Saturday, July 20, 2019

# Respon Muslim Hindia Belanda Atas Runtuhnya Khilafah*

# Respon Muslim Hindia Belanda Atas Runtuhnya Khilafah*
.
Pada 3 Maret 1924 Khilafah Utsmani diruntuhkan oleh antek penjajah Inggris Mustafa Kamal Pasha Attaturk _laknatullah!_ Sehari kemudian koran berbahasa Belanda memberitakannya. Gemparlah Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Selang beberapa waktu, berita serupa dalam bahasa Melayu pun bermunculan. Sikap pemberitaan maupun respon dari Indonesia bisa datang secara segera, meskipun teknologi transportasi dan komunkasi-informasi saat itu belum secanggih saat ini.
.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Syarif Husein mantan Amir Makkah (mantan Gubernur Makkah) langsung mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Tentu saja mendapatkan penolakan keras dari dunia Islam karena semasa Khilafah Utsmani masih berdiri saja, dia _bughat_, melepaskan Hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya) dari pangkuan Khilafah Utsmani.
.
Umat Islam di Indonesia pun menggelar Kongres Al-Islam II yang diadakan pasa 19-21 Mei 1924. Dalam pidato pembukaan kongres, KH Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari solusi atas permasalahan khilafah. Bagi Agus Salim keberadaan sebuah pemerintahan Islam yang merdeka adalah suatu hal yang penting.
.
*Komite Khilafah*
.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Sekitar pertengahan 1924, beberapa tokoh umat Islam di Surabaya menerima surat undangan dari ulama Al Azhar Mesir untuk kongres khilafah pada Maret 1925. Surat juga berisi tujuh belas poin penjelasan soal kekisruhan pasca runtuhnya Khilafah Turki Usmani.
.
“Secara garis besar ada dua hal yang ditekankan. Salah satunya adalah persoalan khilafah merupakan bagian dari syariat dan wajib untuk ditegakkan kembali,” ungkap sejarawan Septian AW kepada _Media Umat_, Senin (18/9/2017).
Maka pada 4 dan 5 Oktober para tokoh Islam mengadakan pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam, Genteng, Surabaya untuk membahasnya. Dihadiri oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, At-Tadibiyah, Tasfirul Afkar, Ta’mrul Masyajid, dll.
Tokoh Syarikat Islam (SI) Oemar Said Tjokroaminoto dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memiliki seorang khalifah dan perlunya peran aktif umat Islam di Indonesia untuk kepentingan khilafah.
.
Namun forum nampak kurang PD karena kuatir Mesir menganggap Nusantara hanya seperti lalat saja. Kemudian Haji Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, memberi kepercayaan diri bagi umat Islam Indonesia. Jika memang benar orang Mesir memandang rendah orang Indonesia sebagai lalat, biarkan mereka tahu seperti apa lalat ini. Dia menegaskan, Islam tidak membuat perbedaan ras, orang Indonesia tidak kalah dari orang Mesir.
.
Lalu Tjokroaminoto pun mengingatkan forum akan pentingnya kongres di Mesir. “Belum pernah dalam sejarahnya diadakan sebuah kongres agama Islam sedunia, kongres ini akan menjadi yang pertama. Oleh karena hal ini menjadi suatu kewajiban umat Islam maka utusan sangat perlu dikirim ke Kairo. Ada banyak orang Indonesia yang cakap menjadi utusan dan tidak akan dihina,” tegasnya.
.
Forum setuju. Maka Fakhruddin mengusulkan agar mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat). Terpilihlah Wondo Soedirdjo sebagai ketua komite dan KH Abdul Wahab Hasbullah [yang kelak pada 1926 mendirikan Nahdlatul Ulama] sebagai wakilnya.
.
Komite ini bertugas untuk menetapkan delegasi dan mandat yang dibawa, serta biaya delegasi. Dan juga menyiarkan pergerakan ini ke suluruh Hindia Belanda.
.
Lalu muncul cabang Komite Khilafah di berbagai daerah seperti: Yogyakarta, Babat, Cirebon, Pasuruan, Menes, Buitenzorg, Jampangkulon, Cianjur, Banjarmasin dan lainnya.
.
Kemudian pada 25-27 Desember 1924 digelarlah Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya. Dihadiri oleh utusan dan wakil dari 68 organisasi pada masa itu: Muhamadiyah dan cabangnya; Sarekat Islam dan SI lokal; Al-Irsjad dan cabangnya. Serta berbagai sub-Comite Chilafaat. Organisasi lokal Surabaya juga hadir seperti: Watonniyah, Attahdibiyah, Khoerriyah, Tarbiatul Aitam, Taswirul Afkar, Ta'mirul Masajid.
.
Dalam kongres yang berlangsung selama tiga hari tersebut didapat tiga kesepakatan. _Pertama_, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan khilafah. _Kedua_, aka
n terus didirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. _Ketiga_, akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachruddin dari Muhammadiyah dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
.
Namun dengan berbagai tekanan dan intrik dari penjajah, pada hari H ternyata Kongres Khilafah di Mesir diundur ---Dan hingga hari ini tak pernah terlaksana. Kaum Muslimin Hindia Belanda pun sedih.
.
*Terpalingkan dari Perjuangan*
.
Awal tahun 1925 Ibnu Saud (kelak mendirikan Kerajaan Arab Saudi ketiga) berhasil mengalahkan Syarif Husein dan menguasi Makkah. Ibnu Saud mengundang segenap perwakilan Muslim sedunia untuk hadiri Kongres Makkah.

“Tentu saja ini membuat senang kaum Muslimin di Nusantara, karena harapan punya khalifah baru akan segera terlaksana,” beber Septian.

Maka digelarlah Kongres Al Islam IV. Namun sangat disayangkan dalam kongres terjadi friksi ketika membahas mazhab yang dianut Ibnu Saud. Tarbiatul Aitam, Taswirul Afkar dan Ta'mirul Masajid merasa mazhab di Makkah tersebut sangat tidak toleran dengan perbedaan masalah cabang _(furu’iyah)_.

Friksi memanas berujung pada keluarnya ketiga organisasi itu dari kongres kemudian membentuk Komite Hijaz untuk membahas persoalan keberlangsungan mazhab di Makkah. Januari 1926 Komite Hijaz berubah menjadi Nahdhatul Ulama.
.
Jelang keberangkatan ke Makkah, digelarlah Kongres Al Islam V. Kongres tidak dihadiri utusan NU. Antusiasme terhadap Ibnu Saud semakin tinggi. Kongres memutuskan mengirim Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah) menjadi delegasi Hindia Belanda ke Kongres Makkah.
.
Namun sangat ironis, dalam Kongres Makkah, Ibnu Saud menolak dengan tegas ketika para utusan siap membaiatnya menjadi khalifah. “Ibnu Saud lebih menekankan pada pembahasan _bid’ah_, _khurafat_ dan tahayul dan sangat menyudutkan kaum Muslimin yang memiliki perbedaan tata cara ibadah yang sifatnya cabang,” ungkap Septian.
.
Alih-alih pulang membawa kabar akan persatuan dan kesatuan kaum Muslimin dengan terpilihnya seorang khalifah, para delegasi pulang dengan membawa semangat ‘perpecahan’ dengan memperuncing perbedaan dalam masalah cabang.
Sejak saat itu, tidak ada lagi opini di ruang publik akan kewajiban menegakkan kembali khilafah. Hingga pada tahun 2000 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berhasil menggalang 5000 kaum Muslimin dari berbagai Ormas untuk mengikuti Konferensi Khilafah Internasional di Istora Senayan Jakarta.
.
Kesadaran akan kewajiban bersatunya kaum Muslimin dalam naungan khilafah terus menggelinding bak bola salju. Untuk menahannya, pada 2017 rezim Jokowi pun mengkriminalisasi perjuangan mulia ini dengan mencabut SK Badan Perkumpulan HTI dengan semena-mena pakai Perppu Ormas. Serta mengancam menghukum 5-20 tahun penjara bagi anggota dan simpatisan yang masih mencoba mendakwahkan wajibnya khilafah.[] *joko prasetyo*

Sumber: _Tabloid Media Umat Edisi 204: Oh Ganjilnya Negeri Ini..._

2-15 Muharram 1439 H/22 September-5 Oktober 2017
https://www.facebook.com/joko.prasetyo.357/posts/1470052273112005

METODE UNTUK MEMERANGI HT MENURUT ZEYNO BARAN; APAKAH DIANTARA KITA MENJADI SALAH SATU AKTORNYA?

METODE UNTUK MEMERANGI HT MENURUT ZEYNO BARAN; APAKAH DIANTARA KITA MENJADI SALAH SATU AKTORNYA?

By: Choirul Anam
.
Menurut Zeyno Baran, ancaman paling serius bagi Amerika dan sekutunya adalah kebangkitan Islam dan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Sementara itu, gerakan yang dinilainya paling berbahaya adalah Hizbut Tahrir. Sebab, menurut dia, HT adalah satu-satunya organisasi yang sangat memahami Khilafah dan metode menegakkannya. HT bergerak dalam perang pemikiran (the war of ideas) yang sesungguhnya. HT bergerak di seluruh dunia dan telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam perjuangannya, meski belum sampai pada suatu titik berdirinya Khilafah.
.
Karena itu, menurutnya, jika Amerika dan sekutunya tidak melakukan langkah yang tepat dalam “perang” yang sangat penting ini, tidak mustahil HT akan berhasil dalam misinya menegakkan Khilafah dalam waktu dekat ini.
.
Lalu, Baran dengan sangat “tulus” memberi nasihat (rekomendasi) kepada pemerintah Amerika dan sekutunya tentang metode memerangi HT yang dipandangnya cukup efektif dan efisien.
.
Rekomendasi ini telah diterapkan Amerika di seluruh dunia Islam. Untuk merealisasikannya, Amerika telah mengajak kerja sama dengan seluruh negara di dunia dan juga dengan umat Islam yang mau menggadaikan agamanya, baik mereka sadar atau tidak.
Banyak sekali umat Islam, baik sadar atau tidak, telah menjadi pion dan aktor penting dalam upaya memerangi Islam, menghalangi perjuangan penegakan Khilafah dan terutama untuk menghancurkan HT.
.
Rekomendasi Baran tersebut berupa suatu dokumen dengan judul “HIZB UT-TAHRIR; ISLAM’S POLITICAL INSURGENCY”. Dokumen ini memang tidak terlalu tebal hanya 144 halaman. Namun, untuk diterjemahkan semua dan diupload di FB terlalu panjang. Untuk mengetahui apa sesungguhnya isi dokumen tersebut, kami akan menerjemahkan bagian rekomenasi (recommendations) saja, sebanyak 5 halaman.
.
Semoga kita semua memahaminya, terutama saudara-saudara kita sendiri (umat Islam) yang terlibat dalam proyek Amerika karena ketidak-tahuannya. Semoga mereka memahami bahwa umat Islam adalah umat yang satu yang tidak boleh saling memusuhi dan memerangi. Semoga mereka tersadar, lalu berusaha melawan makar negara-negara Barat, bukan malah menjadi bagian dari makar mereka.
.
Meskipun makar negara-negara Barat untuk membendung laju perjuangan Khilafah sedemikian terstruktur dan terencana dengan sangat baik, namun makar mereka tak akan berhasil. Insya Allah, Khilafah Islam, institusi yang akan menyatukan umat Islam sedunia akan segera tegak dalam waktu yang tidak lama lagi. Sebab, Khilafah adalah janji Allah dan kabar gembira Rasulullah pada umatnya, meski mereka menghalang-halangi dan menertawakannya.
.
Berikut ini adalah terjemahan bebasnya. Mohon membaca dengan cermat dan bersabar karena lumayan panjang.
*****
_HIZB UT-TAHRIR; ISLAM’S POLITICAL INSURGENCY (HIZBUT TAHRIR; PEMBERONTAKAN POLITIK ISLAM)._
_REKOMENDASI-REKOMENDASI (RECOMMENDATION
S)_
Lanjutan…
_Tidak seperti dalam Perang Dingin, AS tidak dapat mencegah penyebaran ideologi HT melalui alat diplomasi tradisional (traditional diplomatic tools), yaitu hanya memfokuskan pada negara. Pemain utama (dalam perang) dengan satu miliar lebih umat Islam adalah pemain yang tidak memiliki negara (non-state actors, maksudnya adalah Khilafah).
.
Karena itu, AS harus mengubah strategi dalam berhubungan dengan umat Islam. Pemerintahan yang menindas, tidak legitimate, dan korup, tidak dapat digunakan lagi untuk memenangkan HATI DAN PIKIRAN umat Islam, terlebih lagi bagi mereka yang sudah memiliki kesadaran politik (political consciousness).
.
Karena itu, Amerika perlu berhubungan dengan umat Islam layaknya sebagai “masyarakat sipil”.
Hal ini akan mengantarkan pada pembentukan kerangka kerja baru (new framework) dari politik international._
_Pada saat yang sama, harus ada forum internasional yang terpercaya (legitimate international forum) dimana orang-orang Islam yang MODERAT dapat mengekspresikan pendapat mereka.
Di bawah kepemimpinan Presiden dari Malaysia dan Sekjen dari Turki, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dapat secara potensial digunakan untuk kepentingan ini.
.
Sebagai tambahan, PBB (United Nations) harus menambah negara-negara dengan mayoritas muslim sebagai anggota Dewan Keamanan (Security Council).
Saat ini, kebanyakan umat Islam percaya bahwa mereka mendapatkan perhatian hanya setelah terjadinya pengeboman oleh teroris. Jika kursi Dewan Keamanan (DK) diduduki oleh negara-negara seperti Indonesia atau Turki, maka persepsi (tentang Amerika) akan menjadi lebih baik.
.
(Penerjemah: Betapa hebatnya strategi ini. Dan inilah yang saat ini dimainkan oleh Amerika. Dan hasilnya, dunia Islam “mati kutu” tak berdaya. Seakan-akan mereka memberi kepercayaan kepada umat Islam, padahal hal itu adalah untuk membungkam umat Islam. Tak ada lagi, yang menginginkan syariah, apalagi Khilafah. Sebuah strategi yang teramat-sangat-sungguh mujarab sekali dalam membungkan mulut umat Islam)._
.
_Perang baru ini memerlukan kemampuan baru (new skill). Sebuah kursus dasar (basic training course) tentang budaya, nilai dan tradisi Islam sungguh sangat diperlukan bagai semua pegawai Amerika (American officials) saat berinteraksi dengan umat Islam.
Sebab, para angota HT sendiri telah disiapkan dengan baik (well prepared) dalam pertarungan ideologi ini, dengan training selama dua tahun (dalam halaqoh-halaqoh). Karena itu, diplomat, pegawai militer, dan pengambil kebijakan (policymakers) Amerika, harus disiapkan dan dibekali peralatan yang lebih baik. Dalam lingkungan dimana kecurigaan terhadap agenda jangka panjang AS di dunia Islam sangat berpengaruh, Amerika harus menangani masalah ini dengan sangat baik, terutama terhadap setiap isu yang berkaitan dengan Islam.
.
Pendekatan AS harus tidak rumit dalam interaksi sehari-hari, dan Amerika harus memperlakukan umat Islam dengan bermartabat dan hormat, hal ini merupakan titik awal yang besar dalam membungkam pernyataan HT bahwa Amerika arogan dan tidak adil terhadap dunia Islam.
.
Bahkan bagi umat Islam yang hidup dalam kemiskinan sekalipun akan merasa memiliki martabat (dignity) dan kebanggaan (pride) dalam hubungan mereka dengan peradaban besar (Kapitalisme). Jika, umat Islam ini didekati dengan cara yang keliru, maka kebanggaan ini akan dengan mudah hilang, dan berubah menjadi kebencian (hatred)._
.
_Pembuat kebijakan senior Amerika harus benar-benar menyadari bahwa mereka sedang ditarik ke dalam perang dengan Islam, yaitu disebabkan seringnya militer AS menyerang masjid, tempat suci, dan simbol-simbol umat Islam yang penting di Irak. Meskipun hal itu merupakan taktik (strategi) yang masuk akal untuk mencari pemberontak (insurgents) yang bersembunyi di tempat-tempat religius, namun Amerika justru akan kalah dalam perang ideologi (ideological war) jika Amerika terus melakukan hal ini.
.
Dari monograf (laporan) ini, jelas bahwa Amerika Serikat telah kalah dalam perang persepsi di dunia Islam. Operasi militer di tempat-tempat religius yang penting, dapat diartikan sebagai perang terhadap Islam itu sendiri (war on Islam).
Untuk meminimalisasi persepsi ini, pemimpin Amerika harus mempertimbangkan pertimbangan politik (political consideration) selain pertimbangan teknis saat membuat keputusan militer di negeri-negeri Muslim.
.
(Penerjemah: Menurut Baran, penyerangan secara militer terhadap umat Islam itu tidak masalah, asalkan jangan sampai melukai hati umat Islam. Untuk itu, Amerika harus “cerdas” dalam operasi militer saat membumi-hanguskan dunia Islam.
Kalau perlu Amerika harus mencari cara, meski yang menyerang adalah Amerika, tetapi yang disalahkan umat Islam sendiri, terutama HT)._
.
_Negara Barat tidak boleh mentoleransi penyebaran HT yang tidak toleran. HT telah berhasil menyebarkan gagasan-gagasan yang dipenuhi kebencian (hate-filled), anti-Semitik (anti Yahudi), anti konstitusional, semua itu akibat “toleransi” Barat kepada HT yang tidak toleran itu. HT telah menggunakan slogan Barat (West’s own slogan) dan prinsip-prinsipnya untuk melemahkan struktur sosial yang sangat fundamental bagi Barat.
Oleh karena itu, pemerintah, pendidik, dan tokoh-tokoh religius Barat harus memerangi ideologi yang dipenuhi dengan kebencian (hate-filled ideology).
Dengan senjata sosial (social weapon) yang sama, mereka gunakan untuk memerangi lainnya, yaitu intoleransi kelompok-kelompok non-Muslim.
.
_(Penerjemah: *Saat Baran mengatakan bahwa HT dan ideologinya dipenuhi kebencian, ini merupakan pendapat Baran sendiri yang sangat benci kepada HT dan Islam. Pendapat Baran ini sebenarnya tidak ada faktanya sama sekali. HT tidak membenci siapapun, HT hanya membenci aturan yang mendzalimi manusia, yakni Kapitalisme dan Sosialisme, dan HT berjuang untuk menggantinya dengan aturan yang dipenuhi kebaikan, yaitu syariah islam dan Khilafah)*.
.
_Negara barat harus mendukung peningkatan pendidikan bagi umat Islam MODERAT. Para ahli agama (theologians) dan para imam yang dididik dengan pemikiran Islam Moderat, seperti di Turki, Asia Tengah, Indonesia, atau Malaysia, akan memberikan interpretasi yang toleran tentang Islam, hal itu merupakan elemen paling menonjol dari Sufisme. Dengan demikian, mereka akan senang hati bersanding dengan agama dan budaya lain (other religions and cultures)_.
.
(Penerjemah: *Kelompok umat Islam yang akan dimainkan untuk melawan perjuangan syariah dan Khilafah adalah kelompok Sufi. Ini merupakan strategi untuk mengadu umat Islam. Ini merupakan strategi yang sangat jahat, dan strategi ini tampaknya sudah mulai diterapkan. Oleh karena itu, umat Islam yang menekuni Sufisme harus diingatkan dan diberitahu tentang strategi ini. Point utama yang dapat dijelaskan adalah bahwa HT yang memperjuangkan Khilafah didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin, yang merupakan cucu Syeikh Yusuf an-Nabhany, seorang tokoh Sufi Internasional dan penulis kitab Jami’ Karoomatil Auliyah, Ensiklopedi Karomah Para Wali)*.
.
_Struktur legal yang ada di Barat saat ini untuk melawan HT tidaklah mencukupi. Karena itu, diperlukan alat baru, seperti undang-undang yang dapat mempidanakan “kejahatan karena menyebarkan kebencian (hate crime)” dan “propaganda kebencian (hate propaganda)”. Hal paling utama, negara-negara Barat harus bersatu melarang HT secara keseluruhan. Larangan terhadap HT di Jerman saat ini dan di beberapa tempat lain, tidaklah memadai. Saat ini, HT sedang “berjualan yuridiksi” dan menjalankan aktivitasnya, tanpa perasaan takut terhadap tuntutan kriminal. Jika negara-negara Barat terus membiarkan HT, maka akan terjadi radikalisasi lebih jauh lagi, bukan hanya terhadap umat Islam di negara-negara luar, tetapi juga di tengah Eropa sendiri_.
.
(Penerjemah: *Betapa bingungnya mereka untuk melawan HT!. HT tidak pernah melakukan tindakan kekerasan, sehingga undang-undang di Barat sendiri tidak mampu mempidanakan dan melarang HT di sana. Mereka mencoba menggunakan istilah “hate crime atau kejahatan karena menyebarkan kebencian”, tetapi hal ini sangat subyektif dan tidak ada landasan secara ilmiah sama sekali. Sehingga hal itu ditentang oleh para pakar Barat sendiri)*.
.
_Penanganan Uni-Eropa (UE) pada Turki menjadi ujian penting bagi kebijakan Barat. Jika tradisi Muslim Turki yang menekankan pentingnya konvergensi suatu peradaban diterima oleh UE, maka HT akan kehilangan argumen yang menyatakan bahwa saat ini telah terjadi benturan peradaban (clash of civilizations).
.
Jika UE menerima Turki sebagai anggota, maka hal ini akan menunjukkan bahwa peradaban Islam dan peradaban Barat sangat selaras (fully compatible). Di lain pihak, jika sentimen anti-Muslim di UE terus meningkat, dan umat Islam Turki sendiri bergabung dengan pemikiran Barat, maka perang ideologi akan hilang dengan sendirinya._
*****
Begitulah strategi Amerika untuk menghancurkan HT sebagai gerakan dakwah yang memperjuangkan tegaknya syariah dan persatuan umat islam dunia dengan Khilafah. Dalam hal ini, Amerika akan membiayai dan menipu sekelompok umat Islam yang mau ditipu, agar mau berhadapan dengan HT dan menghabisi dakwah HT dengan segala cara.
.
Untuk itu, tidak ada cara lain, kecuali dengan menjelaskan skenario ini kepada seluruh umat Islam, terutama kepada mereka yang saat ini berada dalam permainan Amerika. Perjuangan untuk penegakan syariah dan Khilafah, merupakan perjuangan mulia untuk kebaikan umat Islam dan manusia seluruhnya, termasuk kepada kelompok Sufisme dan Thariqah. Syariah dan Khilafah inilah yang akan menebarkan keadilan yang seadil-adilnya, melindungi manusia dari kejamnya materialisme dan buasnya Kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan profit dan keuntungan.
.
Mereka harus disadarkan bahwa, *memusuhi umat Islam yang sedang memperjuangkan Islam, merupakan perang terhadap Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka berdzikir kepada Allah satu juta kali dalam setiap malam.*
Wallahu a’lam bish showab.

SURAT SRIWIJAYA UNTUK KHILAFAH

SURAT SRIWIJAYA UNTUK KHILAFAH
.
# WadahAspirasiMuslimah_ Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Kerajaan Hindu Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Mas'udi, seorang musafir (eksplorer) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya.
.
Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
.
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan Khilafah Islam Bani Umayyah yang berkedudukan di Damaskus. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 718.
.
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam. Meski demikian, menurut sejarawan, surat ini bukan berarti raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasratnya untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu.
.
Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abd Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya. Nu’aim bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut:
.
“Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = Maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil"
.
"Kepada Raja Arab (‘Umar bin 'Abdul-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya"
.
Referensi: bit.ly/SriwijayaUntukKhilafah
.
# SejarahIslam

*MENDO’AKAN KEBURUKAN BAGI PENGUASA/ PEMIMPIN ZHALIM ADALAH SUNNAH YANG TERLUPAKAN.*

*MENDO’AKAN KEBURUKAN BAGI PENGUASA/
PEMIMPIN ZHALIM ADALAH SUNNAH YANG TERLUPAKAN.*

_Oleh: Maaher At-Thuwailibi_
Kata Allah dalam Al-Qur’an:
ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺠَﻬْﺮَ ﺑِﺎﻟﺴُّﻮﺀِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﻇُﻠِﻢَ ۚ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻌًﺎ ﻋَﻠِﻴﻤًﺎ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan secara terang-terangan, kecuali oleh ORANG YANG DI ZHALIMI. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS An-Nisa ayat 148).

Kata Nabi, Ada tiga do’a yang tidak ditolak oleh Allah alias dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang TERZHOLIMI, do’a musafir, dan doa buruk orang tua kepada anaknya. (HR.Imam Tirmidzi)

Siapa saja diantara kaum muslimin yang merasa dizhalimi oleh para penguasa lalim dan diktator, maka DOAKANLAH KEBURUKAN & KEHANCURAN UNTUK MEREKA karena sesungguhnya doa anda akan dikabulkan Allah dengan janji yang tak ada keraguan didalamnya.
Kata para penjilat, haram hukumnya mendo’akan keburukan atas pemimpin/penguasa zhalim. mendoakan keburukan atas pemimpin zhalim merupakan ciri-ciri khawarij, Begitu kata mereka. Doktrin oplosan yang telah lama usang!

Mendoakan keburukan dan kebinasaan atas penguasa zhalim adalah teladan para Nabi & Rasul.

*Mana dalilnya?*

*1=>* Nabi Musa ‘Alaihis Salam mendo’akan KEBINASAAN untuk Fir’aun:

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣُﻮﺳَﻰٰ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺁﺗَﻴْﺖَ ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻭَﻣَﻠَﺄَﻩُ ﺯِﻳﻨَﺔً ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻟِﻴُﻀِﻠُّﻮﺍ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻠِﻚَ ۖ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍﻃْﻤِﺲْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺷْﺪُﺩْ ﻋَﻠَﻰٰ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳَﺮَﻭُﺍ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟْﺄَﻟِﻴﻢَ
Musa berkata, “Yaa Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia.Yaa Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Yaa Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih!” (QS.Yunus ayat 88)

*2=>* Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendo’akan para pemimpin:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﻫَﺬِﻩِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺷَﻴْﺌﺎً ﻓَﺮَﻓَﻖَ ﺑِﻬِﻢْ، ﻓَﺎﺭْﻓُﻖْ ﺑِﻪِ . ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻓَﺎﺷْﻔُﻖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ .
“Yaa Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”. (HR. Imam Muslim).

Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang langsung dikabulkan oleh Allah), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa/pemimpin.” Akan tetapi, bukan berarti mendoakan keburukan atas penguasa/pemimpin yang betul-betul zhalim tidak ada contohnya/
teladannya dari Salafus Shalih. Ini yang sering disembunyikan oleh segelintir “mafia berjubah” yang menjadi ‘menghamba’ pada majikannya.

Mana contohnya Salaf yang mendo’akan keburukan kepada penguasa zhalim?
Imam besar Tabi’in, Al-Imam Hasan Al-Bashri Rahimahullah, mendoakan keburukan atas pemimpin zhalim di zamannya (yaitu Hajjaj Bin Yusuf Ats-Tsaqafi), beliau berdo’a:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻳَﺎ ﻗَﺎﺻِﻢَ ﺍﻟْﺠَﺒَﺎﺑِﺮَﺓِ ﺍﻗْﺼِﻢِ ﺍﻟْﺤَﺠَّﺎﺝَ ﺍﺑﻦ ﻳﻮﺳﻮﻑ ...

“Ya Allah yang maha perkasa dan kuasa, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf...”

Lalu, setelah di doakan demikian oleh Imam Hasan Al-Bashri, *PENGUASA ALAM SEMESTA DZAT YANG MAHA KUASA ALLAH RABBUL ‘IZZAH WAL JALAALAH MENGABULKAN DO’A IMAM HASAN AL-BASHRI; Hajjaj Bin Yusuf (si gubernur zhalim) pun tewas tiga hari kemudian disebabkan perutnya dipenuhi cacing*.
Singkat Kata, mendoakan keburukan kepada orang zhalim (baik ia pemimpin atau bukan) adalah Sunnah para Nabi dan Rasul serta Salafus Shalih sejak dahulu..

Kata Imam An-Nawawi Rahimahullah:

ﻭَﻗَﺪْ ﺗَﻈَﺎﻫَﺮَ ﻋَﻠﻰَ ﺟَﻮَﺍﺯِﻩِ ﻧُﺼُﻮْﺹُ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُﻨَﺔِ ﻭَﺃَﻓْﻌَﺎﻝُ ﺳَﻠَﻒِ ﺍﻟْﺄُﻣَﺔِ ﻭَﺧَﻠَﻔِﻬَﺎ
“Telah jelas kebolehan hal tersebut, yaitu BOLEHNYA mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan teladan kaum Salaf maupun Khalaf”.

Yaa Allah Yaa Rabb..
Tiada ilah yang berhak disembah secara benar kecuali engkau, penguasa alam semesta. Raja segala raja. Maha kuasa dan perkasa, sebaik-baik pembuat makar..., Hancurkan & Binasakanlah segala bentuk kezhaliman diatas permukaan bumi ini. Yaa Allah Yaa Rabb, turunkan bala dan bencana-Mu bagi mereka yang menzhalimi wali-wali Mu diatas bumi ini.
*Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamin..*
*Jadi, tak ada keraguan untuk mendo'akan kebinasaan Pemimpin Zhalim dan Para Pendukungnya.. !*

# TENTANG_POLITIK_ISLAM # TENTANG_KHILAFAH


# TENTANG_POLITIK_ISLAM
# TENTANG_KHILAFAH

Di beberapa forum, kadang saya melihat jika bahas masalah politik, kepemimpinan dan pemerintahan, aroma diskusi menjadi agak sedikit tegang. Bahkan dalam sebuah pengajian, ketika membaca hadits-hadits terkait imarah dan imamah, panitia berbisik, “jangan terlalu bahas politik,!Padahal sedang ngaji Kitabul Imarah dalam Shahih Muslim.


Alhamdulillah, sekarang membahas politik islam tidak rancu lagi,di beberapa forum, dengan para ulama, kyai, ajengan, dll. mereka membuka kitab dan membahasnya dengan kepala dingin bersama Apapun hasil kajiannya itu adalah amanah ilmu.
Ajaran Islam itu mencakup semua hal,
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺗِﺒْﻴَﺎﻧًﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﻫُﺪًﻯ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﻭَﺑُﺸْﺮَﻯ ﻟِﻠْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ
Sayyidina Abdullah Ibn Mas'ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal". (Imam Al-Hafizh Abul Fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur'anil Adzim, juz IV hlm. 594).


Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Qur'an telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Saudaraku, kita juga makin paham mengapa tema terkait pemerintahan ini sangat asing di telinga umat, karena itu adalah simpul yang pertama kali lepas,
ﻟﺘُﻨْﻘَﻀَﻦَّ ﻋُﺮَﻯ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ، ﻋُﺮْﻭَﺓً ﻋُﺮْﻭَﺓً، ﻓَﻜُﻠَّﻤَﺎ ﺍﻧْﺘَﻘَﻀَﺖْ ﻋُﺮْﻭَﺓٌ، ﺗَﺸَﺒَّﺚَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻠِﻴﻬَﺎ، ﻭَﺃَﻭَّﻟُﻬُﻦّ ﻧَﻘْﻀًﺎ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ، ﻭَﺁﺧِﺮُﻫُﻦَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ

"Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat" (HR. Ahmad)


Membahas ini memang harus hati-hati, jangan sampai tergelincir. Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i mengingatkan kita semua dalam kitab al-Irsyad,
ﺍَﻟْﻜَﻠَﺎﻡُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻣَﺔِ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ ﺍﻟْﺎِﻋْﺘِﻘَﺎﺩِ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻄْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﺰِﻝُ ﻓِﻴْﻪِ ﻳُﺮَﺑِّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨَﻄْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﺠْﻬَﻞُ ﺃَﺻْﻼ ﻣﻦ ﺃﺻﻮﻝِ ﺍﻟِّﺪﻳْﻦِ
“....Pembicaraan tentang imamah tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan), namun bahayanya bagi orang yang tergelincir di dalamnya melebihi bahayanya bagi orang yang tidak mengerti pokok-pokok agama.”


Kata kuncinya bagi kita sebenarnya hanya dua: ilmu dan dakwah. Jadi ketika kita belajar dan menyampaikan kembali kepada umat adalah karena amanah ilmu dan dakwah. Tidak perlu takut celaan orang-orang yang suka mencela. Meski eksesnya kadang tidak sederhana. Mengapa? Karena ini terkait kepentingan kekuasaan dan kekuatan. Makanya, umat sudah lama jauh (dijauhkan) dari politik.


Padahal politik adalah bagian dari ajaran Islam. Pengertian politik di dalam Islam didiskripsikan di dalam Mu'jamu Lughatil Fuqaha' dengan,
ﺭﻋﺎﻳﺔ ﺷﺌﻮﻥ ﺍﻻﻣﺔ ﺑﺎﻟﺪﺍﺧﻞ ﻭﺍﻟﺨﺎﺭﺝ ﻭﻓﻖ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺍﻻﺳﻼﻣﻴﺔ .
"Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam". (Muhammad Qal'aji, Mu'jamu Lughatil Fuqaha', juz I hlm. 253).
Makna seperti inilah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺑَﻨُﻮ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﺗَﺴُﻮﺳُﻬُﻢْ ﺍﻟْﺄَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ ﻛُﻠَّﻤَﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻧَﺒِﻲٌّ ﺧَﻠَﻔَﻪُ ﻧَﺒِﻲٌّ ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻧَﺒِﻲَّ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻭَﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺧُﻠَﻔَﺎﺀُ ﺗَﻜْﺜُﺮُ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓُﻮﺍ ﺑِﺒَﻴْﻌَﺔِ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻓَﺎﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻭَﺃَﻋْﻄُﻮﻫُﻢْ ﺣَﻘَّﻬُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺎﺋِﻠُﻬُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺍﺳْﺘَﺮْﻋَﺎﻫُﻢْ
Imam an-Nawawi dalam shahih Muslim bisyarhin Nawawi menjelaskan pengertian "tasusuhum al-anbiyaa'" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya). (Imam Al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-Nawawi, Syarah An-Nanawi 'ala Shahihil Muslim, juz VI hlm. 316, syarah hadits nomor 3420).


Dalam hadits diatas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, bahwa yang mengatur atau yang memelihara urusan Bani Israil adalah para nabi, sedangkan untuk umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para khulafa', dan jumlahnya banyak.


Saudaraku, jadi karena amanah ilmu dan dakwahlah kita belajar fiqih thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena amanah ilmu dan dakwah pula kita belajar fiqih keluarga, jual beli, ijarah (sewa), dan pergaulan. Karena amanah ilmu dan dakwah juga kita belajar syariat jihad, hudud dan jinayat (pidana), qadha (peradilan), kepemimpinan, dan pemerintahan (khilafah). Sekali lagi, kita belajar dan menyampaikannya karena amanah ilmu dan dakwah. Bukan yang lain.
Saudaraku, tiap pekan saya ngisi kajian Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) di salah satu majelis. Apakah isinya hanya thaharah dan shalat? Tidak. Padahal itu kitab paling ringkas dalam Madzhab Syafi’i. Isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah, dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya KH. Sulaiman Rasyid saja membahas mulai dari thaharah hingga pemerintahan. Sekarang kita jujur pada diri sendiri, apakah kita sudah khatam belajar fiqih dari thaharah hingga masalah perdagangan, jinayah, peradilan dan pemerintahan?


Demikian juga ketika mengkaji hadits, apakah kita sudah mengkaji sampai selesai? Tahukah kita bahwa dalam Shahih Bukhari ada Kitabul Ahkam dan dalam Shahih Muslim ada Kitabul Imarah? Tahukah kita dalam Sunan Abi Dawud ada Kitabul Aqdhiyyah, dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitabul Ahkam, serta dalam Sunan Nasa’i ada kitabul Bai’ah? Jangan-jangan kita sebagai thullab, belajarnya tidak pernah tuntas.


Saudaraku, amanah ini ada di pundak kita. Amanah untuk mempelajari Islam secara baik, dan amanah untuk menyampaikannya kembali ke masyarakat. Seperti yang digambarkan oleh Syeikh Ali Bin Haj, ada dua hal penting amanah bagi ahli ilmu: pertama, ulama' yang memadukan ilmu dan amal; kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat. (Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Zhulmil Hukkam, hlm. 255-258).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, sanksi yang akan diberikan di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman terhadap Ilmu dengan sabda beliau,
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳَﺤْﻔَﻆُ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻓَﻴَﻜْﺘُﻤُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻣُﻠْﺠَﻤًﺎ ﺑِﻠِﺠَﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Tidaklah seorang laki-laki yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang) dari api neraka". (HR. Ibnu Majah).


Semoga nasihat ini menguatkan kita semua untuk terus belajar secara mendalam, mempercantik adab, dan meneguhkan dalam dakwah....


# Menyambut_Tegaknya_Khilafah
# Copas_Dari
# Cahaya_Peradaban_Muslim

*KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI ?*

*KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI ?*


Oleh : Ustadz Fathy Syamsudin Ramadhan
Salah satu kewajiban penting umat Islam adalah mentaati seorang penguasa Muslim. Nabi Muhammad saw di dalam hadits-hadits shahih telah menjelaskan ketetapan ini dengan sangat jelas. Para ulama salaf dan khalaf juga tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mentaati penguasa yang tetap menjalankan urusan pemerintahan sesuai dengan aqidah dan syariat Islam. Mayoritas ulama juga berpendapat, kaum Muslim wajib mentaati penguasa fasik dan dzalim, semampang mereka tidak mengubah salah satu sendi dari ajaran Islam. Mereka juga memahami bahwa ketaatan kepada penguasa bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak, namun dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Para ulama juga sepakat, jika seorang penguasa telah menampakkan kekufuran yang nyata (kufran shurahan), maka kaum Muslim dilarang mentaati mereka, bahkan wajib memakzulkan mereka meskipun dengan menggunakan pedang.
Sayangnya, fatwa ulama-ulama ikhlash ini sering dipelintir untuk menghambat terjadinya suksesi kekuasaan dari kekuasaan kufur menuju kekuasaan Islam. Mereka menyerukan agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa-penguasa walaupun penguasa itu jelas-jelas telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Mereka juga menyeru kepada kaum Muslim untuk tidak mengkritik mereka dengan terang-terangan. Bahkan, mereka menyerang sekelompok kaum Muslim yang berani mengkritik para penguasa dengan terang-terangan.
Lalu, benarkah para penguasa sekarang tetap harus ditaati? Bagaimana pandangan Islam mengenai ketaatan kepada penguasa? Dan kapan seorang Muslim wajib melepaskan ketaatan dari penguasa, bahkan wajib memakzulkan mereka?

Taat Kepada Penguasa

Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠًﺎ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]

Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:

ﻭﺩﻟﺖ ﺍﻵﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻷﻣﺮﺍﺀ ﻭﺍﺟﺒﺔ ﺇﺫﺍ ﻭﺍﻓﻘﻮﺍ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﺈﺫﺍ ﺧﺎﻟﻔﻮﻩ ﻓﻼ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻬﻢ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ” ﻻ ﻃﺎﻋﺔ ﻟﻤﺨﻠﻮﻕ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺍﻟﺨﺎﻟﻖ ” . ﻭﺣﻜﻲ ﺃﻥ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺑﻦ ﻣﺮﻭﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﻷﺑﻲ ﺣﺎﺯﻡ : ﺃﻟﺴﺘﻢ ﺃﻣﺮﺗﻢ ﺑﻄﺎﻋﺘﻨﺎ ﺑﻘﻮﻟﻪ : ﻭ ‏« ﺃﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻜﻢ ‏» ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺯﻡ : ﺃﻟﻴﺲ ﻗﺪ ﻧﺰﻋﺖ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻋﻨﻜﻢ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻟﻔﺘﻢ ﺍﻟﺤﻖ . ﺑﻘﻮﻟﻪ ‏« ﻓﺈﻥ ﺗﻨﺎﺯﻋﺘﻢ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻓﺮﺩﻭﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ‏» ﺃﻱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭ ‏« ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ‏» ﻓﻲ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﺇﻟﻰ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻪ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺗﻪ } ﺫﻟﻚ { ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺩ ﺃﻱ ﺍﻟﺮﺩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ
“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”[1]

Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya,Durr al-Mantsuur, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir, dan serta kalangan mufassir lainnya.
Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkaam al-Quran, menyatakan:

“Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka….”[2]

Dalam kitab Minhaaj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “[3]

Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺃَﻣِﻴﺮِﻱ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﻰ ﺃَﻣِﻴﺮِﻱ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲ
“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..”[HR. Bukhari]
..
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ﺳَﻴَﻠِﻴْﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﻭُﻟَﺎﺓٌ ﻓَﻴَﻠِﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﺒِﺮَّ ﺑِﺒِﺮِّﻩِ ﻭَﺍﻟْﻔَﺎﺟِﺮُ ﺑِﻔُﺠُﻮْﺭِﻩِ ﻓَﺎﺳْﻤَﻌُﻮْﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﻃِﻴْﻌُﻮْﺍ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻣَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻭَﺭَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺣْﺴَﻨُﻮْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺇِﻥْ ﺃًَﺳَﺎﺀُﻭْﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
.
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:
ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃَﺛَﺮَﺓٌ ﻭَﺃُﻣُﻮﺭٌ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻧَﻬَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻤَﺎ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺗُﺆَﺩُّﻭﻥَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺗَﺴْﺄَﻟُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻟَﻜُﻢْ
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.”[HR. Bukhari]
.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺮِﻩَ ﻣِﻦْ ﺃَﻣِﻴﺮِﻩِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻓَﻠْﻴَﺼْﺒِﺮْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥِ ﺷِﺒْﺮًﺍ ﻓَﻤَﺎﺕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎﺕَ ﻣِﻴﺘَﺔً ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.”[HR. Bukhari]
Dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim telah dinyatakan, “Memisahkan diri dari mereka —maksudnya, para penguasa— hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.[4]
.
Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kid) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apapun.
.
Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?
.
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq[5], dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀُ ﻓَﺘَﻌْﺮِﻓُﻮﻥَ ﻭَﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻥَ ﻓَﻤَﻦْ ﻋَﺮَﻑَ ﺑَﺮِﺉَ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻧْﻜَﺮَ ﺳَﻠِﻢَ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣَﻦْ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺗَﺎﺑَﻊَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻘَﺎﺗِﻠُﻬُﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

“ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﺳﺘﻜﻮﻥ ﺃﻣﺮﺍﺀ ﻓﺘﻌﺮﻓﻮﻥ ﻭﺗﻨﻜﺮﻭﻥ ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﻭﻣﻦ ﺃﻧﻜﺮ ﺳﻠﻢ , ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ , ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺃﻓﻼ ﻧﻘﺎﺗﻠﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ . . . ﻣﺎ ﺻﻠﻮﺍ ” ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻴﻪ ﻣﻌﺠﺰﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﺑﺎﻹﺧﺒﺎﺭ ﺑﺎﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ , ﻭﻭﻗﻊ ﺫﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺒﺮ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺑﻌﺪﻫﺎ : ‏( ﻓﻤﻦ ﻛﺮﻩ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﺄﻣﺎ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻣﻦ ﺭﻭﻯ ‏( ﻓﻤﻦ ﻛﺮﻩ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﻈﺎﻫﺮﺓ , ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ : ﻣﻦ ﻛﺮﻩ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ﻣﻦ ﺇﺛﻤﻪ ﻭﻋﻘﻮﺑﺘﻪ , ﻭﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﺣﻖ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺇﻧﻜﺎﺭﻩ ﺑﻴﺪﻩ ﻻ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﻓﻠﻴﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ , ﻭﻟﻴﺒﺮﺃ . ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺭﻭﻯ ‏( ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﻓﻘﺪ ﺑﺮﺉ ‏) ﻓﻤﻌﻨﺎﻩ – ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ – ﻓﻤﻦ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻭﻟﻢ ﻳﺸﺘﺒﻪ ﻋﻠﻴﻪ ; ﻓﻘﺪ ﺻﺎﺭﺕ ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺇﺛﻤﻪ ﻭﻋﻘﻮﺑﺘﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﻐﻴﺮﻩ ﺑﻴﺪﻳﻪ ﺃﻭ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ , ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻓﻠﻴﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ . ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏( ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ ‏) ﻣﻌﻨﺎﻩ : ﻟﻜﻦ ﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺭﺿﻲ ﻭﺗﺎﺑﻊ . ﻭﻓﻴﻪ : ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻻ ﻳﺄﺛﻢ ﺑﻤﺠﺮﺩ ﺍﻟﺴﻜﻮﺕ . ﺑﻞ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺄﺛﻢ ﺑﺎﻟﺮﺿﻰ ﺑﻪ , ﺃﻭ ﺑﺄﻻ ﻳﻜﺮﻫﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ ﺃﻭ ﺑﺎﻟﻤﺘﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻴﻪ . ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﺃﻓﻼ ﻧﻘﺎﺗﻠﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ , ﻣﺎ ﺻﻠﻮﺍ ‏) ﻓﻔﻴﻪ ﻣﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﺳﺒﻖ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺑﻤﺠﺮﺩ ﺍﻟﻈﻠﻢ ﺃﻭ ﺍﻟﻔﺴﻖ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻐﻴﺮﻭﺍ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻹﺳﻼﻡ .
“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya.
.

Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[6]
.
Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:
ﻗِﻴﻞَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻨَﺎﺑِﺬُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻴْﻒِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ
“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!’ Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
.
Dalam riwayat lain, mereka berkata:
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻧُﻘَﺎﺗِﻠُﻬُﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺻَﻠَّﻮْﺍ
“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!’ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih sholat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
ﺩَﻋَﺎﻧَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺒَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺧَﺬَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺃَﻥْ ﺑَﺎﻳَﻌَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﻣَﻨْﺸَﻄِﻨَﺎ ﻭَﻣَﻜْﺮَﻫِﻨَﺎ ﻭَﻋُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﻳُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃَﺛَﺮَﺓً ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻧُﻨَﺎﺯِﻉَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]
.
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[7]
.
Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan “kufran bawahan” (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[8]
‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat”, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[9]
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: ” Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[10]
.
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.” [11]
.
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
.
Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;
.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ : ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻻ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﻟﻜﺎﻓﺮ , ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻃﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻧﻌﺰﻝ , ﻗﺎﻝ : ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﺗﺮﻙ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻴﻬﺎ , ..… ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﻓﻠﻮ ﻃﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻔﺮ ﻭﺗﻐﻴﻴﺮ ﻟﻠﺸﺮﻉ ﺃﻭ ﺑﺪﻋﺔ ﺧﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﻻﻳﺔ , ﻭﺳﻘﻄﺖ ﻃﺎﻋﺘﻪ , ﻭﻭﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ , ﻭﺧﻠﻌﻪ ﻭﻧﺼﺐ ﺇﻣﺎﻡ ﻋﺎﺩﻝ ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻨﻬﻢ ﺫﻟﻚ .
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[12]
.
Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata. Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata. Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).
.
Status Penguasa Dalam Sistem Kufur
Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut,” al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, “Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata,” Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata,” al-Qaadhi berkata,” “Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid’ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.”.[13]
Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?
Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;
.
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya “munaza’ah” (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam[14]. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;
.
ﺩَﻋَﺎﻧَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺒَﺎﻳَﻌْﻨَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺧَﺬَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺃَﻥْ ﺑَﺎﻳَﻌَﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻓِﻲ ﻣَﻨْﺸَﻄِﻨَﺎ ﻭَﻣَﻜْﺮَﻫِﻨَﺎ ﻭَﻋُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﻳُﺴْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺃَﺛَﺮَﺓً ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻧُﻨَﺎﺯِﻉَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺮَﻭْﺍ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺑَﻮَﺍﺣًﺎ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻴﻪِ ﺑُﺮْﻫَﺎﻥٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari dan Muslim]
.
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata “bawahan” (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.
.
2. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase “kekufuran nyata” yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan “kekufuran yang nyata”, baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme–, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai “kekufuran yang nyata”[15].
.

Kesimpulan
.
Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme–, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.
.
Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;
“ ﻭﺃﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻫﻢ : ﺍﻷﺋﻤﺔ ، ﻭﺍﻟﺴﻼﻃﻴﻦ ، ﻭﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ، ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻭﻻﻳﺔ ﻃﺎﻏﻮﺗﻴﺔ ”
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah[16] bukan kekuasaan thaghutiyyah[17]”.[18]
.
Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.
.
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. [Fathy Syamsudin Ramadhan]
.
Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thaariq.


.
[1] Imam Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, surat al-Nisaa’:59
[2] Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, tafsir surat al-Nisaa’:59
[3] Minhaaj al-Sunnah, juz 1/115
[4] Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35.
[5] Yang dimaksud penguasa fasiq dan dzalim yang tetap harus ditaati adalah penguasa-pengua
sa yang masih menerapkan sistem Islam untuk mengatur urusan negara dan rakyat, namun berbuat dzalim dan fasiq. Dengan kata lain, selama mereka masih menerapkan sistem pemerintahan Islam, menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan dasar negara dan masyarakat, serta menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat; kaum Muslim wajib mentaati mereka, meskipun penguasa tersebut dzalim dan fasiq.
[6] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
[7] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
[8] Ibid, juz 13/8
[9] ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
[10] Ibid, hal. 258-260
[11] Ibid, hal. 259-260
[12] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36
[13] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35-36.
[14] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13, hal. 8
[15] Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad wa al-Qitaal fi al-Siyaasah al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 130-131. Buku ini merupakan desertasinya untuk meraih gelar doctor dari Kuliah al-Imam al-Auza’iy, pada al-Dirasah al-Islaamiyyah di Beirut pada tahun 1412 H. Desertasi ini meraih gelar imtiyaaz ma’ al-tanwiih (summa cum laude); bahkan jika ada gelar yang lebih tinggi daripada summa cum laude tentu beliau akan meraihnya.
[16] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
[17] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan system kufur.
[18] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166.
BANGSA INI BUTUH SOLUSI

Oleh: Arief B. Iskandar

Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan gagasan syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua gagasan itu, HTI dianggap sebagai ancaman bagi Pancasila dan NKRI.
Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban syariah dan hanya merupakan romantisme sejarah para pengusungnya. Khilafah syarat dengan konflik. Khilafah didasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi serta rentan dan rawan terhadap pembajakan demi nafsu kekuasaan. Gagasan Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas. Khilafah utopis dll.

Itulah di antara kekeliruan yang bisa baca dalam banyak pernyataan dan tulisan kalangan liberal selama ini.

Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang sering dilontarkan oleh kalangan liberal, yang sering ditujukan terutama pada HT(I). Sebab, HT(I) sendiri, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan gagasan dan dalil-dalil seputar kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang sering dipertanyakan kaum liberal.

Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk dijawab oleh semua pihak--termasuk ole kalangan liberal yang selama ini rajin 'menentang gagasan syariah dan Khilafah yang diusung HTI--daripada sekadar wacana Khilafah yang cenderung banyak direduksi dan disalahpami.

Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HT(I) mengusung gagasan syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HT(I), syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini bahkan dunia jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi.

Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep sebagai solusinya, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Gagasan-gagasan yang ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahr
ir.or.id , Jurnal al-Waie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.

Jika banyak kalangan, termasuk kalangan liberal, mempertanyakan komitmen HTI terhadap NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing.

HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.

Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).

Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperin
gatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, HTI telah memperingatkan Pemerintah terhadap bahaya utang luar negeri melalui lembaga IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak 'menjual murah' BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:

"Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi." (HR Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah, termasuk kalangan liberal, konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang justru bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa kalangan liberal sendiri tidak pernah menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan demokrasi dan nasionalisme?

Jika kita mau jujur, justru demokrasilah, juga nasionalisme, yang lebih rentan dan rawan direduksi sekaligus 'dibajak' untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing!
Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syari-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50) yang diterapkan oleh Khilafah.

Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini.

Pertanyaannya: akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Ataukah kita berusaha melepaskan diri dari jeratannya lalu mencari ideologi penyelamat sekaligus penebar rahmat, yakni ideologi Islam (QS al-Anbiya' [21]: 107)? Itulah yang seharusnya dijawab oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan liberal; kecuali jika mereka memang kepanjangan tangan dari Kapitalisme global! []

"SEJARAH GELAP PARA PAUS"

BAHAYA KERUSAKAN TOKOH DAN INSTITUSI AGAMA! (BELAJAR DARI SEJARAH KEJAHATAN PARA PAUS)
Hari Selasa (19/3/2019), saya mengisi pengajian dhuhur di Masjid Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tema umum tentang peradaban Islam.
Saya menekankan pentingnya 'trust' bagi tegaknya satu masyarakat atau peradaban. Trust akan hancur jika nilai2 kebaikan rusak.
Dalam hal ini ulama, tokoh agama, atau ilmuwan adalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga nilai2 kebaikan tersebut. Karena itu kasus Jual beli jabatan di satu insitusi keagamaan adalah masalah yang sangat serius.
Eropa berubah menjadi sekuler liberal, dan kapok dengan agama, setelah pemuka2 agama dan juga institusi keagamaan kehilangan legitimasi moralnya. Sebab mereka korup dan bejat akhlaknya.
Berikut ini telaah ringkas buku "Sejarah Gelap Para Paus" terbitan Kompas Gramedia. Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
*******************************************
"SEJARAH GELAP PARA PAUS"

.
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE, DEPOK)

“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.
“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)

Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.

Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.

Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.

Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:

“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”

Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.

Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.

Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.

Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.

Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.

Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.

Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.

Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.

Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.

Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah — sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian — maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011
copas Dr. Adian Husaini

JANGAN TAKUT MENDAKWAHKAN KHILAFAH,

JANGAN TAKUT MENDAKWAHKAN KHILAFAH, DIJAMIN OLEH HUKUM & KONSTITUSI.

Oleh, *Chandra Purna Irawan,SH.,MH* _*(Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekertaris Jenderal LBH PELITA UMAT)*_

"Wiranto menegaskan anggota HTI tidak boleh menyebarkan paham khilafah atau ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Wiranto menegaskan larangan ini juga berlaku bagi ormas lainnya."

Sumber: http://detik.id/Vn0MRP

Menanggapi hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, bahwa ajaran Islam Khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya sebagaimana paham komunisme, marxisme/leninisme dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya, sebagai ajaran Islam Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan ditengah-tengah umat. Mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam, dimana hal ini dijamin konstitusi.

Kedua, bahwa mengutip pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa kegiatan yang dihentikan oleh SK Menteri dan Putusan Pengadilan TUN adalah kegiatan HTI sebagai lembaga (kegiatan Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia), bukan penghentian kegiatan dakwah individu anggota dan/atau pengurus HTI. (Senin, 4/6/2018: http://detik.id/67AYOw).

Ketiga, bahwa Islam adalah agama yang diakui dan konstitusi memberikan jaminan untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya berdasarkan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu siapapun yang menyudutkan ajaran Islam, termasuk Khilafah maka menurut saya dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.

Keempat, bahwa khilafah itu ajaran Islam dan milik umat Islam, bukan ajaran individu dan/atau ormas tertentu. Karenanya umat Islam wajib membela ajaran agamanya apabila dikriminalisasi.

Kelima, bahwa saya menyeru kepada segenap umat Islam tidak perlu takut untuk terus mendakwahkan ajaran Islam termasuk syariah dan khilafah.

Wallahualambishawab

IG/Telegram @chandrapurnairawan

WIRANTO TIDAK PAHAM SUBSTANSI PUTUSAN PTUN DAN MEMPOLITISASI HUKUM UNTUK TUJUAN POLITIK ?*

*WIRANTO TIDAK PAHAM SUBSTANSI PUTUSAN PTUN DAN MEMPOLITISASI HUKUM UNTUK TUJUAN POLITIK ?*


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT



_"Jadi harap maklum bahwa jangan sampai ada pengertian organisasinya dilarang tetapi individualnya masih menyebarkan paham-paham khilafah dan anti-Pancasila. Nggak bisa. Karena tidak hanya HTI. Organisasi lainnya, ormas lainnya, pun, kalau menyebarkan ajaran anti-Pancasila dan anti-NKRI, juga ada undang-undang yang akan memasukkan dia di ranah hukum. Saya kira itu semua paham. Jadi itu supaya jelas,"_

*[Wiranto, 19/7]*


Kembali, menkopolhukam Wiranto mengeluarkan statement yang _Abuse of Law_. Pernyataan yang secara substansi justru melampaui hukum, yang publik dapat memahami pernyataan dimaksud lebih kental nuansa politiknya ketimbang muatan hukum.

Statement ini, melengkapi statement Wiranto sebelumnya yang tak paham hukum, yang berulangkali membuat framing bahwa bendera bertuliskan Lafadz :

لا إله إلا الله محمد رسول الله

Sebagai bendera Ormas Islam HTI.

Padahal, bendera bertuliskan Lafadz Tauhid dengan kain dasar putih dan hitam itu adalah bendera al Liwa dan Ar  Roya, atau lebih dikenal umum sebagai Bendera Tauhid. Karenanya, ketika Menkopolhukam memaksakan terma 'bendera ormas' terhadap bendera tauhid, berusaha memberi pembenaran terhadap Banser yang membakar bendera Tauhid di Garut dengan dalih bendera HTI, umat Islam membela bendera tauhid dengan melakukan aksi unjuk rasa damai didepan kantor Kemenkopolhukam.

Tak hanya di Kemenkopolhukam, umat kembali meneguhkan pembelaan pada bendera tauhid dalam aksi Reuni 212 jilid II, dengan membawa jutaan bendera tauhid. Fakta ini, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Wiranto untuk tak asal dalam mengeluarkan statement.

Nyatanya, tidak demikian. Pada Jumat (19/7), Wiranto kembali membuat pernyataan yang melampaui hukum, pernyataan yang mengkonfirmasi ketidakpahaman atas subtansi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi. Wiranto, mengeluarkan 3 (tiga) pernyataan yang tak berdasar :

*Pertama,* Wiranto kembali mengulang-ulang ujaran bahwa HTI adalah ormas Terlarang.

*Kedua,* Wiranto memframing ajaran Islam khilafah sebagai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

*Ketiga,* Wiranto tak hanya melarang HTI mendakwahkan khilafah, tetapi juga melarang ormas atau individu lainnya untuk tidak mengajarkan ajaran Islam khilafah, yang merupakan sistem pemerintahan Islam yang Agung.


*Berdalih Perppu dan Putusan PTUN Jakarta*


Dalam statementnya, implisit Wiranto merujuk putusan Pengadilan PTUN Jakarta yang menolak Gugatan Sengketa TUN yang diajukan oleh ormas Islam HTI. Narasi ormas Terlarang dan khilafah ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, selalu diulang-ulang berdalih telah ada putusan hukum PTUN Jakarta, yang saat ini putusannya telah final seiring dengan keluarnya putusan kasasi dari MA.

Mengenai hal ini, perlu penulis tegaskan ulang beberapa poin jawaban atas berbagai tudingan Wiranto terhadap HTI dan khilafah.

*Pertama,* dalam putusan MA yang menolak kasasi HTI hanya menguatkan putusan tingkat banding dan tingkat pertama di PTUN Jakarta. Padahal, amar putusan pada putusan PTUN Jakarta, hanya menolak gugatan HTI.

Artinya, putusan PTUN Jakarta, PTTUN DKI JAKARTA dan putusan kasasi MA hanya mengesahkan dan menguatkan terbitnya KTUN Objek Sengketa berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku.

Dalam Diktum putusan KTUN Objek Sengketa hanya memuat tentang pencabutan status BHP HTI yang pernah dikeluarkan oleh kemenkumham pada tahun 2014. Tidak ada satupun Diktum KTUN objek sengketa, yang menyebut HTI sebagai ormas terlarang, apalagi memutus amar khilafah dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

*Kedua,* dalam aturan norma pasal yang diadopsi melalui Perppu No. 2 tahun 2017 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 16 tahun 2017 tentang pengesahan Perppu No. No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2013 tentang ormas menjadi undang undang, tidak terdapat satupun pasal yang secara tegas menyatakan khilafah adalah paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Perppu ormas hanya memperluas tafsiran 'paham lain' dalam penjelasan, yang memuat penjelasan paham lain itu adalah sosialisme, marxisme, atheisme dan leninisme atau paham yang bertujuan ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945.

*Ketiga,* putusan PTUN Jakarta itu mengadili beshicking yang sifatnya kongkrit, individual dan final. Keputusan ini, hanya mengikat bagi pihak yang dituju keputusan.

Karenanya, Wiranto terlalu berhalusinasi jika melarang ormas Islam lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam khilafah, berdalih telah ada putusan hukum. Putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh MA hanya berisi penolakan gugatan HTI dan hanya mengikat bagi HTI.

Alhasil, keputusan hanya menguatkan status pencabutan BHP HTI ini hanya berlaku bagi HTI. Putusan PTUN bersifat individual, karena hanya memuat kewajiban dan keterikatan bagi individu atau institusi tertentu yang diterapkan beshicking.

Jadi, narasi melarang ormas-ormas Islam untuk mengajarkan ajaran Islam khilafah berdalih telah ada putusan yang bersifat final adalah salah, keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan hakekat putusan tata usaha negara. Selain itu, PTUN adalah pengadilan administrasi, bukan pengadilan pidana. Adalah keliru besar jika substansi khilafah dikriminalisasi hanya berdalih telah ada putusan PTUN yang bersifat inkrah van gevisjde.

Karena itu, penulis lebih melihat substansi statement Wiranto lebih kental nuansa politik, yang bertujuan ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam khilafah. Dengan narasi itu, umat ingin dijauhkan bahkan ditakut-takuti dengan ajaran agamanya.

Lebih jauh, statement politik ini juga bertujuan untuk mengintimidasi, menteror dan mengalienasi aktivis dan para pengemban dakwah dari umat. Padahal, saat ini umat ini butuh bimbingan dan arahan sesuai petunjuk syariat Islam, agar tidak salah dalam memahami realitas politik yang terjadi di negeri ini.


*Umat Akan Tetap Cinta Ajaran Islam Khilafah*

Upaya politik Wiranto yang ingin menjauhkan umat dari ajaran Islam khilafah sudah pasti akan sia-sia. Sebab, khilafah adalah ajaran Nabi, bukan ajaran individu atau ormas tertentu.

Memaksa umat menjauhi khilafah dan memaksakan narasi khilafah sebagai paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, hanya akan menuai kegagalan, sebagaimana kegagalan Wiranto memaksa nalar publik untuk menstigmasasi bendera tauhid sebagai bendera ormas. Khilafah telah ada jauh sebelum bangsa ini didirikan, para ulama mu'tabar telah banyak membahas khilafah dalam kitab-kitab yang mereka keluarkan.

Semakin besar upaya rezim menjauhkan umat dari khilafah, akan semakin lantang umat berdiri dan membela khilafah. Tindakan politisasi hukum untuk menjauhkan umat dari khilafah, justru akan menambah rasa cinta umat pada khilafah dan menimbulkan semangat berkorban untuk mendakwahkannya.

Rasanya, Wiranto diusia yang udzur seyogyanya banyak istighfar dan mengubah sikap dan penentangannya pada ajaran Islam khilafah. Sebab, siapapun tidak akan sanggup melawan janji Allah SWT tentang akan kembali berdirinya khilafah. Semoga, Wiranto masih diberi umur panjang hingga mampu menyaksikan bagaimana khilafah berdiri kembali dan memakmurkan negeri ini. [].