Friday, June 17, 2011

Negara Islam yang menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin bukanlah ancaman, justru kapitalisme-lah ancaman nyata bangsa ini.

Negara Islam yang menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin bukanlah ancaman, justru kapitalisme-lah ancaman nyata bangsa ini.

Isu Negara Islam kembali ramai dibicarakan. Beberapa teror bom disebut-sebut dilakukan kelompok yang mengatasnamakan NII (Negara Islam Indonesia). Meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya, kelompok ini diduga terlibat cuci otak beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang. Termasuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan dana. Beberapa media pun dengan gencar mengopinikan bahaya mendirikan negara Islam yang dikatakan menjadi tujuan kelompok ini. Perjuangan mendirikan negara Islam dianggap membahayakan Indonesia dan menjadi ideologi kelompok teroris.

Penting bagi kita untuk memahami, perjuangan mendirikan negara Islam sesungguhnya adalah perjuangan yang mulia. Sebab negara Islam, dalam pengertian negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah kewajiban syar'i. Tanpa ada negara yang didasarkan kepada Islam, kewajiban menerapkan seluruh syariah Islam, yang menjadi konsekuensi keimanan seorang Muslim, mustahil bisa dilakukan.

Banyak hukum syariah Islam yang membutuhkan institusi politik yang sekarang disebut negara. Hukum syariah Islam yang berkaitan dengan hudud seperti potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, tentu membutuhkan institusi politik atau otoritas yang legal atau negara.

Demikian juga menerapkan kebijakan mata uang yang didasarkan pada dinar dan dirham (berbasis emas dan perak), pendidikan dan kesehatan gratis, pengaturan pemilikan umum (milkiyah 'amah) seperti barang tambang yang melimpah (emas, minyak, batu bara) harus dikelola negara, tidak boleh diberikan kepada swasta asing, dan hasilnya harus digunakan untuk kepentingan rakyat, tentu membutuhkan otoritas negara.

Imam Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi'i An-Naisaburi, menjelaskan “…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”(Tafsir An-Naisaburi, juz 5 hal 465).

Otoritas politik seperti inilah yang oleh para ulama disebut imamah atau khilafah. Syeikh Muhammad Abu Zahrah menjelaskan khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut imam. Karena taat padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat di belakang yang menjadi imam shalat mereka” (Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, juz I hal 21).

Kewajiban imamah atau khilafah ini berdasarkan kepada Alquran, sunah dan ijma'ush shahabah. Kewajiban ini disepakati pula oleh para ulama. …”. Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti Al-Hanafi menjelaskan, “…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma'ruf dan nahi munkar (Kasyful Qina' an Matnil Iqna', juz 21 hal. 61).

Syariah Islam yang diterapkan dalam daulah Islam (negara Islam) yang disebut khilafah, bukanlah merupakan ancaman bagi masyarakat. Bagaimana mungkin syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang memiliki sifat Ar Rahman dan Ar Rahim disebut sebagai ancaman? Syariah Islam yang bersumber dari Alquran dan As Sunnah justru merupakan rahmatan lil 'alamin, memberikan kebaikan kepada manusia baik Muslim ataupun non Muslim.

Bagaimana mungkin syariah Islam yang mengatur bahwa pendidikan dan kesehatan harus gratis bagi seluruh rakyat, negara wajib menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan), hukuman yang tegas (hukuman mati) bagi pembunuh, larangan bughat (memisahkan diri) dari negara, barang tambang harus dikelola negara dengan baik dan hasilnya untuk kepentingan rakyat disebut mengancam masyarakat?

Sesungguhnya sistem kapitalisme yang dipraktikkan oleh elite sekuler Indonesia sekarang inilah yang menjadi ancaman negara, musuh negara, karena membahayakan rakyat dan negara. Puluhan juta rakyat miskin, tingginya angka pengangguran, meluasnya kemaksiatan, perampokan atas nama privatisasi BUMN, investasi, dan pasar bebas, termasuk maraknya korupsi dan manipulasi merupakan dampak nyata dari penerapan sistem kapitalisme di negara kita.

Namun mendirikan negara Islam tentu bukan dengan cara-cara yang bertentang dengan syariah Islam seperti teror bom, mengafirkan orang tua atau pihak lain, menganggap militer dan kepolisian sebagai ancaman atau kafir, cuci otak, penipuan atau perampokan. Semua itu jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.

Cara seperti itu justru kontraproduktif dan dapat dimanfaatkan untuk memberikan stigma negatif terhadap Islam, negara Islam atau syariah Islam. Kalau cara-cara seperti itu dibiarkan atau dipelihara, kita tentu wajar curiga kalau semua itu memang sengaja dan direkayasa, untuk menyudutkan Islam. Tujuannya, agar umat jauh dari syariah Islam, sehingga penjajah kapitalisme tetap kokoh di negeri ini.[] farid wadjdi

http://www.mediaumat.com/editorial/2827-58-negara-islam-bukan-ancaman.html

No comments: