Pro Kontra Klub Poligami, Untuk Apa ?
Oleh : Rina Komara
(Lajnah Tsaqafiyah Muslimah DPD I HTI Jawa Barat)
(Lajnah Tsaqafiyah Muslimah DPD I HTI Jawa Barat)
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/10/27/poligami-dalam-pandangan-syariat/
Isu
seputar
poligami kembali bergulir menyusul terbentuknya Klub Poligami Indonesia
yang dilaunching di hotel Grand Aquila, Bandung belum lama ini.
Berbagai tanggapan muncul dari berbagai pihak,mulai dari ulama hingga
ormas. Dr. Qurais Syihab mengatakan bahwa Al-Qur’an memperbolehkan
poligami bukan menganjurkan, karena hanya untuk kasus-kasus penting dan
dibutuhkan [1],
sedang menurut ketua Umum Ormas Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) Jabar,
Ani Rukmini, poligami memang tidak dilarang oleh Islam, namun (dengan
berdirinya klub poligami) beliau mengkhawatirkan perbuatan poligami
menjadi trend dan gaya hidup. Masyarakat yang hendak berpoligami
melalaikan indicator atau syarat-syarat berpoligami versi Islam.[2]
. Respon keras dilontarkan oleh Masrucqoh (sekjen Koalisi Perempuan
Indonesia-KPI). Dia mengatakan dengan dibentuknya klub poligami adalah
untuk kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu. Bahkan KPI akan
mengambil sikap sbb: 1. Mendesak pemerintah bahwa poligami dapat
berakibat buruk pada keluarga; 2. Akan melakukan pembinaan pada
masyarakat terkait dengan pemahaman poligami; 3. Mengusulkan pada
pemerintahan baru untuk mengamandemen UU Perkawinan tentang pasal
bolehnya poligami jika istri mandul (karena menurutnya, kemandulan bisa
dialami juga oleh laki-laki).[3]
Kontroversi
poligami
seakan tidak berhenti, berbagai pendapat terus disampaikan mulai dari
pendapat bahwa poligami diperbolehkan tapi dengan syarat tertentu,
poligami hanya untuk kasus-kasus yang dibutuhkan saja, pandangan bahwa
poligami pada dasarnya dilarang karena berdampak buruk hingga
kriminalisasi poligami (pelaku poligami harus ditindak karena termasuk
tindakan pidana).
Melihat
kontroversi
tersebut, tentunya kita bertanya apakah benar poligami termasuk
perbuatan yang dilarang, poligami dapat memunculkan masalah (seprti
KDRT) sehingga pelakunya harus ditindak? Jika poligami diperbolehkan,
benarkah poligami bersyarat dan hanya dibutuhkan pada kasus-kasus
tertentu saja?
Poligami tidak dilarang oleh Allah
Poligami pada dasarnya dihalalkan oleh Allah SWT, berdasarkan:
ÙنكØؤا ما طا ب لكم من ا النساء متثى Ùˆ ثلثى Ùˆ ربع
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai, dua, tiga atau empat..†(QS An-Nisa/4: 3)
Rasulullah
SAW
pun tidak melarang tindakan poligami para sahabatnya. Bahkan ketika
Ghoilan bin Salamah memiliki istri 10, Rasulullah memerintahkannya untuk
memilih empat istri dan menceraikan selebihnya. Perintah yang sama
juga beliau tujukan kepada Qois bin Tsabit (yang memiliki delapan istri)
dan kepada Naufal bin Muawiyyah (yang memiliki lima istri).
Rasulullahpun pernah melarang seorang istri untuk meminta suaminya
menceraikan madunya (HR Ibnu Hibban dari Abu Hurairah). Hal ini
menunjukkan bahwa poligami bukan perkara yang dilarang, selama jumlah
istri tidak melebihi empat orang.
Ada
yang
berdalil bahwa Rasulullah SAW pernah marah besar ketika Fathimah akan
dipoligami Ali bin Abi Thalib dengan anak Abu Jahal. Rasulullah bahkan
berkata:
“..Apa yang menyakitinya (Fathimah,red.), menyakiti hatiku…â€.
Dalam
hal ini tentu harus dipahami mengapa Rasulullah SAW marah besar, apakah
karena beliau mengharamkan poligami atau karena hal lain? Mari kita
lihat sabda Rasulullah SAW secara jernih terkait poligaminya Ali ra.
:â€..dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula
menghalalkan yang haram, akan tetapi demi Allah, jangan sekali-kali putri utusan Allah bersatu dengan putrid musuh Allah†(HR. Bukhari)
Dari
hadits
ini dapat dipahami bahwa Rasulullah marah besar bukan karena beliau
mengharamkan poligami, akan tetapi terkait dengan latar belakang calon
istri Ali adalah anak musuh Allah, yaitu Abu Jahal.
Jadi,
poligami
tidak dilarang bahkan tidak akan berdampak buruk pada manusia.
Allah SWT telah menjamin bahwa Ia tidak akan berbuat dzalim terhadap
manusia. Allahlah yang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk
bagi manusia. Terhadap yang buruk pasti Allah haramkan sementara
terhadap yang baik pasti Allah halalkan. Allah SWT berfirman:
Ùعسى
ان تكرهؤا شيءا و هو خير لكم و عسى ان
تØبؤا شيءا Ùˆ هو شر لكم الله يعلم Ùˆ انتم
لا تعلمؤن
“..Maka
boleh
jadi kalian benci sesuatu padahal ia baik bagi kalian, dan boleh jadi
kalian sukai sesuatu padahal buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahuti
sedang kalian tidak mengetahui†(QS. Al-Baqarah:216)
Adapun
anggapan
bahwa poligami kerap memunculkan KDRT, maka butuh penelaahan lebih
lanjut. Terlebih KDRT kerap juga terjadi pada pasangan yang monogami,
lalu ketika dalam pernikahan monogamy terjadi juga KDRT, apakah monogamy
pun harus turut dilarang bahkan diharamkan? Dari sini dapat dipahami
bahwa ketika terjadi KDRT -baik pada pasangan monogami atau poligami-,
maka yang salah bukan monogamy atau poligaminya, tetapi lebih pada
praktek keduanya yang tidak sesuai tuntunan Islam.
Poligami boleh namun tidak bersyarat
Allah SWT telah menghalalkan poligami secara mutlak lewat firmannya:
ÙنكØؤا
ما طا ب لكم من ا النساء مثنى و ثلث و رباع
Ùان Ø®Ùتم ان لا تعدلؤا ÙواØدة او ما ملكت
ايمانكم، ذ لك ادنى الا تعؤلؤا
“Nikahilah
oleh
kalian wanita-wanita(lain) yang kalian sukai, dua, tiga atau empat
Tetapi jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya yang kalian miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalmi.†(QS. An-Nisa/4:3)
Al-Bukhari
meriwayatkan
dari Urwah bin zubair, sesungguhnya dia pernah bertanya kepada Aisayah
ra. tentang firman Allah: “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku
adil terhadap anak-anak yatim…†itu, lalu Aisyah berkata: Hai anak
saudaraku, Si yatim ini berada di pangkuan walinya dan hartanya
dicampur menjadi satu. Si wali tertarik akan harta dan kecantikan
wajahnya. Lalu ia berkehendak untuk mengawininya, tetapi dengan cara
tidak adil tentang pemberian harta maskawin. Dia tidak mau memberinya
seperti yang diberikan kepada orang lain. Maka mereka dilarang berbuat
demikian, kecuali berlaku adil terhadap istri-istrinya, padahal mereka
sudah biasa memberi maskawin yang cukup tinggi.Begitulah, lalu mereka
itu disuruh mengawini perempuan-perempuan yang cocok dengan mereka,
selain anak-anak yatim. [4]
Dari
sababun
nuzul surat An-Nisa ayat 3 ini menunjukkan kepada kita bahwa ayat
poligami ini tidak berkaitan dengan perintah untuk menikahi anak-anak
yatim, dua,tiga atau empat sebaimana yang dipahami beberapa kalangan.
Mereka berpandangan bahwa poligami dibolehkan asal terhadap
wanita-wanita yatim (dalam rangka menolong mereka). Padahal ayat ini
justru bermakna sebaliknya, dimana laki-laki diperintahkan menikahi
wanita-wanita yang non yatim. Namun berdasarkan pendapat Jumhur ulama,
bahwa perintah nikah dalam ayat tersebut menunjukkan kemubahan, tak
ubahnya dengan perintah makan dan minum (كلؤا و اشربؤا).[5] Sekalipun bentuk kalimatnya adalah perintah, akan tetapi status hukumnya adalah mubah/boleh.
Keadilan bukan syarat dalam berpoligami. Kalimat: لا تعدلؤا ÙواØدة Ùان Ø®Ùتم ان
Tidak
menunjukkan
syarat, karena kata tersebut tidak tergabung dengan-atau merupakan
bagian dari-kalimat sebelumnya, tetapi sekedar kalam mustanif (kalimat
lanjutan) dari kalimat sebelumnya. Jika adil menjadi syarat, maka
kalimatnya harus tersambung, seperti:
ÙانكØؤا ما طاب لكم من الساء مثنى Ùˆ ثلاث Ùˆ رباع ان عدلتم
Dari sini dapat dipahami bahwa adil adalah hukum lain yang wajib ditunaikan oleh laki-laki ketika ia berumah tangga.
Di
samping
itu, sesuatu perkara akan dikatagorikan syarat jika:1) perkara tersebut
bukan bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Dalam hal ini adil
merupakan bagian dari perbuatan poligami (konsekuensi dari sebuah
pernikahan, seperti memberi nafkah, mempergauli dengan baik, dll yang
menjadi paket dari setiap pernikahan); 2)harus dipenuhi sebelum
perbuatan yang dipersyaratkan itu dilaksanakan. Sebagai contoh, suci
dari hadats dan najis adalah syarat sah sholat. Maka suci dari hadats
dan najis harus ada sebelum sholat dilakukan.
Keadilan dalam poligami seperti apa?
Allah
SWT
telah memerintahkan lakilaki yang berpoligami agar berbuat adil
terhadap istri-istrinya. Tentu saja keadilan di sini bukanlah keadilan
yang mutlak (keadilan yang tidak biasa dilakukan oleh suami), tetapi
sebatas yang masih berada dalam kemampuan manusia untuk
merealisaikannya, karena Allah tidak akan membebani manusia kecuali
dalam batas kesanggupannya. Firman Allah: لا يكلّ٠الله Ù†Ùسا الا وسعها (Allah tidak akan membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya [QS. Al-Baqarah:286] )
Sekalipun kata adil dalam ayat ke 3 dari surat an-Nisa: لا تعدلؤا ÙواØدة Ùان Ø®Ùتم ان
bersifat
umum (mencakup semua bentuk keadilan), ayat ini ditakhsis (dikhususkan)
sesuai dengan kemampuan manusia berdasar QS an-Nisa ayat 129:
Ùˆ
لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء و لؤ
Øرصتم Ùلا تميلؤا كل الميل Ùتذرؤها
كالمعلقة
“Dan
sekali-kali
kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cinta), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung..â€
Ibnu Abbas di dalam tafsirnya terhadap kata-kata : و لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء
adalah dalam hal cinta (الØب )[6].
Sehingga ayat ini mengkhususkan ayat ke tiga dari surat an-Nisa, dimana
manusia hanya bisa berlaku adil dalam hal di luar cinta (termasuk jima).
Oleh
karena itu adil yang dituntut adalah di luar cinta, seperti mendapatkan
nafkah, giliran bermalam dsb. Sehingga hak-hak istri tidak terabaikan.
Hal ini senada dengan doa Rasulullah SAW:
اللهم ان هذا قسمي Ùيما املك Ùلا تلمني Ùيما تملك Ùˆ لا املك
â€Ya
Allah,
sungguh pembagianku adalah pada apa yang aku sanggupi (miliki), maka
janganlah Engkau masukkan diriku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi
(miliki) namun aku tidak memiliki kesanggupanâ€, yang dimaksud adalah hatinya/cintanya
Ayat
ini
(An-Nisa: 129), juga tidak membatalkan kebolehan poligami di ayat ke
tiganya, akan tetapi justru memperkuat. Karena, jika seandainya
membatalkan maka Allah akan mengatakan:
Ùˆ لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء Ùˆ لؤ Øرصتم Ùلا تنكØؤا
=Dan sekali-kali kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, maka janganlah kamu menikah..,
Akan tetapi Allah justru menyatakan:
Ùلا تميلؤا كل الميل Ùˆ لن تستطيعؤا ان تعدلؤا بين النساء Ùˆ لؤ Øرصتم
= Dan sekali-kali kamu tidak akan pernah mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cinta)…
Dari sini jelas, bahwa kebolehan poligami bersifat mutlak.
Sekalipun
ayat
tentang kebolehan poligami tidak mengandung syarat, namun ada hal-hal
yang menjadi implikasi positif dari adanya poligami yaitu, pada
masyarakat yang membolehkan poligami tidak akan ditemukan wanita
simpanan, sedang pada masyarakat yang menghalangi poligami akan sangat
mungkin banyak terdapat wanita simpanan. Di samping itu, poligami dapat
memecahkan problematika dalam masyarakat, seperti:
1) ada
tabiat
laki-laki yang tidak puas dengan satu istri, sehingga jika poligami
dihalangi maka zina, HIV/Aids dan aborsi akan merajalela
2) kondisi
dimana
wanita mandul, tapi suami masih mencintainya, sementara ia ingin
memiliki anak dari darah dagingnya. Jika pintu poligami ditutup, ia
tidak akan memiliki anak, bahkan nekad untuk menceraikan istri yang ia
cintai. Oleh karenya butuh ada kesempatan untuk menikah lagi, dimana ia
dapat tetap hidup bersama dengan istri tua yang dicintainya dan memiliki
anak
3) dalam
kondisi istri sakit sehingga tidak bisa melayani suami dan anak-anaknya, sementara mereka masih sayang dan tidak ingin bercerai
4) dalam
kondisi terjadi peperangan, dimana banyak korban jatuh, sehingga banyak
janda yang tidak bisa menecap lagi nikmatnya kehidupan rumah tangga
5) pertumbuhan laki-laki dan wanita yang tidak imbang, dimana jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki.
Kelima
poin
ini adalah fakta yang bisa dipecahkan lewat poligami. Dalam kondisi
tidak ada fakta tersebut sekalipun, syariah Islam tetap mebolehkan
laki-laki untuk berpoligami. Wallahu A’lam
Khotimah
Islam
adalah
agama yang sempurna yang diturunkan Allah utnuk kebaikan manusia.
Allahlah yang mengetahui baik buruknya sesuatu bagi manusia. Ketika
Allah menurunkan sebuah ketetapan, dijamin tidak akan menyengsarakan
manusia apalagi mendzaliminya. Poligami adalah salah satu
syariat yang ditetapkan Allah terkait dengan pernikahan. Ketika terjadi
keburukan dalam pelaksanaannya, maka hokum poligami tidak harus
dipersalahkan bahkan dipandang biangkerok segala keburukan. Justru
pelaku poligamilah yang tidak mau terikat dengan hukum-hukum yang
menjadi konsekuensi sebuah pernikahan. Keburukan bisa juga terjadi pada
pernikahan monogamy. Sehingga bukan status monogamy atau poligami yang
harus dipersalahkan. Karena jika hal ini terjadi maka pernikahan
monogamy pun akan terancam untuk dipersalahkan dan pelakunya
dikriminalkan. Akankah manusia dibiarkan hidup bebas bersama lawan
jenisnya tanpa ikatan sah apapun? Jika ini terjadi, menjadi bukti bahwa
penduduk di negeri ini telah terperangkap oleh jebakan liberalisasi yang
kian menggila! Na’udzubillahi min dzlik!
Rujukan:
- Al-Qur’anul Karim
- Tafsir Ibnu Katsir versi Arab
- Tafsir Ayat Ahkam versi Arab hal 320 Bab Ta’addud az-zaujaat fil Islam
- Kitab An-nidzam al-ijtimai Bab ta’adud az-zaujaat
- Makalh-makalah lepas
No comments:
Post a Comment