Saturday, August 24, 2019

IRONI INFRASTRUKTUR

IRONI INFRASTRUKTUR

Akhirnya, ada juga yang berterus terang seperti ini. Dan dia adalah Gubernur Papua, disampaikan di acara yang banyak menarik minat pemirsa : Mata Najwa!

Konyolnya lagi : Najwa Shihab yang selama ini dikenal sebagai jurnalis cerdas yang suka menyudutkan tamu yang diundangnya, ternyata sudut pandangnya terhadap pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Jokowi ini, tidak jauh beda dengan cara pandang para "kecebong", pendukung Jokowi yang kerjanya hanya memuja-muji infrastruktur tanpa paham apakah membawa nilai tambah yang signifikan atau tidak, masyarakat sekitar merasakan manfaatnya dan menikmati hasilnya atau tidak.

Najwa sempat 2x mencecar Gubernur Papua soal apakah pembangunan infrastruktur itu tidak cukup bagi masyarakat Papua.

Dan jawaban telak Gubernur Papua seharusnya membuat Najwa malu dengan cara berpikirnya yang pendek : bangunkan infrastruktur, maka rakyat akan senang, puas!

Pak Gubernur blak-blakan bahwa warga Papua sendiri TIDAK PERNAH lewat jalan Trans Papua. Jadi, pembangunan infrastruktur itu manfaatnya untuk siapa?!
*******
Seorang teman di tempat saya bekerja yang saya kenal sangat mendukung Jokowi untuk 2 periode, pernah saya tanya sebelum Pilpres kemarin : kenapa kamu dukung Jokowi?
Jawabnya sederhana, sesederhana kehidupannya : "kan jaman Pak Jokowi maju".

Apanya yang maju, tanya saya.
"Infrastrukturnya, Bu", katanya.
Lalu saya tanya : kamu merasakan hidupmu lebih nyaman, lebih enak berkat infrastruktur yang dibangun?!
Dia diam sambil cengengesan agak bingung.

"Oke, sekarang saya tanya", lanjut saya.
"Kamu pernah lewat jalan tol Trans Jawa?"
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab karena saya sudah tahu apa jawabannya.

Dia warga lokal, bukan pendatang yang kalau lebaran akan pulang kampung.
Lagipula dia tidak punya mobil.
Kali ini, lagi-lagi jawabannya hanya geleng kepala sambil senyum kecut.
Saya lanjutkan : Oke, katakanlah kamu punya rejeki melimpah, menang undian atau apalah, lalu kamu mau liburan ke Bromo. Kamu sewa mobil, memangnya kamu lewat jalan tol Trans Jawa gratis? Enggak kan? Kamu tahu berapa rupiah yang harus kamu bayar dari sini sampai ke Probolinggo?
Ketika saya sebutkan angka rupiahnya, senyumnya makin kecut.

Lalu saya coba simpulkan untuknya : artinya bangun infrastruktur seperti jalan tol itu yang meniati hanyalah orang-orang berduit, yang rela merogoh dompet sebanyak itu hanya untuk lewat jalan.

Saya ceritakan juga padanya bahwa di kalangan para sopir truk angkutan barang, sopir ekspedisi, di Jawa Timur, sampai dikenal istilah "jalan tol Jokowi" dan "jalan tol Pak Harto".
Yang membedakan keduanya : mahal atau murahnya harga tiket.
Kalau "tol Jokowi" terkenal mahal tarifnya. Sopir tak berani lewat sana karena akan menguras "uang jalan" yang didapat dari majikan/
perusahaan logistik yang mempekerjakannya. Kalau memaksakan diri lewat, bisa-bisa tak ada sisa uang jalan untuk dibawa pulang.

Apalagi sebagian ruas jalan tol itu durasi tempuhnya tidak terlalu jauh bedanya dibandingkan lewat jalan arteri biasa. Penghematan waktu hanya sekitar 30 menitan, tapi uang yang harus dikeluarkan bisa untuk 2 kali makan lengkap dengan segelas kopi panas plus 1-2 batang rokok.
Nah, kamu lihat, bahkan sopir truk angkutan saja TIDAK MENIKMATI nyamannya jalan tol karena harus merogoh saku banyak. Artinya : WONG CILIK tidak merasakan manfaatnya.
Kalau punya banyak uang, tidak sayang keluar uang, barulah lewat jalan tol.
Atau kondisi tertentu seperti musim mudik lebaran.

Saya sampaikan kepada teman saya yang cara berpikirnya amat "sederhana" itu, bahwa membangum infrastruktur komersiil semacam itu bisa diibaratkan seorang Bupati atau Walikota membangun mall megah dikotanya. Setelah mall jadi, bersih, wangi, sejuk, barang yang dijual memikat mata, tapi siapa yang bisa menikmatinya?! Bukankah hanya orang berduit yang sanggup berbelanja dan makan disana?!
Masih mending mall, orang bisa numpang "ngadem" gratis atau sekedar jalan-jalan "cuci mata". Lha kalo jalan tol, memangnya bisa numpang parkir doang di bahu jalannya tanpa bayar?! Memangnya bisa numpang makan di rest area tol tanpa bayar tarifnya?!
Pembangunan infrastruktur komersiil sejatinya bukan menjadi ukuran keberhasilan seorang kepala daerah, apalagi Presiden.

Sebab, pihak swasta pun mau membangunnya jika hitungannya "masuk".
Tolok ukur keberhasilan seorang kepala daerah, juga presiden, adalah sampai seberapa jauh dia mampu MENSEJAHTERAKAN RAKYATNYA, seberapa jauh dia mampu MENINGKATKAN TARAF HIDUP RAKYATNYA.

Kalaupun dia membangun infrastruktur, sejauh mana infrastruktur itu bisa dinikmati oleh rakyat kebanyakan. Seberapa jauh infrastruktur itu mampu menyumbangkan kenyamanan dan manfaat bagi rakyatnya.
Dan..., lagi-lagi dia mengangguk-angguk, seakan paham, tapi tetap saja dia bangga dengan infrastruktur yang hanya dia dengar namanya saja, tanpa pernah dilewatinya, apalagi bisa menikmati "kemewahan"nya.
*******
Syukurlah ada Gubernur Papua di acara Mata Najwa yang mau blak-blakan. Semoga disusul oleh para kepala daerah lainnya yang bertestimoni soal tidak dinikmatinya manfaat infrastruktur oleh kebanyakan warganya.

Di Palembang ada LRT, yang menurut berita pendapatannya hanya sekitar 10% saja dari biaya operasional yang harus ditanggung. Sisanya, siapa yang harus nombokin?!
Di Jakarta ada kereta bandara yang menuju bandara Soekarno Hatta, tetapi jumlah penumpangnya sangat sedikit.

Di Jawa Barat ada bandara Kertajati yang sepi sekali. Bahkan ketika akhirnya penerbangan dari bandara Husein Sastranegara dipindahkan ke Kertajati, yang ada justru gerutuan penumpang dan calon penumpang pesawat.

Di Jawa Tengah ada jalan tol Semarang – Batang yang penghasilannya jauh dibawah biaya operasional plus biaya yang dibutuhkan untuk membayar pokok hutang plus bunganya. Hutang yang dipakai untuk membiayai pembangunannya.

Apa kabar kereta cepat Jakarta – Bandung?!
Ground breakingnya sudah dilakukan sejak Oktober 2015. Targetnya selesai akhir 2018, agar bisa jadi "primadona" jualan saat kampanye Pilpres 2019. Namun sampai kini, bahkan hingga Oktober 2019 nanti, saya haqqul yaqin tak bakal selesai.

Kalau pun kelak benar-benar jadi dan beroperasi, apakah harga tiketnya terjangkau dan menarik minat masyarakat?!
Jangan-jangan hanya akan menambah panjang deretan infrastruktur yang pendapatannya jauuuh di bawah biaya operasional apalagi masih dibebani pembayaran hutang plus bunga.

Beginilah kalau membangun infrastruktue hanya didasari ambisi dan obsesi, tanpa feasibility study yang memadai.
Menurut Pak Said Didu – ketika menjadi nara sumber di acara "Indonesia Business Forum – dulu pembangunan jalan tol benar-benae melalui kajian yang matang. Lalu ditawarkan ke pihak swasta, adakah yang berminat membangunnya. Jika kurang feasible, biasanya pihak swasta menolak skema kerjasama pembangunannya.
Nah, di era Jokowi, BUMN-lah yang "ditugaskan" untuk membangun jalan tol, tak peduli apakah cukup feasible or not!
Come on, para kepala daerah, ikuti jejak Gubernur Papua. Berterusteranglah apakah rakyat di tempat anda mayoritas menikmatinya.

Dulu, Gubernur Jawa Timur sebelum Khofifah, Pakde Karwo, sudah sempat memprotes mahalnya tarif jalan "tol Jokowi" bagi para sopir truk.

Nah, siapa menyusul berikutnya?!
Copas FB Fristy Hanon

No comments: