Seputar Khilafah
Quraisy: Syarat Afdhaliyah, atau Syarat In’iqad?
Pengantar
Keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dari jumhur
(mayoritas) ulama terkait masalah akad khilafah. Dalam masalah ini terdapat
perbedaan yang besar di antara mereka. Sebagian menganggapnya sebagai syarat
in’iqâd (syarat keabsahan akad Khilafah) sehingga selain orang Quraisy tidak
boleh menjadi khalifah. Sebagian lagi hanya memasukkannya sebagai syarat
afdhaliyah (keutamaan) semata. Bahkan ada yang menolak persyaratan itu karena
tidak jelas asal-usulnya dalam syariah karena ketiadaan nash yang sahih yang
menunjukkannya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukm fil Islâm, hlm. 302).
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam
pasal 30, yang berbunyi: Orang yang dibaiat sebagai khalifah tidak disyaratkan
kecuali memenuhi syarat in’iqâd, dan tidak harus memiliki syarat afdhaliyah.
Sebab, yang dinilai adalah syarat in’iqâd.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr,
hlm. 129).
Dari Telaah Kitab ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan, apakah Quraisy itu
merupakan syarat in’iqâd atau hanya merupakan syarat afdhaliyah saja, yang sama
sekali tidak berpengaruh terhadap absah-tidaknya akad Khilafah?
Siapa Keturunan Quraisy itu?
Terkait siapa yang termasuk keturunan (nasab) Quraisy, dalam hal ini, para ulama
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Nadhar
bin Kinanah. Ibnu Hisyam berkata, “Nadhar adalah Quraisy. Siapa saja yang
menjadi keturunannya, maka ia Quraisy. Siapa saja yang bukan keturunannya, maka
ia bukan Quraisy.”
Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Fihr bin Malik. Zubair
berkata, “Quraisy adalah nama Fihr bin Malik. Dengan demikian siapa saja yang
bukan keturunan Fihr, ia bukan Quraisy (Ibnu Katsir, As-Sîrah an-Nabawiyah li
Ibni Katsîr, hlm. 28).
Asy-Syinqithi berkata, “Tidak ada perbedaan bahwa keturunan Fihr adalah Quraisy.
Adapun keturunan Malik bin Nadhar dan keturunan Nadhar bin Kinanah sebagai
Quraisy masih diperselisihkan. Demikian pula keturunan Kinanah, semua sepakat
bahwa mereka bukan Quraisy.” (Dumaiji, Al-Imâmah al-Uzhma ‘inda Ahlus Sunnah wa
al-Jamâ’ah, hlm. 267).
Quraisy Syarat In’iqad?
Mazhab Ahlu Sunnah, seluruh Syiah, sebagian kelompok Muktazilah dan sebagian
besar kelompok Murjiah berpendapat bahwa nasab Quraisy merupakan syarat in’iqâd.
Imam Ahmad berkata, “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.” (Al-Farrâ’,
Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hlm. 20).
Dalam hal ini, mereka berargumentasi. Pertama: dengan sabda Rasulullah saw.:
ÇáÃóÆöãøóÉ ãöäú ÞõÑóíúÔò
Para imam adalah dari Quraisy (HR Ahmad).
Kedua: dengan Ijmak Sahabat. Pasalnya, Abu Bakar ra. telah berdalil dengan sabda
Rasulullah saw.: “Para imam adalah dari Quraisy,” ketika beradu argumentasi
dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah Imamah. Hal itu
disaksikan oleh para Sahabat. Lalu mereka menerimanya sehingga ia menjadi dalil
yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy bagi seorang khalifah
(Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 302).
Quraisy Syarat Afdhaliyah
Adapun Khawarij, jumhur kalangan Muktazilah, sebagian Murjiah, Qadhi Abu Bakar
al-Baqilani, sebagian kelompok Ghulat al-Imamiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul
Hajar al-‘Asqalani dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy
tergolong syarat afdhaliyyah (keutamaan), bukan termasuk syarat in’iqâd. Dalam
hâmisy (catatan kaki) kitab Târîkh al-Khulafâ’ li as-Suyûthi, pen-tahqîq kitab
tersebut, Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Majid berkata, “Hadis ini menunjukkan
bahwa manusia yang paling berhak menduduki jabatan khilafah adalah keturunan
(nasab) Quraisy. Namun, hadis ini tidak menunjukkan batilnya Kehilafahan dari
selain mereka.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 302).
Menurut kelompok ini, hadis-hadis yang menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi
kepemimpinan kaum Muslim (Khalifah) hanya menunjukkan bahwa manusia yang paling
berhak untuk menduduki jabatan Khilafah adalah orang Quraisy. Namun, hal itu
tidak menunjukkan bahwa selain dari mereka tidak berhak menjadi khalifah; juga
tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi Kekhilafaan hanya untuk orang Quraisy
sehinga tidak sah diduduki oleh selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab
Quraisy termasuk syarat afdhaliyyah saja, bukan termasuk syarat in’iqâd.
Pendapat yang Râjih (Kuat)
Pendapat yang râjih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa nasab Quraisy
hanyalah syarat afdhaliyah, dan sama sekali tidak termasuk syarat in’iqâd.
Berikut ini hal-hal yang menunjukkan kelemahan pendapat kelompok pertama bahwa
nasab (keturunan) Quraisy adalah syarat in’iqâd. Pertama: Memang ada sejumlah
hadis yang diriwayatkan dan sanadnya sahih dari Rasulullah saw., seperti hadis
Anas, “Para imam adalah dari Quraisy.” (HR Ahmad); hadis Muawiyah, “Sesungguhnya
urusan (Khilafah) ini ada di tangan orang Quraisy. Tidak seorang pun yang
memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal ke tanah selama
mereka menegakkan agama (Islam).” (HR al-Bukhari); dan hadis-hadis lain yang
serupa dengannya. Namun, hadis-hadis itu tidak menunjukkan bahwa selain orang
Quraisy tidak boleh menduduki jabatan Khilafah. Hadis itu hanya menunjukkan
bahwa orang Quraisy punya hak dalam hal itu, dari sisi bahwa orang Quraisy
diprioritaskan karena keutamaannya.
Apalagi hadis-hadis itu datang dalam bentuk berita (khabar), dan tidak satu pun
yang datang dalam bentuk perintah (amar). Bentuk berita, sekalipun memberi
pengertian tuntutan (thalab), tidak dianggap sebagai tuntutan yang harus
(thalab[an] jâzim[an]) selama tidak ada indikasi (qarînah) yang menunjukkan
sebagai penguat (ta’kîd). Di sini jelas tidak ada yang menunjukkan atas hal itu
sehingga ini menunjukkan sunnah saja, bukan wajib. Dengan demikian, syarat nasab
Quraisy adalah syarat afdhaliyyah, bukan syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id
Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 304).
Kedua: sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata benda), bukan sifat, yang
dalam istilah ilmu ushûl disebut dengan laqab (panggilan). Mafhûm isim atau
mafhûm laqab tidak diamalkan (dipakai) secara mutlak. Sebab, isim atau laqab
tidak mempunyai mafhûm (konotasi). Oleh karena itu, ketentuan (nash) Quraisy
bukan berarti tidak boleh bagi selain Quraisy. Tidak berarti bahwa urusan ini,
yakni pemerintahan dan Khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain
Quraisy. Frasa selalu di tangan mereka tidak berarti bahwa tidak boleh berada di
tangan selain mereka. Akan tetapi, itu boleh bagi mereka dan juga selain mereka.
Karena itu, ketentuan (nash) bagi mereka itu tidak menghalangi selain mereka
menduduki jabatan Khilafah. Dengan demikian, syarat nasab Quraisy adalah syarat
afdhaliyyah, bukan syarat in’iqâd (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah,
II/34).
Ketiga: kalau syarat nasab (keturunan) Quraisy menjadi syarat in’iqâd, mengapa
Rasulullah saw. bersabda: “…selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab,
mafhûm mukhâlafah dari hadis Muawiyah “…selama mereka menegakkan agama (Islam)”
berarti bahwa jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan
(pemerintahan) tersebut keluar dari mereka. Lalu apabila urusan pemerintahan
lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum Muslim hidup tanpa Imam yang menyebabkan
terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Padahal hukum syariah telah menetapkan bahwa mengangkat imam (khalifah) itu
wajib bagi kaum Muslim. Kaum Muslim juga wajib memecat penguasa jika ia
menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan.
Karena itu tidak terbayangkan dari hadis ini dan hadis lainnya, selain bahwa
syarat nasab Quraisy hanyalah syarat afdhaliyah, dan sama sekali bukan syarat
in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 306).
Keempat: Imam Ahmad mengeluarkan hadis dari Umar bin al-Khaththab ra. dengan
sanad rijal-nya tsiqah (terpercaya) bahwa ia berkata, “Jika telah sampai ajalku
dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan Kekhilafahan kepada
dirinya.”
Dalam hadits itu Umar ra. juga berkata, “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah
telah mati, maka aku akan memberikan Kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.”
Padahal, Muadz bin Jabal tidak bernasab Quraisy.
Umar bin al-Khaththab ra. mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para Sahabat.
Namun, tidak ada satu riwawat pun yang menyebutkan bahwa mereka berbeda pendapat
dengan Umar tentang pendapatnya itu, dengan ber-hujjah mengenai kewajiban
Khilafah di tangan Quraisy. Oleh karena apa yang dipahami oleh Umar itu tidak
ditentang oleh seorang pun dari para Sahabat, hal itu menunjukkan bahwa syarat
nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi
al-Islâm, hlm. 306).
Kelima: hukum asal Khilafah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak dari kaum
Muslim. Akad ini tidak sempurna kecuali dilakukan atas dasar kerelaan dan
pilihan sendiri. Baiat merupakan hak umat dalam melakukan akad Khilafah. Baiat
merupakan metode syar’i satu-satunya dalam mengangkat kepala negara. Apabila
nasab Quraisy merupakan syarat in’iqâd, maka hal itu, artinya mencabut hak umat
dari baiat dan juga kekuasaan. Ini bertentangan dengan pilar kedua sistem
pemerintahan Islam: as-sulthân li al-ummah (kekuasaan di tangan umat). Dengan
demikian, syarat nasab Quraisy adalah syarat afdhaliyyah, dan tidak sah
dijadikan syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm.
306).
Keenam: jika nasab Quraisy menjadi keharusan dalam akad Khilafah, maka umat
wajib menjaga silsilah nasab Quraisy ini, dan syariah menjelaskannya. Namun,
syariah tidak meminta untuk menjaga nasab Quraisy, bahkan kaum Muslim saat ini
tidak mengenalnya. Lalu bagaimana bisa dibayangkan—dalam realitas seperti
ini—kaum Muslim mampu mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy?!
Mayoritas mutakallimin sepakat bahwa taklîf (beban) tidak ada kaitannya kecuali
dengan perbuatan hamba yang ia mampu melakukannya (Al-Amidi, Muntaha as-Sûl fi
‘Ilmi al-Ushul, hlm. 41). Memelihara nasab Quraisy hingga Hari Kiamat adalah
sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika
diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqâd
(Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 307).
Dengan demikian, karena nasab (keturunan) Quraisy itu bukan syarat in’iqâd
(syarat keabsahan akad Khilafah), dan itu hanyalah syarat afdhaliyyah
(keutamaan) saja, maka berdasarkan ketetapan dalam Rancangan UUD (Masyrû’
Dustûr) Negara Islam pasal 30 di atas, siapapun selain orang Quraisy bisa
menjadi khalifah, selama ia telah memenuhi syarat-syarat in’iqâd (syarat
keabsahan akad Khilafah). WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Al-Amidi, Saifuddin Abi al-Hasan Ali bin Muhammad, Muntaha as-Sûl fi ‘Ilmi
al-Ushul. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, 2003.
Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imâmah al-Uzhma ‘inda Ahlus
Sunnah wa al-Jamâ’ah. Riyadh: Dar Thayyibah, tanpa tahun.
Al-Farrâ’, Abi Ya’la Muhammad bin al-Husain, Al-Ahkam As-Sulthâniyah. Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 2000.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah. Beirut: Darul
Ummah, Cetakan I, 2005.
Ibnu Katsir, al-Hafidz Abi al-Farra’ Ismail bin Umar ad-Dimasqi, As-Sîrah
an-Nabawiyah li Ibni Katsîr. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cetakan II, 2008.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Maktabah
al-Muhtasib, Cetakan II, 1983.
Al-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah
Lahu, Jilid I. Beirut: Darul Ummah, Cetakan II, 2009.
Al-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz II. Beirut:
Darul Ummah, Cetakan V, 2003.
Quraisy: Syarat Afdhaliyah, atau Syarat In’iqad?
Pengantar
Keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dari jumhur
(mayoritas) ulama terkait masalah akad khilafah. Dalam masalah ini terdapat
perbedaan yang besar di antara mereka. Sebagian menganggapnya sebagai syarat
in’iqâd (syarat keabsahan akad Khilafah) sehingga selain orang Quraisy tidak
boleh menjadi khalifah. Sebagian lagi hanya memasukkannya sebagai syarat
afdhaliyah (keutamaan) semata. Bahkan ada yang menolak persyaratan itu karena
tidak jelas asal-usulnya dalam syariah karena ketiadaan nash yang sahih yang
menunjukkannya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukm fil Islâm, hlm. 302).
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam
pasal 30, yang berbunyi: Orang yang dibaiat sebagai khalifah tidak disyaratkan
kecuali memenuhi syarat in’iqâd, dan tidak harus memiliki syarat afdhaliyah.
Sebab, yang dinilai adalah syarat in’iqâd.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr,
hlm. 129).
Dari Telaah Kitab ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan, apakah Quraisy itu
merupakan syarat in’iqâd atau hanya merupakan syarat afdhaliyah saja, yang sama
sekali tidak berpengaruh terhadap absah-tidaknya akad Khilafah?
Siapa Keturunan Quraisy itu?
Terkait siapa yang termasuk keturunan (nasab) Quraisy, dalam hal ini, para ulama
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Nadhar
bin Kinanah. Ibnu Hisyam berkata, “Nadhar adalah Quraisy. Siapa saja yang
menjadi keturunannya, maka ia Quraisy. Siapa saja yang bukan keturunannya, maka
ia bukan Quraisy.”
Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Fihr bin Malik. Zubair
berkata, “Quraisy adalah nama Fihr bin Malik. Dengan demikian siapa saja yang
bukan keturunan Fihr, ia bukan Quraisy (Ibnu Katsir, As-Sîrah an-Nabawiyah li
Ibni Katsîr, hlm. 28).
Asy-Syinqithi berkata, “Tidak ada perbedaan bahwa keturunan Fihr adalah Quraisy.
Adapun keturunan Malik bin Nadhar dan keturunan Nadhar bin Kinanah sebagai
Quraisy masih diperselisihkan. Demikian pula keturunan Kinanah, semua sepakat
bahwa mereka bukan Quraisy.” (Dumaiji, Al-Imâmah al-Uzhma ‘inda Ahlus Sunnah wa
al-Jamâ’ah, hlm. 267).
Quraisy Syarat In’iqad?
Mazhab Ahlu Sunnah, seluruh Syiah, sebagian kelompok Muktazilah dan sebagian
besar kelompok Murjiah berpendapat bahwa nasab Quraisy merupakan syarat in’iqâd.
Imam Ahmad berkata, “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.” (Al-Farrâ’,
Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hlm. 20).
Dalam hal ini, mereka berargumentasi. Pertama: dengan sabda Rasulullah saw.:
ÇáÃóÆöãøóÉ ãöäú ÞõÑóíúÔò
Para imam adalah dari Quraisy (HR Ahmad).
Kedua: dengan Ijmak Sahabat. Pasalnya, Abu Bakar ra. telah berdalil dengan sabda
Rasulullah saw.: “Para imam adalah dari Quraisy,” ketika beradu argumentasi
dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah Imamah. Hal itu
disaksikan oleh para Sahabat. Lalu mereka menerimanya sehingga ia menjadi dalil
yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy bagi seorang khalifah
(Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 302).
Quraisy Syarat Afdhaliyah
Adapun Khawarij, jumhur kalangan Muktazilah, sebagian Murjiah, Qadhi Abu Bakar
al-Baqilani, sebagian kelompok Ghulat al-Imamiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul
Hajar al-‘Asqalani dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy
tergolong syarat afdhaliyyah (keutamaan), bukan termasuk syarat in’iqâd. Dalam
hâmisy (catatan kaki) kitab Târîkh al-Khulafâ’ li as-Suyûthi, pen-tahqîq kitab
tersebut, Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Majid berkata, “Hadis ini menunjukkan
bahwa manusia yang paling berhak menduduki jabatan khilafah adalah keturunan
(nasab) Quraisy. Namun, hadis ini tidak menunjukkan batilnya Kehilafahan dari
selain mereka.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 302).
Menurut kelompok ini, hadis-hadis yang menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi
kepemimpinan kaum Muslim (Khalifah) hanya menunjukkan bahwa manusia yang paling
berhak untuk menduduki jabatan Khilafah adalah orang Quraisy. Namun, hal itu
tidak menunjukkan bahwa selain dari mereka tidak berhak menjadi khalifah; juga
tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi Kekhilafaan hanya untuk orang Quraisy
sehinga tidak sah diduduki oleh selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab
Quraisy termasuk syarat afdhaliyyah saja, bukan termasuk syarat in’iqâd.
Pendapat yang Râjih (Kuat)
Pendapat yang râjih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa nasab Quraisy
hanyalah syarat afdhaliyah, dan sama sekali tidak termasuk syarat in’iqâd.
Berikut ini hal-hal yang menunjukkan kelemahan pendapat kelompok pertama bahwa
nasab (keturunan) Quraisy adalah syarat in’iqâd. Pertama: Memang ada sejumlah
hadis yang diriwayatkan dan sanadnya sahih dari Rasulullah saw., seperti hadis
Anas, “Para imam adalah dari Quraisy.” (HR Ahmad); hadis Muawiyah, “Sesungguhnya
urusan (Khilafah) ini ada di tangan orang Quraisy. Tidak seorang pun yang
memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal ke tanah selama
mereka menegakkan agama (Islam).” (HR al-Bukhari); dan hadis-hadis lain yang
serupa dengannya. Namun, hadis-hadis itu tidak menunjukkan bahwa selain orang
Quraisy tidak boleh menduduki jabatan Khilafah. Hadis itu hanya menunjukkan
bahwa orang Quraisy punya hak dalam hal itu, dari sisi bahwa orang Quraisy
diprioritaskan karena keutamaannya.
Apalagi hadis-hadis itu datang dalam bentuk berita (khabar), dan tidak satu pun
yang datang dalam bentuk perintah (amar). Bentuk berita, sekalipun memberi
pengertian tuntutan (thalab), tidak dianggap sebagai tuntutan yang harus
(thalab[an] jâzim[an]) selama tidak ada indikasi (qarînah) yang menunjukkan
sebagai penguat (ta’kîd). Di sini jelas tidak ada yang menunjukkan atas hal itu
sehingga ini menunjukkan sunnah saja, bukan wajib. Dengan demikian, syarat nasab
Quraisy adalah syarat afdhaliyyah, bukan syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id
Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 304).
Kedua: sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata benda), bukan sifat, yang
dalam istilah ilmu ushûl disebut dengan laqab (panggilan). Mafhûm isim atau
mafhûm laqab tidak diamalkan (dipakai) secara mutlak. Sebab, isim atau laqab
tidak mempunyai mafhûm (konotasi). Oleh karena itu, ketentuan (nash) Quraisy
bukan berarti tidak boleh bagi selain Quraisy. Tidak berarti bahwa urusan ini,
yakni pemerintahan dan Khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain
Quraisy. Frasa selalu di tangan mereka tidak berarti bahwa tidak boleh berada di
tangan selain mereka. Akan tetapi, itu boleh bagi mereka dan juga selain mereka.
Karena itu, ketentuan (nash) bagi mereka itu tidak menghalangi selain mereka
menduduki jabatan Khilafah. Dengan demikian, syarat nasab Quraisy adalah syarat
afdhaliyyah, bukan syarat in’iqâd (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah,
II/34).
Ketiga: kalau syarat nasab (keturunan) Quraisy menjadi syarat in’iqâd, mengapa
Rasulullah saw. bersabda: “…selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab,
mafhûm mukhâlafah dari hadis Muawiyah “…selama mereka menegakkan agama (Islam)”
berarti bahwa jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan
(pemerintahan) tersebut keluar dari mereka. Lalu apabila urusan pemerintahan
lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum Muslim hidup tanpa Imam yang menyebabkan
terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Padahal hukum syariah telah menetapkan bahwa mengangkat imam (khalifah) itu
wajib bagi kaum Muslim. Kaum Muslim juga wajib memecat penguasa jika ia
menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan.
Karena itu tidak terbayangkan dari hadis ini dan hadis lainnya, selain bahwa
syarat nasab Quraisy hanyalah syarat afdhaliyah, dan sama sekali bukan syarat
in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 306).
Keempat: Imam Ahmad mengeluarkan hadis dari Umar bin al-Khaththab ra. dengan
sanad rijal-nya tsiqah (terpercaya) bahwa ia berkata, “Jika telah sampai ajalku
dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan Kekhilafahan kepada
dirinya.”
Dalam hadits itu Umar ra. juga berkata, “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah
telah mati, maka aku akan memberikan Kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.”
Padahal, Muadz bin Jabal tidak bernasab Quraisy.
Umar bin al-Khaththab ra. mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para Sahabat.
Namun, tidak ada satu riwawat pun yang menyebutkan bahwa mereka berbeda pendapat
dengan Umar tentang pendapatnya itu, dengan ber-hujjah mengenai kewajiban
Khilafah di tangan Quraisy. Oleh karena apa yang dipahami oleh Umar itu tidak
ditentang oleh seorang pun dari para Sahabat, hal itu menunjukkan bahwa syarat
nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi
al-Islâm, hlm. 306).
Kelima: hukum asal Khilafah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak dari kaum
Muslim. Akad ini tidak sempurna kecuali dilakukan atas dasar kerelaan dan
pilihan sendiri. Baiat merupakan hak umat dalam melakukan akad Khilafah. Baiat
merupakan metode syar’i satu-satunya dalam mengangkat kepala negara. Apabila
nasab Quraisy merupakan syarat in’iqâd, maka hal itu, artinya mencabut hak umat
dari baiat dan juga kekuasaan. Ini bertentangan dengan pilar kedua sistem
pemerintahan Islam: as-sulthân li al-ummah (kekuasaan di tangan umat). Dengan
demikian, syarat nasab Quraisy adalah syarat afdhaliyyah, dan tidak sah
dijadikan syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm.
306).
Keenam: jika nasab Quraisy menjadi keharusan dalam akad Khilafah, maka umat
wajib menjaga silsilah nasab Quraisy ini, dan syariah menjelaskannya. Namun,
syariah tidak meminta untuk menjaga nasab Quraisy, bahkan kaum Muslim saat ini
tidak mengenalnya. Lalu bagaimana bisa dibayangkan—dalam realitas seperti
ini—kaum Muslim mampu mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy?!
Mayoritas mutakallimin sepakat bahwa taklîf (beban) tidak ada kaitannya kecuali
dengan perbuatan hamba yang ia mampu melakukannya (Al-Amidi, Muntaha as-Sûl fi
‘Ilmi al-Ushul, hlm. 41). Memelihara nasab Quraisy hingga Hari Kiamat adalah
sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika
diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqâd
(Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 307).
Dengan demikian, karena nasab (keturunan) Quraisy itu bukan syarat in’iqâd
(syarat keabsahan akad Khilafah), dan itu hanyalah syarat afdhaliyyah
(keutamaan) saja, maka berdasarkan ketetapan dalam Rancangan UUD (Masyrû’
Dustûr) Negara Islam pasal 30 di atas, siapapun selain orang Quraisy bisa
menjadi khalifah, selama ia telah memenuhi syarat-syarat in’iqâd (syarat
keabsahan akad Khilafah). WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Al-Amidi, Saifuddin Abi al-Hasan Ali bin Muhammad, Muntaha as-Sûl fi ‘Ilmi
al-Ushul. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cetakan I, 2003.
Al-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imâmah al-Uzhma ‘inda Ahlus
Sunnah wa al-Jamâ’ah. Riyadh: Dar Thayyibah, tanpa tahun.
Al-Farrâ’, Abi Ya’la Muhammad bin al-Husain, Al-Ahkam As-Sulthâniyah. Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 2000.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah. Beirut: Darul
Ummah, Cetakan I, 2005.
Ibnu Katsir, al-Hafidz Abi al-Farra’ Ismail bin Umar ad-Dimasqi, As-Sîrah
an-Nabawiyah li Ibni Katsîr. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cetakan II, 2008.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Maktabah
al-Muhtasib, Cetakan II, 1983.
Al-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah
Lahu, Jilid I. Beirut: Darul Ummah, Cetakan II, 2009.
Al-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz II. Beirut:
Darul Ummah, Cetakan V, 2003.
No comments:
Post a Comment