Saturday, May 14, 2011

Deradikalisasi & Isu Pemanis NII (Membaca Relevansi Isu dan Target)

Deradikalisasi & Isu Pemanis NII (Membaca Relevansi Isu dan Target)

Oleh: Harits Abu Ulya

(Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)

Siapa yang tidak kenal dengan Densus 88?, hampir semua orang Indonesia familiar dengan satu nama ini. Apalagi dalam isu terorisme selalu tampil bak bintang film dan “pahlawan”. Tapi saat ini banyak orang mulai akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena para pejabatnya sering nongol di layar kaca menjadi “artis” dalam isu “terorisme”, dipimpin seorang yang selevel menteri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Apa bedanya antara dua institusi diatas? Yang paling penting adalah, BNPT memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme. Dan Densus 88 menjadi bagian dari instrumen penindakan BNPT. Isi BNPT juga nyaris bukan orang baru, banyak orang Densus 88 ditarik menjadi Deputi atau direktur di Lembaga baru ini yang dibentuk melalui kepres No 46 tahun 2010, resmi di-teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak BNPT berjalan maka isu-isu terkait “terorisme” orang-orang BNPT yang sering tampil di muka media. Bahkan ketua BNPT, Ansyad Mbai Laksana seorang orator politik; banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan seabrek kepentingan politiknya dibanding bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.

Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah “lembut” (soft measure) dibawah payung strategi yang bernama “deradikalisasi”. Sebuah strategi bagian dari proyek “kontra-terorisme”. Dan ini harus jalan karena pendekatan secara keras dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan “terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption“, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Jadi ini adalah sebuah program yang lebih banyak berbentuk pendekatan lunak (soft approach), baik kepada masyarakat luas, kelompok tertentu maupun individu tertentu yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.

Maka wajar saja jika proyek seperti ini rawan munculnya teknik kotor untuk memuluskan. Artinya perlu diciptakan kondisi dan situasi yang bisa memediasi program ini berjalan seperti yang diharapkan. Mengingat dari strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya jelas-jelas adalah kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal atau fundamentalis. Dalam konteks ini ada pendekatan formal, misalnya langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme.

Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo ( 21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu. Proyek BNPT tapi Penggagas acara ini diatas-namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang diketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo). Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain; hampir di semua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama’ dan tokoh masyarakat, audien cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta di lapangan yang membuat umat Islam merasa terdzalimi. Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari dalam upaya menumpas “terorisme”; sarat pelanggaran HAM, extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi. Bahkan tindakan “Hard Power” ini menjadi sumber kekerasan dan membuat siklus kekerasan yang tidak berujung. Negara seolah berubah menjadi “state terrorism”, kemudian melahirkan perlawanan baru dari berbagai level dengan beragam cara.

Di sisi lain, cara-cara yang tidak terbuka juga sangat mungkin dilakukan agar proyek deradikalisasi dengan motif jangka panjangnya mulus berjalan. “Mindset control” melalui media adalah keniscayaan dan krusial menjadi kebutuhan proyek ini. Maka dalam konteks ini, kita bisa membaca relevansi antara isu yang dikembangkan media tentang NII. Pertanyaannya, kenapa harus NII? Jawaban yang logis adalah; eksistensi NII adalah fakta sejarah di bumi Indonesia, dengan berbagai variannya NII hingga kini (varian tertentu) menjadi anak asuh dari entitas kekuasaan dengan kepentingan politiknya. Maka jika hari ini dihembuskan ulang tentang NII, bidikan sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah Islam). Proyek deradikalisasi, mengharuskan target bisa diraih diantaranya; masyarakat resisten terhadap terminologi dan visi politik dari sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” menjadi muara dari proyek ini, karenanya wajib mengeliminasi setiap “ancaman” terhadapnya.

Masyarakat masih segar ingatannya; ketika terjadi peristiwa kriminal perampokan Bank CIMB di kota Medan-Sumut, Kapolri saat itu (Bambang HD) menyatakan bahwa motif perampokan adalah hendak mendirikan negara Islam. Dan ini terulang pada kasus paket Bom Buku, pihak BNPT (Ansyad Mbai) “berorasi” bahwa pelakunya adalah pengusung dan pejuang negara Islam (Khilafah) dan yang menjadi obyek sasarannya adalah penghalang Khilafah. Dengan logika sehat, sulit rasanya untuk membaca hubungan tindakan dengan motif politiknya dalam kasus-kasus diatas, tapi masyarakat melihat pihak BNPT dan instrumennya ngotot mempropagandakan tentang visi politik dari setiap peristiwa yang mereka klaim sebagai “terorisme”.

Maka sesungguhnya ini adalah perang opini dan propaganda, berangkat dari sikap Islamphobia. Sikap paranoid yang berlebihan, sebagaimana berlebihnya pemerintah mengumumkan “Siaga 1″ untuk seluruh wilayah Indonesia menjelang “Paskah” umat kristiani dengan alasan dan argumentasi yang tidak bisa dicerna oleh orang-orang yang paham betul masalah aspek-aspek keamanan dan pertahanan ini.

Ala kulli haal, isu NII adalah tidak lebih layaknya pemanis dan menjadi “sambal” dari sebuah menu. Bisa juga menjadi “teror NII“, Ia diangkat ke permukaan untuk di ambil visi politiknya saja, di bawa untuk mendramatisir dan sifat mendesaknya sebuah proyek deradikalisasi harus berjalan dengan maksimal dan melibatkan banyak pihak, bahkan kebutuhan mendesak adanya regulasi (UU) yang bicara tentang keamanan negara, karena dengan berbagai peristiwa “terorisme” dibangun sebuah wacana Indonesia dalam sikon “gawat darurat” karena menghadapi gejala tumbuh suburnya Ideologi impor yang hendak menjadikan Indonesia Darul Islam (negara Islam).Wajar kalau saat ini masyarakat banyak terprovokasi, misalkan komponen ormas NU melalui Ansor-nya hendak membuat Densus-99 untuk menangkap setiap kelompok yang dicurigai melakukan pelatihan dan mengembangkan paham radikal, sama berlebihannya dengan mengintruksikan kepada seluruh anggotanya untuk melakukan swepping di seluruh masjid NU se-Indonesia untuk membersihkan dari paham radikal dan fundamentalis.

Deradikalisasi menjadi media baru lahirnya adu domba dan potensial memprovokasi lahirnya kontraksi dan gesekan sosial lebih serius antar umat Islam sendiri. Umat Islam dalam jebakan adu domba yang bernama proyek “kontra-terorisme” dengan berbagai strateginya termasuk deradikalisasi. Waspadalah wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan “demokrasi”,”toleransi”, dan “kebinekaan“. Wallahu a’lam bisshowab

No comments: