Sunday, September 1, 2019

APAKAH SYAHGANDA NAINGGOLAN SUDAH IKHLAS PAPUA LEPAS ?

APAKAH SYAHGANDA NAINGGOLAN SUDAH IKHLAS PAPUA LEPAS ?

Oleh : Nasrudin Joha

Sekelebatan, di sosial media saya menemukan tulisan Dr. Syahganda Nainggolan dengan judul 'Pemindahan Ibukota dan Nasib Anies Baswedan'. Ulasannya menarik. Jika banyak pakar atau tokoh yang membahas wacana Pindah Ibukota Negara (PIN) dari aspek ketatanegaraan, Hukum, Teknis, serta kaitan dengan janji kampanye politik Jokowi pada Pilpres 2019, Syahganda mengulas dari aspek yang lain.

Syahganda memilih mengulas posisi politik Jakarta dan Anies Baswedan pasca pindah ibukota. Tentu saja, dengan kekhasan gaya tulisannya.

Namun, ada yang tidak biasa dari tulisan Dr. Syahganda Nainggolan. Biasanya, dirinya selalu menisbatkan diri pada lembaga Sabang Merauke Cyrcle.


Dalam tulisan tersebut, Syahganda tak lagi membawa lembaga Sabang Merauke Cyrcle. Dirinya memproklamirkan diri sebagai penulis dari Jakarta Development Initiative.
Saya belum bisa memastikan apakah Jakarta Development Initiative itu lembaga baru milik Syahganda atau sudah lama eksis. Tidak juga bisa diketahui secara pasti, apakah Kedepan Syahganda benar-benar tak lagi mencantumkan Sabang Merauke Cyrcle dalam setiap tulisannya. Hanya saja, saya berpraduga. Apakah ini sebuah petunjuk bahwa urusan Papua sudah 'the end' ?
Tidak keliru, jika muncul anasir bahwa urusan Papua akan berujung seperti Timor timur. Prakondisi menuju kesana begitu terlihat kontras. Apalagi, dibawah kepemimpinan lemah Jokowi kemungkinan lepasnya Papua lebih sulit diingkari ketimbang kelanggengan integrasinya.
Pemerintahan Jokowi nampak tak berdaya menghadapi isu ini, bahkan hingga ada demo di depan istana yang mengibarkan bendera OPM. Tak ada satupun peluru, baik peluru karet apalagi peluru tajam yang dimuntahkan untuk menertibkan demo ini.
Keadaannya sangat jauh berbeda dengan aksi unjuk rasa 21-22 Mei yang saat ini selain menimbulkan korban dipihak pendemo, pendemo juga harus menghadapi tuntutan hukum dengan label 'perusuh' dengan tumpukan pasal karet dan pasal pukat harimau.


Sidang di pengadilan negeri Jakarta pusat dan Jakarta barat, disesaki dengan para terdakwa yang secara kolosal dipaksa dihadirkan dimuka hukum. Belum lagi, riuh para pendukung, tim pembela dan keluarga yang menyesaki ruang pengadilan. Diantara mereka, ada karyawan Sarinah yang didakwa bersalah hanya karena telah memberi air minum kepada para pendemo.
Namun apakah tindakan 'sigap' aparat pada peristiwa 21-22 Mei berlaku bagi para pendemo Papua di istana ? Kenapa, ring satu istana tidak steril, padahal jika yang demo umat Islam kawat berduri dibentangkan untuk melindungi 'kesombongan' Gedung istana ?
Para tokoh bangsa banyak komentar dan nyinyir ihwal tidak bisa pulangnya HRS. Namun, tak ada yang peduli dengan ancaman Papua merdeka. BPIP juga terlihat tenang-tenang saja. Banser yang paling NKRI juga tidak berani membubarkan demo Papua merdeka, beraninya cuma membubarkan pengajian.


Narasi isu RAS, ketidakadilan, konflik sosial, dan tayangan ketidakhadiran negara di Papua menguatkan prakondisi Papua untuk pisah dari NKRI, ketimbang tetap terintegrasi. Jalur diplomasi internasional, jalur fisik OPM, dan jalur gerakan yang dianggap representasi Papua, telah bergerak secara sistematis dan saling terkait.

Pisahnya Papua, hanya soal waktu saja.
Apakah keadaan ini yang telah terbaca oleh Syahganda Nainggolan, sehingga dirinya secara dini menyiapkan bantalan lembaga baru sebelum akhirnya Sabang Merauke Cyrcle resmi dilikuidasi ? Apakah Syahganda telah ikhlas Papua lepas, karena berapapun buah pikiran kritis segenap anak bangsa termasuk dirinya, yang memberikan sumbangsih pemikiran solusi untuk Papua nampaknya tidak digubris rezim Jokowi.
Sampai tulisan ini berakhir, saya masih belum bisa menjawab : apakah Syahganda Nainggolan sudah ikhlas Papua lepas ? Apakah sabang Merauke Cyrcle resmi dilikuidasi karena lepasnya Papua. Mungkin, saya terpaksa mengikuti petuah Ebid G Ade, untuk menanyakan terlebih dahulu ihwal perkara ini pada rumput yang bergoyang. 

No comments: