Saturday, August 17, 2019

Hipokrit Nasionalisme, Gerakan Separatisasi Malah Dapat Penghargaan Tinggi

Hipokrit Nasionalisme, Gerakan Separatisasi Malah Dapat Penghargaan Tinggi
.
Oleh: Zainab Ghazali
.
Pernah dengar seseorang bernama Benny Wenda? Dia adalah pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Baru-baru ini dirinya mendapatkan penghargaan dari Dewan Kota Oxford, Inggris. Penghargaan itu bernama Honorary Freedom. Ini merupakan penghargaan tertinggi yang biasa diberikan Kota Oxford dan merupakan salah satu tradisi tertua yang masih dijalankan.
.
Padahal kita semua tahu, gerakan yang dimotori Wenda adalah gerakan politik separatisme yang ingin memerdekakan Papua Barat dari Indonesia. Tapi lihat, tindakannya itu malah diapresiasi pemerintah kota di Inggris tempatnya melarikan diri. Kerajaan Inggris memberikan suaka politik kepada pentolan separatis Papua Barat tersebut pada tahun 2002. Sejak itu, Wenda tinggal di Oxford bersama keluarganya dan menjadikan kota itu sebagai markas besar kampanyenya untuk memerdekakan Papua Barat.
.
Wenda dipenjara pada 6 Juni 2002 di Jayapura. Pengadilan terus berjalan, sampai pada akhirnya Wenda dikabarkan berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 2002. Dibantu aktivis kemerdekaan Papua Barat, Wenda diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris di mana ia diberikan suaka politik.
.
Bagi Wenda, setelah diberi suaka, Oxford adalah rumahnya. Menurutnya, Oxford adalah salah satu kota yang pertama kali mendengar seruan rakyat Papua atas keadilan, hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri. Tentulah ini tambah menjengkelkan bagi pemerintah Indonesia.
.
Pasca lengsernya Soeharto, gerakan referendum rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bergelora. Saat itu, Wenda melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.
.
Sampai sini, coba kita pikir. Aktivitas gerakan model begini bukannya bentuk pemberontakan politik? Jelas-jelas gerakannya bertujuan memisahkan diri dari NKRI. Pernyataan yang berkebalikan memang sempat dilontarkan oleh pihak Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran Inggris. Mereka menyatakan pemberian penghargaan itu tidak terkait dengan London. Mereka menegaskan bahwa posisi London soal Papua tidak pernah berubah, yakni tetap bagian dari Indonesia. Demikian dikutip dari laman resmi mereka pada Selasa (16/7/2019). Meski sebenarnya pernyataan ini terkesan sebagai bentuk “cuci tangan”.
.
Mereka kemudian mengatakan Inggris terus mendukung upaya pihak berwenang dan masyarakat sipil untuk mengatasi kebutuhan dan aspirasi rakyat Papua, termasuk untuk memperkuat perlindungan HAM dan memastikan bahwa orang Papua mendapat manfaat dari pembangunan yang berkelanjutan dan adil. “Pejabat dari Kedutaan Besar Inggris Jakarta secara teratur mengunjungi Papua, dan bertemu dengan berbagai otoritas, LSM dan kelompok kepentingan,” tukasnya.
.
Bagaimana pun, gerakan milik Wenda adalah duri dalam daging bangsa. Nasionalisme buntu. Peristiwa ini membuktikan hipokritnya nasionalisme. Pihak yang jelas-jelas hendak memisahkan diri dari negara malah mendapat penghargaan tanpa ada seorang pun yang mengatakan bahwa hal ini mengancam NKRI.
.
Dan betapa mencla-menclenya nasionalisme. Jika gerakan politiknya sesuai dengan visi-misi Barat, maka didukung dan difasilitasi atas nama hak asasi manusia. Tapi kalau sekiranya tak sejalan, bahkan dinilai melawan arus yang dibangun Barat, maka langsung saja dihentikan atau diberangus.
.
Sungguh lemah kedaulatan RI. Pemerintah RI selama ini ibarat melakukan “pembiaran” terhadap munculnya gerakan-gerakan separatis di Papua. Berdasarkan catatan sejarah, begitu kental kepentingan asing di daratan Papua sejak masa kolonialisme Eropa hingga di era kekinian ketika begitu kasat mata kepentingan AS melalui Freeportnya di Papua. Dengan kata lain, keberadaan gerakan separatis di Papua memang dipertahankan, bahkan cenderung menguat, untuk menjaga kepentingan kapitalisme.
.
Tak heran jika Dewan Kota Oxford sampai memberikan penghargaan kepada Benny Wenda atas sepak terjangnya memerdekakan Papua Barat. Kepentingan kapitalisme pada era kolonial di masa lalu, rupanya masih menjadi euforia kapital yang menggiurkan hingga kini. Meski itu harus mencederai nasionalisme, sebagai sesama ide besutan kapitalisme.
.
Coba bandingkan dengan gerakan umat pengusung ideologi Islam yang mengkampanyekan bahaya penjajahan kapitalisme ini. Mereka senantiasa menyerukan persatuan hakiki di bawah naungan Islam. Mereka tak pernah melakukan aksi separatisme. Bersenjata pun tidak. Alih-alih sampai tindakan makar.
.
Mereka hanya berjuang di ranah pemikiran. Berupaya mencerdaskan umat akan pentingnya Khilafah. Yang dengan Khilafah itu, maka institusi politik bangsa justru kokoh terjaga secara ideologis. Takkan ada campur tangan asing yang menyengkarut kehidupan berbangsa dan bernegara.
.
Ironisnya, yang memperjuangkan Khilafah melalui pemikiran ini malah dibabat habis bak musuh berbahaya, tanpa diberi ruang untuk menjelaskan idenya. Babak belur "dihajar" rezim. Secara arogan, status Bahan Hukum Perkumpulan-(BHP)-nya dicabut. Ajaran dakwahnya dikriminalisasi. Pengemban dakwahnya dipersekusi dan lembaganya dipetikan tanpa dialog.
.
Ini bukti nyata penolakan pada Islam sebagai ideologi. Ada pihak-pihak yang rupanya terganggu kepentingannya. Padahal Islam satu-satunya ideologi yg mampu menghantarkan pada rahmatan lil alamin. Islam memuaskan akal, sesuai fitrah dan menentramkan jiwa.
.
Jadi jelas sudah, siapa kawan yang "dijaga", dan siapa lawan yang habis "dibantai". Begitu mudah sebenarnya kita mengetahui pembenci Islam.
.
Kembalilah pada pengaturan sistem Islam, yakni Khilafah. Agar negara berdaulat dan rakyat hidup aman tanpa ancaman pemberontak.
==============================

No comments: