Saturday, August 13, 2011

Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme

Pemda Terancam Bangkrut Karena Kapitalisme

Oleh: M. Ishak
Beberapa Pemerintah Daerah diisukan terancam `bangkrut'. Pasalnya APBD yang menjadi sumber pembiayaan mereka termasuk dana perimbangan dari APBN, sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
Berdasarkan data Departemen Keuangan 2010, daerah yang belanja pegawainya lebih dari 50% dari total belanjanya, sebanyak 290 kabupaten/kota dari 491 kabupaten/kota (59%). Konsekuensinya, porsi belanja modal mereka sangat minim. Padahal selain investasi swasta, belanja modal merupakan sumber utama pembangunan suatu daerah. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur publik seperti jalan, irigasi, sekolah dan rumah sakit umum misalnya, sangat bergantung pada belanja modal pemerintah daerah.

Tidak heran jika dibeberapa kabupaten/kota, pasien miskin yang mendapat Jamkesmas/jamkesda tidak lagi dapat dilayani sebagaimana mestinya seperti di RSUD Garut dan Ciamis, di wilayah Jawa Barat, dan Ponorogo di Jawa Timur. Alasannya tunggakan Pemda terhadap rumah sakit sudah sangat besar sementara biaya operasional RS kian menipis. Demikian pula, akibat keterbatasan anggaran tersebut banyak jalan kabupaten yang kondisinya sudah rusak parah namun tak kunjung diperbaiki.

Penyebab

Salah satu penyebab keterbatasan anggaran tersebut adalah pemberlakukan Otonomi Daerah (otoda) pasca orde reformasi. Dalam konsep Otoda, masing-masing daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola APBD mereka secara otonom. Meski demikian, bukan berarti pemerintah pusat tidak campur tangan. Pemerintah pusat tetap berhak atas dana bagi hasil atas pajak dan non pajak dari setiap daerah. Pendapatan non pajak sendiri mencakup pendapatan dari sumber daya alam (pertambangan, kehutanan, minyak dan gas).

Uniknya dalam PP No. 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, untuk pendapatan pajak daerah, mayoritas diberikan kepada pemda yaitu PBB sebesar 90% dan BPHTB 80%. Demikian pula dengan pertambangan umum, kehutanan dan perikanan, jatah pemerintah daerah sebesar 80% dari total penerimaan dari sektor tersebut. Sementara untuk minyak dan gas mayoritas dikuasai oleh pemerintah pusat. Rinciannya, minyak sebesar 85% dan gas sebanyak 70%.

Entah argumentasi apa yang melandasi peraturan tersebut. Namun yang pasti pembagian seperti ini telah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara daerah. Daerah-daerah yang potensi ekonominya besar termasuk kaya sumber daya alam, seperti daerah-daerah di Kalimantan Timur dan Riau menikmati pendapatan berlimpah. Sebaliknya, daerah-daerah miskin, seperti di NTT dan beberapa daerah di NTB, pendapatan yang mereka terima amat minim walaupun telah ditopang oleh dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi.

Selain besarnya alokasi anggaran untuk pegawai seperti yang disebutkan di atas, distribusi anggaran yang tidak proporsional itu diperparah dengan belanja pemerintah pusat dan daerah pada pos-pos yang tidak produktif lainnya seperti pembayaran utang dan bunganya. Akibatnya dana yang semestinya mengucur ke rakyat justru mengalir ke institusi asing yang menjadi pemilik modal.

Faktor lain yang juga signifikan menguras anggaran daerah adalah penyalahgunaan anggaran melalui korupsi dana APBD. Untuk yang terakhir ini, indikatornya mudah dibaca. Berjubelnya pejabat dan mantan pejabat daerah yang yang meringkuk di balik jeruji besi membuktikan hal itu. Meskipun tidak sedikit dari mereka yang lolos bahkan tidak tersentuh jerat hukum akibat bobroknya sistem peradilan negara ini. Padahal dari hasil pemeriksaan BPK atas keuangan daerah yang dilakukan setiap tahun, bertumpuk-tumpuk data indikasi penyalahgunaan anggaran oleh oknum pemerintah daerah.

Maraknya fenomena `calo anggaran' juga merupakan ekses dari buruknya sistem distribusi anggaran di negara ini. Selain DAU dan DAK, dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan departemen/non departemen pusat kedaerah merupakan sasaran bancakan korupsi. Pasalnya dana yang terakhir ini bersifat eksklusif dimana tidak setiap daerah mendapatkannya. Akibatnya dalam proses penganggaran dan pencairannya, banyak dipenuhi aroma KKN antara pemerintah pusat, pemda dan pihak legislatif.

Dengan demikian, daerah yang kaya bisa mendapatkan jatah lebih banyak sementara daerah yang betul-betul membutuhkan justru tidak kebagian. Kasus dihapusnya sejumlah daerah yang berhak atas Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Badan Anggaran DPR beberapa waktu lalu menjadi bukti kesekian kalinya akan boboroknya distribusi keuangan di negara ini.

Fenomena di atas jelas menunjukkan betapa buruknya sistem keuangan negara di negeri ini. Persoalan tersebut bukan semata disebabkan oleh prinsip dan implementasi otoda sehingga pemerintah harus kembali menganut sistem sentralistik sebagaimana pada pasa masa Orde Baru. Masalahnya bukan disitu. Sistem keuangan pemerintah di masa orde baru juga terbukti menimbulkan ketimpangan distribusi antara pusat dan daerah. Sementara saat ini ketimpangan tersebut beralih menjadi ketimpangan antar daerah yang kaya dan miskin. Akibatnya hak-hak pelayanan pemerintah terhadap penduduk di daerah tersebut terbengkalai. Dengan demikian masalah utamanya adalah kacaunya sistem kapitalisme yang menjadi fondasi sistem keuangan pemerintah negara ini.

Perspektif Islam

Hal di atas tentu berbeda dengan sistem keuangan pemerintah dalam Islam. Di dalam sistem tersebut, yang menjadi dasar adalah aqidah Islam. Dengan demikian, seluruh aturan-aturan mengenai keuangan negara bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, Ijma' Sahabat dan Qiyas.

Secara spesifik, beberapa prinsip sistem keuangan negara dalam sistem pemerintah Islam antara lain:

1. Pengeluaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dibagi menjadi pengeluaran yang bersifat persisten (terus menerus) yang tidak terikat oleh kondisi keuangan baitul mal dan pengeluaran yang menyesuaikan dengan kondisi keuangan baitul mal. Pada kategori pertama, jika terjadi kekurangan anggaran dari Baitul Mal, maka khalifah diperkenankan untuk menarik pajak dari rakyat yang kaya hingga dana untuk menutupi pengeluaran tersebut terpenuhi. Pos-pos tersebut yaitu: pelaksanaan jihad dan persiapannya, belanja industri militer, belanja untuk orang fakir miskin dan ibnu sabil; gaji tentara, hakim, guru, pegawai negara lainnya serta insentif orang-orang yang melakukan pelayanan kepada kaum muslim; pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat yang menimbulkan dhahar jika tidak ditunaikan seperti sekolah, rumah sakit, jalan umum; serta belanja untuk bencana seperti bencana alam, kelaparan, serangan tiba-tiba dari musuh dan sebagainya. Pada pengeluaran kedua, disesuaikan dengan anggaran seperti pembangunan jalan alternatif yang keberadaannya tidak mendesak;

2. Seluruh pendapatan yang diperoleh dari pos-pos pemasukan baik yang diperoleh oleh pusat ataupun yang berasal dari daerah dihimpun dalam Baitul Mal. Dana-dana tersebut disimpan berdasarkan jenis sumbernya. Selanjutnya dana-dana tersebut didistribusikan berdasarkan peruntukannya masing-masing. Hal ini karena masing-masing sumber tersebut telah diatur penggunaannya oleh syara' sehingga tidak boleh dicampur dengan yang lain. Dana zakat misalnya, hanya boleh didistribusikan pada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran. Sementara pendapatan dari harta milik umum dapat dibelanjakan sesuai dengan ijtihad khalifah;

3. Adapun distribusi keuangan ke tiap-tiap daerah-daerah disesuaikan dengan kebutuhan mereka dan bukan berdasarkan pendapatan mereka. Dengan demikian, bisa jadi suatu daerah yang pendapatannya kecil akan mendapatkan jatah yang lebih banyak dari daerah yang kaya karena kebutuhannya yang lebih besar. Distribusi tersebut juga tidak lagi memperhatikan apakah suatu daerah itu dihuni mayoritas muslim atau ahlu dzimmah, daerah yang baru yang ditaklukkan atau daerah lama, dan sebagainya;

4. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran, dibentuk biro perencanaan anggaran (diwan muwazanah al-ammah) yang menyusun anggaran berdasarkan pandangan khalifah, biro audit (diwan muhasabah al-ammah) yang mencatat dan menilai kondisi keuangan negara dari sisi anggaran dan realisasinya. Adapula biro pengawasan (diwan muraqabah) yang melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap data keuangan negara, seluruh departemen dan biro negara beserta pegawainya yang berkaitan dengan urusan administrasi;

5. Lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya adalah sistem keuangan daulah khilafah merupakan satu kesatuan dan berhubungan erat dengan sistem lainnya. Penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran negara misalnya secara efektif dapat diberantas melalui penerapan sistem sanksi (`uqubat) yang kredibel. Dengan demikian, autaran-aturan tersebut disamping aturan lainnya mampu menghasilkan pengelolaan keuangan negara yang tidak hanya syar'I namun juga berkeadilan, transparan dan akuntabel.

sumber : situs resmi hti

Bukan Teroris Kalau Kamu Kulit Putih

Bukan Teroris Kalau Kamu Kulit Putih

Diposting pada Ahad, 24-07-2011 | 23:26:49 WIB
Duarrr, ada bom meletus lagi. Belum hilang berita bom itu, datang lagi kabar penembakan massal, masih di satu lokasi (negara_red). Norwegia, tiba-tiba nama negara itu jadi headline media massa di hampir seluruh dunia moderen (yang sudah terdapat listrik dan internet).

Pendapat pertama yang muncul adalah: ini pasti ulah teroris, MUSLIM. Saya sendiri, pertama mendengar berita ledakan itu tidak begitu "nafsu" mengulik beritanya. Hanya setelah berita kedua, yakni penembakan yang menewaskan 80 orang, saya jadi tertarik mencari tahu lebih jauh. Itu juga gara-gara Time Line Twitter saya dijejali kabar seperti itu.

Sebagai pegiat media yang kontinyu mengikuti perkembangan berita soal "teroris", serta perkembangan Islam di Eropa. Pertama saya agak heran, karena setahu saya penetrasi gerakan Al Qaidah di Norwegia tidak begitu kentara, juga perkembangan Islamnya biasa-biasa saja, tidak seperti di beberapa negara Eropa lainnya yang sudah secara terbuka, ada yang mendeklarasikan untuk menegakkan Syariah Islam.

Begitu pun dengan beberapa pendapat pengamat "terorisme" internasional lainnya. Mereka tidak yakin gerakan jihad global di balik serangan di Norwegia, seperti yang saya baca di situs jaringan Associated Press.

Tapi, seperti biasanya, di forum-forum jihad internasional sudah ada beberapa anggota yang memuji-muji serangan tersebut, beberapa bahkan mengklaim itu dilakukan sebuah gerakan jihad.

Di Indonesia, serentak media-media melansir berita aksi "terorisme" ini. Dan wacana yang disajikan pun masih seperti yang lalu-lalu, bahwa tudingan pertama diarahkan kepada gerakan jihad.

Namun, pelaku serangan itu langsung tertangkap hari itu juga, dalam investigasinya di depan penyidik, pelaku bernama Anders Behring Breivik ini mengaku sebagai seorang "KRISTEN FUNDAMENTALIS". Penonton pun kecewa, mereka sudah terlanjur berharap aksi "genosida kecil" ini dilakukan orang Islam.

Saya kemudian memantau komentar-komentar di beberapa media online. Lho koq sepi? Padahal biasanya Islam dimaki-maki jika ada berita terorisme. Karena pelaku di Norwegia ini seorang Kristen Militan, koq komentar beritanya sepi, apa mungkin di sensor oleh administrator websitenya??? Hanya Allah dan pimpinan redaksi medianya yang tahu.

Bahkan, nyata-nyata berita di detik ini di tutup fasilitas komentarnya http://www.detiknews.com/read/2011/07/23/154516/1687839/1148/teror-di-norwegia-tersangka-seorang-kristen-fundamentalis?991101mainnews . Huh, ga fair!

Di dunia Twitter juga seperti itu, biasanya gerombolan JIL (Jaringan Iblis Laknat) itu akan memaki habis agama Islam dan Jihad apabila ada berita terorisme. Tapi kali ini sepi ocehan mereka, paling pol hanya komentar "Semua Agama Tidak Mengajarkan Kekerasan".

Beberapa waktu lalu, saya menulis opini ringan yang dimuat di website ini (muslimdaily.net_red), soal Teroris dan OPM. sekarang terbukti sudah, jika seseorang melakukan pembunuhan massal, baik dengan bom atau penembakan dan dia seorang Muslim, maka gelar terhormat yang ia sandang adalah TERORIS. Tapi kalau pelaku pembunuhan massal adalah seorang Kristen atau kafir atau agama selain Islam, maka gelarnya hanya MADMAN alias orang gila.

GILA!
http://www.muslimdaily.net/opini/7927/bukan-teroris-kalau-kamu-kulit-putih

Seruan Tegaknya Khilafah dan Jihad Menggema Di Seminar Pembebasan Palestina

Seruan Tegaknya Khilafah dan Jihad Menggema Di Seminar Pembebasan Palestina

Hari sabtu kemarin, 23/7, Al Aqsha Working Group mengadakan perhelatan besar tentang Palestina bertajuk ” Acara yang diselenggarakan di gedung LIPI Jakarta ini menghadirkan beberapa pembicara dari Mancanegara, diantaranya Prof. Mahmoud Shiyam (Mantan Imam Besar Masjid Al Aqsa). DR. Hani Ar Rafiq Al Awad (Dosen Univ Islam Gaza).

Prof. Ali B. Panda (The State University of Mindanao, Philipinnes). DR. Ahmed Ali Bangga (Dosen IIUM Malaysia), dan Syekh Musthafa Al Qonoo (Penasehat Hamas dan PM. Palestina.) Sedangkan salah seorang perwakilan dari Indonesia diwakili KH. Yakhsyallah Mansur M.A (Ma’had Al Fatah).

Dalam kesempatan pertamanya, Prof. Mahmoud Shiyam, menyatakan bahwa apa yang dilakukan Yahudi terhadap bangsa Palestina saat ini, merupakan bentuk imperialisme Yahudi. Ia menekankan kepada umat muslim untuk segera bersatu dan bertawakal kepada Allah untuk bahu-membahu membebaskan tanah Palestina. “Karena Insya Allah permasalahan Palestina tidak akan selesai tanpa izin Allah.” ujarnya.

Sedangkan dalam kesempatan yang sama, DR. Hani Ar Rafiq Al Awad, meminta agar umat muslim menjadikan pembebasan Al Aqsha sebagai prioritas utama. Ia menyitir sebuah hadis yang mengatakan bahwa satu dari tiga mesjid Istimewa dalam Islam adalah mesjid Al Aqsa.

Ia merangsang kepekaan umat Islam untuk mau berkaca kepada sejarah bahwa Al Aqsa terus memanggil-manggil kita untuk dibebaskan, “Seperti ia pernah memanggil Shalahuddin Al Ayyubi,” ungkapnya.

Meski Palestina terus dibombardir Zionis Israel dan umat muslim senantiasa hidup dalam kondisi memprihatinkan, ia membangkitkan rasa optimisme akan datangnya pertolongan Allah untuk mengembalikkan Al Quds kepada kaum muslimin.

“Wahai saudaraku, berbahagia dan optimislah dengan pertolongan Allah yang akan memberikan Al Quds kepada kaum muslimin sesuai dengan janjiNya.” katanya, diikuti pekikan takbir oleh seluruh peserta.

Oleh karena itu, menurutnya, langkah pertama untuk membebaskan Al Aqsa adalah dengan jalan mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai wadah persatuan umat muslim.

“Dan Khilafah tidak akan terjadi tanpa kita kembali kepada Al Qur’an dan membiarkan terjadinya perpecahan.”

Hal inipun diamini oleh DR. Ahmad Ali Bangga. Dengan membawakan tema,” dosen asal Sudan itu menekankan betapa kebtuhan khilafah sudah sangat mendesak. Tegaknya Khilafah menjadi kewajiban bagi Umat muslim, selain pembebasan Al Quds.

Namun sayang, dalam pandangannya, kondisi umat muslim saat ini banyak terpecah-pecah. Ia menuding ashobiyyah antara kelompok Islam menjadi pemicu dibalik ini semua.

“Padahal dalam berbagai ayat, Allah menyerukan kita untuk bersatu.” Tandasnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi kelompok kafir yang justru bersatu dalam melawan kaum muslimin,

“Kenyataannya kaum kafir bersatu, sedangkan umat muslim berpecah belah karena masing-masing bangga kepada kelompoknya sendiri-sendiri,” simpulnya kecewa.

Dan sejarah Islam mencatat perpecahan umat Islam, terjadi tidak lepas dari tangan-tangan Yahudi dalam rangka memperlemah umat Islam. Karenanya, Master dari Universitas Islam Omdurman, Sudan, ini memberikan tiga jalan solusi agar umat muslim bersatu.

“Pertama Iman kepada Allah, kedua berhijrah, dan ketiga Jihad.” Pungkasnya. (eramuslim.com, 25/7/2011)

Ghibah: Seni Memakan Bangkai

Ghibah: Seni Memakan Bangkai


Ketika semua orang sibuk dengan pekerjaan, perbaikan diri dan hari- hari mereka, ada sekumpulan manusia yang justru menyibukkan diri dengan sebuah kegiatan yang membuang waktu sia- sia. Tak jarang, hal itu justru menjadi gaya hidup yang menunjang kemewahan hari- hari mereka. Kegiatan itu adalah tentang hidup orang lain dengan segala pernak- pernik aibnya yang dengan leluasa dibicarakan dengan sama sekali tanpa rasa bersalah. Hal itu adalah untuk sekedar hiburan.

Ya, hanya sekedar hiburan tanpa hajat yang penting dan untuk membunuh waktu atau untuk melegakan jalan mereka ketika mereka harus masuk dalam suatu komunitas. Bahkan, kegiatan bergaya hidup modern tersebut, terkadang membawa mereka melewati batas norma dan logika kebenaran yang disanjung- sanjungnya sediri. Konsekuensi dosa tidak lagi masalah, dan bahkan sangat remeh walau hanya sekedar mampir dipikirannya.



Mungkin banyak dari mereka yang merasa masalah hidup dan dirinya sudah sangat selesai dan rapi sehingga dia merasa perlu membicarakan aib orang lain dan menjadi hakim atas takdir orang lain, celakanya tindakan itu sangat pula membahagiakannya. Hee.. kasihan sekali. Mereka bahkan tidak sadar bahwa masalah sebenarnya dalam hidupnya sendiri sedang melingkupinya yaitu kesepian dan butuh hiburan. Maka tolonglah para manusia ini. Manusia yang tidak menyadari kerugiannya, bahwa pahala mereka mungkin juga telah berpindah untuk saudaranya yang habis- habisan digunjingnya, dan kepastian dosa telah menjadi hak patennya jika saudara tersebut tidak memaafkan atas pergunjingan yang telah dilakukan.



Maka tolonglah para manusia ini, mungkin sejenak batin mereka lupa untuk berpikir tentang, siapa yang bisa menjamin, jika orang yang dibicarakan adalah ternyata lebih mulia disisi Allah dibandingkan diri mereka sendiri.



Masya Allah, benar-benar hati yang bebas dari penyakit hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang sholeh. Hati dan pikirannya senantiasa tidak membiarkan salah satu anggotanya, yaitu lidah dan mulut untuk justru menjadi sarang dan sumber dari sebuah kerugian fatal atas kepemilikan kemuliaan hidup.

Maka tolonglah para manusia penggunjing itu, katakan kepada mereka jika ada orang lain yang lebih tua dari kita adalah lebih baik mendidik hati dengan menyampaikan bahwa "Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dari kita, maka dia lebih baik dari kita." Dan jika ada orang lainnya yang lebih muda dari kita, "Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku."

Maka tolonglah para manusia penggunjing itu, karena merelakan diri mereka untuk mengkonsumsi bangkai yang jelas- jelas menjijikkan bagi manusia normal. Belum lagi konsekwensi kehinaan yang akan disandangnya akibat terus dilakukannya hobi yang sama sekali tidak mendidik itu.

Allah Subhanahu Wata`ala berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 12, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

Dan masih... jika sebagian dari mereka tetap berkilah, bahwa mereka tidak membicarakan kesalahan melainkan hanya kebenaran yang pasti nyata telah menjadi aib orang lain.



Sejenak ingatkan kembali, tentang sabda Rasul mulia:


Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai." Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti)." ( HR. Muslim)



Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama dua keharaman. Ketika sudah tersampaikan aturan dari sang Maha memiliki kebenaran tersebut, apakah masih pilihan mereka tertuju kepada nafsu untuk sebuah pembelaan dan tetap menganggap diri sebagai benar adanya?



Orang- orang yang menghindarkan diri dari melongok kekurangan orang lain, adalah orang yang insyaAllah mudah betindak tulus atas apapun yang dia lakukan. Betapa tidak, godaan untuk sebuah keasyikan menggunjing adalah sangat berat dan itupun berhasil dilampauinya. Dengan kata lain, dia memperlakukan orang lain seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Dalam hatinya, dia merasa bahwa akan sama keberatan dan sakit hati jika dia sendiri berdiri pada posisi orang yang tersakiti dengan pergunjingan,maka dari itu dia menghindarkan lidahnya dari menyakiti sesamanya.



Orang- orang bijak berkata bahwa menggunjing adalah ladang orang- orang yang terhina dan berpenyakit hatinya. Tidak ada salahnya jika hal itu berkali- kali kita katakan kepada diri dan saudara kita, mengingat jatah waktu dan kesempatan bernafas pasti akan ada titik akhirnya. Dan kesemuanya itu semoga tidak akan sia- sia, karena hidup tidak ada kesempatan kedua. hanya satu kali, dan sekali saja, maka jangan sampai salah melangkah dan salah menentukan proses penghabisan usia. Sudah cukup payah kita disibukkan dengan kekurangan diri dan aib sendiri, maka tak ada guna menghibur hati dengan sebuah kealpaan orang lain. mungkin ada baiknya jika hal itu dimulai sekarang juga, karena siapa yang bakal tahu akhir hidup itu akan diberlakukan kapan. Pastinya sebagai manusia berakal, kita tidak mau menghadapa sang maha kuasa, Allah azza wa jalla dengan penuh rasa malu karena dosa.

(Syahidah/Voa-islam.com)


http://www.voa-islam.com/muslimah/article/2011/07/21/15621/ghibah-seni-memakan-bangkai/

[mediaumat] Empat Nasib Manusia

Dilihat dari segi nasib, bahagia atau sengsara saat di dunia dan di akhirat, manusia akan mengalami salah satu dari empat nasib; bahagia di dunia-bahagia di akhirat, sengsara di dunia-bahagia di akhirat, bahagia di dunia-sengsara di akhirat dan sengsara di dunia-sengsara pula di akhirat.

Sebelum keempat nasib ini dirinci, perlu dicatat bahwa“bahagia di dunia” yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hakiki berupa kebahagiaan dan ketenangan ruhani karena berada di bawah naungan ridha ilahi. Tapi yang dimaksud adalah kebahagiaan yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai kebahagiaan; harta melimpah, hidup nan serba mudah dan musibah yang seakan-akan enggan untuk singgah.

Nah sekarang mari kita rinci satu persatu.


Bahagia di dunia-bahagia di akhirat


Nasib yang paling diidamkan semua orang. Semboyan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya mati masuk surga” menjadi puncak khayalan yang diinginkan manusia. Tapi benarkah ada orang yang di dunia kaya dan saat di akhirat beruntung mendapat Jannah-Nya? Tentu saja ada. Itulah orang yang mendapat fadhlullah, anugerah istimewa dari Allah.


Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa suatu ketika para shahabat yang ekonominya lemah mengadu pada Nabi tentang rasa iri mereka terhadap shahabat lain yang kaya. Yang kaya bisa infak banyak tapi juga melakukan ibadah yang sama dengan yang mereka lakukan saban hari. Lalu Nabi mengajarkan dzikir-dzikir yang dapat mengimbangi pahala infak. Tapi ternyata shahabat yang kaya juga mendengar dzikir ini lalu mengamalkannya. Saat dikomplain, Nabi SAW menjawab, “ Itulah anugerah Allah yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.”

Itulah anugerah Allah. Allah membagi rezeki sesuai kehendak-Nya. Ada yang sedikit ada yang banyak. Sebagian orang ada yang dikarunia rezeki melimpah, hidupnya pun serba mudah. Namun begitu, ternyata semua itu tidak memalingkannya dari cahaya hidayah. Harta yang dikaruniakan gunakan untuk membangun rel yang memuluskan jalan mereka menuju jannah. Rel-rel yang dibangun adalah besi-besi berkualitas dari infak fi sabilillah, sedekah kepada fakir miskin dan yatim dan berbagai proyek amal jariyah. Lebih daripada itu, harta itu juga digunakan untuk membeli berbagai fasilitas yang dapat membantu meraup ilmu mulai dari buku hingga biaya untuk belajar kepada para guru. Kesehatan dan kemudahan hidup digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Dengan semua ini, insyaallah, kebahagiaan yang lebih abadi di akhirat telah menanti. Kalau sudah begini, manusia semacam ini memang sulit ditandingi. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.


Sengsara di dunia-bahagia di akhirat


Ini nasib kebanyakan orang-orang beriman. Kehidupan di dunia bagi mereka seringnya menjadi camp pelatihan untuk menempa iman. Kesulitan hidup berupa sempitnya kran rezeki memicu munculnya ujian-ujian kehidupan seperti tak terpenuhinya kebutuhan logistik, pendidikan, sandang dan papan. Atau kesulitan hidup berupa kekurangan dalam hal fisik; buta, bisu, buntung, lumpuh dan sebagainya.Dera dan cobaan yang kerapkali menguras airmata dan menggoreskan kesedihan dalam jiwa.


Namun begitu, iman mereka menuntun agar bersabar menghadapi semua dan tetap berada di jalan-Nya. Dan pada akhirnya, selain iman yang meningkat, semua kesengsaraan itu akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat. Rasa sakit, sedih dan ketidaknyamanan hati seorang mukmin akan menjadi penebus dosa dan atau meningkatkan derajat. Sedang di akhirat, hilangnya dosa berarti hilangnya halangan menuju kebahagiaandi dalam jannah dengan keindahannya yang memikat. Dan tingginya derajat keimanan adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat.


Allah berfirman:


“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah:155-157)


Bahagia di dunia-sengsara di akhirat


Kalau yang ini adalah gambaran rata-rata kehidupan orang-orang kafir dan manusia durhaka. Sebagian mereka bergelimang harta, hidup mewah dan dihujani kenikmatan-kenikmatan melimpah. Bukan lain karena mereka bebas mencari harta, tanpa peduli mana halal mana haram.Sebagian yang lain barangkali tidak mendapatkan yang semisal. Tapi mereka mendapatkan kebebasan dalam hidup karena merasa tidak terikat dengan aturan apapun. Aturan yang mereka patuhi hanya satu “boleh asal mau atau tidak malu”.


Merekalah yang menjadikan dunia sebagai surga dan berharap atau bahkan yakin bahwa yang Mahakuasa akan memaklumi kedurhakaan dan kelalaian mereka dari perintah-Nya, lalu memasukkan mereka ke jannah-Nya. Padahal sejak di dunia mereka telah diperingatkan:


“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. 31:24)


Sengsara di dunia sengsara di akhirat.


Inilah orang paling celaka dalam sejarah kehidupan manusia, dunia akhirat. Di dunia hidup miskin, susah payah mencari sesuap nasi dan hutang menumpuk karena usaha selalu tekor hingga hidup pun tak nyaman karena diburu-buru debt kolektor.Atau hidup dalam keterbatasan karena cacat di badan dan masih ditambah ekonomi yang pas-pasan. Dan dengan semua itu, mereka tidak memiliki harapan untuk hidup bahagia di akhirat meski hanya seujung jari, karena iman sama sekali tidak tumbuh dalam hati. Di penghujung hidup mereka mati dalam kondisi kafir, menolak beriman kepada Rabbul Izzati.


Dan di akhirat, neraka yang menyala-nyala telah menanti. Karena ketiadaan iman, mereka tidak akan mendapatkan belas kasihan. Hukuman akan tetap dijalankan karena di dunia mereka telah diperingatkan. Na’udzu billah, semoga kita terhindar dari keburukan ini.


Padahal yang didunia sempat merasakan kesenangan saja, apabila dicelupkan ke dalam neraka, akan musnah semua rasa yang pernah dicecapnya. Lantas bagaimana dengan yang sengsara di dunia dan berakhir dengan siksa di neraka?


عَامِلَةٌنَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَىنَارًاحَامِيَةً

“Bekerja keras lagi kepayahan, -sedang di akhirat- memasuki api yang sangat panas (QS. Al Ghasiyah:3-4)


Kita masih bisa memilih

Dari keempat kondisi di atas, sebisanya kita tempatkan diri kita pada yang pertama. Caranya dengan sungguh-sungguh bekerja agar kehidupan dunia sukses dan mulia. Bersamaan dengan itu, kesuksesan itu kita gunakan untuk membeli kebahagiaan yang jauh lebih kekal di akhirat. Jika tidak bisa, pilihan kita hanya tinggal kondisi kedua karena yang ketiga hakikatnya sama-sama celaka dengan yang dibawahnya. Meskipun hidup di dunia kita harus berkawan dengan sengsara, tapi dengan iman di dada kita masih layak tersenyum karena harapan itu masih ada. Harapan agar dimasukkan ke dalam jannah yang serba mewah, atas ijin dan ridha dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.Wallahua’lam bishawab, wa astaghfirullaha ‘ala kulli khati`ah. (taufikanwar)


http://www.arrisalah.net/kajian/2011/07/empat-nasib-manusia.html

NU: Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah

NU: Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah



[Nahdlatul Oelama dulu, melawan penjajah dan ambil bagian dalam perjuangan syariah dan khilafah ]
Syabab.Com - Ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah NU perlawanan terhadap penjajahan, perjuangan syariah dan khilafah. Nahdlatoel Oelama lahir pada 31 Januari 1926 M./16 Rajab 1344 H. di Surabaya yang dipimpin oleh Rais Akbar Choedratoes Sjech KH. Hasjim Asj’ari. Nama Nahdlatoel Oelama merupakan kelanjutan dari nama gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdlatoel Wathan pada 1335 H./1916 M. di Surabaya.


Kehadiran Nahdlatoel Oelama pada periode Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia mempunyai kesamaan dengan organisasi Islam yang sezaman. NU berjuang ingin menegakkan kembali kedaulatan umat Islam sebagai mayoritas. NU ingin pula menegakkan syari’ah Islam. Kebangkitan Nahdlatoel Oelama merupakan jawaban terhadap Politik Kristenisasi penjajah pemerintah kolonial Belanda yang berusaha menegakkan Hukum Barat.




Tantangan imperialis Barat, dengan Politik Kristenisasi dan upaya memberlakukan Hukum Barat, menjadikan seluruh organisasi Islam, Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Persatoean Oemat Islam, Matla’oel Anwar, Persatoean Islam, Nahdlatoel Oelama, Perti, Al-Waslijah, serta Djamiat Choir dan Al-Irsjad, berjuang menuntut Indonesia Merdeka dan menegakkan Syariah Islam. (Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah)




Perjuangan NU juga tidak bisa dilepaskan dari cita-cita besar menjadikan Islam sebagai agama negara, menjadi dasar negara, menuju sebuah negara Islam. KH Wahid Hasyim memang memanfaatkan rancangan Pembukaan yang diusulkan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu negara Islam. “Kalau presiden adalah seorang Muslim, maka peraturan- peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan besar pengaruhnya. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagai pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.”, tegas KH. A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh NU terkemuka (BJ. Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia” (1985)




Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo

Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi .




Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa’ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan . Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama. (Bandera Islam, 16 Oktober 1924 ; Noer, Deliar (3 Maret 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES) [salman.iskandar/mu/syabab.com]



Baca juga:

* HTI dan Kyai Muda NU di Kajen Pati Diskusi Tentang Khilafah
* Adakah Inhiraf Manhaji Pada Fikrah Nahdliyyah?

Dalam kediktatoran tak da kebebasan politik, dalam demokrasi tak ada kebebasan ekonomi.

Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi -
Dalam kediktatoran tak da kebebasan politik, dalam demokrasi tak ada kebebasan
ekonomi.

DEFINISI KEDIKTATORAN

Dalam kediktatoran tidak ada kebebasan politik.

Perbedaan pendapat dihukum dengan pemberangusan masyarakat - dikurung, disiksa,
dipenjara bahkan dihukum mati.

Ada kebebasan ekonomi dasar karena negara adalah penguasa tunggal atas kekayaan.

DEFINISI DEMOKRASI

Dalam demokrasi tidak ada kebebasan ekonomi. Anda adalah seorang warga negara
dalam satu set negara demokratis yang seragam. Menjadi warga negara berarti Anda
adalah seorang debitur (penghutang). Anda bertanggung jawab terhadap utang
nasional, jadi anak asal Mauritania yang lahir di padang pasir saat memasuki
fase kehidupannya langsung menanggung pembagian dari utang nasional, hingga
lahir ke dunia dengan berhutang sejumlah ribuan euro yang tak terbayarkan. Anda
bebas untuk mengubah perwakilan politik Anda, tetapi, tidak berdaya kecuali
mewajibkan pajak Negara atas Anda, dia tidak berdaya. Dia harus mencegah Anda
dari bangkit - Anda diperbolehkan protes tapi tidak dengan kekerasan - maka Anda
harus dibungkam. Itu adalah status quo. Ketika bank gagal, kehilangan jutaan,
Anda harus membantu mereka keluar dari krisis. Dalam melakukan ini Anda, rakyat,
dianggap, (berkat demokrasi) pasif dan patuh.

DEFINISI BANKIR

Para bankir, yang disebut oleh Proudhon (Pent. Pierre-Joseph Proudhon, politisi
dan ekonom asal Prancis 1809-1865) sebagai sebuah Sekte, adalah persaudaraan
mistis atheis. Mereka mengoperasikan sistem riba pinjaman dengan bunga, tidak
menggunakan komoditi yang substantif, yaitu kekayaan riil, tetapi dengan uang
kertas, sebuah 'kuitansi' terhadap suatu kekayaan riil. Kekuasaan mereka tumbuh,
dan berkembang sejak Revolusi Perancis dan "pemandulan" monarki Inggris pada
saat itu oleh para bankir menyingkirkan bangsawan yang sah dan menggantinya
dengan bangsawan Jerman yang patuh.

Perang Dunia II dan sesudahnya, datang dengan transformasi komputer berbasis
informasi global, melmbawa lompatan evolusi penting dalam perilaku dan
kekuasaan. Sistem keuangan yang berlaku meninggalkan mata uang (dokumen kertas
janji pembayaran hutang) dan hanya berfungsi dalam sejumlah 'mata uang' dan
transfer dari titik global A ke titik global B. Bahkan tidak lagi berupa jumlah
numerik , melainkan hanya impuls elektronik yang berkedip antara dua komputer.
Dengan kata lain, para bankir memerintah dengan menggunakan sihir. Mereka
menguasai politikus - yang akhirnya menyadari bahwa terpilihnya mereka bukan
disebabkan oleh rakyat pemilih tetapi karena publikasi di media (yang dimiliki
oleh para bankir) dan keikutsertaan mereka dalam program fidusia mereka.

Saat ini para bankir telah menemukan bahwa politikus lebih mudah diperbudak dari
yang mereka bayangkan sebelumnya. Terkuak, saat politisi mengungkapkan kepatuhan
mereka dengan menyelamatkan (sistem bail out) runtuhnya sistem keuangan yang
dialami para bankir. Sekarang, kata mereka, lihatlah kekacauan ini. Kita harus
menyelamatkan pasar ini. Padahal yang benar adalah Anda, para politikus,
berhutang kepada kita sejumlah besar dalam bentuk hutang nasional. Saatnya untuk
membayar. Ubah istilah itu - defisit ? jumlah yang terutang itu - yang jelas
kini Anda harus membayarnya.

Dalam satu langkah para bankir (sebuah sistem tapi dijalankan oleh semacam
kependetaan sistemik) membawa kepada langkah besar mendekati akhir dari logika
dan kalkulasi agama mereka - satu bank, tidak ada mata uang, dan semua umat
manusia sebagai debitur.

Langkah untuk mengumpulkan deficit, mengikuti krisis keuangan para bankir '-
lebih dari dua puluh triliun dolar - orang dibuat terlalu trauma - sekarang
mereka harus, harus membayar tagihan hutang mereka.

Tidak ada seorang pun di suatu negara yang bertanya - kemana uang itu pergi?
Apakah menghilang begitu saja? Apakah itu berarti memang tidak pernah ada sejak
awalnya?

Apa yang disebut 'krisis defisit' terus semakin merendahkan dan memperbudak
rakyat.

Mitos 'pemulihan kriris' hadir sebelum pemotongan hampir menyeluruh pelayanan
sosial yang menjadi fondasi masyarakat sipil. Untuk memberikan para bangkir
vitalitas baru, mereka membutuhkan nasabah baru. Mereka membutuhkan beberapa
juta klien baru untuk memungkinkan mereka bergerak terus mendominasi dunia dan
untuk menjaga elit mereka, terus makin kaya dan dihargai. Misalnya pada saat
krisis defisit Inggris, Barclays Bank memberikan bonus kepada bos mereka sebesar
? 9.000.000, menyusul protes publik, bos (dengan nama abadi Bapak Diamond!)
dengan rendah hati mengatakan bahwa mengingat masalah yang sedang dialami orang
lain, maka ia hanya akan mengambil enam juta saja!

Ya Walad!

Dan ini, adalah di mana Anda hadir. Para bankir bertanya: "Sekarang bagaimana
kita bisa mendapatkan puluhan juta nasabah bank baru? Baru, muda, menginginkan
'demokrasi', yaitu debtorship tanpa diktator, dan dengannya kita dapat mengimpor
obat, rock and roll, kebebasan seksual dan bahkan fashion. Tentu saja ? di
sepanjang pesisir Laut Tengah, di sana hiduplah kaum pengangguran, tertindas dan
terbebas dari ajaran Islam, yang mungkin akan mengungkap sifat jahat rencana
fidusiari kami!"

Anak-anak muda, Anda menginginkan demokrasi ? TEKAN TOMBOL ENTER.

Diterjemahkan dari :
http://www.shaykhabdalqadir.com/content/articles/Art113_16032011.html

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris


Oleh: Hafidz Abdurrahman


Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah juga tidak pernah menyebut Negara Islam.


Pernyataan seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. . Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.


Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini merupakan masalah ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).


Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.


Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.s. an-Nur [24]: 54)


Tetapi, faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur [24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49), memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah [05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya dijalankan oleh kepala negara.


Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh, tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim, Nuh -‘alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk tabligh. Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak.” (HR Bukhari)
Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba’di, wa sayakunu khulafa’ fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak) membuktikan, bahwa posisi Baginda SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan. Tetapi, posisi Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan, sehingga jumlahnya banyak.


Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji, untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk menerjemahkan kata State, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Namun, karena istilah Daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.
Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.


Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam. Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka sebagai intelektual atau ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a’lam.

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/25/negara-islam-fakta-normatif-dan-empiris/

Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Diambil dari buletin Al islam

[Al islam 568] Sepekan terakhir ini jagad politik di negeri ini kembali heboh. Sebagai buntut dari pengakuan Nazaruddin yang menuding salah seorang pimpinan KPK tersangkut suap/korupsi, Ketua DPR dari Partai Demokrat Marzuki Alie melontarkan pernyataan panas: Bubarkan saja KPK! Pasalnya, menurut dia, selama ini KPK diharapkan memberikan hasil yang signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sampai saat ini KPK dinilai tidak bisa memenuhi harapan tersebut. “KPK adalah lembaga ad hoc. Kalau lembaga ad hoc ini sudah tidak dipercaya, apa gunanya kami dirikan lembaga ini? Nyatanya, tidak membawa perubahan juga, jadi lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi,” kata Marzuki Alie di Gedung DPR, Jakarta (Kompas.com, 29/7/2011).

Pro-kontra atas pernyataan Marzuki Alie pun bermunculan. Sebagian menilai wajar, bahkan mendukung. Sebagian lagi geram dan mengecam. Yang mendukung antara lain Ketua Umum sekaligus pendiri Partai Demokrat, Subur Budhisantoso. “Saya setuju KPK dibubarkan kalau memang orang-orangnya semuanya tidak bebas dari masalah,” kata Subur di Jakarta, Sabtu (lihat, Detiknews.com, 30/7/2011).

Adapun yang mengecam antara lain mantan Wapres Jusuf Kalla (JK). “Kalau berpikir Marzuki Alie seperti itu, maka DPR harus dibubarkan karena banyak anggota DPR yang salah juga,” ujar JK di sela-sela diskusi di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat (Okezone.com, 30/7/2011). Sementara itu, pengacara senior Adnan Buyung Nasution berkomentar, “Kalau dia mau bubarkan KPK, bubarkan saja Partai Demokrat (PD), bubarkan DPR!” kata Adnan di Museum Nasional (Republika.co.id, 30/7/2011).
Indonesia Terkorup
Di negeri ini, korupsi dalam berbagai bentuknya merajalela di semua lini. Hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak tercemar korupsi. Kenyataannya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagai lembaga di negeri ini, bahkan sejak negeri ini baru lahir. Salah satunya adalah kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 6 miliar pada 1960. Kapten Iskandar, yang pernah menjabat sebagai Manager PN Triangle Coporation, didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatan serta melakukan pelanggaran terhadap perintah Penguasa Perang Daerah Djawa Barat. Kapten Iskandar dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan Tentara Daerah Militer VI Siliwangi. Ia menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga di atas harga yang telah ditetapkan serta menggelapkan tekstil dan benang tenun (Kompas, 25/9/1965).
Itu hanya sekelumit kasus yang terjadi pada masa Orde Lama. Pada masa Orde Baru, korupsi melibatkan banyak keluarga dan kroni Presiden Soeharto saat itu. Adapun pada masa Orde Reformasi, korupsi malah makin merata. Dalam catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 hingga 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga negara-seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, partai politik-hingga para anggota parlemen. Wajar jika Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvey terhadap indeks persepsi korupsi (Antaranews, 26/10/2010).

Sulit Diberantas

Korupsi memang dipercaya telah ada sejak negara ini merdeka. Upaya untuk memberantas korupsi pun telah dilakukan dalam masa pemerintahan lima presiden. Berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi. Selain KPK sebenarnya ada badan independen lain yang memainkan dan berpotensi memainkan berbagai peran penting dalam pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK) serta Komisi Yudisial (KY). Dari semua badan yang pernah dibentuk itu, kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi. Namun ternyata, KPK pun tak bisa diharapkan sehingga terlontar ide Marzuki Alie agar lembaga ini dibubarkan saja.

Demokrasi: Akar Masalah Korupsi

Selama ini ada anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik. Anggapan ini ternyata bohong besar. Di Tanah Air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktik korupsi. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat dan swasta. DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi malah merupakan sarang koruptor.

Jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb ditengarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan. Bahkan para anggota dewan pun ditengarai sering berperan sebagai “calo” atau dikepung oleh para “calo”. Percaloan di DPR diakui Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq. Ia mengungkapkan, para calo di parlemen sering berkeliaran pada lahan basah DPR, seperti calo jual-beli pasal dalam pembahasan RUU yang menyangkut kepentingan dan kewenangan terkait resources­ (sumberdaya). RUU itu dibandrol harganya bukan lagi pasal-perpasal, tetapi bahkan ayat-perayat. Arena permainan uang juga terjadi dalam kegiatan fit and prosper test. Kasus fit and proper test berpeluang menjadi gratifikasi jabatan yang memiliki nilai tinggi. “Lahan basah yang juga biasa dimanfaatkan yakni saat pembahasan anggaran untuk proyek kementerian maupun pemerintah daerah,” ujarnya (Rri.co.id, 22/5).

Dengan semua fakta di atas, wajarlah jika berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif DPR/DPRD menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, yudikatif 70% dan eksekutif 32% (Mediaindonesia, 21/4).

Korupsi juga makin marak di daerah justru saat negeri ini dinilai makin demokratis. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 17 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (Vivanews.com, 17/1/2011). Sedang menurut data KPK, hingga Maret 2011, sudah 175 kepala daerah-terdiri dari 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota-yang menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini. Sebagian di antaranya sudah diproses penegak hukum bahkan sudah mendekam di penjara sebagai koruptor.

Mengapa korupsi menggila di dalam sistem demokrasi? Sebab, selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik, termasuk berkompetisi di ajang Pemilu dan Pilkada. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, “Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari (Kompas.com, 5/7/2010).

Karena gaji dan tunjangan yang “tak seberapa”, maka saat mereka terpilih menjadi penguasa atau wakil rakyat, tidak ada cara lain yang paling cepat untuk mengembalikan biaya politik dalam proses Pemilu tersebut, kecuali dengan korupsi. Inilah lingkaran setan korupsi dalam sistem demokrasi.

Keterkaitan erat demokrasi dengan korupsi ternyata bukan hanya terjadi di Tanah Air. Ledakan korupsi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerjasama dalam proses Pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan Pemilu. Jeffrey D. Sachs, Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University sekaligus Penasihat Khusus Sekjen PBB mengenai Millennium Development Goals, mengatakan negara-negara kaya adalah pusat perusahaan-perusahaan global yang banyak melakukan pelanggaran paling besar (Korantempo, 23/5).

Di Indonesia, praktik penyuapan dan korupsi juga melibatkan perusahaan asing. Gary Johnson, Kepala Unit Penangan Korupsi FBI, menyatakan bahwa ada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dan itu berada di bawah FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) atau di bawah UU antikorupsi (Detiknews.com, 11/5).
Dari paparan di atas, jelas sudah, sistem demokrasilah akar masalah munculnya banyak kasus korupsi.

Bubarkan Demokrasi?

Jelas, saling tuding di antara elit politik di atas menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpercayaan terhadap banyak lembaga negara. Jelas pula, bahwa selama ini sistem demokrasi melahirkan para pemimpin korup. Karena itu, bukan KPK yang layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri. Sebagai gantinya adalah sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Syariah dan Khilafah itulah sistem terbaik. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []

Komentar al-Islam

Pemerintah menganggap wajar inflasi yang terjadi sepanjang Juli sebesar sebesar 0,6 persen meski itu lebih tinggi dari Juni yang mencapai 0,55 persen. Mentan Suswono mengatakan, inflasi memang selalu naik mengikuti harga-harga pangan menjelang Ramadhan. “Ini sudah tradisi” katanya (Republika, 2/8)
1. Ini pertanda buruk sebab masalah yang bisa memberatkan beban rakyat sudah dianggap wajar dan biasa. Inilah bentuk kemalasan mengurusi urusan rakyat dan sikap mental dari pemerintahan hasil proses demokratis.
2. Dalam Islam, pemerintah adalah ra’in yang memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal itu di akhirat. Konsekuensinya, sekecil apapun masalah yang bisa merugikan rakyat harus diperhatikan dan diselesaikan.
3. Saatnya terapkan sistem Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah, niscaya segala urusan rakyat terpelihara.

Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?

Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?


Adanya seruan segelintir pihak yang meminta agar pemerintah membubarkan ormas Islam yang menyerukan Khilafah tentu patut kita pertanyakan. Mengingat kewajiban penegakan Khilafah adalah kewajiban syar’i yang memiliki dalil-dalil yang jelas berdasarkan Al Qur’an , As Sunnah , dan Ijma’ Shahabah.Tidaklah mengherankan kalau para imam madzhab dan para ulama bersepakat tentang kewajiban.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat, maupun ulama, mengenai wajibnya mengangkat khalifah, kecuali al-‘Asham. Senada dengan itu, Imam an Nawawi dalam kitabnya Syarah Shohih Muslim menulis bahwa umat dan ulama telah bersepakat tentang kewajiban ini.

Keberadaan Khilafah mutlak diperlukan berkaitan dengan tiga perkara penting dalam Islam. Pertama , kewajiban penegakan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) yang merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim. Mustahil hal tersebut terwujud tanpa adanya Khilafah. Sebab , hanya sistem Khilafahlah yang memiliki pilar yang jelas yaitu kedaulatan di tangan hukum syara’. Sementara sistem yang lain seperti demokrasi, kerajaan, atau teokrasi menyerahkan kedaulatan sumber hukum kepada manusia.

Kedua, Khilafah adalah dibutuhkan oleh umat untuk persatuan umat Islam. Kewajiban persatuan umat Islam adalah perkara mutlak (qot’i) yang diperintahkan hukum syara’. Persatuan umat tidak bisa dilepaskan dari kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Dan hal ini akan terwujud kalau ditengah-tengah umat Islam ada satu Kholifah untuk seluruh dunia Islam.
Tentang wajibnya satu pemimpin bagi umat Islam seluruh dunia ini, ditegaskan oleh Rosulullah SAW dalam hadistnya tentang kewajiban membai’at seorang Kholifah dan memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mengklaim sebagai kholifah yang kedua , setelah kholifah yang pertama ada. Rosulullah SAW bersabda : Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.(HR Muslim). Berdasarkan hal ini Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”

Sementara itu sistem nation state (negara bangsa) dan kerajaan yang diadopsi oleh umat Islam sekarang nyata-nyata telah memecahbelah umat Islam dan menghalangi kepemimpinan tunggal di tubuh umat Islam.
Perkara ketiga, Khilafah dibutuhkan oleh umat untuk mengurus dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala negara (kholifah) yang utama dalam Islam adalah ar ro’in (pengurus) dan al junnah (pelindung) umat .


Berdasarkan hal ini adalah kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan). Termasuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyatnya. Untuk itu Kholifah akan mengelola dengan baik pemilikan umum (milkiyah ‘amah) seperti tambang emas, minyak, batu bara, yang jumlahnya melimpah untuk kepentingan rakyat.


Sementara dalam sistem demokrasi, pemimpin bukan lagi menjadi pengurus masyarakat, tapi pemalak rakyat untuk kepentingan pemilik modal. Politik demokrasi menjadi mesin uang untuk mengembalikan modal politik yang mahal atau memberikan jalan kolusi bagi kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan cara korupsi dan kolusi .


Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada yang melindungi. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan umat Islam dibunuh oleh para penjajah. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa ada yang melindungi. Padahal Rosulullah SAW dengan tegas mengatakan bahwa bagi Allah hancurnya bumi beserta isinya, lebih ringan dibanding dengan terbunuhnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yang hak.

Terbukti sudah keberadaan penguasa muslim sekarang tidak bisa melindungi umatnya. Bahkan mereka pembunuh rakyatnya sendiri. Mereka memberikan jalan kepada negara-negara imperialis untuk membunuh rakyatnya sendiri atas nama perang melawan terorisme.
Lantas, dimana letak bahayanya Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT , Khilafah yang akan mempersatukan umat, Khilafah yang akan mengurus dan melindungi umat ?


Memang kembalinya Khilafah sangat berbahaya bagi negara-negara penjajah sebab akan menghentikan penjajahan mereka di dunia Islam. Khilafah juga berbahaya bagi penguasa-penguasa negeri Islam yang menjadi boneka Barat yang menumpahkan darah umat Islam dan memberikan jalan merampok negeri Islam. Sebab Khilafah akan menumbangkan pemimpin-pemimpin pengkhianat seperti ini.


Walhasil siapapun mempropagandakan bahaya khilafah atau menghalang-halangi tegaknya Khilafah, sadar atau tidak, langsung atau tidak , telah menjadi corong para penjajah. Mereka sesungguhnya bukan berpihak pada umat Islam dan Islam ! Na’udzubillahi min dzalik (Farid Wadjdi)

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/02/kenapa-kita-membutuhkan-khilafah/