Monday, September 2, 2019

KHILAFAH SEBAGAI IKON PERLAWANAN

KHILAFAH SEBAGAI IKON PERLAWANAN
by Yogie W. Abarri
.
"Mau kemana?" tanya saya pada kawan yang tiba² berdiri dan bergegas menuruni anak tangga.
"Mau menghadap Bapak Presiden dulu, sebentar."
.
Kita² yang tinggal satu rumah kos dengannya, langsung paham.
Tapi kawan lain yang sedang datang berkunjung, biasanya akan bingung.
Menghadap Bapak Presiden?
Ah yang bener?
Dan kok pakai bajunya seadanya begitu?
Ya, di awal 90-an gerakan anti Suharto memang sudah mulai marak.
Maka ketika tahun 94 kami mulai kuliah, situasi politik ketika itu juga turut mewarnai kami.
.
Kebijakan rezim yang mulai meningkatkan pengawasannya kepada rakyat, berupa semakin intensifnya kegiatan intelijen, juga turut kami rasakan.
.
Sebagai mahasiswa, pada awalnya kita belum terlalu sensitif pada kondisi ekonomi saat itu. Intensifnya kegiatan intelijen lah yang lebih membuat kami jengkel.
Kami marah, karena kami tahu bahwa telepon rumah kos kami disadap.
.
Kami juga sebal, karena di depan rumah kos kami sering ditongkrongi pria asing yang kadang wajahnya mirip Wiranto, kadang mirip Hendro Priyono, kadang mirip Luhut.
Padahal kami pada awalnya merasa gak ada urusan dengan rezim. Tapi kegiatan intelijen salah sasaran (yang turut menyasar kami) itu tentu membuat kami jengkel. Sehingga akhirnya kami jadi turut membenci rezim.
Kebencian sampai membuat salah satu penghuni kos ada yang nekat memasang foto Presiden Suharto di kamar mandi, tepat di arah depan kloset.
.
Maka jadilah kegiatan BAB (buang air besar) pun punya istilah baru di rumah kos kami yaitu menjadi kegiatan "menghadap Bapak Presiden".
.
Sebab ketika kita sedang jongkok di atas kloset, lalu kita sedikit mendongakkan wajah, maka pandangan kita pun akan langsung tertumbuk pada foto Bapak Presiden Suharto.
.
Saya pribadi sebenarnya tak terlalu setuju dengan aksi nekat itu. Tapi berhubung penghuni kos beragam, tidak semuanya aktivis Islam, bahkan ada yang agak ke kiri, maka apalah yang hendak dikata?
The Enemy of My Enemy is My Friend
Situasi ketika itu sungguh unik. Kesamaan nasib (karena sama² merasa dirugikan oleh rezim) telah membuat kami semua kompak dalam mengkritik kebijakan rezim.
Baik mahasiswa yang aktivis Islam, juga mahasiswa yang bau komunis, bahkan mahasiswa yang sok nasionalis, semuanya saat itu bisa berdiri di barisan yang sama.
Sama² anti rezim.
.
Pepatah barat yang berbunyi "The Enemy of My Enemy is My Friend" tampaknya memang berlaku saat itu.
Musuhnya musuhku adalah kawanku. Kira² begitulah maknanya.
Sehingga ketika akhirnya Suharto berhasil dijatuhkan pada tahun 98, yang terlibat sesungguhnya beragam elemen.
.
Itu tercermin pada bagaimana Amin Rais dan Megawati saat itu bisa berdiri di barisan yang sama.
Semua yang merasa telah dirugikan or telah dibikin susah oleh rezim, menjadi berkumpul di sisi yang sama.
.
Meskipun begitu, sebagai mantan komandan tempur yang sedikit banyak pasti paham strategi perang, Suharto tak pernah sudi secara terbuka menyebut nama musuhnya.
.
Mungkin itu karena ia paham, bahwa kalau sampai ia nyebut nama, maka nama tersebut akan membesar dan menjadi ikon perlawanan.
.
Karena, dalam situasi yang sudah seperti itu, semua yang berseberangan dengan rezim satu sama lainnya akan cenderung saling menganggap kawan.
.
The enemy of my enemy is my friend.
Musuhnya musuhku adalah kawanku.
Maka ketika rezim sampai menyebut satu nama, misalnya X. Semua orang akan langsung menganggap, bahwa X itulah yang paling ditakuti rezim dan dianggap paling besar potensi bahayanya bagi rezim.
.
Sehingga, semua musuh rezim pun secara naluriah besar kemungkinannya bakal berhimpun (menyatukan perlawanan mereka) di bawah kepemimpinan X.
X akan menjadi pemimpin mereka, setidaknya secara pemikiran.
Seorang mantan komando tempur macam Suharto tentu paham dengan hal yang seperti itu. Sehingga wajar bila hingga akhir hayat kekuasaannya, ia tak menuding satu nama pun dari barisan musuhnya.
Dan benar, ketika akhirnya ia lengser keprabon mandeg pandito, di barisan musuhnya pun terbukti tak ada yang benar² berhasil memimpin secara pemikiran.
Ikon perlawanan itu tak ada.
.
Barisan yang semula kompak tegak di atas "kredo" ABS (asal bukan Suharto), pasca Suharto turun pun akhirnya semuanya bubar jalan ke arah kepentingannya masing².
Sehingga sebagaimana kita tahu, pasca reformasi kondisi negeri ini bukannya membaik justru malah makin runyam.
Lepas dari mulut harimau, masuk ke dalam mulut buaya.
.
Perlu Adanya Ikon Perlawanan
Hal yang sama sebenarnya juga tengah dialami oleh rezim yang saat ini sedang berkuasa.
.
Rezim menggelar karpet merah bagi asing-aseng-asong dalam merampok harta rakyat dan menjarah kekayaan alam milik rakyat.
Sementara di saat yang sama, rezim juga kian abai terhadap kewajibannya mengurusi rakyat.
.
Tentu saja itu membuat rakyat marah.
Tak punya prestasi apapun melainkan hanya hobi mengalihkan perhatian.
.
Ketakmampuannya memenuhi rencananya, ia tutupi dengan melempar rencana baru lainnya. Rencana yang lebih ambisius tentunya. Kalau perlu, rencana pindah ibukota pun akan ia lontarkan.
Tentu saja itu membuat rakyat muak.
Bertingkah mengkritik emak² yang suka beli tas impor. Padahal istrinya sendiri juga sering pakai tas impor.
.
Malah pernah sekali waktu anaknya terlihat pakai tas yang harganya lebih mahal daripada yang dipakai anaknya Donald Trump.
Tentu saja itu membuat rakyat kecewa.
Sama situasinya seperti menjelang Suharto jatuh dulu.
Kemarahan, kemuakan, dan kekecewaan rakyat, kini akhirnya pun semakin membumbung tinggi.
.
Bedanya dengan Suharto, rezim rajanya ruwaibidhah ini... mungkin karena saking bodohnya... malah menyebut nama.
Nama apa?
Nama orang? Bukan.
Nama ormas? Bukan.
Nama parpol? Bukan juga.
Pada awalnya adalah nama salah satu ormas. Yaitu HTI.
.
Ini adalah ormas yang paling dibenci oleh rezim. Sehingga begitu rezim sudah punya kesempatan, yang pertama kali digebug ya HTI. Dicabut BHP (badan hukum perkumpulan)-nya.
.
Narasi yang dibangun oleh rezim... karena HTI tak mau tegas mengakui Pancasila, UUD'45, dan NKRI.
Di pengadilan, rezim tak berani terang²an menembak ide Khilafah yang sering didakwahkan oleh HTI.
.
Nembak sih, tapi sambil muter².
Karena Khilafah adalah ajaran Islam, dan rezim tak mau terpojok di sudut yang sulit.
Tapi ketika di kemudian hari rezim giliran cari gara² juga dengan FPI, segala narasi yang dibangun sebelumnya untuk menembak HTI, langsung runtuh.
.
Menjadi jelas, nama yang paling dimusuhi oleh rezim ternyata adalah nama suatu sistem pemerintahan, yang disebut Khilafah.
Kepada FPI, rezim tak mungkin bisa membangun narasi anti Pancasila, UUD'45, dan NKRI.
.
Karena secara tegas dalam berbagai kesempatan, dan juga tercantum dalam AD/ART FPI... Pancasila, UUD'45, dan NKRI ada diakui dengan sangat jelas.
Sebab berkasus dengan FPI, rezim jadi tak bisa lagi bersilat lidah selain mengakui... alasan mau digebug nya FPI adalah karena FPI juga memperjuangkan tegaknya Khilafah.
.
Inilah dua ormas yang sangat dibenci oleh rezim. Dan kebenciannya itu adalah karena keduanya sama² menginginkan tegaknya khilafah.
.
Khilafah.
.
Ya. Perlahan tapi pasti, Khilafah pun kini mulai menjelma menjadi ikon perlawanan.
Perlahan tapi pasti, garis pemisah mulai tampak semakin jelas.
.
Siapapun yang pro Khilafah akan mengalami apa yang namanya... persekusi. Baik yang dilakukan oleh aparat maupun oleh keparat.
Dan siapapun yang tidak pro Khilafah, bahkan sekalipun sudah jelas menyerukan separatisme, sudah jelas membunuh aparat (Polri/TNI), membakar dan merusak ini-itu, dll dll... aman. Tak akan dipersekusi.
Finishing Touch
Sudah jelas. Yang paling ditakuti oleh rezim adalah Khilafah.
.
Rezim takut, ketika Khilafah tegak, maka semua perampokan harta rakyat yang mereka lakukan bersama majikan mereka... dan juga penjarahan kekayaan alam milik rakyat yang mereka lakukan bersama majikan mereka... jelas itu akan berakhir.
Itulah yang paling rezim takuti.
Maka itulah pula yang harus menjadi ikon perlawanan terhadap rezim.
.
Agar kelak ketika rezim ini tumbang, jangan sampai muncul rezim berikutnya yang setali tiga uang dengan rezim ini.
Jangan sampai kegagalan Reformasi '98 terulang lagi.
.
ABS (Asal Bukan Suharto) tak boleh terulang lagi dan menjadi Asal Bukan Siplongo.
Semoga rezim ini berakhir dan menjadi pengantar bagi berakhirnya pula fase mulkan jabariyyan menuju dimulainya fase baru yaitu fase Khilafah 'Ala Minhajin-Nubuwwah sebagaimana kabar gembira yang telah RasuluLLah sampaikan.
Yang dibutuhkan sekarang ada dua hal.
Pertama.
.
Situasi yang semakin menjepit rakyat.
Ini penting, karena kalau kita baca buku² yang mengisahkan tentang bangkit dan runtuhnya peradaban² besar dunia, bangkitnya suatu peradaban baru adalah selalu diawali dengan runtuhnya peradaban sebelumnya.
Ini penting, tapi tak ada yang perlu kita lakukan.
.
Karena selalu rezimnya sendirilah yang akan meruntuhkan peradabannya. Yaitu dengan semakin zhalimnya rezim. Semakin represif. Semakin abai pada urusan rakyat. Semakin ganas pajak yang ditarik. Dll, dll.
.
Apalagi dengan kita punya rezim yang juaranya ruwaibidhah, maka serahkan saja urusan ini pada mereka, dan dijamin mereka akan sanggup meruntuhkannya dengan cepat.
.
Mantap kan?
Nikmat Allah mana lagi yang kalian dustakan?
.
Kedua.
Ikon perlawanan yang shahih.
Gagalnya Reformasi '98 dan tertipunya (sebagian) Ummat di Pilpres yang lalu, itu karena Ummat tidak punya cita² yang jelas, yang bisa dijadikan ikon perlawanan bersama.
.
Saat Reformasi, Ummat dengan lugunya hanya bercita²... ABS (Asal Bukan Suharto).
Akibatnya, perjuangan Ummat jadi dibajak oleh politisi² busuk dan oportunis. Serigala berbulu domba.
.
Pasca Reformasi, situasi malah menjadi makin buruk, makin buruk, dan terus makin buruk.
.
Saat Pilpres, Ummat dengan culunnya hanya bercita²... ABS (Asal Bukan Siplongo).
Akibatnya, Ummat jadi tertipu oleh kucing tua doyan nasi goreng, yang dalam retorika²nya sering berlagak seolah² macan yang mengaum ke arah Siplongo. Padahal kenyataannya...
.
Cukup sudah.
Untuk selanjutnya, Ummat tak boleh terperosok lagi ke dalam lubang yang sama.
Ummat harus punya cita² yang jelas.
Ikon perlawanan itu harus ada.
Ikon itu sebaiknya bukan orang.
Orang bisa mati. Orang bisa berubah.
Ikon itu haruslah berupa ide. Gagasan. Konsep.
.
Maka, ide dan gagasan yang tertinggi adalah... bersatunya kembali Ummat Islam untuk menerapkan Syariah Allah secara käffah, di bawah naungan konsep sistem pemerintahan yang jelas, yaitu Khilafah.
Kata guru² kita dulu...

Gantungkanlah cita²mu setinggi langit.
Kalau bukan Khilafah apa lagi?
Cita² apa lagi yang bisa lebih tinggi dari itu?
Khilafah.
Itulah yang seharusnya kita jadikan ikon perlawanan.
Itulah yang seharusnya kita perjuangkan bersama.
.
Ke arah sanalah energi harus diarahkan, dan jangan lagi sekedar ABS.
Tiga bulan lagi, kita insyaaLLah akan berkumpul lagi di Monas untuk kembali mengadakan Reuni 212.
.
Setelah Ijtima' Ulama IV sudah benar menyatakan Khilafah adalah ajaran Agama Islam... maka sudah saatnya pula dalam Reuni 212 nanti Ummat menyatukan cita²nya ke arah tegaknya kembali Khilafah.
Lupakan 2024.
.
Tak ada gunanya menunggu 2024 hanya untuk kembali dicurangi dan dikhianati lagi.
Bila Ummat benar² mau meluruskan niatnya hanya untuk Allah, niscaya Allah tak perlu menunggu hingga 2024 untuk menurunkan pertolonganNya. []
.
CEK CORETAN LAINNYA DI
https://m.facebook.com/story.php?story_
fbid=148111479098347&id=100016984876409
TELEGRAM BACKUP @bukangoresanpena

No comments: