Friday, June 17, 2011

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)

Sesungguhnya berhukum kepada Syariat wajib hukumnya bagi kaum muslimin –pada permasalahan dan persengketaan yang terjadi pada mereka– dan hal ini merupakan ashlul-iman (pokok keimanan) sehingga orang yang tidak melaksanakannya –ketika wajib dilaksanakan dan ia mampu melaksanakannya– ia kafir, berdasarkan firman Allah:

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’ 65).

Sedangkan mayoritas kaum muslimin lalai terhadap kewajiban syar’i ini. Selain itu mereka pasrah dengan berlakunya undang-undang kafir terhadap darah, kehormatan, dan harta mereka. Sedangkan orang yang menyadari kewajiban ini, sebagian mereka menyangka bahwa melaksanakan kewajiban tersebut mustahil ketika berlaku undang-undang kafir di negara mereka. Padahal tidak demikian.

Karena sesungguhnya kaum muslimin masih mempunyai kemampuan untuk berhukum kepada syariat terhadap perkara dan persengketaan mereka, meskipun berlaku undang-undang kafir di negara mereka. Yaitu dengan cara berhukum atas dasar suka sama suka kepada orang yang layak dan mampu untuk memutuskan perkara di antara mereka, seperti kepada seorang ulama’, atau pelajar (tholibul ‘ilmi), sesuai dengan kemampuan. Dan selama hal ini masih memungkinkan, maka berhukum kepada syariat ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah:

”Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian!” (QS. Ath-Thaghabun 16).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW: ”Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian!” (Hadits Muttafaq ‘alaih)

Permasalahan ini –yaitu berhukumnya kaum muslimin atas dasar suka sama suka kepada orang yang layak untuk memutuskan perkara– dalam kitab-kitab fiqih dikenal sebagai “at-tahkim” (memutuskan perkara kepada seseorang), yaitu kebalikan “at-taqodhiy” (memutuskan perkara) kepada Qodhiy (hakim) yang diangkat oleh Imamul muslimin (kholifah).

...Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar’i...

Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar’i, sebagaimana yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada hari ini.

Penjelasan Atas Bolehnya Bertahkim Ketika Ada Qodhiy Yang Sah Menurut Syar’i yang Diangkat di negara Islam

Di negara yang diberlakukan syariat Islam dan diperintah oleh seorang Imam Muslim, dan di sana ia mengangkat qodhiy-qodhiy tertentu yang ditugasi untuk memutuskan perkara di antara manusia, kaum muslimin diperbolehkan untuk berhukum kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, berdasarkan suka sama suka, selain kepada qodhiy yang diangkat oleh Imamul Muslimin, dan keputusan hakam (orang yang mereka jadikan hakim) ini wajib mereka laksanakan.

Dan secara dasar pemikiran para ulama’ dari berbagai mazhab tidak ada yang memperselisihkannya. Namun yang mereka perselisihkan adalah permasalahan apa saja yang diperbolehkan untuk bertahkim. Dan apakah hakam itu boleh memutuskan semua perkara sebagaimana qodhiy yang ditunjuk atau ia hanya boleh memutuskan beberapa perkara saja?, Dan anda akan melihat bahwa perselisihan para ulama’ dalam hal ini kembali kepada keberadaan qodhiy yang telah ditunjuk, dan sebagian ulama’ berpendapat bahwa pada persengketaan yang besar tidak ada yang boleh memutuskannya kecuali qodhiy. Dengan demikian, perselisihan pada masalah apa saja yang diperbolehkan bertahkim ini mestinya menjadi hilang ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk oleh Imamul Muslimin.

Begitu pula anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan kesusahan bagi orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri. Karena tidak setiap penduduk negara Islam bisa mengajukan permasalahan mereka kepada qodhiy dengan tanpa kesusahan, seperti orang-orang yang tinggal di pedalaman, dll. Jika mereka bertahkim kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di antara mereka, akan dapat menghilangkan kesusahan bepergian bagi mereka dan ringan pula tanggungan Qodhiy. Inilah yang disinggung oleh Al-Qodhiy Abu Bakar Ibnul ‘Arobiy dalam Ahkaamul-Qur’an hal. 622-623.

...anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan kesusahan bagi orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri...

Dan berikut ini perkataan para ulama’ dari berbagai mazhab yang menyatakan atas bolehnya bertahkim ketika ada qodhiy yang ditunjuk di negara Islam:

1. Ibnu Dhouyan Al-Hambaliy, berkata dalam kitab Syarhud-Daliil: ”Jika ada dua orang atau lebih bertahkim kepada seseorang yang layak untuk menyelesaikan masalah mereka, maka keputusan hakam tersebut berlaku, hal itu pada setiap permasalahan yang keputusan qodhiy yang ditunjuk oleh Kholifah atau wakilnya berlaku”. Berdasarkan Hadits Abu Syuroih RA, dalam hadits itu ia mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْئٍ أَتُونِي فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كُلاَّ الفَرِيْقَيْنِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja, mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka dan kedua belah pihak rela dengan keputusanku”, maka Rasulullah SAW mengatakan:
مَا أَحْسَنَ هَذَا

“Alangkah baiknya ini” (Hadits diriwayatkan oleh An Nasa’iy)

“‘Umar dan Ubay juga bertahkim kepada Zaid bin Tsabit. Juga ‘Utsman dan Tholhah bertahkim kepada Jubair bin Muth’im RA, padahal mereka bukan Qodhiy”. Dalam matannya dikatakan: ”Keputusannya itu sebagai pemutus perselisihan, maka tidak halal bagi seorang pun untuk membatalkannya, bagaimanapun keputusannya jika benar.” Dan dikatakan dalam Syarah (penjelasan)nya: ”Karena orang yang diperbolehkan untuk memutuskan perkara, keputusannya harus dilaksanakan, sebagaimana qodhiy yang ditunjuk Imam” (Manaarus-Sabiil Syarhud-Daliil II/459 cet. Al-Maktab Al-Islami 1404 H). Hadits Abu Syuroih tersebut adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’iy.

2. Ibnu Qudamah merinci permasalahan ini dalam kitabnya Al-Kaafiy IV / 436 cet. Al-Maktab Al-Islami 1402 H, dan dalam kitab Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir XI/483-484. Berikut ini perkataannya dalam kitab Al-Mughniy: ”(Pasal), apabila ada dua orang bertahkim kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara dan keduanya rela untuk memutuskan perkara kepada orang tersebut, lalu orang itu memutuskan perkara dua orang tersebut, maka hal ini diperbolehkan dan keputusan orang tersebut berlaku atas kedua orang tersebut. Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini. Adapun Asy Syafi’iy ada dua riwayat tentang pendapatnya, salah satunya adalah: keputusan orang tersebut tidak berlaku kecuali atas kerelaan kedua orang yang bertahkim tersebut, karena tahkim itu terjadi karena sama-sama rela, dan kerelaan itu tidak ada kecuali setelah mengetahui keputusannya.

Adapun dalil kami adalah hadits yang diriwayatkan Abu Syuroih RA, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
إِنَّ اللهَ هُوَ الحَكَمُ فَلِمَ تُكَنَّى أَبَا الحَكَمَ ؟ قَالَ إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْئٍ أَتُونِي فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ عَلَيَّ الفَرِيْقَانِ . قَالَ: مَا أَحْسَنَ هَذَا فَمَنْ أَكْبَرَ وَلَدُكَ ؟ قَالَ شُرَيْحُ قَالَ: فَأَنْتَ أَبُو شُرَيْحُ

“Sesungguhnya Allah itu Al-Hakam (pemutus perkara), kenapa kamu dijuluki Abul Hakam?” Abu Syuroih menjawab: ”Sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, lalu aku putuskan perkara mereka, dan kedua belah pihak sama-sama rela dengan keputusanku” maka Beliau mengatakan: ”Alangkah baiknya ini. Siapa nama anakmu yang paling besar?” Abu Syuroih menjawab: ”Syuroih” Rasulullah bersabda: ”Kalau begitu kamu Abu Syuroih”. (HR An-Nasa’iy).

Dan diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwasanya Beliau bersabda:
مَنْ حَكَمَ بَيْنَ اثْنَيْنِ تَرَاضَيَا بِهِ فَلَمْ يَعْدِلُ بَيْنَهُمَا فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

“Barangsiapa memutuskan perkara antara dua orang yang keduanya sama-sama rela kepadanya, tapi dia tiada berbuat adil maka ia terlaknat.”

Seandainya keputusannya tidak wajib mereka laksanakan, tentu ia tidak tercela seperti ini. Dan juga karena ‘Umar dan Ubay bertahkim kepada Syuroih sebelum ia diangkat sebagai qodhiy, begitu pula ‘Utsman dan Tholhah bertahkim kepada Jubair bin Muth’im RA, padahal mereka bukanlah qodhiy.

Jika ada yang mengatakan; bukankah ‘Umar dan ‘Utsman adalah Imam, sehingga apabila mereka menyerahkan keputusan kepada seseorang, maka orang tersebut menjadi qodhiy. Kami jawab; tidak ada riwayat dari keduanya kecuali rela sama rela untuk bertahkim kepada Syuroih, dengan demikin maka Syuroih tidak menjadi qodhiy. Dan apa yang dikatakan orang itu tidak benar karena apa bila ia rela dengan orang yang memutuskan perkara itu, ia wajib melaksanakan keputusannya sebelum ia mengetahui apa yang ia putuskan. Jika demikian maka tidak boleh membatalkan keputusan orang yang diangkat sebagai hakim itu selama keputusan itu tidak membatalkan keputusan orang yang mempunyai kekuasaan. Dan Asy Syafi’iy juga berpendapat seperti ini. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan: “Penguasa berhak membatalkan keputusan tersebut jika keputusan itu bertentangan dengan pendapatnya, karena ikatan ini berkaitan dengan hak hakim, maka ia berhak untuk membatalkannya sebagaimana ikatan yang terkait dengan haknya”.

Sedangkan menurut pendapat kami, keputusan ini sah dan harus dilaksanakan. Sehingga tidak boleh dibatalkan karena bertentangan dengan pendapatnya, sebagaimana keputusan orang yang mempunyai kuasa hukum. Dan apa yang mereka katakan itu tidak benar, karena sesungguhnya keputusan itu wajib dilaksanakan oleh dua orang yang bersengketa, maka bagaimana keputusan itu bisa tergantung? Seandainya benar begitu, maka berarti ia juga berhak membatalkannya meskipun tidak bertentangan dengan pendapatnya, dan kami tidak sependapat bahwa kesepakatan itu tergantung orang lain.

Jika demikian maka kedua belah pihak yang bersengketa berhak untuk mencabut tahkim itu sebelum persidangan dimulai, karena tahkim itu tidak dilaksanakan kecuali atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Hal ini seperti orang yang mencabut kembali kesepakatan untuk mempercayakan hartanya sebelum dipakai usaha. Namun jika ia mencabut setelah dimulai, maka ada dua pendapat, pertama; ia boleh mencabutnya, karena persidangan yang belum selesai itu sama dengan belum dimulai, kedua; ia tidak boleh mencabutnya, karena hal itu akan mengakibatkan setiap orang yang bertahkim, jika ia melihat sesuatu yang tidak ia setujui pada orang yang diangkat sebagai hakam itu, ia akan membatalkan, dengan demikian tujuan bertahkimpun tidak tercapai.

(Pasal) Al-Qodhiy mengatakan: ”Keputusan orang yang dipilih menjadi hakam itu berlaku pada semua hukum kecuali empat macam: nikah, li’an, qodzaf (tuduhan zina), dan qishosh. Karena hukum-hukum ini lain dari pada yang lain. Maka dalam hal ini hanya Imam atau wakilnyalah yang berhak untuk memutuskan perkara. Namun Abul Khoth-thob mengatakan; (dilihat dari) dzohirnya perkataan Ahmad (ia berpendapat) bahwa keputusan hakam itu berlaku pada hukum-hukum tersebut (nikah, li’an, qodzaf, dan qishosh). Adapun pendapat sahabat-sahabat Syafi’iy ada dua seperti dua pendapat diatas. Dan apabila qodhiy tersebut (maksudnya hakam) menulis surat kepada salah satu qodhiy kaum muslimin, yang berisi keputusan dia, maka ia wajib menerima dan melaksanakan surat itu, karena ia yang berkuasa untuk melaksanakan hukum, maka ia wajib menerima surat itu sebagaimana hakimnya Imam”. Selesai perkataan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughniy, dan perkataan yang ia nukil dari Al-Qodhiy Abu Ya’la tentang masalah-masalah yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam bertahkim sama dengan yang dikatakan oleh Al-Qodhiy Ibnu Farhun Al-Malikiy dalam Kitab Tab-shirotul Hukkaam I/62.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Kaafiy: ”Sahabat-sahabat kita berselisih pendapat tentang masalah yang diperbolehkan bertahkim. Adapun Abul Khoth-thob mengatakan: Dari dzohirnya perkataan Ahmad, diperbolehkan bertahkim pada setiap permasalahan yang dipersengketakan, hal ini diqiyaskan dengan qodhiy yang diangkat oleh Imam. Adapun Al-Qodhiy mengatakan: Ia boleh memutuskan perkara pada masalah harta saja, adapun masalah pernikahan, qishosh dan hukuman qodzaf tidak diperbolehkan bertahkim, karena masalah-masalah ini memerlukan kehati-hatian. Maka dalam masalah-masalah ini yang dilaksanakan adalah keputusan qodhiy yang diangkat oleh Imam, seperti permasalahan hudud”. (Al-Kaafiy karangan Ibnu Qudamah cet. Al-Maktab Al-Islami IV/436).

3. Imamul Haromain Al-Juwainiyy, mengatakan: ”Perkataan Asy Syafi’iy bermacam-macam dalam masalah bertahkim kepada seorang mujtahid pada masa adanya Imam (kholifah) yang melaksanakan hukum Islam apakah keputusan hakam itu berlaku?. Salah satu dari dua perkataannya, dan ini merupakan madzhab Abu Hanifah, adalah keputusannya berlaku sebagaimana keputusan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam. Pendapat ini berdasarkan qiyas, dan menurutku tidak perlu menjabarkan landasan qiyas tersebut” (Al-Ghiyaatsiy cet. II, tahqiq Dr. ‘Abdul ‘Adzim Ad Daib 1401 H. hal. 389)

4. Disebutkan dalam kitab Fat-hul Qodiir Syarhul Hidaayah, buku Madzhab Hanafi: ”Apabila dua orang bertahkim kepada seseorang lalu ia memutuskan perkara keduanya, maka hal ini diperbolehkan”. Karena keduanya mempunyai kekuasaan terhadap diri mereka sendiri, maka mereka boleh bertahkim kepada seseorang dan keputusan orang tersebut berlaku atas keduanya. Hal ini apabila orang yang diangkat sebagai hakam itu mempunyai ciri-ciri seperti hakim –yaitu orang yang layak memberikan kesaksian- karena ketika itu ia seperti qodhiy yang memutuskan perkara antara dua orang, maka disyaratkan baginya untuk mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, dan tidak diperbolehkan bertahkim kepada orang kafir, budak, dzimmi, orang yang dijatuhi hukum qodzaf, orang fasik dan anak kecil, karena mereka tidak mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, sebab mereka tidak bisa diterima kesaksiannya.

Adapun orang fasik apabila ia memutuskan perkara menurut kami –madzhab Hanafi, sebagaimana yang lalu pada pembahasan orang yang diangkat– maksudnya adalah qodhiy yang diangkat oleh pemerintah. “Dan kedua orang yang bertahkim itu boleh mencabut tahkimnya sebelum hakam itu memutuskan perkara kepada keduanya”.Karena hakam itu mengikuti keduanya, sehingga dia tidak memutuskan perkara kecuali atas kerelaan kedua-duanya.”Dan jika ia memutuskan perkara, keduanya harus melaksanakan”. Karena keputusan itu diputuskan berdasarkan kekuasaan yang berlaku atas mereka. Jika keputusan itu diajukan ke qodhiy, lalu keputusan itu sesuai dengan pendapatnya, maka keputusan itupun dilaksanakan. “Karena tidak ada gunanya ia membatalkan hukum tersebut, kemudian ia memutuskan lagi dengan keputusan itu. “Dan jika keputusan itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka ia batalkan keputusan itu. “Karena keputusannya tidak wajib diikuti karena dia tidak diangkat sebagai hakam oleh qodhiy tersebut. “Dan tahkim tidak diperbolehkan dalam masalah hudud dan qishosh”.

Karena kedua orang yang bersengketa itu tidak mempunyai kekuasaan atas darah keduanya, maka mereka juga tidak berkuasa untuk menghalalkannya (menumpahkan darah). Maka darah itu tidak boleh ditumpahkan atas dasar kerelaan dari keduanya. Mereka mengatakan; Dikhususkannya hudud dan qishosh menunjukkan diperbolehkannya bertahkim pada masalah-masalah ijtihadiyyah”. (Fat-hul Qodiir V / 499). Beliau juga berkata: ”Dan jika keputusan hakam itu diangkat kepada qodhiy maka keputusan itu dilaksanakan kecuali bertentangan dengan Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’, karena keputusan itu merupakan perkataan yang tidak ada dalilnya” . (Fat-hul Qodiir V / 487)

5. Abu Bakar Ibnul ‘Arobiy Al-Malikiy dalam mentafsirkan ayat:

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Beliau menyebut orang-orang Yahudi yang bertahkim kepada Nabi SAW, atas dasar kerelaan mereka, dan bahwa keputusan Nabi berlaku atas mereka. Ia (Ibnul ‘Arobiy) berkata: ”Masalah keenam: ketika mereka bertahkim kepada Nabi SAW, beliau memberlakukan keputusan beliau kepada mereka, dan mereka tidak bisa untuk menarik kembali. Dan semua orang yang bertahkim kepada seseorang dalam masalah agama, landasannya adalah ayat ini, Malik berkata: Jika seseorang bertahkim kepada seseorang, maka keputusannya berlaku, dan jika keputusannya itu diangkat kepada qodhiy, maka keputusan itu ia jalankan, kecuali jika keputusan itu merupakan kedzoliman yang nyata.

Dan Suhnun berkata: ”Kalau ia mau melaksanakan keputusan itu, Ibnul ‘Arobiy berkata: Hal itu pada masalah harta dan hak pribadi orang yang menuntutnya. Adapun masalah hudud, maka tidak ada yang boleh memutuskan kecuali pemerintah. Yang menjadi patokan adalah; setiap permasalahan yang hanya berkaitan dengan pribadi dua orang yang bersengketa, maka boleh bertahkim dan keputusannya berlaku –sampai beliau mengatakan– setelah diteliti yang benar adalah bahwa memutuskan perkara dikalangan manusia itu sebenarnya adalah hak mereka dan bukanlah hak penguasa, namun membebaskan dalam bertahkim akan menjadikan cacat pondasi kekuasaan yang akan mengakibatkan kekacauan dikalangan manusia bagaikan keledai. Maka harus ditunjuk orang yang menjadi pemutus perkara. Oleh karena itu syariat memerintahkan untuk mengangkat pemimpin supaya menyelesaikan sumber kekacauan, dan syariat juga mengijinkan bertahkim untuk memperingan mereka dari kesusahan mengangkat permasalahan kepada qodhiy, supaya kedua maslahat itu tercapai dan terpenuhi” (Ahkaamul Qur’an karangan Ibnul ‘Arobiy hal. 622-623). Dan Ibnul ‘Arobiy menyebutkan dalam hal. 621: bahwasanya bertahkimnya orang Yahudi kepada Nabi SAW itu terjadi atas kerelaan mereka, karena sebenarnya memutuskan perkara itu adalah hak pendeta mereka. Ath Thobari juga menyebutkan semacam ini ketika menafsirkan ayat:
فَإِنْ جَاؤُكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرَضُ عَنْهُمْ

“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka” (QS. Al-Ma’idah 42).

...para sejarawan bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai, yang tidak diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah Ahludz-Dzimmah yang membayar jizyah...

Dan para ahli sejarah bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai, yang tidak diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah Ahludz-Dzimmah yang membayar jizyah. Oleh karena itu bertahkimnya mereka kepada Nabi pada perkara itu atas kerelaan mereka dan pilihan mereka dan bukan karena mereka tunduk pada hukum Islam. Inilah yang disebutkan oleh Asy Syafi’iy dalam Al-Umm IV / 129-130 kami nukil dari Ahmad Syakir dalam kitabnya ‘Umdatut Tafsir IV / 167.

6. Al-Khotthobiy dalam Syarhu Sunan Abiy Dawud-nya, ketika menjelaskan hadits kepemimpinan safar, yang berbunyi;
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةُ فِى سَفَرٍفَلِيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin”

Al-Khotthobiy berkata: “Rasulullah memerintahkan hal itu supaya mereka tidak berselisih pendapat dan tidak terjadi perselisihan yang dapat menyusahkan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bahwa apabila dua orang bertahkim kepada seseorang terhadap suatu masalah, lalu orang tersebut memutuskan dengan kebenaran, maka keputusannya itu berlaku”. (Ma’aalimus Sunan cet Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah 1401 H II / 260)

7. Dan di antara dalil atas bolehnya bertahkim dan berlakunya keputusan orang selain Imam atau para qodhiynya adalah bahwasanya bughot (pemberontak) itu jika menguasai suatu daerah, lalu mereka menjalankan hukum syar’iy, lalu mereka menarik harta (pajak) sesuai dengan tuntunan syariat, maka hukum mereka itu berlaku dan imam yang adil tidak bisa membatalkannya jika ia dapat menguasai daerah tersebut. Ibnu Qudamah berkata: ”Jika ahlul baghyi (pemberontak) itu mengangkat seorang qodhiy yang layak maka hukumnya sama dengan hukum ahlul ‘adli (qodhiy yang diberontak) dan keputusannya berlaku sebagaimana berlakunya hukum orang yang diberontak…” (Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X/70). Ibnu Qudamah juga berkata: ”Jika para pemberontak itu menguasai suatu daerah, lalu mereka melaksanakan hukum hudud, dan mereka mengambil harta zakat, jizyah dan khoroj, maka hal itu syah. Karena Ali tidak meneliti apa yang dilakukan dan dipungut oleh penduduk Basrah. Dan Ibnu ‘Umar membayarkan zakatnya kepada penarik zakat yang menjadi pembela al-haruriy (khowarij)..” (Al-Kaafiy IV / 152). Dan inilah yang ditetapkan oleh Al-Juwainiyy. (Al-Ghiyaatsiy hal. 374).

8. Dan apa yang ditetapkan oleh para fuqoha’ dari berbagai mazhab ini, yaitu bolehnya bertahkim kepada selain qodhiy yang diangkat di negara Islam, dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Mundzir An-Naisaburiy dalam kitabnya Al-Ijmaa’.

Merupakan ijma’ ulama’, beliau mengatakan: ”Ijma’ no. 254 para ulama’ bersepakat bahwa keputusan seorang qodhiy yang bukan qodhiy, diperbolehkan apabila pada masalah-masalah yang diperbolehkan”. (Kitaabul Ijmaa’ cet. Darut Thoyyibah 1402 H. hal. 75). Yang dia maksud “qodhiy yang bukan qodhiy” adalah qodhiy yang tidak ditunjuk oleh Imam. Sedang perkataannya berbunyi: ”Apabila termasuk permasalahan yang diperbolehkan” maksudnya; jika yang diputuskan oleh qodhiy tersebut diperbolehkan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: ”Qodhiy adalah sebutan bagi setiap orang yang memutuskan perkara antara dua orang, sama saja apakah dia itu kholifah atau penguasa atau wakilnya atau seorang wali (gubernur), atau orang yang menjabat sebagai pemutus perkara berdasarkan syariat atau wakilnya, sampai orang yang memutuskan perkara dikalangan anak-anak pada garis-garis yang mereka perselisihkan. Inilah yang dinyatakan oleh para sahabat Nabi SAW, dan pendapat inilah yang kuat”. (Majmuu’ Fataawaa XXVIII / 254).

Inilah dalil-dalil yang memperbolehkan bertahkim atas dasar kerelaan kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, yang mana orang tersebut bukan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam di negara Islam, yang memerintah dengan berlandaskan syariat Islam. Dan Abu Bakar Ibnul Mundzirijma’ atas bolehnya hal ini. telah menukil



Catatan: beberapa perbedaan antara Hakam dan Qodhiy:

1. Hakam tidak perlu diangkat oleh Imam ketika itu. Sedangkan Qodhiy, ia tidak menjabat kedudukan itu kecuali dia diangkat oleh Imam.

2. Hakam tidak bisa memutuskan perkara kecuali atas kerelaan orang yang bertahkim, sedangkan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam, ia memutuskan perkara antara orang yang bersengketa baik mereka rela maupun tidak rela. Dan dia berhak memaksa mereka untuk datang ke Majlis persidangan, jika mereka tidak mau datang dengan sukarela, ketika qodhiy menerima pengaduan.

3. Hakam tidak mempunyai hak secara umum untuk membahas persengketaan dan tidak pula mempunyai hak yang langgeng (terus menerus) untuk memutuskan perkara, karena hak secara umum dalam mengkaji dan kekekalan hak memutuskan perkara artinya adalah penguasa, dan yang semacam ini adalah hak qodhiy yang diangkat oleh imam.

Sedangkan hakam dan qodhiy mempunyai kesamaan dalam hal wajibnya memenuhi syarat-syarat untuk memutuskan perkara. Dan juga keputusan keduanya sama-sama harus diterima oleh orang yang bersengketa. Bedanya kalau qodhiy mempunyai kekuatan untuk melaksanakan hukumnya yaitu polisi, sedangkan hakam tidak mempunyai kekuatan jika ia membutuhkannya. Maka hendaknya orang yang bersengketa itu menerima pelaksanaan keputusannya –dan ini merupakan kewajiban mereka– namun jika mereka tidak mau melaksanakannya, ia bisa menulis surat kepada qodhiy yang diangkat imam, supaya memerintahkan pelaksanaan keputusannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah:

”Dan apabila qodhiy ini menulis surat kepada qodhiy kaum muslimin (yang ditunjuk) yang isinya adalah keputusannya, maka qodhiy tersebut wajib melaksanakan isi surat itu”. (Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir XI/484) inilah pembahasan yang berkaitan dengan keadaan yang pertama (ketika ada pemerintahan Islam yang melaksanakan hukum Islam). Bersambung

[Judul asli: Wujuubut-Tahaakum Ilasy-Syari’ah karya Syaikh ‘Abdul Qadir Bin ‘Abdul ‘Aziz, diterjemahkan oleh Abu Hamzah].

No comments: