Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (2)
Wajib Melakukan Tahkim Ketika Imamul Muslimin (Khalifah) Beserta Para Qodhinya Tidak Ada
Yaitu ketika kaum muslimin tidak mempunyai imam yang memerintah mereka dan tidak ada pula pengadilan syar’i yang mereka jadikan untuk memutuskan perkara. Dan inilah keadaan kebanyakan kaum muslimin pada hari ini. Maka saya tidak katakan bahwa mereka boleh, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengembalikan permasalahan mereka kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk melaksanakan pengadilan syar’i, untuk memutuskan perkara sesuai dengan syariat. Jika tidak ada orang yang mempunyai kelayakan maka mereka memilih orang yang terbaik, secara berurut sesuai dengan tingkatannya, dan haram bagi mereka untuk bertahkim kepada undang-undang buatan manusia yang kafir.
Dalilnya adalah; semua yang kami sebutkan pada keadaan pertama di atas, khususnya perkataan Syaikh Dhouyan dalam kitab “Manaarus Sabiil” dan perkataan Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughniy”, ditambah lagi:
1. Al-Qodhi Abu Ya’la Al-Hambali berkata: ”Seandainya di suatu daerah tidak ada qodhinya, lalu mereka (para ulama’) bersepakat untuk mengangkat seorang qodhi yang mereka ikuti, lalu mesti dilihat, jika ada imam maka pegangkatan itu batal, namun jika tidak ada imam maka pengangkatannya itu sah, dan keputusannya berlaku bagi mereka. Namun jika setelah qodhi tersebut mengkaji permasalahan, ada imam baru, pengkajian itu tidak dilanjutkan sampai ada ijin dari imam, namun apa yang telah diputuskan tidak menjadi batal.
Dan Ahmad telah menyatakan bahwa apabila ada dua orang yang memutuskan perkara, maka keputusannya itu berlaku”. (Al-Ahkaam As-Sulthoniyyah, hal. 73) Yang dijadikan landasan adalah perkataan beliau: Jika imam itu tidak ada maka manusia boleh mengangkat seorang qodhi. Adapun perkataannya: jika ada imam pengangkatan itu batal, hal ini tidak membatalkan pendapat kami yang kami sebutkan pada bagian pertama. Karena pengangkatan qodhi itu adalah bagian dari hak imam, adapun yang kami bahas pada bagian pertama di atas adalah masalah bertahkim kepada hakam dan bukan masalah pengangkatan qodhi. Dan diatas telah saya sebutkan beberapa perbedaan antara hakam dan qodhi.
...Jika imam itu tidak ada maka manusia boleh mengangkat seorang qodhi...
2. Imam As Suyuuthi –beliau bermazhab Syafi’i– berkata: ”Ibnu Subki berkata dalam kitab At-Tarsyiikh (bahwa) Al-Khowarizmi menyebutkan dalam kitab Al-Kaafiy bahwa pemberontak yang menguasai sebuah daerah lalu ia mengangkat qodhi yang bukan seorang mujtahid, atau tidak ‘adil (bisa dipercaya) sedangkan penduduk daerah itu tidak mampu menolaknya, apakah hukum dan keputusan-keputusannya berlaku, seperti menikahkan budak perempuan dan menggunakan harta anak yatim ? Hal ini mengandung dua kemungkinan:
Salah satunya adalah: tidak berlaku, dan cara yang bisa ditempuh kaum muslimin adalah bertahkim kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara yang mereka hadapi. Namun jika mereka tidak mendapatkan orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, maka berlakulah keputusan qodhi tersebut, karena darurat”. (Ar-Rodd ‘Alaa Man Akhlada Ilal-Ardh, karangan As-Suyuthi, hal. 88, cet. Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1403 H).
3. Ibnu ‘Abidin berkata: ”Jika tidak ada wali (penguasa) lantaran dikalahkan oleh orang-orang kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menentukan seorang wali (penguasa) dan imam Jum’at”. Ia juga mengatakan: ”Adapun negara yang penguasanya adalah orang-orang kafir, maka kaum muslimin boleh mengadakan shalat-shalat Jum’at dan hari raya, dan seorang qodhi menjadi qodhi atas dasar kerelaan dari kaum muslimin. Mereka harus mengangkat seorang wali (penguasa) dari kalangan mereka”. Dia juga mengatakan: ”Jika tidak ada pemerintahan dan juga tidak ada orang yang boleh untuk diangkat sebagai penguasa, sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri kaum muslimin seperti Cordova (daerah Spanyol / Andalusia) pada saat sekarang, wajib bagi kaum muslimin untuk bersepakat terhadap seseorang di antara mereka untuk mereka jadikan wali (penguasa), lalu ia mengangkat seorang qodhi yang akan memutuskan perkara di antara mereka. Ia juga mengangkat seorang Imam yang mengimami mereka dalam shalat Jum’at”. (Haasyiyatu Roddil Mukhtaar ‘Alad Durril Mukhtaar IV / 308 dan sebagian terdapat pada III / 253).
...Jika tidak ada wali (penguasa) lantaran dikalahkan oleh orang-orang kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menentukan seorang wali (penguasa) dan imam Jum’at...
4. Imamul-Haromain Al-Juwaini telah berbicara dalam masalah ini dengan panjang lebar, beliau berkata: ”Sekarang tiba saatnya saya untuk berbicara seandainya pada suatu masa tidak ada penguasanya yang mencukupi, kosong dari orang yang layak untuk menjadi seorang imam (khalifah) –sampai perkataan beliau– adapun yang diperbolehkan bagi setiap orang untuk bebas menentukan diri mereka sendiri, akan tetapi adab menuntut untuk meneliti orang yang layak memimpin dan orang yang top di masa itu, seperti mengadakan shalat Jum’at, memberangkatkan pasukan untuk berjihad dan melaksanakan hukum qishas pada pembunuhan dan luka, lalu manusia mengangkatnya sebagai pemimpin ketika tidak ada imam –sampai perkataannya– dan apabila manusia tidak mendapatkan seorang pemimpin yang akan mereka jadikan rujukan, maka mustahil mereka itu disuruh berpangku tangan, tidak melakukan usaha untuk menolak kerusakan.
Kalau mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah yang memungkinkan mereka laksanakan, maka akan tersebar kerusakan pada negara dan manusia –sampai perkataannya– sebagian ulama’ mengatakan: seandainya pada suatu masa terjadi kekosongan pemerintah, maka setiap penduduk suatu daerah harus mengangkat seorang yang pandai di antara mereka, yang akan mereka ikuti petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi apa yang dia larang. Karena jika mereka tidak melakukannya mereka akan kebingungan ketika terjadi banyak permasalahan –sampai perkataannya– Kemudian segala urusan yang menjadi kewajiban Imam diserahkan kepadanya.
Maka jika pada suatu masa terjadi kekosongan penguasa yang memiliki kekuatan, kemampuan dan pengetahuan, maka segala permasalahan dikembalikan kepada para ulama’. Dan semua orang harus kembali kepada ulama’ mereka, kemudian semua permasalahan di semua daerah diputuskan oleh ulama’ tersebut. Jika mereka melaksanakannya, maka mereka telah mendapat petunjuk ke jalan yang lurus, dan para ulama’ tersebut menjadi pemimpin kaum muslimin. Jika kesulitan untuk menyatukan mereka untuk mengikuti salah seorang ulama’ maka setiap daerah mengikuti ulama’ mereka. Jika pada suatu daerah banyak ulamanya maka yang diikuti adalah yang paling ‘alim. Seandainya mereka sama-sama ‘alim, maka kemungkinan ini sangat jarang dan hampir-hampir tidak ada.
...Kalau mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah yang memungkinkan mereka laksanakan, maka akan tersebar kerusakan pada negara dan manusia...
Dan jika mereka sepakat untuk meminta pendapat mereka semua, padahal keadaan dan mazhabnya bermacam-macam, hal ini mustahil. Jika mereka berselisih dan tidak mau mengalah dan mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan, maka menurutku untuk menyelesaikannya dengan diundi, maka orang yang keluar dalam undian itulah yang dipilih.” (hal. 385-391).
Kemudian Al-Juwaini mengatakan bahwasanya jika pada suatu masa tidak terdapat ulama’ mujtahidin, dan tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang yang menukil pendapat dari mazhab-mazhab para imam, beliau mengatakan: ”Sesungguhnya orang fakih yang kami sebutkan cirinya tersebut bagi seorang mustaftiy (orang yang meminta fatwa) menduduki kedudukan seorang imam mujtahid, ia naik ke tingkat yang tinggi dalam batasan-batasan tertentu.” (Al-Ghiyaatsiy, hal. 427, cet.II, tahqiq Dr. ‘Abdul ‘Adzim Ad Daib 1401 H).
Yang dimaksud perkataan Al-Juwaini tersebut adalah, bahwasanya yang dimintai fatwa itu adalah orang yang paling layak lalu kalau tidak ada, orang yang satu tingkat di bawahnya, dan begitu seterusnya. Dengan demikian kalau ada Mujtahid, tidak boleh meminta fatwa kepada seorang muqollid, namun kalau tidak ada mujtahid boleh meminta fatwa kepada muqollid. Begitu pula dalam masalah bertahkim, orang yang dimintai untuk memutuskan perkara adalah orang yang paling ’alim, lalu kalau tidak ada, orang yang satu tingkat di bawahnya. Ibnul Qayyim berkata: ”Hal yang mirip dengan ini adalah ketika penguasa itu tidak mendapatkan orang yang diangkat untuk menjadi qodhi kecuali orang yang tidak memenuhi syarat, dalam keadaan seperti ini, negeri itu tidak boleh dikosongkan dari qodhi, akan tetapi diangkat orang yang terbaik”. (A’laamul Muwaqqi’iin IV / hal. 196-197. Ibnu Taimiyah juga mengatakan seperti ini dalam Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah hal. 332).
Inilah perkataan para ulama’ salaf mengenai suatu masa yang tidak ada imam tertinggi (khalifah) nya, bahwasanya wajib atas seluruh penduduk negeri untuk berhukum kepada ahlul ‘ilmi (ulama’) di antara mereka yang mujtahid. Jika tidak ada, maka berhukum kepada orang yang terbaik setelahnya, dan begitu seterusnya. Karena perintah Allah untuk melaksanakan hukum itu tertuju kepada seluruh umat Islam. Allah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri baik laki-laki maupun perempuan potonglah tangan mereka” (QS. Al-Ma-idah)
dan Allah berfirman:
أَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
“orang-orang yang berzina laki-laki maupun perempuan, cambuklah ia” (QS. An Nur)
Dan ayat-ayat yang lain. Sedangkan Imam mewakili umat Islam dalam melaksanakan perintah tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ
“Sesungguhnya Imam itu adalah perisai” (muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits juga disebutkan:
فَالإِمَامُ الأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
“Imam Yang tertinggi menjadi pemimpin, dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (muttafaq ‘alaih)
...Maka jika Imam itu tidak ada, maka perintah itu kembali kepada umat Islam secara umum. Mereka harus mengangkat orang yang layak untuk memutuskan perkara...
Maka jika Imam itu tidak ada, maka perintah itu kembali kepada umat Islam secara umum. Mereka harus mengangkat orang yang layak untuk memutuskan perkara. Ahmad bin Hambal berkata: ”Manusia harus mempunyai seorang hakim, (kalau tidak) apakah hak-hak manusia itu akan hilang?” Dan Abu Ya’la menyebutkan dalam kitab Al-Ahkaam Ash-Shulthoniyyah hal. 24 dan 71. Hal itu karena mengangkat seorang qodhi itu termasuk fardhu kifayah untuk menjaga keadilan. Maka jika tidak ada sebagian orang yang melaksanakannya, semuanya berdosa. Allah berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan” (QS. An Nisa’: 135)
dan Allah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid: 25)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyinggung permasalahan yang semacam dengan ini secara lebih jelas. Yaitu sesungguhnya hukum-hukum dan huduud itu diperintahkan kepada umat Islam secara keseluruhan. Dan yang melaksanakannya adalah pemerintah yang mempunyai kemampuan. Maka jika penguasa tidak ada dan memungkinkan untuk melaksanakannya maka wajib melaksanakannya –jika dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan akibat meninggalkannya– beliau mengatakan: ”Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melaksanakan huduud dan huquuq secara mutlak, sebagaimana firman Allah:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan mereka.”
Dan juga firman Allah :
أَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
“Pezina laki-laki dan perempuan, cambuklah mereka.”
dan begitu pula firman Allah;
وَلاَ تُقْبَلُوامِنْهُمْ شَهَادَةُ أَبَدًا
“Dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya”
Namun hal ini dimengerti bahwa yang diperintahkan itu haruslah orang yang mampu melaksanakannya. Dan orang yang tidak mampu tidak wajib melaksanakannya. Dan juga diketahui bahwa kewajiban ini adalah fardhu kifayah. Hal ini seperti jihad, bahkan kewajiban tersebut bagian dari jihad. Maka firman Allah :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
“Diwajibkan atas kalian untuk berperang”
Dan firmanNya:
وَقَاتِلُوا فِى سَبِيْلِ اللهِ
“Dan berperanglah kalian dijalan Allah ”
Dan Firman Allah :
إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ
”Jika kalian tidak berangkat berperang, Allah akan mengadzab kalian.”
Dan ayat-ayat semacam ini adalah fardhu kifayah, terhadap orang-orang yang mampu. Sedangkan kemampuan adalah kekuasaan. Oleh karena itu melaksanakan hukum huduud merupakan kewajiban orang yang memegang kekuasaan dan wakil-wakilnya.
Dan menurut sunnah, hendaknya kaum muslimin itu memiliki satu imam, sedangkan yang lainnya adalah wakilnya. Namun seandainya sebagian kaum muslimin keluar dari kekuasaan imam tersebut karena bermaksiat, sedangkan yang lain tidak mampu, atau karena yang lainnya. Maka dalam keadaan seperti ini ada beberapa imam.
Dalam keadaan seperti ini setiap imam wajib untuk melaksanakan hukum hudud, dan memenuhi hak. Oleh karena itu para ulama’ mengatakan bahwa ahlul baghyi (pemberontak) itu hukumnya berlaku, sebagaimana berlakunya hukum-hukum ahlul adli. Begitu juga jika mereka berebut kekuasaan dan mereka menjadi berkelompok-kelompok, maka wajib bagi setiap kelompok untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut terhadap orang-orang yang mentaati mereka. Ini ketika terjadi perpecahan pemimpin, begitu pula ketika mereka tidak berpecah belah, akan tetapi ketaatan mereka kepada pemimpin tertinggi tidak sempurna. Sesungguhnya meskipun kekuasaan mereka tidak ada, mereka tetap wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Begitu juga seandainya sebagian pemerintah itu tidak mampu melaksanakan hukum huduud dan hak, atau mereka menyia-nyiakannya, maka kewajiban itu ditanggung oleh orang yang mampu melaksanakannya.
Sedangkan orang yang mengatakan: ”Tidak boleh melaksanakan hukum hudud kecuali Imam atau wakilnya”. Hal itu adalah ketika mereka mampu melaksanakan keadilan, sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqaha, permasalahan itu diserahkan kepada penguasa. Hal itu adalah jika hakim (penguasa) itu adil dan mampu. Namun jika ia menyia-nyiakan harta anak yatim, atau dia tidak mampu untuk menegakkan keadilan, permasalahan itu tidak wajib diserahkan kepadanya, ketika memungkinkan untuk menegakkan keadilan tanpa hakim (penguasa). Begitu juga seorang amir (gubernur) jika dia melalaikan hukum hudud, atau dia tidak mampu melaksanakannya, maka hukum-hukum tersebut tidak wajib untuk diserahkan kepadanya sedangkan masih memungkinkan untuk melaksanakannya tanpa dia.
...Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini mestinya dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban itu bisa dilaksanakan bersama seorang amir, maka tidak dibutuhkan lagi orang lain...
Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini mestinya dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban itu bisa dilaksanakan bersama seorang amir, maka tidak dibutuhkan lagi orang lain. Namun jika kewajiban itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan beberapa orang, maka kewajiban itu dilaksanakan dengan beberapa orang tersebut, jika dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerusakan yang melebihi kerusakan dalam meninggalkannya. Sesungguhnya masalah ini sama dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar. Namun jika pelaksanaannya menimbulkan kerusakan pada penguasa dan rakyat melebihi kerusakan yang ditimbulkan akibat tidak melaksanakan hukum tersebut, maka suatu kerusakan tidak boleh ditolak dengan kerusakan yang lebih parah. Wallohu a’lam”. (Majmuu’ Fataawaa XXXIV / 175-176).
Inilah perkataan para ulama’ yang menerangkan sahnya –bahkan wajibnya– orang untuk bersepakat melaksanakan hukum di antara mereka –semampunya– ketika tidak ada imam (Khalifah), dengan bertahkim kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara sesuai dengan syariat dari orang yang paling baik, kalau tidak ada dipilih orang yang setingkat di bawahnya, dan begitu seterusnya. bersambung...
[Judul asli: Wujuubut-Tahaakum Ilasy-Syari’ah karya Syaikh ‘Abdul Qadir Bin ‘Abdul ‘Aziz, diterjemahkan oleh Abu Hamzah].
No comments:
Post a Comment