Substansi Syariat Islam
Definisi Syariat Islam
Kata syariat Islam merupakan pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-syarî`ah
al-Islâmiyyah. Secara etimologis, kata as-syarî'ah mempunyai konotasi masyra`ah
al-mâ' (sumber air minum).1 Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan
sebutan syarî`ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah
kering.2 Dalam bahasa Arab, syara`a berarti nahaja (menempuh), awdhaha
(menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara`a
lahum-yasyra`u-syar`an berarti sanna (menetapkan).3 Syariat dapat juga berarti
madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).4
Dalam istilah syariat sendiri, syarî`ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah
SWT untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang
beragam.5 Hukum-hukum dan ketentuan tersebut disebut syariat karena memiliki
konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan
bagi makhluk hidup. Dengan demikian, syariat dan agama mempunyai konotasi yang
sama,6 yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi
hamba-hamba-Nya.
Sementara itu, kata al-Islâm (Islam), secara etimologis mempunyai konotasi
inqiyâd (tunduk) dan istislâm li Allâh (berserah diri kepada Allah). Istilah
tersebut selanjutnya dikhususkan untuk menunjuk agama yang disyariatkan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad saw. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan kata Islam
sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
ِ﴿الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ
لَكُمْ
دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْت\
615; عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ
لَكُمُ
الإِْسْلاَم\
614; دِينًا﴾
Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan
nikmat-Ku atas kalian, dan meridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (QS
al-Mâ'idah [5]: 3).
Karena itu, secara syar`î, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada junjungan kita, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan
Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya.7 Hubungan manusia dengan
Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya
sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya
meliputi muamalat dan persanksian.8
Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan
oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad
saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri,
dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan
syariat. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas
fisik manusia (af`âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati
manusia (af`âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu,
syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam
masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya);
apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal
bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.
Ruang Lingkup Syariat Islam
Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar`î
di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran
Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan
yang menjadi turunannya.
Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada
kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang
baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata.9 Akidah Islam juga meliputi
keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara yang
berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang
tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.10 Akidah Islam
merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan
secara sahih problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal;
untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati.11 Artinya, akidah
Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber
dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas
persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi
Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan
Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud adalah
hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk pada syariat-Nya.
Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas
manusia di hadapan-Nya.12
Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan
ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan
ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13 Tentu saja,
untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli
(rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun
Qiyas.
Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴿وَنَزَّلْن\
1614;ا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ
تِبْيَانًا
لِكُلِّ
شَيْءٍ﴾
Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk
menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
»قَالَ
تَرَكْتُ
فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ
لَنْ
تَضِلُّوا
مَا
تَمَسَّكْتُ\
605;ْ بِهِمَا
كِتَابَ
اللهِ
وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ «
Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat
selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).
Dari dua nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan
manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah semisal shalat,
puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti
dalam urusan pakaian, makanan dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan
sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan
politik luar negeri, dll. Secara konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam
dengan sejelas-jelasnya.
Sementara itu, dalam tataran praktis atau aplikatif, Islam juga memiliki
tatacara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-hukumnya,
memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian,
yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik
sehingga disebut sebagai fikrah (konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat
praktis dan aplikatif sehingga disebut dengan tharîqah (metode). Sebab, yang
terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat praktis dan
aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik,
di samping bersifat tetap.
Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam, kewajiban shalat,
zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah,
dan sanksi atas tindakan kriminal (`uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan
aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak
berubah karena situasi dan kondisi.14 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah.
Karena syariat Islam terdiri dari fikrah dan tharîqah, keduanya harus diyakini
secara utuh; tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Mengimani fikrah-nya saja
(semisal kewajiban menegakkan shalat dan haramnya meninggalkan zakat) tanpa
meyakini tharîqah untuk mengaplikasikannya semisal (keharusan memberlakukan
sanksi ta'zîr bagi para pelanggarnya) bukan hanya akan mengakibatkan
terabaikannya pelaksanaan syariat Islam tersebut, tetapi juga dapat mengantarkan
siapa saja yang mengingkarinya pada kekufuran—jika yang diingkarinya adalah
hukum-hukum yang bersifat tegas/pasti (qath`î) dari segi sumber (tsubût) dan
makna (dalâlah)-nya.
Dengan ungkapan lain, syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual
(`aqîdah rûhiyyah) dan ideologi politik (`aqîdah siyâsiyyah). Spiritualisme
Islam telah membahas hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya yang terangkum
dalam akidah dan ubudiah; membahas pahala dan dosa manusia; serta membahas
seluruh urusan keakhiratan manusia seperti surga dan neraka. Sebaliknya,
ideologi politik Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum
dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya; baik
menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik luar
negeri, dan sebagainya.15 Istilah `aqîdah (keyakinan, prinsip dasar, ideologi)
sengaja digunakan untuk menyebut kedua konsepsi di atas. Alasannya, karena
masing-masing aspek tersebut merupakan ajaran Islam yang harus diyakini oleh
setiap Muslim dan merupakan persoalan agama yang telah sama-sama diketahui
urgensinya (ma`lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah). Penolakan terhadap salah satu
atau kedua-duanya sekaligus dapat mengakibatkan seseorang terpelanting dari
Islam alias murtad.
Dari sini, dapat disimpulkan, bahwa syariat Islam bukan hanya mengatur urusan
dan persoalan yang dibahas oleh agama, tetapi juga urusan dan persoalan yang
dibahas oleh ideologi. Dengan lingkup syariat Islam yang meliputi dua wilayah
ini—agama dan ideologi—maka tepat sekali jika Islam disebut sebagai agama dan
ideologi sekaligus. Artinya, secara mendasar, Islam jelas berbeda dengan
Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya yang bersifat spiritual.
Syariat agama-agama non-Islam di atas pada faktanya hanya membahas urusan dan
persoalan spiritual (keakhiratan) sehingga hanya layak disebut sebagai agama.
Sebaliknya, urusan dan persoalan keduniaan yang dibahas oleh ideologi, tidak
dibahas oleh agama-agama non-Islam tersebut. Islam juga berbeda dengan
ideologi-ideologi lain seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua ideologi
tersebut pada faktanya juga hanya membahas urusan dan persoalan keduniaan
semata.
Sebaliknya, urusan dan persoalan spiritual (keakhiratan) yang dibahas oleh agama
tidak dibahas oleh keduanya. Karena itu, baik Kapitalisme maupun Sosialisme
tidak dapat disebut sebagai agama, tetapi lebih tepat disebut sebagai ideologi.
Walhasil, Islamlah—dengan syariatnya—satu-satunya yang ada di dunia ini yang
membahas seluruh urusan dan persoalan keduniaan maupun keakhiratan dengan
sempurna. Artinya, hanya Islamlah satu-satunya syariat di dunia ini yang utuh
dan sempurna, yang dapat diimplementasikan sebagai agama dan ideologi sekaligus.
Keluasan dan Fleksibelitas Syariat Islam
Dari uraian di atas, dapat dibuktikan bahwa syariat Islam mempunyai lingkup yang
sangat luas; mencakup seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:
﴿وَنَزَّلْن\
1614;ا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ
تِبْيَانًا
لِكُلِّ
شَيْءٍ﴾
Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk
menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
﴿الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ
لَكُمْ
دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْت\
615; عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ
لَكُمُ
الإِْسْلاَم\
614; دِينًا﴾
Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan
nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian. (QS
al-Mâ'idah [3]: 3).
Kedua ayat ini membuktikan cakupan Islam yang meliputi seluruh urusan manusia.
Urusan-urusan tersebut semuanya telah dijelaskan oleh Islam. Syariat Islam yang
mengatur seluruh urusan tersebut telah disempurnakan oleh Allah sehingga tidak
ada sedikitpun kekurangan di dalamnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun
persoalan dan urusan kehidupan manusia yang tidak dijelaskan oleh Islam.
Keluasan syariat Islam terlihat dari cakupannya yang meliputi seluruh urusan dan
persoalan kehidupan manusia; mulai dari yang bersifat duniawi hingga yang
bersifat ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan
Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga persoalan
personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Semua itu terepleksikan
dalam urusan akidah dan ubudiah; pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan,
politik luar negeri, dan sanksi hukum; akhlak, makanan, dan pakaian. Semuanya
telah dibahas tuntas dan jelas oleh syariat Islam. Penggalian berbagai hukum
terhadap nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Sunnah Nabi, memungkinkan
dipecahkannya berbagai kasus dan persoalan yang beragam. Kasus-kasus perburuhan,
misalnya, baik negeri ataupun swasta, dapat diselesaikan dengan hukum syariat
yang digali dari firman Allah berikut:
﴿فَإِنْ
أَرْضَعْنَ
لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنّ\
614;﴾
Jika mereka (para wanita itu) menyusui untuk (anak-anak) kalian, berikanlah
upah-upah mereka. (QS at-Thalâq [65]: 6).
Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan hak wanita yang dicerai atas upah
menyusui yang dilakukannnya terhadap anak hasil pernikahan antara dirinya dan
bekas suaminya. Dari kasus upah wanita yang dicerai ini lahir definisi syar`î
mengenai akad perburuhan (ijârah), yaitu akad atas jasa tertentu dengan
kompensasi tertentu.16 Definisi ini merupakan bagian dari hukum syariat yang
relevan untuk diimplementasi pada seluruh kasus perburuhan, baik buruh khusus
maupun umum. Definisi ini juga dapat digunakan untuk menghukumi status akad
kekhalifahan antara khalifah dan umat atau akad antara khalifah serta para
pembantu dan walinya, yakni bahwa mereka tidak diangkat berdasarkan akad
perburuhan (`aqd al-ijârah). Artinya, mereka tidak layak mendapatkan upah
sebagaimana halnya buruh, tetapi sekadar mendapatkan kompensasi atau santunan
non-gaji.17 Karena bukan akad perburuhan, mereka juga tidak dapat diberhentikan
oleh umat, karena umat bukan majikan mereka, dan mereka bukan buruh umat. Mereka
hanya dapat diberhentikan oleh mahkamah mazhâlim (sejenis mahkamah agung, peny.)
sebagai institusi yang berfungsi untuk menghilangkan kezaliman yang dilakukan
oleh aparat pemerintahan.
Namun demikian, tidak semua nash-nash syariat yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah Nabi membahas seluruh persoalan kehidupan manusia secara rinci/mendetail
(mufashshal). Sebagian besar nash-nash tersebut bahkan hanya menjelaskan
hukum-hukum tertentu secara global (mujmal) dengan makna-makna yang bersifat
general (ma'ân `âmmah). Sementara itu, rinciannya diserahkan pada mekanisme
ijtihad para mujtahid, yaitu ketika bentuk dan makna yang bersifat global dan
general tersebut hendak diimplementasikan sesuai dengan kondisi kasus-perkasus
pada setiap waktu dan tempat. Hukum waris, misalnya, di satu sisi dinyatakan
secara rinci (mufashshal) di dalam al-Quran. Akan tetapi, dalam sebagian kasus
tertentu, hukum waris memerlukan ijtihad seorang mujtahid, seperti dalam kasus
kalâlah. Sebagaimana diketahui, Allah SWT berfirman:
﴿وَإِنْ
كَانَ رَجُلٌ
يُورَثُ
كَلاَلَةً
أَوِ
امْرَأَةٌ
وَلَهُ أَخٌ
أَوْ أُخْتٌ
فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ
مِنْهُمَا
السُّدُسُ﴾
Jika seseorang yang mati—baik laki-laki maupun perempuan—adalah kalâlah,
sementara ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing saudaranya itu seperenam
harta. (QS an-Nisâ' [4]: 12).
Ketika Abû Bakar ditanya mengenai pengertian kalâlah, beliau menjawab, "Kalâlah
adalah orang yang tidak memiliki bapak maupun anak."18
Sebaliknya, `Umar bin al-Khaththâb berpendapat yang berbeda dengan Abû Bakar.
Menurutnya, kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak saja. Akan tetapi
kemudian, sebelum meninggal, `Umar meninggalkan pendapatnya dan kembali merujuk
pada pendapat Abû Bakar.19 Perbedaan antara Abû Bakar dan `Umar ini wajar
terjadi karena nash yang menjelaskan kasus kalâlah ini tidak rinci (ghayr
mufashshal).
Dengan adanya nash-nash syariat yang bersifat global (mujmal) dan general
(`âmmah), setiap dinamika, perubahan, dan perkembangan persoalan yang
berlangsung di tengah manusia sangat mungkin direspon dan diselesaikan dengan
cepat oleh para mujtahid. Sekalipun demikian, adanya perubahan dan perkembangan
realitas yang terjadi tidak berarti nash-nash syariat tunduk pada realitas yang
ada. Sebaliknya, realitas tersebutlah yang harus tunduk pada nash-nash syariat.
Dalam hal ini, Islam telah mensyariatkan satu metode untuk menyelesaikan seluruh
problem yang berkembang, yakni menyeru para mujtahid untuk mempelajari problem
yang terjadi sampai benar-benar dipahami, memahami nash-nash syariat yang
relevan dengan kasus yang terjadi, dan baru setelah itu menggali atau
mengimplementasikan hukum atau pemecahan atas problem tersebut.20
Dengan cara seperti ini, keluasan nash-nash syariat untuk menghasilkan berbagai
hukum syariat dan fleksibelitasnya sehingga dapat diimplementasikan dalam
berbagai kasus telah menjadi ciri khas syariat Islam. Dengan karakter seperti
inilah syariat Islam mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh problem
dalam kehidupan manusia, baik di masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang.
Di samping bukti-bukti normatif di atas, juga terdapat bukti-bukti historis,
yakni perjalanan peradaban Islam yang sangat panjang dan sangat agung—selama
hampir 13 abad—sebagai hasil dari diterapkannya syariat Islam di muka bumi.
Bukti-bukti normatif maupun historis ini mengukuhkan bahwa selama metode
penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi—yang bersumber dari syariat
Islam—diterapkan oleh umat Islam dan pintu ijtihad pun tetap dibuka, selama itu
pula syariat tidak pernah kering akan solusi sekaligus tetap layak diterapkan di
manapun dan kapanpun. Akan tetapi sebaliknya, ketika syariat Islam tidak
diterapkan dan pintu ijtihad pun seolah telah ditutup, umat Islam menjadi mandul
dan tidak mampu memecahkan berbagai persoalan yang terjadi. Inilah yang pernah
dihadapi umat Islam pasca `ditutupnya' pintu ijtihad oleh al-Qaffâl pada abad
ke-4 Hijriah/10 Masehi dan pasca digusurnya syariat Islam seiring dengan
diruntuhkannya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk yang
berkonspirasi dengan Yahudi dan Inggris.
Hukum Tidak Berubah karena Faktor Waktu dan Tempat
Karakteristik hukum Islam sangat berbeda secara diametral dengan hukum produk
Kapitalisme maupun Sosialisme. Hukum Islam dibangun berdasarkan nash-nash
syariat yang tetap. Dalam Islam, nash-nash syariat adalah sumber hukum yang
kemudian menghukumi realitas. Sebaliknya, dalam Kapitalisme, misalnya,
realitaslah yang menjadi pijakan hukum yang kemudian menghasilkan produk-produk
hukum yang sesuai dengan (mengakomodasi) realitas.21 Akibatnya, hukum produk
Kapitalisme ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda antara satu
tempat dan tempat lainnya. Ini adalah konsekuensi dari dijadikannya
realitas—yang terus berubah dan berkembang—sebagai pijakan hukum. UU Pemilu
Tahun 1999, misalnya, yang notabene baru dan dianggap paling baik dibandingkan
dengan UU Pemilu sebelumnya, kini telah direvisi dengan alasan mempunyai
kelemahan-kelemahan seiring dengan tuntutan dan perkembangan baru jagat
perpolitikan di Tanah Air. Sementara itu, hukum produk Sosialisme dibangun
berdasarkan hipotesis-teoretis yang diasumsikan ada dalam permasalahan yang
terjadi.22
Sebagaimana telah dijelaskan, produk hukum Islam digali dari nash-nash syariat,
sementara pada saat yang sama nash-nash tersebut tidak tetap dan tidak pernah
mengalami perubahan. Karena itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat
dengan nash dan tunduk pada apa yang dinyatakan oleh dalâlah-nya. Pertimbangan
atas dasar `perubahan zaman' dan perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama
sekali di sini, sebagaimana pertimbangan atas dasar kemaslahatan atau
kemadaratan.
Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh
mempengaruhi hukum Islam. Sebab, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah
`illat (motif diberlakukannya hukum) dan sumber hukum. Bahkan, kultur,
kebiasaan, dan adat-istiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat.
Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada pada masa sekarang ini
pada dasarnya merupakan kristalisasi dari pemikiran dan hukum-hukum yang
bersumber dari sistem sekular yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan
masyarakat. Namun demikian, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut
tidak bertentangan dengan hukum Islam, ia dibolehkan (mubah). Hanya saja,
kebolehannya bukan karena pertimbangan apa-apa kecuali karena memang dibolehkan
oleh nash-nash syariat.
Sebagaimana dimaklumi, syariat Islam adalah yang itu-itu juga; tidak pernah
berubah. Yang halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya
begitu hingga Hari Kiamat, karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam
telah sempurna. Karena itu, khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu
waktu, kemudian berubah menjadi halal pada waktu lain. Demikian juga keharaman
riba, memata-matai orang Islam, menipu, meminta bantuan kepada orang kafir,
suap, dan sebagainya. Statemen bahwa hukum harus berubah karena faktor perubahan
waktu dan tempat tentu merupakan bentuk keberanian yang luar biasa terhadap
Allah. Allah SWT berfirman:
﴿وَلاَ
تَقُولُوا
لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُك\
615;مُ
الْكَذِبَ
هَذَا
حَلاَلٌ
وَهَذَا
حَرَامٌ
لِتَفْتَرُو\
575; عَلَى اللهِ
الْكَذِبَ
إِنَّ
الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ
عَلَى اللهِ
الْكَذِبَ
لاَ
يُفْلِحُونَ\
4830;
Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian,
"Ini halal dan ini haram," untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan
berhasil. (QS an-Nahl [16]: 116).
Apabila hukum Islam harus berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan
ada satu fakta atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus—halal dan
haram—meskipun dalam wilayah dan rentang waktu yang tidak sama. Ini jelas
mustahil karena Allah tidak mungkin menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk
kasus yang sama. Hal ini juga sangat kontradiktif dengan karakter kesempurnaan
syariat Islam.
Memang, realitas yang menjadi obyek hukum boleh jadi mengalami perubahan, tetapi
hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah. Dalam istilah para
ahli fikih (fuqahâ'), obyek hukum biasa disebut manâth al-hukm.23 Dalam al-Quran
dan as-Sunnah, misalnya, khamar sampai kapanpun dan di mana pun tetap
diharamkan. Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia
menjadi halal. Dalam dua keadaan ini sebetulnya tidak dapat dikatakan telah
terjadi perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth al-hukm yang
memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar tetap khamar dengan
keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki
esensi dan manâth al-hukm yang berbeda.
Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi
perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth,
menurut al-Ghazâli, tidak sama dengan `illat (latar belakang/motif
diberlakukannya hukum).24 Sebab, tidak semua hukum mempunyai `illat, tetapi ia
pasti mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas
manâth al-hukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk
yang lain.25
Contoh lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat
sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri
menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi
berbeda, tetapi karena memang adanya perbedaan hukum yang didasarkan pada dua
manâth al-hukm yang memang berbeda: orang sehat tidak sama dengan orang sakit.
Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat dengan berdiri, sedangkan
orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk atau berbaring. Jika
hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas keliru, karena
masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian seterusnya.
Di samping itu, syariat Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya
sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena
faktor Arab atau non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab atau
non-Arab, esensinya sama; masing-masing mempunyai kebutuhan jasmaniah dan
naluriah yang sama. Kondisi ini tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa
hukum harus berubah karena faktor waktu dan tempat sebenarnya bukan merupakan
keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi kemanusiaan pada diri manusia tidak
pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah sarana fisik dan wujud materi
yang melingkupinya. Dengan demikian, dinamisasi, perkembangan, dan perubahan
tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi atau sarana-sarana
fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan
naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi
tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia
memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, beristirahat. Semua ini diperlukan
oleh manusia pada zaman mana pun dan di mana pun meskipun boleh jadi alat pemuas
dan kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman
purba, misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan
manusia pada zaman modern meskipun kebutuhan mereka untuk makan, minum,
berpakaian, tidur, dan istirahat tidak pernah berubah.
Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan
manusia, Islam telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk
segala tempat dan segala zaman, yakni:
[اَلأَصْلُ
فِي
اْلأَشْيِاء\
616;
الإِبَاحَةُ
مَالَمْ
يَرِدْ
دَلِيْلُ
التَّحْرِيْ\
605;ِ]
Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya. 26
Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan jasmaniah maupun naluriah—yang tidak pernah berubah itu—Islam
menggariskan kaidah berikut:
[اَلأَصْلُ
فِي
اْلأَفْعَال\
618;
التَّقَيُدُ
بِاْلأَحْكَ\
575;مِ
الشَّرْعِيَ\
577;ِ]
Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat.27
Walhasil, propaganda atas gagasan bawha hukum harus berubah karena waktu dan
tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.
Syariat Islam dan Aspek Kemaslahatan
Pertimbangan kemaslahatan juga sering menjadi pijakan dalam menentukan hukum.
Benarkah aspek kemaslahatan mempunyai tempat dalam penentuan hukum syariat
ataukah sebaliknya, syariatlah yang menentukan ada dan tidaknya aspek
kemaslahatan tersebut?
Kemaslahatan pada dasarnya adalah diperolehnya manfaat dan terhindarkannya
kerusakan (jalb al-manâfi' wa daf` al-mudhirrah). Menentukan suatu perkara itu
maslahat atau tidak hanya otoritas syariat semata. Syariatlah yang dapat
menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Sebab, kemaslahatan yang dimaksud
tentu kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang
mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah. Memang, kemaslahatan adakalanya
dapat ditentukan oleh akal maupun syariat. Masalahnya, mana kemaslahatan yang
benar-benar sesuai dengan fitrah manusia: yang ditentukan oleh akal atau
syariat?
Jika akal dibiarkan menentukan kemaslahatan sendiri, padahal sejatinya akal
memiliki kemampuan yang terbatas, pasti ia tidak akan mampu menjangkau
hakikatnya, karena akal juga tidak mungkin mampu memahami hakikat manusia. Yang
dapat memahami hakikat manusia hanyalah Pencipta manusia, yakni al-Khâliq, Allah
SWT.
Memang, manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak.
Akan tetapi, dia tidak mungkin meenentukannya secara pasti. Padahal, menentukan
kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim hanya akan menyeret manusia ke dalam
kehancuran. Sebab, adakalanya manusia mengira suatu perkara mengandung
kemaslahatan, tetapi akhirnya terbukti menimbulkan kemadaratan. Demikian juga
sebaliknya. Ini dari satu aspek. Sementara itu, dari aspek lainnya, dapat
dikatakan bahwa penilaian akal atas aspek kemaslahatan tersebut dapat berubah
dari waktu ke waktu dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Artinya,
kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumtif
sekaligus relatif.
Karena itu, akal tidak boleh dibiarkan untuk menentukan aspek kemaslahatan.
Syariatlah—yang notabene bersumber dari Zat Yang Mahatahu—yang harus
menentukannya. ٍSebab, hanya syariatlah yang mampu menentukan kemaslahatan
dan kemadaratan yang hakiki. Karena itu, yang mesti dilakukan akal adalah
sekadar mencerap suatu realitas sebagaimana apa adanya, lalu memahami nash
syariat mengenai realitas tersebut, baru kemudian menerapkan nash tersebut atas
pada realitas yang dimaksud. Jika relevan, di sana pasti ada kemaslahatan atau
kemadaratan sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat. Akan tetapi, jika tidak
relevan, makna yang relevan dengan realitas tersebut harus dicari sehingga
kemaslahatan atau kemadaratan yang dinyatakan oleh syariat tersebut dapat
diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui.
Walhasil, kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang
ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba relatif.
Dalam hal ini, penting untuk dipahami, bahwa syariat pasti mengandung maslahat.
Artinya, di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat. Demikianlah
sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul berikut:
[حَيْثُمَا
كَانَ
الشَّرْعُ
فَثَمَّتِ
اْلمَصْلَحَ\
577;ُ]
Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat. []
Catatan Kaki:
1 Ibn al-Manzhûr, Lisân al-'Arab, juz I, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abâdi, al-Qâmûs
al-Muhîth, juz I, hlm. 6672; Ar-Râzi, Mukhtâr as-Shahhâh, Maktabah Lubnân,
Beirut, 1996, hlm. 294.
2 Ibn al-Manzhûr, ibid, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abadi, ibid, hlm. 6672;
3 Ar-Râzi, op. cit., hlm. 294.
4 Al-Jurjâni, at-Ta'rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts, t.t., hlm. 167; `Abd
al-Karîm Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Muassasah
ar-Risâlah, Beirut, cet. XIV, 1996, hlm. 34.
5 Al-Qurthûbi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân., juz XVI, hlm. 163.
6 Ibn al-Manzhûr, op. cit., juz XI, hlm. 631.
7 An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001,
hlm. 69.
8 Ibid.
9 An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, hlm. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1997, juz I, hlm. 29.
9 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191-192.
10 Muhammad Muhammad Ismâ'îl, al-Fikr al-Islâmi, Maktab al-Wa'y, Beirut, 1958,
hlm. 9-10.
11 An-Nabhâni, Nizhâm, hal. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191.
12 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 192.
13 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 74; An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Mansyûrat
Hizb at-Tahrîr, cet. VI, 2001, hlm. 36.
14 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 24; An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb, hlm. 55-58.
15 Hadits ash-Shiyâm, t.p., t.t.
16 An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz II, hlm. 327, hlm. 44; al-Muzni, Mukhtashar,
Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1998, hlm. 171; al-Jurjâni, at-Ta'rîfât, hlm.
23.
17 An-Nabhâni, Mafâhîm Hizb, hlm. 44.
18 Lihat: al-Qurthûbi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, Dâr as-Sya'b, Kaero, cet.
II, 1373, juz V, hlm. 76.
19 Lihat: `Abd ar-Razzâq, Mushannaf, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1403,
juz X, hlm. 304.
20 An-Nabhâni, Nizhâm, hlm. 74; Muhammad Husayn `Abdullâh, al-Wâdhih fi Ushûl
al-Fiqh, Dâr al-Bayâriq, Beirut, cet. II, 1995. hlm. 369.
21 An-Nabhâni, an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Dâr al-Ummah, Beirut, cet.
IV, 1990, hlm. 55-56.
22 Ibid, hlm. 56.
23 Lihat: Rawwâs Qal'ah Ji, Mu'jam Lughât al-Fuqahâ', Dâr an-Nafâ'is, Beirut,
cet. I, 1996, hlm. 431; al-Ghazâli, al-Mustashfâ fi `ilm al-Ushûl, Dâr al-Kutub
al-Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 2000, hlm. 319; as-Syâtibi, al-Muwâfaqât, ed.
Abdullâh Darâz, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz IV, hlm. 65.
24 Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hlm. 304.
25 As-Syâtibi, al-Muwâfaqât, juz III, hlm. 62.
24 Muhammad Ismâ'îl, al-Fikr, hlm. 35-37; as-Suyûthi, al-Asybâh wa an-Nadhâ'ir,
Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., hlm. 60.
25 Muhammad Ismâ'îl, ibid, hlm. 32-35; Athâ' bin Khalîl, Taysîr al-Wushûl ilâ
al-Ushûl, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. IV, 2000, hlm. 13-15
No comments:
Post a Comment