Saturday, May 16, 2020

Jeritan Petani di Tengah Pandemi

#OpiniKu
Jeritan Petani di Tengah Pandemi

Melanjutkan pembahasan sebelumnya terkait derita yang melanda petani saat ini. Saat seharusnya mereka bersuka cita mendapatkan hasil  melimpah buah jerih payahnya. Namun, ternyata itu semua hanya mimpi bagi petani. Sungguh menyedihkan sekali, apalagi saat pandemi saat ini. 

Jika negara yang seharusnya diharapkan hadir saat kondisi seperti ini, namun lagi-lagi "bagai berdiang di abu dingin". Wajarlah demikian, selama kapitalisme yang berkuasa, maka selama itu pula, kekayaan hanya akan dimiliki oleh segelintir orang. Siapa lagi kalau bukan kapitalis (pemilik modal). 

Maka, sudah saatnya para petani berpikir untuk keluar dari jeratan kapitalisme yang akan terus memiskinkannya secara terstruktur. Saatnya kembali kepada solusi yang bersumber dari aqidah Islam yakni kembali pada sistem Islam yang bersumber dari Zat yang mencipta segala makhluk.

Dalam Islam, negara memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur berbagai kebijakan dalam seluruh aspek kehidupan dengan sistem politik yang diatur oleh negara. 

Dalam bidang pertanian, pemerintah membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Mekanisme pasar yang berjalan normal, perekonomian akan berjalan dengan sebaik-baiknya. Begitu terjadi gangguan dalam mekanisme pasar, perekonomian akan goncang dan distribusi kekayaan akan tersumbat. Maka, adalah sebuah kewajiban jika secara preventif negara menjaga agar mekanisme pasar dapat berjalan. Negara juga akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridlaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga baik harga maksimum maupun harga dasar. Terdapat riwayat tentang hal ini.
“Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus Sunan).

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridlaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kezaliman.

Meskipun demikian pemerintah diperbolehkan bertindak secara langsung untuk menjual maupun membeli barang-barang kebutuhan masyarakat jika itu dilakukan untuk menjamin agar “mekanisme harga” yang berlaku menghasilkan harga keseimbangan yang wajar. Artinya pemerintah boleh melakukan intervensi secara tidak langsung dengan jalan bertindak sebagai pelaku pasar (pembeli maupun penjual). Namun negara tidak boleh melakukan penetapan harga, baik harga dasar maupun harga maksimum. 

Pemerintah juga harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual maupun yang dilakukan oleh pembeli. Penipuan dilakukan oleh penjual dengan jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembeli. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda :
“Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)

Allahu a'lam bishowwab

No comments: