Monday, August 19, 2019

Kalau Syariah Sudah Ada Dalam Pancasila, Kok Menolak Islam Diterapkan

Kalau Syariah Sudah Ada Dalam Pancasila, Kok Menolak Islam Diterapkan ?

Oleh: Zainab Ghazali

Baru-baru ini Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan, nilai-nilai syariat Islam sudah tertuang dalam sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurutnya, Pancasila merupakan kompromi yang sudah final antara kelompok Islam, kelompok nasionalis, dan kelompok kebangsaan. Bahkan katanya, para kyai dan ulama pejuang bangsa yang mengajukan penerapan syariah dalam Piagam Jakarta pun menyepakati bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sudah sama dengan syariah Islam.

Dengan demikian menurut Menhan, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa perlu mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah katanya, menjalankan Pancasila sama dengan mempraktikan syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi dalam kehidupan berbangsa, atas nama suku, agama, dan lain-lain. Begitu katanya.

Nampaknya, Pak Menhan dan para tokoh lain yang masih berpikir serupa, perlu ngaji Islam intensif lagi deh. Agar arah dan cara berpikirnya tak tumpang tindih. Juga agar bisa secara riil membedakan Islam sebagai akidah ruhiyah dan sebagai akidah siyasiyah.

Lihat saja, bagaimana bisa mengatakan syariah sudah ada dalam pancasila, tapi kok menolak ide penerapan syariah?Bahkan baru muncul istilah “NKRI bersyariah” saja mereka crpat-cepat menolaknya. Padahal gagasan NKRI bersyariah belum tentu sesuai tuntutan syariah.

Jadi, menolak “NKRI bersyariah” dengan argumen NKRI sudah final karena syariah sudah termaktub dalam Pancasila sila pertama itu logikanya bagaimana? Jika memang benar sila pertama itu sudah mengandung syariah, maka mengapa NKRI yang jelas-jelas mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila-nya ternyata menolak penyematan kata “syariah”?
Dan jika benar pancasila sesuai syariah, mengapa rezim justru keras menolak penerapan islam kaffah? Bahkan saat kaum muslimin yang jumlahnya mayoritas ini ingin menerapkan syariah sebagai pengamalan Ketuhanan Yang Maha Esa, malah dilarang, dituduh radikal dan disuruh keluar dari Indonesia.

Apalagi ketika muncul gerakan dakwah yang mengusung khilafah, merekapun lebih ketar ketir lagi. Mereka memframingnya bukan sekedar radikal, tapi merupakan penjaja ide transnasional yang membahayakan persatuan dan keragaman. Padahal sejatinya khilafah adalah bagian dari syariah Islam, bahkan merupakan satu-satunya institusi penegak syariah Islam.

Namun anehnya, saat mereka menolak keras NKRI yang digandengkan dengan kata syariah, di saat sama, rezim justru sangat ambisius menyematkan kata “nusantara” pada Islam di Indonesia. Padahal konsepnya tak jelas, bahkan terkadang mensinkretis islam dengan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan ajarannya.
Bahkan mereka sodorkan “Islam Nusantara” ini kepada umat Islam, sistemik dan terstruktur pula. Padahal jelas Islam itu satu untuk seluruh dunia. Tak terkotak-kotak oleh kesukuan dan kebangsaan.

Nampak rezim bersengaja ingin memecah belah Islam yang satu melalui istilah “Islam nusantara”, “Islam radikal” dan yang lainnya. Bahkan melanjutkannya dengan kebijakan yang membabi buta. Persekusi sana-sini kepada umat Islam, kriminalisasi kanan-kiri; yang semuanya merupakan wujud arogansi penguasa sekaligus membuktikan klaim, bahwa rezim ini adalah rezim yang anti islam.

Sungguh mereka makin berani menampakkan kebenciannya pada Islam. Dan menggunakan pancasila sebagai tameng. Sementara di saat sama, mereka justru menjadi pembela sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal, yang lahir dari ide sesat sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Padahal jelas, sistem dan ide-ide tersebut adalah ide transnasional milik kaum kafir Barat yang terbukti telah membawa negeri ini pada berbagai kerusakan.

Mari renungkan ayat ini: “...Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (TQS Ali Imron [3]: 118).

No comments: