Tuesday, August 12, 2025

Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah

 Memaknai Hadis Kembalinya Khilafah


Penulis: Ustaz Yuana Ryan Tresna


Muslimah News, SYARAH HADIS — Hadis yang mengabarkan berita gembira tentang kembalinya Khilafah sangatlah banyak. Tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya Khilafah hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad.


Masih banyak hadis lain yang secara makna sejalan dengan hadis tersebut. Misalnya hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan “menumpahkan” harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadis tentang akan datangnya Khilafah di Baitulmaqdis (HR Abu Dawud, Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi); juga hadis tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melingkupi dari timur hingga barat (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud).


Hadis-hadis ini didukung banyak hadis lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan Kota Roma, dan seterusnya. Makna hadis kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan sekitar 25 sahabat, 39 tabiin, dan sekitar 62 tabi’at-tabi’in.


Berikut ini adalah hadis dari Hudzaifah ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,


 تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاء اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُم يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاء أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا الله إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُم تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ “


“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Lalu Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Kemudian Allah akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi, dan Al-Bazzar)


Hadis ini maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujah. Al-Hafizh al-‘Iraqi berkomentar, “Hadis ini sahih, Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam Musnad-nya.” (Al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176)


Periode terakhir pada hadis di atas adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti metode (minhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadis ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan Khilafah.


Dalil kewajiban menegakkan Khilafah adalah Al-Qur’an, di antaranya terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah. Dalil Khilafah juga didasarkan pada hadis-hadis yang mewajibkan adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).


Menjawab Keraguan

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadis tentang akan datangnya Khilafah, dari segi kritik sanad dan matan, telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.


Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadis yang dijadikan landasan utama oleh pejuang Khilafah, dalam perspektif kritik sanad, bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (tepercaya). Alasannya, Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari Imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”; juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu mereka menyimpulkan bahwa hadis tentang kekuasaan Khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.


Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karena itu peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.


Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan.


Namun, tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakkan ke-dha’if-an hadis yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Ungkapan “fihi nazhar” bergantung pada qarinah-qarinah (indikasi-indikasi)-nya. Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji.


Sayangnya, sebagian pihak tergesa-gesa memutlakkan ke-dha’if-an hadis yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinah-nya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.


Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, ia masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadis lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll; berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.


Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar. Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”.


Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam At-Tarikh al-Kabir (Al-Bukhari, 2/2606), Adh-Dhu’afa’ al-Kabir (Al-Uqaili, 2/66), dan Al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), Imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”. Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi” (Lihat: Al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; Ats-Tsiqat, 4/138; Al-Kamil, 2/405; At-Taqrib, 1/151).


Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadis cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan ad-Darimi juga meriwayatkannya. Meski demikian, Imam al-Bukhari menilai sahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal at-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, Imam al-Bukhari berhujah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).


Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Musthalahat al-Jarh wa at-Ta’dil wa Tathawwuruha at-Tarikhiy fi at-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qawl al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621–644. Catatan lainnya, minhaj yang dipegang oleh para ahli hadis dan fukaha adalah bahwa penilaian dha’if dan sahih suatu hadis tidak selalu disepakati semua ahli hadis dan tidak bersifat mutlak.


Bagi fukaha, penilaian sahih menurut sebagian ahli hadis sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil. Sebagaimana telah disinggung, Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam Shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadis tentang bacaan pada salat Id dan Jumat dari An-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah Kitab Shahih-nya.


Karena itu bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib mengomentari Habib bib Salim dengan “la ba’sa bihi”. Adapun tuduhan kepada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.


Dengan demikian, tidak benar bahwa hadis bisyarah nabawiyyah akan datangnya Khilafah itu dha’if hanya karena sorotan kepada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari Imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.


Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadis daif. Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad tentang akan kembalinya Khilafah adalah sahih atau minimal hasan. Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib al-Arna’uth (Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, 4/18.430) dan dinilai sahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi (Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab, 2/17).


Sikap yang Benar

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji Khilafah adalah:


Pertama, wajib meyakini sepenuhnya janji akan berkuasanya kembali umat Islam (Lihat: QS an-Nur [24]: 55). Sebab Allah Swt. pasti menunaikan janji-janji-Nya (Lihat, antara lain: QS [18]: 108 dan [73]: 18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan. Siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah Swt., keimanannya telah rusak.


Kedua, harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah saw., sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadis sahihnya.


Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.


Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlusunah waljamaah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan Khilafah Islamiah.


Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk Khilafah Islamiah adalah kewajiban (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 6/291).


Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting (Al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, 1/25).


Ketiga Allah Swt. telah menjanjikan kekhalifahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 5/241).


Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. yang paling agung (Ibnu Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 161). Dalam menegakkan Khilafah Islamiah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya.


Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apa pun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.


Dalam konteks menegakkan Khilafah Islamiah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, Khilafah Islamiah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.


Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakan Khilafah Islamiah. Padahal sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah Swt. termasuk perbuatan dosa. Nabi saw. bersabda,


 وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ : رَجُلٌ نَازَعَ الله عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ الله


“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya pada hari kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-’izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR Ahmad, ath-Thabarani, dan al-Bazzar)


Di antara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariat dan Khilafah dengan alasan menunggu datangnya Imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat karena menegakkan Khilafah Islamiah adalah kewajiban syariat.


Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, Khilafah Islamiah adalah thariqah syar’iyyah untuk menerapkan Islam secara sempurna.


Hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya Imam Mahdi sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah atas kaum muslim. Hadis-hadis tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya Imam Mahdi dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan Khilafah Islamiah.


Penutup

Tegaknya Khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Karena itu perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi.


Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan; mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Sebagaimana kata Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H),


 كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا \\وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ 


“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan/sementara air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, III/104). [MNews/Rgl]

No comments: