Thursday, June 16, 2011

Hukum dan Peradilan Islam: Menjamin Keadilan dan Ketegasan Hukum

Hukum dan Peradilan Islam: Menjamin Keadilan dan Ketegasan Hukum



Salah satu puncak peradaban emas Khilafah adalah penerapan syariah Islam di
bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang
sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 M hingga tahun 1918 (1336
H) ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris).
(Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44).


Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan memang hukum
terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariah Islam, bukan hukum buatan
manusia seperti dalam sistem demokrasi-sekular sekarang. Allah SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِقَوْمٍ يُوقِنُون

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Dalam kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat
ini berarti tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu
hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir
al-Munir, VI/224).
Dalam hukum Islam itulah akan didapati suatu cita-cita tertinggi manusia dalam
bidang hukum di segala peradaban, yaitu keadilan. Keadilan merupakan sifat yang
melekat pada Islam itu sendiri dan tak terpisahkan dari Islam. Allah SWT
berfirman:


وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَعَدْلا

Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil
(QS al-An’am [6]: 115).

Islam sendiri juga memerintahkan manusia untuk bersikap adil dalam menerapkan
hukum-hukum Allah, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada
yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia
supaya kalian menetapkan dengan adil (QS an-Nisa’ [4]: 58).

Ayat ini turun berkaitan dengan kisah Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. pada saat
Fathu Makkah. Beliau merampas kunci-kunci Ka’bah dari tangan Utsman bin
Thalhah, sang penjaga Ka’bah. Rasulullah saw. ternyata marah dan memerintahkan
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman
bin Thalhah. Kemudian turunlah ayat di atas yang akan dibaca terus hingga Hari
Kiamat nanti (Tafsir Ibnu Katsir, I/516).

Hakikat Keadilan

Keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Karena itu, tidak aneh jika para ulama
mendefiniskan keadilan (al-’adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah
dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang
ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (Kullu ma dalla ‘alayhi al-kitab wa
as-sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu
Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyah, hlm. 15). Menurut Imam al-Qurthubi,
keadilan adalah setiap-tiap apa saja yang diwajibkan baik berupa akidah Islam
maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin mafrudhin min ‘aqa’id wa ahkam).
(Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, X/165). Berdasarkan
pendapat-pendapat seperti ini, keadilan dapat didefinisikan secara ringkas,
yaitu berpegang teguh dengan Islam (al-iltizam bil-Islam) (M. Ahmad Abdul Ghani,
Mafhum al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw` al-Fikr al-Islami Al-Mu’ashir,
I/75).

Apabila keadilan Islam itu diimplementasikan dalam masyarakat, implikasinya
adalah akan terwujud suatu cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap
individu-individu masyarakat. Artinya, semua individu anggota masyarakat akan
diperlakukan secara sama tanpa ada diskriminasi dan tanpa pengurangan atau
pengunggulan hak yang satu atas yang lainnya. Inilah keadilan hakiki yang akan
terwujud sebagai implikasi penerapan syariah Islam dalam masyarakat (Hamad Fahmi
Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al-Gharbiyah, hlm. 191).

Fakta Historis Keadilan Hukum

Tak sedikit tinta emas menggoreskan catatan sejarah yang membuktikan terwujudnya
keadilan di tengah masyarakat Islam. Di antaranya adalah kisah sengketa baju
besi Khalifah Ali bin Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan
oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang Jamal. Ali ra.
ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali
ra. dan orang Yahudi lalu
mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Ali ra. mengajukan saksi
seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Syuraih berkata, “Kesaksian bekas
budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak.” Ali ra. berkata,
“Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan
Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?” Syuraih tetap menolak
kesaksian Hasan, dan memenangkan si Yahudi. Syuraih lalu berkata kepada orang
Yahudi itu,”Ambillah baju besi itu.” Namun, Yahudi itu lalu berkata,
“Amirul Mukminin bersengketa denganku, lalu datang kepada hakim kaum Muslim,
kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi
Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda.
Baju besi itu jatuh dari unta Anda lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada
tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul
Allah.” Ali ra. berkata,”Karena Anda
sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu.” (Al-Kandahlawi, Hayah
Ash-Shahabah, 1/146).


Kisah ini menunjukkan bahwa keadilan telah ditegakkan, walau yang bersengketa
adalah seorang kepala negara dengan rakyat biasa yang non-Muslim. Hukum syariah
memang tidak membenarkan kesaksian seorang anak untuk bapaknya. Inilah prinsip
syariah yang dipegang teguh oleh hakim Syuraih ketika mengadili perkara tersebut
(Ahmad Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hlm. 23).


Keadilan Islam yang hebat dan mengagumkan juga pernah tercatat saat peristiwa
penaklukan Kota Samarqand, di negeri Khurasan, Asia Tengah, sebagaimana
dikisahkan oleh Imam Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk (VIII/138).
Syahdan, setelah kota ditaklukkan pasukan kaum Muslim, penduduk Samarqand yang
non-Muslim itu mengadu kepada hakim bahwa para pasukan telah menyalahi hukum
Islam. Sebab, menurut pengetahuan mereka, Islam mengajarkan bahwa penaklukan
harus diawali dulu dengan dakwah kepada penduduk untuk masuk Islam. Lalu jika
mereka tak mau masuk Islam, mereka diminta membayar jizyah. Jika mereka tetap
tak mau membayar jizyah, barulah pasukan Islam boleh memerangi mereka.


Penduduk Samarqand memprotes kepada hakim karena pasukan Islam ternyata
menaklukkan Samarqand tanpa diawali dakwah dan tawaran jizyah. Yang menakjubkan,
hakim pun akhirnya memutuskan bahwa penaklukan Samarqand tidak sah. Hakim lalu
memerintahkan pasukan Islam keluar dari Kota Samarqand dan mengulangi lagi
proses penaklukan dengan menyampaikan dakwah dan tawaran jizyah lebih dulu. Demi
mendengar vonis hakim yang adil ini, penduduk Samarqand berkata, “Kalau
begitu, silakan pasukan Islam tetap di dalam kota dan kami masuk Islam.”
(Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah, hlm. 226).


Kisah ini juga menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa. Hakim tetap berpegang
teguh dengan hukum Islam, walaupun yang mengadukan perkara adalah non-Muslim.
Hakim tidak lantas memenangkan pasukan Islam yang sudah telanjur menaklukkan
Kota Samarqand. Itu tak lain karena hakim memang berpegang teguh dengan sabda
Rasulullah saw., bahwa pasukan Islam hanya boleh memerangi setelah melakukan
lebih dulu aktivitas dakwah untuk masuk Islam dan memberi tawaran membayar
jizyah.


Penaklukan yang adil semacam itulah yang sebelumnya pernah terjadi di Wadi Urdun
saat pasukan Islam pimpinan Abu Ubaidah ra. menaklukkanya. Daerah itu dulunya
bekas wilayah Kerajaan Romawi. Ketika Abu Ubaidah sampai ke daerah Fahl,
penduduknya yang Nasrani menulis surat yang bunyinya, “Wahai kaum Muslim,
kalian lebih kami cintai daripada Romawi, meski agama mereka sama dengan kami.
Kalian lebih menepati janji kepada kami, lebih lembut kepada kami, dan
menghentikan kezaliman atas kami. Kalian lebih baik dalam mengurusi kami. Romawi
hanya ingin mendominasi segala urusan kami dan menguasai rumah-rumah kami.”
(Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah al-Gharbiyah, hlm. 228).


Kisah ini tak hanya ditulis oleh ulama Muslim seperti dalam kitab Futuh
al-Buldan, karya Imam Al-Baladzuri (hlm 139), tetapi juga dikutip oleh para
penulis non-Muslim, seperti Thomas W. Arnold dalam bukunya Fath al-Arab Bilad
asy-Syam wa Filisthin. Dalam bukunya ini Thomas W. Arnold mengutip banyak kisah
yang menunjukkan bagaimana kaum Muslim berpegang teguh dengan Islam dan
bagaimana bagusnya interaksi kaum Muslim dengan non-Muslim di negeri-negeri
taklukan.


Inilah keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah
yang dulu pernah diwujudkan negara Khilafah tatkala menerapkan syariah Islam di
tengah masyarakat. Keadilan yang didambakan tak hanya oleh umat Islam, namun
bahkan oleh orang-orang non-Muslim sekalipun.

Hal itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan situasi umat Islam sekarang,
terutama setelah hancurnya Khilafah di Turki pada 3 Maret 1924. Sejak saat itu
syariah Islam tak lagi mempunyai institusi yang melindungi dan menerapkannya.
Hukum yang diterapkan bukan lagi syariah Islam, melainkan hukum yang dibuat oleh
manusia itu sendiri. Ini terjadi tiada lain karena sistem demokrasi telah
merampas hak membuat hukum yang semula milik Allah SWT, menjadi milik manusia
yang lemah dan serba terbatas. Akibatnya, sangat mengerikan, yaitu manusia jauh
dari hukum Allah, dan dengan sendirinya jauh dari keadilan. Keadilan pun tak
akan pernah ada; kecuali keadilan semu yang palsu dan menipu.

Akibatnya, yang merajalela bukanlah keadilan, melainkan kezaliman yang
dipaksakan dan dilegitimasi atas nama sistem demokrasi yang kufur. Sampai
kapankah umat Islam masih mau ditindas oleh sistem demokrasi yang kufur ini?


Daftar Bacaan
1. Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Mafhum Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw’
al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, (t.tp. : tp.), 2004.
2. Al-Balawi, Salamah Muhammad Al-Harfi, Al-Qadha’ fi ad-Dawlah al-Islamiyah
Tarikhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh: Darun Nasyr), 1994.
3. Al-Kandahlawi, Hayah ash-Shahabah, (Maktabah Misykah Al-Islamiyah: t.tp), tt.
4. Asy-Syarbaini, Mahmud, Al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Al-Hai’ah
Al-Mishriyah Al-‘Ammah li Al-Kuttab), 1999.
5. Bahnasy, Ahmad Fathi, Nazhariyah al-Itsbat fi al-Fiqh al-Jina’i al-Islami
(Kairo: Dar Al-Syuruq), 1989.
6. Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam al-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (t.tp :
tp.), 2004.
7. Washil, Nashr Farid Muhammad, Asy-Sulthah al-Qadha’iyah wa Nizham
al-Qadha’ fi Al-Islam (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), 1403 H.


http://hizbut-tahrir.or.id/2011/06/05/hukum-dan-peradilan-islam-menjamin-keadila\
n-dan-ketegasan-hukum/

No comments: