Monday, September 12, 2022

Air Suci dan mensucikan

 KAJIAN FIQIH

Masjid Ar Rahman Kuricang, Bintaro Jaya sektor 3A, Tangerang Selatan

Sabtu, 10 September 2022

BADA SUBUH

Tema: Air Suci dan mensucikan

Narasumber:

KH.Drs. Agus Salim Dasuki MA

====================


Prolog:


“Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan, tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya,bisa berubah dari kesucian jika diketahui najisnya."


Beberapa air yang kita kenal dlm syariat Islam antara lain air yang suci dan menyucikan serta tidak makruh untuk bersuci.  

Air yang suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu: (a) air musta’mal, dan (b) air yang berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci seperti air bekas wudhu, minuman teh dll

Air najis, yaitu air yang kemasukan najis dan air tersebut kurang dari dua qullah atau air tersebut sudah mencapai dua qullah lantas berubah.


I.MACAM MACAM AIR ANTARA LAIN:

1.Air Suci dan mensucikan

Air yg berasal dari mata air(air sumur) atau sumber air olahan seperti PDAM yg belum dipakai dan keluar dari kran di rumah maupun di masjid masjid . atau dengan kata lain “Segala air yang turun dari langit atau keluar dari dalam bumi dengan bentuk apa pun dalam bentuk yang masih asli.”  atau Air yang suci untuk dirinya sendiri dan menyucikan yang lain ,Inilah yang disebut air mutlak.


2.Air Musyammas

Air yang suci untuk dirinya sendiri, tetapi makruh untuk menyucikan yang lain. Itulah air musyammas. Air ini makruh digunakan pada badan, bukan pada pakaian.

Air musyammas adalah air yang terpapar matahari, yakni air panas akibat pengaruh sinar matahari. Penggunaan air ini dimakruhkan secara syariat hanya di wilayah panas dalam wadah yang tertutup, kecuali bejana dari naqdain (emas dan perak) mengingat jernihnya inti dua logam mulia ini. Apabila air tersebut dingin, pemakaiannya hilang kemakruhannya.

Catatan: Imam Nawawi rahimahullah memilih pendapat tidak dimakruhkan (menggunakannya) secara mutlak. tapi Penggunaan air yang sangat panas dan sangat dingin tetap dimakruhkan.


3.Air Musta'mal

Tidak sah bersuci menggunakan air yang sudah dipakai untuk bersuci dari hadats dan najis. atau  air yang digunakan untuk bersuci yang wajib dan airnya termasuk air qalil (kurang dari dua qullah).

Air musta'mal ada dua macam:

3.1Air yang digunakan untuk menyucikan hadats .

3.2.Air yang digunakan untuk menghilangkan najis dan terpisah tanpa berubah setelah menyucikan tempat najis. Namun, jika berubah setelah membersihkan najis, maka air tersebut secara ijmak dihukumi najis.


II.WUDHU ROSULULLAH KETIKA SAKIT

#Hadits muttafaqun alaih (Bukhari Muslim)dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit meminta wadah air, lalu beliau menumpahkan sebagian air itu pada kedua (telapak) tangannya, lalu membasuhnya membasuhnya tiga kali.


III. Tabaruk kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keberkahan  melalui air bekas wudhu, air liur, keringat atau dengan pakaian beliau,  dari manusia yg paling mulia dimuka bumi.


IV.Muslim itu suci kafir najis

Masalah orang kafir najis secara fisik atau tidak, termasuk masalah khilafiah di antara alim ulama.

Pendapat bahwa fisik orang kafir yang bernyawa dan mayatnya adalah najis dinyatakan oleh mazhab sebagian fuqaha Zahiriah, seperti Ibnu Hazm az-Zahiri dalam kitab al-Muhalla.

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

‎          يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)


Sementara pendapat ulama lain yg berbeda memaknai Najis dalam ayat di atas adalah najis maknawi (akidah dan amalan mereka). Artinya, mereka najis dengan kekufuran dan kesyirikan mereka sehingga tidak pantas dan tidak boleh mendekati Masjidil Haram, apalagi memasukinya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah ini.


V.Apabila kita meragukan kehalalan makanan yg ada disebuah rumah makan  maka kita harus meninggalkannya  tidak boleh makan disitu tapi apabila kita berad di suatu tempat misalnya di daerah yg mayoritasnya pemakan babi(tiongkok/RRC) dan tidak ada makanan lain maka kita boleh makan disitu seperlunya(secukupnya saja jangan berlebihan)


VI.Halalkah sembelihan yg tidak sempurna

Ketentuan yang termaktub dalam hadits shahih adalah kaidah yang berbunyi “hukum asal sembelihan adalah haram” (الأصل في الذبائح التحريم), sehingga apabila status suatu sembelihan diragukan, apakah telah memenuhi syarat sembelihan yang benar atau tidak, maka haram mengonsumsinya.

“Ada penjelasan terhadap kaidah penting yang termuat dalam hadits di atas, yaitu apabila muncul keraguan terhadap keabsahan proses penyembelihan, maka status sembelihan tidaklah halal karena hukum asal sembelihan adalah haram. Para Ulana Tidak ada yang menyelisihi ketentuan ini


VII. Halalkah makanan ahli kitab

Allah menghalalkan sembelihan ahli kitab melalui firmannya,


‎الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. al-Maidah: 5)


Dari keterngan di atas, berarti ketika surat al-Maidah ayat 5, yang menghalalkan sembelihan ahli kitab ini diturunkan, mereka telah dikafirkan oleh Allah Ta’ala.  

Sehingga kita punya kesimpulan, bahwa sembelihan yahudi dan nasrani dihalalkan oleh Allah karena status  ahli kitab dan BUKAN karena mereka muslim ahli kitab. Karena ahli kitab sejak ayat ini diturunkan, mereka  sudah kafir.

Catatan penting yg perlu diperhatikan bahwa ahli kitab bukan atheis. Karena ahli kitab mengakui keberadaan Allah dan meyakini Allah yang menciptakan, serta mengatur alam semesta. Hanya saja, ahli kitab mengubah agama mereka dari apa yang diajarkan Nabi mereka, sehingga mereka jadi kafir.

Berbeda dengan orang atheis. Mereka tidak mengakui entitas Tuhan. Bagi mereka, semua dikembalikan kepada logika manusia. 

Sementara keberadaan Tuhan sangat mengganggu kebebasan berfikir manusia. karena itu, entitas Tuhan harus dihilangkan.

Atas pertimbangan ini, sebagian ulama memfatwakan haramnya sembelihan orang barat. Karena aslinya mereka orang atheis. Meskipun secara administrasi mereka nasrani atau yahudi. Tapi secara pemikiran, mereka menolak semua keberadaan agama. Sehingga mereka bukan termasuk ahli kitab.


VIII. Wudhu  dan mandi  junub harus memakai air yg suci dan menaucikan 


IX.membasuh satu kali  ketika wudhu adalah  fardhu  selanjutnya adalah sunnah.

Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wudhu dengan membasuh tiga kali.”

Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. HR:Abu Dawud, Bukhari, At Tirmidzi)


Demikian yg bisa saya tulis semoga bermanfaat,  apabila ada kekurangan silahkan ditambahkan dan apabila ada kesalahan datangnya dari saya dan silahkan dikoreksi dan saya mohon maaf serta mohon ampun kpd Allah Ta'ala atas kesalahan tersebut.


Bintaro Jaya, 10 September  2022

Abdullah Al Faqir/AS

Sunday, August 28, 2022

KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH

 *KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH*


Oleh: Ust Yuana Ryan Tresna, M.Ag

_(Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah)_


Khalifah dan Khilafah


Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,


 أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).


Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian...”


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain dan ia berkomentar, "Hadits ini sahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.


Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, "Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.


Kemudian Beliau bersabda, "Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa’ur Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.


Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imamah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.


Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,


الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به


Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.[1]


Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,


الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا


Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.[2]


Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,


الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا


 Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.[3]


Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,


الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …


…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.[4]


Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar[5], lalu Al-Ghazali menegaskan,


الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع


Al-dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[6]


Konsep al-Dar


Bahasan tersebut di atas terkait dengan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan adanya sistem Khilafah. Adapun terkait dengan konsep negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan Islam, para ulama membahas dalam bahasan al-Dar.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أُدْعُهُمْ  إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ


"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul  Islam   yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”


Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,


"Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar al-Syirk telah dihalalkan".[7] 


Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'i. Sedangkan penduduk Dar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya[8].


Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasannya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al-Hijrah dan Dar al-Islam.  Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."[9]


Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Dar al-Islam, adalah istilah syar'i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan Dar al-Kufr.


Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka.   Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. 


Al-Kasa’i di dalam kitab Bada’i' al-Shana’i', mengatakan,


"Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dar Kufr (negeri kufur)  bisa berubah menjadi Dar al-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana.  Mereka berbeda pendapat mengenai Dar al-Islam; kapan ia bisa berubah menjadi Dar al-Kufr?  Abu Hanifah berpendapat; Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Dar al-Kufr.  Ketiga, kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, "Dar al-Islam berubah menjadi Dar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.”[10]


Di dalam Hasyiyah Ibnu 'Abidin atas kitab Al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, disebutkan, "Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dar Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat.  Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."[11]


Dengan demikian Dar al-Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim. Dar al-Kufr adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.


Al-Dar dan Tatanegara Modern


Konsep Dar al-Islam tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara modern. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain adalah:


• Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi, jika  ada batas wilayah negara yang jelas.


• Hukum jihad fi sabilillah. 

Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39.


• Hukum perjanjian antar negara. 

Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr (lihat QS. At-taubah: 4)


• Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. (Lihat QS. Ali Imran: 200)


• Hukum hijrah. 

Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” 


Imam Bukhari meriwayatkan hadits, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.


Kesimpulan


Mengatakan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam namun bukan sebuah sistem tatanegara, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a'lam.


Bandung, 9 Rabi'ul Awwal 1441 H


*) Disadur dari kata pengantar (sambutan) penulis pada Buku "Fiqih Khilafah dalam Madzhab Syafi'i"


===

[1] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5

[2] Al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15

[3] Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Juz 7, hlm. 289

[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.

[5] Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128.

[6] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, Imam al-Qal’i al-Syafi’i, Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi, dan lainnya.

[7] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 60.

[8] Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital, juz 1, hlm. 661

[9] Abu Yusuf, al-Kharaj, hlm. 155-156.

[10] Al-Kasa’i, Bada’i' al-Shana’i', juz 7, hlm. 130.

[11] Hasyiyyah Ibnu 'Abidin, juz 3, hlm. 390


------------

Saturday, August 27, 2022

JANGAN JADI SALAFI TALAFI YANG MENOLAK DAN MEMFITNAH DAKWAH PENEGAKKAN KHILAFAH DENGAN DALIH "TAUHID"

 JANGAN JADI SALAFI TALAFI YANG MENOLAK DAN MEMFITNAH DAKWAH PENEGAKKAN KHILAFAH DENGAN DALIH "TAUHID"


Oleh : Abulwafa Romli 

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/08/jangan-jadi-salafi-talafi-yang-menolak.html?m=1


Salafi Talafi itu Menyatakan :

"KHILAFAH ITU TEGAK BUKAN DENGAN BERONTAK..!

Tegaknya khilafah itu dengan TAUHID, BUKAN DENGAN MEMBERONTAK, BUKAN DENGAN POLITIK HINA, BUKAN DENGAN MENCELA PENGUASA, BUKAN PULA DENGA MENEBAR TEROR DAN TURUN KEJALANAN..


sebagaimana dilakukan sebagian manusia yang mabuk khilafah ATAU MABUK IMAMAH..

Khilafah apa yang hendak ditegakan dengan cara munkar seperti ini.


Mustahil...! Khilafah ala minhaj nubuah akan tegak dengan cara yang kotor seperti ini...


Ketahuilah; khilafah itu hadiah bagi hamba yang bertauhid..

Sebagaimana firman Allah ta 'ala..


Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa (An nur;55).


Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “(Ayat) ini merupakan janji Allah ‘azza wa jalla bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh berupa pemberian khilafah bagi mereka di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka dari umat-umat sebelumnya. Janji ini mencakup seluruh umat. (FATHUL QODIR )


Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albanirahimahullah sering berkata, “Tegakkan daulah Islamiyah dalam diri kalian, niscaya akan ditegakkan daulah Islamiyah di negara kalian!,” ketika beliau membantah berbagai kelompok yang menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta apa yang telah menjadi amalan as-salafush shaleh.


Beliau rahimahullah berkata,

Sungguh aku kagum terhadap satu kalimat yang diucapkan sebagian para mushlihin (orang yang melakukan perbaikan) di masa kini, yang menurutku seakan-akan ini merupakan wahyu dari langit, yaitu perkataan:

أَقِيمُوا دَوْلَةَ الْإِسْلَامِ فِي قُلُوبِكُمْ تُقَمْ لَكُمْ فِي أَرْضِكُمْ

“Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian.” (lihat at-Tashfiyah wat-Tarbiyah hlm. 33, transkrip ceramah asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

==============


JAWABAN SAYA :


1. Status orang musyrik yang mengklaim tauhid, karena mereka disamping menolak dakwah penegakan khilafah, juga mendukung, mendengar dan ta'at kepada pemimpin yang jelas-jelas menerapkan sistem/hukum kufur. Status talafi yg mengklaim salafi, kalau tidak musyrik apa namanya? Status mufsidin yg mengklaim mushlihin, karena dengan diterapkannya sistem kufur demokrasi kerusakan telah menyelimuti semua negeri, sedang mereka mewajibkan mendengar dan ta'at kepada pemimpin yang menerapkan demokrasi. Bahkan ini bisa dibilang statusnya munafiq yang mengaku tauhid, karena menolak dakwah khilafah, memitnah pendakwahnya dan mendengar dan ta'at kepada pemimpin tersebut, kalau tidak munafiq apa namanya? Penjilat?


2. Kalau benar khilafah akan tegak dengan tauhid kaum salafi talafi, maka khilafah sudah lama tegak di Mekkah karena negara paling tauhid, tapi dakwah khilafah di Mekkah malah dilarang. Imam Mahdi pun akan mendapat dukungan dari negeri Timur, dari orang-orang yang demo dengan mengibarkan panji-panji hitam. Ini menunjukkan bahwa tauhidnya kaum salafi talafi adalah tauhid palsu.


3. Mereka menyuruh menasihati penguasa empat mata. Padahal tidak ada contohnya menasihati empat mata. Karena kalau benar dengan empat mata, maka kita tahu dia menasihati dengan empat mata itu dari mana? Karena kalau sampai ada riwayat bahwa ulama fulan telah menasihati pemimpin dengan empat mata, maka ini menunjukkan adanya orang ketiga yaitu mata kelima dan keenam, lalu orang ketiga ini meriwayatkannya. Sekarang sebutkan ulama siapa yang kalau menasihati sultan/ pemimpin hanya empat mata?!


4. Kaum salafi talafi mengharamkan demo/unjuk rasa/ masiroh, padahal futuhat dan jihad itu bisa dibilang demo akbar. Dakwah berkelompok juga termasuk demo. Sahabat juga sering minta pendapat / protes kepada Nabi SAW dengan berkelompok seperti hadist dzahaba ahlud dutsuur, hadits Rasulullah SAW membentuk dua baris dipimpin Umar dan Hamzah berkeling kota Mekkah, dll. Karena dakwah adalah nasehat. Futuhat adalah nasehat. Jihad adalah nasehat. Karena agama adalah nasehat bagi semua orang, penguasa maupun rakyat. Hakekat dan fakta demo saja tidak ngerti, makanya statusnya ngawur dan provokasi.


5. Kaum salafi talafi melarang menasehati penguasa dengan dimuka umum. Meraka tidak mau mengerti, bahwa penguasa itu ada dua macam; penguasa yang menerapkan hukum/sistem Islam dan yang menerapkan hukum/sistem jahiliyah. Penguasa yang menerapkan hukum Islam itu kita wajib mendengar dan ta'at kepadanya seperti ketika khilafah masih tegak, meskipun secara pribadi penguasa itu zalim. Penguasa yang menerapkan hukum jahiliah itu haram dita'ati karena tidak ada ta'at kepada makhluk dalam hal maksiat, apa menerapkan hukum jahiliah bukan maksiat?, meskipun secara pribadi penguasa itu masih mengerjakan shalat, tapi tidak menegakkan shalat. Dan menerapkan hukum jahiliah itu termasuk syirik akbar. Rasulullah juga dakwah dan nasehatnya kepada kafir Quraisy tidak selalu empat mata, bahkan lebih banyak dengan terang-terangan, terutama ketika mencela adat istiadat jahiliah.

Nabi Musa as saja menasihati raja Fir'aun secara terang-terangan dan disaksikan orang banyak dari keluarga dan prajurit tentaranya...


Kalau kita mau jujur dan mau meneliti semua hadits tentang nasehat, maka kita menemukan, bahwa cara nasehat itu ada dua macam, dengan empat mata dan dengan banyak mata. Semuanya sama-sama boleh, tergantung situasi dan kondisinya, dan tergantung momentum yang tersedia. Kapan dengan empat mata dan kapan dengan banyak mata. Kapan dengan datang ke rumah/kantornya dan kapan dengan unjuk rasa/ demo. Kedua macam nasehat ini telah dipraktekkan oleh teman-teman dari Hizbut Tahrir. Hanya mengambil satu cara dan mengingkari cara lain yang dibolehkan adalah indikasi kebodohan dan kesombongan seperti kebodohan dan kesombongan kaum salafi talafi. Mereka sengaja tidak tahu bahwa Rasulullah dan ulama salaf sangat marah ketika hukum Allah dilecehkan, dilanggar, apalagi ketika tidak diterapkan oleh penguasa seperti saat ini. Mereka diam seribu bahasa sambil menjilat ke penguasa yang menerapkan hukum jahiliah. Memalukan sekali kan? Kita bisa buka kitab Alihyaa Imam Ghozali dalam pembahasan nasehat. Banyak sekali ulama salaf melakukannya dengan terang-terangan di hadapan khalayada 


6. Sudah talafi, juga liberal. Mana ada daulah Islam di dalam hati. Sebagaimana pernyataan, sebelum jilbabi tubuhmu maka jilbabilah hatimu. Kerjaan hati itu ikhlas, khusyuk, iman, yakin, tumakninah, shabar, nerimo dst. Apalagi istilah daulah batin. Saya teringat dalam tarikh, ketika Hasan bin Ali ra. menyerahkan khilafah kepada Muawiyah, maka kaum Syi'ah berkata, Hasan telah menyerahkan khilafah lahir, tapi tetap menjadi khalifah batin. Makanya Syi'ah dua belas imam termasuk kelompok yang meyakini khilafah / imamah batiniah ini...


•MAKSUD DARI TAUHID ITU APA?


Imam Syafi'i RA berkata:

من خاض في علم الكلام فكأنه دخل البحر في حال هيجانه، فقيل له: ياابا عبد الله إنه في علم التوحيد، فقال : قد سألت مالكا عن التوحيد، فقال : هو ما دخل به الرجل الإسلام وعصم به دمه وماله وهو قول الرجل : أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 


 "Siapa saja yang menyelami ilmu kalam, maka seakan-akan ia memasuki lautan ketika ombak besar". Lalu dikatakan kepada beliau, "Wahai Aba Abdillah, dia itu menyelami ilmu tauhid". Lalu beliau berkata, "Aku telah bertanya kepada Imam Malik mengenai tauhid, lalu beliau berkata, "Tauhid adalah perkara dimana seorang laki-laki memeluk Islam dengannya, dan menjaga darah dan hartanya dengannya. Yaitu perkataan seorang laki-laki, "Asyhadu anlaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rosulullah/ aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah shallallahu alaihi wasallam".

(Almiizaan Alkubro', 1/60, Maktabah Daaru Ihyaail Kutubil Arobiyyah Indonesia).


•HIZBUT TAHRIR SAMPAI BENDERANYA PUN BENDERA TAUHID 


Ketika yang dikehendaki dengan tauhid adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi'i dari Imam Malik gurunya, maka bendera tauhid adalah bendera yang bertuliskan, "laa ilaaha illallah, muhammadur rosulullah" dengan tanpa tambahan pedang atau tulisan yang lainnya. Bendera tauhid ini berkibar sejak masa Rosulullah SAW dan para sahabatnya dan sampai masa Imam Mahdi. Dan sekarang bendera tauhid ini dikibarkan oleh Hizbut Tahrir dan lainnya. Bendera tauhid juga adalah bendera khilafah. Bendera Ahlussunnah Waljama'ah yang hakiki, bukan Aswaja sekuler dan bukan Ahlussunnah salafi talafi. Sebagaimana khilafah adalah negara tauhid dan negara bagi Ahlussunnah Waljama'ah. Dikatan negara tauhid karena hukum Allah bisa diterapkan semua, tanpa dicampur dengan hukum jahiliah. Dan khilafah juga akan mentauhidkan (menyatukan) umat Islam sedunia...


Dengan demikian, siapa saja yang menolak dan membenci dakwah penegakkan khilafah serta bendera tauhidnya, maka kesalafannya, juga ke-Ahlussunnah-annya patut diragukan.


Wallahu A'lam bish shawab 

Semoga  bermanfaat, aamiin


#KhilafahAjaranIslam

#IslamRahmatanLilAlamin

Saturday, August 20, 2022

Bukan pancasila tapi sekulerisme

 Ceramah politik Mbah Maimun


Sudah tahu Indonesia bukan negara Islam tapi tidak menganjurkan perjuangan menuju tagaknya negara Islam (khilafah).


Beliau juga kurang makrifat bizamanihi (setelah makrifat binafsihi tsumma birobbihi). Pancasila itu bukan dasar ngara. Ini adalah fakta, bukan sekedar teori. Karena yang namanya dasar (asas/pondasi) semua bangunan di atasnya harus berkembang meninggi dari dasarnya. Sedang semua bangunan negara Indonesia itu tidak berkembang dari dasarnya, tapi berkembang dari dasar negara lain, yaitu sekularisme atau materialisme. Karenanya wajar sistem demokrasi - republik ini yang dipakai oleh negara, karena sistem ini berkembang dari dasar sekularisme, bukan dari Pancasila. 


Juga dengan sistem ekonominya yaitu ekonomi kapitalis - liberal dari ideologi kapitalisme dari akidah aqliyyah sekularisme dan bukan dari Pancasila. Begitu juga dengan sistem pergaulan, pendidikan, sampai uqubat dan politik dalam dan luar negerinya semuanya berkembang dari dasar sekularisme, bukan dari Pancasi.Kalau benar Pancasila itu dasar negara dan diambil dari nilai-nilai Islam atau Pancasila itu Islami, maka semua sistem yang berkembang dari Pancasila, semuanya harus islami, mulai dari sistem pemerintahan Islam khilafah sampai sistem ekonomi dan uqubat Islam dan seterusnya.


Seharusnya dasar negara itu Islam yaitu akidah Islam. Sehingga semua sistem perundang-undangan bisa mudah dibangun dan berkembang dari dasarnya. Dan semua problem berbangsa dan bernegara juga mudah mendapat solusi dari dasarnya. Yaitu  dikembalikan dari iman kepada Allah, kepada kitab / Alqur'an dan kepada rasul / assunnah. Mudahkan?! Contoh kecilnya sanksi bagi pencuri, perampok, pembunuh, pezina, korupsi itu semuanya sudah diatur dalan Kitab Alqur'an dan Assunnah, Alijmak dan Alqiyas. Ini baru benar-benar dasar negara.


Pada ceramah itu Mbah Maimun sedang menampilkan paham dan keyakinan pragmatisme, ilmu bungglon, dan ceramahnya tdk mewakili ulama, tapi mewakili parpol ppp yang sekuler, sama halnya dgn nu garis lurus yang mewakili ppp benturan dengan pkb yang dianggap nu tidak lurus. Jadi nu garis lurus itu tidak ada karena masih menolak khilafah, bahkan ada yang menjadi aktor fitnah dan dusta seperti Idr*s rameli, kecuali yang gabung dengan hizbut tahrir dalam barisan pengemban dakwah syariah dan khilafah, nah ini benar-benar orang nu yang lurus. Ma'af

Sunday, August 14, 2022

MEMBONGKAR ULAMA DAN KITAB RUJUKAN KAUM SEKULAR YANG SANGAT ANTI KHILAFAH

 MEMBONGKAR ULAMA DAN KITAB RUJUKAN KAUM SEKULAR YANG SANGAT ANTI KHILAFAH 


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/08/membongkar-ulama-dan-kitab-rujukan-kaum.html?m=1


Bismillaah...

Kitab Al-Islam wa Ushululhukmi (الإسلام وأصول الحكم) ditulis setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah oleh Musthafa Kemal Attatruk tahun 1924 M. Pada kitab tersebut penulisnya Ali Abdur Roziq (1888 - 1966) yang ketika itu masih menjabat sebagai syaikh Al Azhar menyatakan, bahwa Islam itu agama tanpa negara, Islam itu risalah spiritual yang tidak punya kaitan dengan pemerintahan, politik dunia, pengelolaan alam dan pengaturan masyarakat. Dan bahwa Muhammad shollallahu `alaihi wasallam tidak mendirikan negara, tidak memimpin pemerintahan, tidak mengatur masyarakat dan tidak pernah mengajak kepada hal itu. Muhammad shallallahu `alaihi wasallam hanyalah seorang rasul penyampai wahyu. 


Intinya, Ali Abdur Roziq telah menyamakan agama Islam dengan agama Kristen dan lainnya, dan mengajak kepada akidah sekularisme yang memisahkan antara agama (Islam) dan negara.


• Tujuh Kesesatan Kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi.


Setelah terbitnya kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi Dewan Ulama Besar Al Azhar Cairo Mesir melakukan penelitian kemudian mengadili penulisnya sehingga ia dikeluarkan dari jajaran Ulama Al Azhar. 


Dewan Ulama Besar Al Azhar Mesir  yang ditandatangani oleh 24 ulama besar telah merilis Tujuh Penyimpangan Besar dalam kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi sebagai berikut :


١. جعل الشريعة الإسلامية شريعة روحية محضة لا علاقة لها بالحكم والتنفيذ في أمور الدنيا.

1. Menjadikan syariah Islam sebatas syariah spiritual yang tidak punya kaitan dengan pemerintahan dan pelaksanaan urusan dunia.


٢. وأن الدين لا يمنع من أن جهاد النبي صلى الله عليه وسلم كان في سبيل الملك لا في سبيل الدين ولا لإبلاغ الدعوة إلى العالمين.

2. Bahwa agama (Islam) tidak melarang bahwa jihadnya Nabi shallallahu alaihi wasallam itu di jalan kekuasaan, bukan di jalan agama, dan tidak untuk menyampaikan dakwah ke seluruh dunia.


٣. وأن نظام الحكم في عهد النبي صلى الله عليه وسلم كان موضوع غموض أو إبهام أو اضطراب أو نقص وموجباً للحيرة.

3. Bahwa sistem pemerintahan di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam itu topik yang tidak jelas, samar, kacau, kurang dan membingungkan.


٤. وأن مهمة النبي صلى الله عليه وسلم كانت بلاغاً للشريعة مجرداً عن الحكم والتنفيذ.

4. Bahwa tugas utama Nabi shallallahu alaihi wasallam hanyalah menyampaikan syariah yang terlepas dari pemerintahan dan pelaksanaan urusan dunia.


٥. إنكار إجماع الصحابة على وجوب نصب الإمام، وعلى أنه لابد للأمة ممن يقوم بأمرها في الدين والدنيا.

5. Mengingkari Ijmak Sahabat atas kewajiban mengangkat Imam A'zham (khalifah), dan bahwa umat harus memiliki Imam yang mengatur urusannya, baik urusan agama maupun dunia.


٦. إنكار أن القضاء وظيفة شرعية.

6. Mengingkari bahwa peradilan itu tugas pelaksanaan syariah.


٧. وأن حكومة أبي بكر والخلفاء الراشدين من بعده رضي الله عنهم كانت لا دينية.

7. Dan bahwa pemerintahan Abu Bakar dan para khalifah setelahnya radhiyallahu anhum itu bukan pemerintahan agama.


(Lihat; Hukmu Haiati Kibaaril 'Ulamaai fii Kitaabil Islaami wa Ushuulil Hukmi, hal. 5-6).


•Kemudian sejumlah Ulama Besar juga satu persatu membantah kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi dan diantara kitab bantahannya ialah :


1. Kitab Haqiiqotul Islaami wa Ushuulul Hukmi (حقيقة الإسلام و أصول الحكم), karya Syaikh Muhammad Bukhait Al Muthi'iy.


2. Kitab Naqdhu Kitaabil Islam wa Ushuulil Hukmi (نقض كتاب الأسلام وأصول الحكم), karya Syaikh Al Khidhir Husain, terbit tahun 1926 M.


3. Kitab Naqdun 'Ilmiyyun likitaabil Islaami wa Ushuulul Hukmi (نقض علمي لكتاب الإسلام وأصول الحكم), karya At Thahir bin 'Asyur.


4. Al Islaam wal Khilaafah (الإسلام والخلافة), karya Dr. Muhammad Dhiyauddin Arrais.


Sangat wajar dalam kitab-kitab bantahan para Syaikhul Azhar yang merupakan panutan utama Ulama Ahlussunnah wal jama'ah, mereka sangat membela Khilafah dan sepakat memecat Ali Abdur Roziq dari jabatan Syaikhul Azhar karena kesesatan pemikirannya yang tertuang dalam kitabnya itu. Ali Abdur Roziq sendiri tercatat sebagai tokoh Muslim sekuler pertama dan menjadi rujukan bagi kaum sekular setelahnya dari mereka yang anti khilafah serta cinta sejati kepada sistem demokrasi - republik atau mulai main mata dengan sistem sosialis - komunis yang notabene sangat kontradiksi dari sistem khilafah.


• Lebih tegas lagi, Prof. Dr. Assayyid Taqiyuddin Assayyid telah menulis kitab berjudul: "Raddu Haiati Kibaaril ‘Ulamai ‘ala Kitaabil Islami wa Ushulil Hukmi li 'Ali Abdir Roziq" (رد هيئة كبار العلماء على كتاب الإسلام وأصول الحكم لعلي عبد الرازق). Dimana kitab itu memuat bantahan telak para Ulama Al-Azhar terhadap pemikiran sesat Ali Abdur Roziq.


Dan di bagian akhir kitab tersebut, beliau menjelaskan sanksi atas Ali Abdur Roziq:


"Maka, berdasarkan sebab-sebab tersebut, kami jajaran Ulama Al-Azhar berdasarkan ijma (kesepakatan) dua puluh empat Ulama dari Haiatu Kibaril Ulama menghukum Syaikh Ali Abdur Roziq, yang merupakan salah seorang Ulama Universitas Al-Azhar dan Hakim di Mahkamah Syar’iyah, dengan mengeluarkannya dari jajaran ulama, yakni dari jabatan Syiakhul Azhar dan Kehakiman.


Sanksi hukuman tersebut ditetapkan di Dar al-Idarah al-‘Ammah al-Ma’ahid ad-Diniyyah, pada hari Rabu, 22 Muharam 1344 H/12 Agustus 1925 M." [Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama ‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Roziq].


• Ancaman bagi kaum sekular :

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/03/azab-bagi-kaum-sekular.html?m=1


*Ternyata Azab Kaum Sekular Sama Dengan Azab Kaum Munafik Dan Raja Fir'aun Beserta Keluarga Dan Tentaranya. Gak Percaya?* 


أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

"Apakah kalian beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat [asyaddil 'adzaab]. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat" (QS. Al-Baq|arah [2]:85).


Wallahu A'lam bisshawab 

Semoga bermanfaat, aamiin


#KhilafahAjaranIslam

#IslamRahmatanLilAlamin

Friday, August 5, 2022

Buku KENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME

 KENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME


July 29, 2022


Nama Kitab : Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat).


Penulis : Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) – Baitul Maqdis, Palestina


Tebal :  502 halaman


Sekilas Isi:


 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar


Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).


Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,”Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar,”Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri.” (Usman, 2003:46).


Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). “Kerusakan adalah tanda awal kehancuran,” tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.


Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Muâhadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau’udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.


Gambaran Isi Kitab


Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.


Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).


Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.


Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.


Sekularisme Sumber Kerusakan


Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).


Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).


Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,”Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia.” (h. 50).


Kerusakan Sistem Politik


Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).


Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).


Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).


Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme –dalam segala bentuknya– yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).


Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).


Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,”Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain…” (h. 173).


Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).


Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)


Kerusakan Sistem Ekonomi


Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).


Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).


Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).


Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).


Kerusakan Sistem Sosial


Sistem sosial (nizham ijtima’i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).


Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).


Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).


Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.


Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]


DAFTAR BACAAN


Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.


Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007


Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007


Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).


Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.


Sumber :


Buku: Keniscayaan Runtuhnya KapitalismeKENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME


July 29, 2022


Nama Kitab : Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat).


Penulis : Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) – Baitul Maqdis, Palestina


Tebal :  502 halaman


Sekilas Isi:


 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar


Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).


Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,”Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar,”Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri.” (Usman, 2003:46).


Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). “Kerusakan adalah tanda awal kehancuran,” tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.


Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Muâhadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau’udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.


Gambaran Isi Kitab


Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.


Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).


Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.


Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.


Sekularisme Sumber Kerusakan


Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).


Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).


Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,”Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia.” (h. 50).


Kerusakan Sistem Politik


Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).


Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).


Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).


Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme –dalam segala bentuknya– yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).


Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).


Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,”Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain…” (h. 173).


Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).


Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)


Kerusakan Sistem Ekonomi


Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).


Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).


Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).


Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).


Kerusakan Sistem Sosial


Sistem sosial (nizham ijtima’i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).


Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).


Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).


Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.


Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]


DAFTAR BACAAN


Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.


Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007


Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007


Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).


Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.


Sumber :


Thursday, August 4, 2022

Mazhab

 MAZHAB


Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Mazhab


Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).


Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali  hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.


Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).


Lahirnya Mazhab


Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).


Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:


Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.


Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.


Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha


Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.


Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985:  46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).


Terbentuknya Mazhab


Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian  (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.


Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:


Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:


Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58).


Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai  ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).


Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59).


Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).


Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘  (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).


Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).


Tentang Bermazhab


Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).


Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali  oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam?


An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232).


Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).


Bermazhab Secara Benar


Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:


Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).


Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).


Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).                            


Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).


Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?


Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik –non parlemen kufur– yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.


Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).


Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali  hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”  Wallâhu a‘lam. [Pernah Dipublikasikan Jurnal Al-Wa’ie: 01/01/2005]


Daftar Pustaka


Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.


Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.


Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).


Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât


al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.


Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.


An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld.  I. Beirut: Darul Ummah


As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.


Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.


Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.


Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.


Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer &


Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.


Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.


Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh


Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.


Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.


Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

Monday, August 1, 2022

ISLAM ITU ADIL, DEMOKRASI ITU ZALIM

 *ISLAM ITU ADIL, DEMOKRASI ITU ZALIM*


Oleh: Zakariya al-Bantany


Di negara demokrasi itu, sangat banyak sekali yang namanya pengadilan. Dan juga banyak sekali gedung pengadilan. Beserta petugas pengadilan, dan aparat penegak hukum keadilan.


Namun, keadilan di dalam negara demokrasi itu realitas faktanya tidak ada. Sebab, keadilan dalam negara demokrasi itu, hanyalah ilusi belaka. Yang tersimpan di dalam kotak pandora hitam, penuh noda, ilusi dan fatamurgana.


Jadi, sangat wajar dalam negara demokrasi itu, hukum itu laksana pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Bahkan, parahnya kini hanya makin tajam ke Islam, namun justru makin tumpul ke kafir.


Sesungguhnya keadilan itu hanya ada pada Islam. Sebab, Islam adalah keadilan itu sendiri. Selain Islam pasti zalim, kufur dan bathil.


Karena itulah, demokrasi itu pasti zalim, kufur dan bathil. Juga demokrasi sesat menyesatkan dan haram.


Jadi, mustahil demokrasi itu adil, dan mustahil pula bisa mewujudkan keadilan. Justru, demokrasi itu menjadi biang masalah berbagai kezaliman, penjajahan dan kerusakan. Di berbagai penjuru muka bumi ini, dan khususnya pula di seluruh penjuru negeri ini.


Maka, hanya Islam yang adil dan mampu pula mewujudkan keadilan itu sendiri. Sebab, Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Adil. Yaitu, Allah SWT Sang Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta, manusia, dan kehidupan.


Allah itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Dan Allah itu Maha Tahu apa yang terbaik bagi umat manusia, kehidupan dan alam semesta. Maka itulah, Allah menurunkan dan hanya memilih Islam. Sebagai agama, ideologi, way of life, dan sistem kehidupan yang paripurna dan terbaik. Bagi seluruh umat manusia, kehidupan dan alam semesta tersebut.


Oleh karena itu, Islam memiliki fikrah (pemikiran/mafahim/blueprint/konsepsi)-nya. Berupa seperangkat sistem peraturan hidup (an-Nidzham), yang menjadi solusi real untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Yaitu, Syariah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari perkara akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian, nafsiyah, dan akhlaqiyah. Hingga pula perkara mu'amalah [politik, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan]).


Dan Islam pun memiliki thariqah (roadmap/metodologi)-nya, untuk menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Yaitu, berupa kiyan siyasiy (institusi politik). Yang disebut Khilafah/Imamah (Daulah Islam/Darul Islam). Sehingga terwujudlah keadilan tersebut, di muka bumi dan di alam semesta.


Dan ini pernah terbukti selama lebih dari 13 abad lamanya. Ketika Khilafah/Imamah (Daulah Islam/Darul Islam) masih ada dan memimpin peradaban dunia. Sejak masa Rasulullah Saw berhasil mendirikan Daulah Islam yang pertama di Madinah. Dan kemudian beliau Saw pun menjadi kepala negara pertamanya. Kemudian dilanjutkan masa Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, dan Khilafah Abbasiyah. Hingga terakhir Khilafah Utsmaniyah, yang berakhir pada 03 Maret 1924 masehi.


Jadi, sangat wajar dan logis. Bila banyak ilmuwan dan sejarahwan Barat, yang secara objektif meneliti sejarah Khilafah. Akhirnya, mereka berkesimpulan mengakui keadilan dalam negara Khilafah Islam. Dan mereka pun memuji Khilafah Islam tersebut.


Mereka diantaranya seperti:


*1. Thomas Walker Arnold (Sejarahwan Kristen)*


T.W. Arnold ini adalah seorang orientalis dan sejarahwan Kristen. Meski dia beragama Kristen, ia ternyata memuji kerukunan beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith. Ia banyak membeberkan fakta-fakta kehidupan beragama dalam negara Khilafah. Ia berkata:


"The treatment of their Christisn subject by of Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of greece- exhibits a toleration such as was at that time quite uknown in the rest of Eroupe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa)." [The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith, 1896, hlm. 134].


Dia juga berkata:


"....Kaum kalvinis Hungaria dan Transilvania serta Negara Utaris (Kesatuan). Yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintah Turki daripada berada dibawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik: kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam... kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen dibawah pemerintahan Sultan."


Orientalis Inggris ini juga berkata:


"Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil..."


*2. Will Durant (Sejarahwan Barat)*


Will Durant adalah seorang sejarahwan barat. Kalau T.W. Arnold tadi memuji kerukunan beragama negara Khilafah, Will Durant justru memuji kesejahteraan negara Khilafah. Dalam buku yang ia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan:


"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka."


*3. Mary McAleese (Presiden ke-8 Irlandia)*


Orang ketiga yang memuji negara Khilafah adalah Mary McAleese. Ia adalah Presiden ke-8 Irlandia yang menjabat dari tahun 1997 sampai 2011 . Selain Presiden, Ia juga anggota Delegasi Gereja Katolik Episkopal untuk Forum Irlandia Baru pada 1984 dan anggota delegasi Gereja Katolik ke North Commission on Contentious Parades pada 1996. Meski dia beragama kristen Katolik, namun tak disangka, ia memuji kedermawanan negara Islam (negara Khilafah).


Dalam pernyataan persnya, ia memuji bantuan Khilafah Turki Utsmani ke negaranya, Irlandia, sekitar tahun 1847. Bantuan itu dikirimkan ke Irlandia saat terkena musibah kelaparan hebat (The Great Famine), yang membuat 1 juta penduduknya meninggal dunia. Terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata:


“Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani)  mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini,"


Untuk mengenang jasa Khilafah tersebut, kini Irlandia menggunakan logo Khilafah Turki Utsmani (Bulan Sabit) di Club Sepak Bolanya. "Selain itu, kita melihat simbol-simbol Turki pada seragam tim sepak bola kita," katanya.


 

*4. Karen Amstrong (Mantan Biarawati)*


Tak hanya dari kalangan sejarahwan dan presiden saja yang memuji Khilafah. Namun, kalangan mantan biarawati pun takjub akan Khilafah. Siapa dia? Dialah Karen Amstrong. Dia adalah mantan biarawati sekaligus penulis terkenal.


Tak beda jauh dengan T.W. Arnold, penulis Amstrong ini juga memuji kehidupan beragama yang ada dalam negara Khilafah (baca: peradaban Islam). Dalam negara Khilafah, agama selain Islam mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Bahkan, menurut Karen Amstrong, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. "Under Islam, the Jews had Enjoyed a golden age in al-Andalus" tulis Karen Amstrong.


[http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2017/10/19/53842/empat-orang-barat-ini-memuji-negara-khilafah/].


So my brothers, do you still want democracy or do you just choose the Khilafah ?!


Wis Khilafah wae, titik tidak pakai koma. Khilafah yes, Syariah yes, Islam yes. Dan demokrasi no, kapitalisme no, sekulerisme no, titik.


Wallahu a'lam bish shawab. []


#DemokrasiNo

#IslamYes

#SyariahKhilafahYes

#ReturnTheKhilafah

#KhilafahReborn

Saturday, July 30, 2022

Fatahilah

 Sejarah putra aceh di ibukota jakarta 


Fatahillah

( Faletehan/Pangeran Jayakarta I/ Pangeran Pasai/ Fathullah Khan)


Lahir : Pasai, Aceh Utara 1471 M

Sultan Cirebon ke - 3 : 1568 - 1570 M

Penakhluk Sunda Kelapa.

Orang Tua : ♂Mahdar Ibrahim, ♀Syarifah Siti Musallimah.

Istri : ♀Ratu Pambayun / Nyai Pembaya, ♀Ratu Wulung Ayu / Nyai Ratu Ayu, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras.

Anak : ♂Pangeran Sendang Garuda, ♀Ratu Ayu Pembayun, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras, Kyai Mas Abdul Aziz, Maulana Abdullah.

Wafat : Kesultanan Cirebon, Cirebon, Jawa Barat 1570 M

Makam : Jl. Alun-Alun Ciledug No.53, Astana, Kec. Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 45151.


Keterangan : 


Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka. Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur. Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).


Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut. Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.


Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung. Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka. Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar "Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan. Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.


Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa. Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan. Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.


Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai. Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati. Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus. Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.


Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.


Tetapi saat perang baru berlangsung tiga hari, ada peluru nyasar menghantam kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan, dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak. Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama. Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam. Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.


Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.


Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527. Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT. Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.