langsung ( direct democracy) merupakan sistem pemerintahan terbaik untuk mewujudkan keinginan rakyat atau kehendak umum (general will).

*انشاء الله

The GreaterJakarta, Indonesia, sekitar pk.08.07, Minggu 6 Oktober 2019.

#ReturnTheKhilafah