Friday, August 12, 2011

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan

Sistem Jaminan Sosial yang Tidak Mensejahterakan


Oleh: Dr. Muhammad K Sadik (Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) terkait Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Atas putusan tersebut, majelis hakim memerintahkan, RUU BPJS yang kini tengah dibahas di DPR segera disahkan. Selain itu, majelis juga meminta pemerintah segera membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat melakukan penyesuaian terhadap BPJS. Penyesuain tersebut terutama terhadap PT Jamsostek, PT Askes, PT Asabri dan PT Taspen untuk dikelola oleh badan hukum wali amanat dan dinikmati oleh seluruh penduduk Indonesia.
Sementara itu, puluhan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) menggelar mimbar rakyat di alun-alun Kota Cimahi, Jumat (15/7). Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS. Ketua Komisi IV DPRD Kota Cimahi Masrokhan yang juga hadir dalam mimbar tersebut menyatakan dukungannya agar pemerintah segera mengesahkan RUU BPJS tersebut (pikiran-rakyat.com, 15/7).
Jika dicermati, UU SJSN tersebut sebenarnya justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Karena itu berbeda dengan Komite Aksi Jaminan Sosial (KJAS) yang menuntut segera ditetapkannya UU BJPS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui pernyataan persnya justru menuntut pencabutan terhadap UU SJSN tersebut. Karena menurutnya, ada dua fakta penting dalam UU SJSN yang membahayakan masyakarat jika UU ini diterapkan, yaitu:

Pertama, UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, Pasal 5 dan Pasal 17. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.
Mewujudkan Sistem yang Mensejahterakan


Negara-negara kapitalisme dunia seperti Eropa dan AS telah menerapkan jaminan sosial melalui mekanisme asuransi. Menurut ideologi kapitalisme, kalau seluruh rakyat telah mengikuti asuransi maka berarti kondisi sosial mereka (kesehatan, pendidikan, hari tua, dan sebagainya) telah memperoleh jaminan dari negara. Konsep ini tentu saja merugikan rakyat karena sumber pembiayaannya berasal dari mobilisasi dana rakyat sendiri sedangkan negara tidak ikut campur dalam membiayai jaminan sosial tersebut. Pada sisi lain, negara telah membebankan pajak pada rakyat dan sumber daya alamnya dikuras, sehingga rakyat menanggung beban yang sangat berat.


Sistem rusak yang bersumber dari kapitalisme inilah sebenarnya yang menjadi landasan bagi UU SJSN di atas. Perlu dicatat bahwa UU SJSN dan BPJS menganut sistem kepesertaan wajib. Artinya, setiap rakyat wajib menjadi peserta jaminan sosial. Sehingga buruh, petani, nelayan dan kelompok miskin lainnya wajib menjadi peserta SJSN yang harus membayar jaminan sosialnya kepada BPJS. Misalnya untuk buruh, pengusaha wajib memungut dari gaji buruh tersebut untuk dibayarkan kepada BPJS. Karenanya, secara logis semestinya seluruh elemen masyarakat menolak dan menuntut pencabutan terhadap UU SJSN ini, karena UU ini telah ‘melegalkan’ bagi negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Artinya, rakyat akan bertanggung jawab sendiri terhadap kesejahteraannya melalui mekanisme asuransi. Lantas apa peran dan fungsi negara bagi rakyat kalau UU ini jadi diterapkan?


Konsep jaminan sosial dalam sistem kapitalisme di atas berbeda secara diametral dengan konsep jaminan sosial dalam sistem Islam. Menurut pandangan Islam, negara yakni Khilafah Islamiyah wajib menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan (Muslim dan Non-Muslim), disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. Politik ekonomi yang dijalankan oleh Khilafah lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidupnya.
Disamping itu, kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material saja, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Sehingga masyarakat masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya, serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.


Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya merupakan hasil sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah Swt telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat. Wallaahua’alam.[]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/22/sistem-jaminan-sosial-yang-tidak-mensejahterakan/

No comments: