Sunday, April 10, 2011

Jihad Bangsa Moro

Jihad Bangsa Moro


Kamis, 10 Maret 2011 06:54 administrator

Cahaya Islam memasuki tanah air Bangsa Moro pada tahun 1310 M (sekitar 710 H)
melalui para pedagang Arab, perantau, pengembara Sufi, dan para dai.
Institusi-institusi politik dan pengaruh islami berasal dari Sumatera melalui
kedatangan Raja Baginda Ali dengan menteri dan prajuritnya. Islam berkembang
pesat sehingga berdirilah negara muslim Sulu dan Maguindanao pada tahun 1830.
Sultan pertama dari Kesultanan Sulu ialah Sayyid Abu Bakar. Kesultanan ini
merupakan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, yang memiliki hubungan
diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Sedangkan Syarif Muhammad Kabungsuan, seorang Arab Melayu dari Malaysia,
mendirikan Kesultanan Maguindanao yang berada di pulau kedua yang terbesar dan
terkaya di Filipina.

Ketika dua kesultanan Muslim di selatan berkembang dengan cepat dan semakin
kuat dan menjadi bangsa yang merdeka, kabupaten-kabupaten muslim lain lahir dan
kemudian dikenal sebagai emirat (keamiran) seperti Emirat Raja Sulaiman (Manila
) dan Emirat Panay. Dapat dikatakan pula bahwa negara-negara Islam dan emirat
muslim merdeka berdiri 600-an tahun yang lalu, jauh sebelum Barat (Spanyol)
menemukan Filipina. Kesultanan Sulu dan Maguindanao eksis secara de facto sampai
tahun 1933 dan terus eksis secara seremonial saja dari tahun 1935 hingga 1946.

Fakta-fakta penting tentang tanah air Bangsa Moro yang tidak bisa diabaikan
oleh para sarjana dan ahli sejarah modern yang meneliti akar permasalahan Bangsa
Moro adalah sebagai berikut :

1. Institusi politik
pertama yang berdiri di tanah air Bangsa Moro bersifat islami.

2. Agama samawi pertama
yang sampai di wilayah tersebut adalah Islam.

3. Sistem pendidikan
pertama di pulau itu adalah pendidikan Islam dengan naskah pertama kali yang
dikenalkan adalah berbahasa Arab.

4. Peradaban pertama
yang diperkenalkan di Filipina adalah peradaban Islam.

Invasi Spanyol sekitar 160 tahun setelah eksistensi kesultanan dan
kabupaten-kabupaten Islam menandai permulaan pengawasan Spanyol dan hambatan
terhadap perkembangan Islam di kepulauan bagian utara (Luzon dan Visayas).
Selanjutnya Bangsa Moro dari Mindanao dan Sulu berjuang melawan kolonialisme
Barat atas nama Islam selama 377 tahun (1521-1898).

Hispanisasi dan kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang Filipina Baru
(muda) menjadi landasan kuat bagi kampanye antimuslim—baik secara militer
maupun lainnya—setelah Perjanjian Paris 10 Desember 1898 yang menyerahkan
Filipina kepada Amerika Serikat dengan kompensasi 20 juta dolar AS. Agresi AS
pada tahun 1899 dihadapi dengan ketahanan kaum muslimin di selatan yang bertekad
untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dengan keyakinan bahwa Spanyol
tidak pernah punya hak untuk menjual tanah air mereka dan tidak mau menerima
aturan Amerika, kaum muslimin memberikan perlawanan berdarah yang berlangsung
selama 47 tahun (1899-1946).

Amerika membalas secara taktis dengan menawarkan sebuah gencatan senjata
yang menghasilkan Bates Treaty, The Carpenter Agreement, dan seterusnya. Ini
merupakan manuver politis dan sosial ekonomi yang membuat Amerika mampu untuk
menaklukkan Bangsa Moro.



Aneksasi (perebutan) Filipina terhadap Kesultanan Islam Bangsa Moro

Di samping memperlakukan Kesultanan Sulu dan Maguindanao sebagai wilayah
protektorat, Amerika Serikat mendirikan pemerintahan Persemakmuran Filipina pada
tahun 1935. Pemerintahan semacam ini berfungsi sebagai transisi ke arah
kemerdekaan penuh yang akan dihadiahkan segera kepada Filipina. Sebenarnya pada
situasi semacam ini sekalipun tanah air Bangsa Moro tidak pernah dimasukkan oleh
Amerika ke dalam wilayah administrasi Filipina.

Dengan memanfaatkan pemerintahan transisi dan ketidakpedulian politis
masyarakat awal Bangsa Moro, para pemimpin politik Kristen Filipina melakukan
manuver dan berusaha menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro yang terdiri dari
Kepulauan Mindanao, Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, dan Palawan.

Di samping memberikan kemerdekaan pada Filipina pada tanggal 4 Juli 1946
AS juga menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro ke dalam negara Filipina Merdeka.
Tindakan pemerintah AS ini berlawanan dengan kemauan masyarakat Bangsa Moro.

Ketika orang-orang Kristen Filipina dari Luzon, Visayas, dan daerah-daerah
lain di kepulauan bagian utara dengan gembira ria merayakan apa yang mereka
anggap sebagai awal dari kebebasan dan kelahiran bangsa baru, masyarakat Bangsa
Moro bersedih karena mereka menganggap itu sebagai akhir dari kebebasan,
kemerdekaan, dan kedaulatan selama ratusan tahun. Namun Bangsa Moro tidak bisa
bereaksi secara cepat karena mereka berperang melawan Spanyol selama 377 tahun
dan 47 tahun melawan Amerika. Hal itu memperlemah mereka bahkan lebih dari itu
membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang buruk.

Bangsa Moro seolah menjadi orang sakit yang tidak mempunyai obat untuk
menyembuhkan dirinya sendiri serta tidak cukup makanan dan ketika alam
menyembuhkannya dia mendapati dirinya diperbudak oleh orang yang lebih kuat dan
sehat. Karena itu, ketika Bangsa Moro masih dalam taraf penyembuhan dari
kerusakan-kerusakan parah akibat peperangan, pemerintah Filipina memanfaatkan
kelemahan Bangsa Moro untuk merintis jalan penegakan pendudukan orang-orang
Kristen di Tanah Air Bangsa Moro.

Penting dicatat bahwa selama masa Pra-Spanyol tidak diketahui ada seorang
Kristen pun di tanah air Bangsa Moro. Orang-orang Kristen yang tinggal di negeri
itu adalah budak-budak Spanyol atau buruh-buruh Amerika yang memilih untuk
tinggal di tanah air Bangsa Moro untuk menikmati kebebasan daripada pulang ke
negeri asal di bagian utara dan tetap menjadi budak dan pekerja..

Langkah-langkah yang diambil orang-orang Kristen Filipina untuk menaklukkan
dan menggagalkan aspirasi Bangsa Moro selama rezim sipil mengindikasikan
pengaruh yang semakin kuat dari teori bahwa kristenisasi atau filipinisasi
merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan perlawanan kaum Muslimin. Kali
ini masa depan Bangsa Moro sebagai Muslim terancam.

Sebuah hukum Filipina diberlakukan untuk mendorong pendudukan orang-orang
Kristen dari selatan dengan membuka lahan-lahan besar dari tanah-tanah Bangsa
Moro kepada para penghuni Kristen dengan bantuan pemerintah secara langsung dan
material-material.

Pada tahun 1946 dasar hukum yang lebih kuat diberlakukan yang memberi
orang-orang Kristen Filipina pengaruh dan kekuatan lebih di wilayah-wilayah kaum
Muslimin yang menimbulkan migrasi besar-besaran orang-orang Kristen dari tahun
1950-1970 untuk merebut tanah leluhur Bangsa Moro Muslim. Penduduk Kristen ini
berkembang secara cepat sehingga melebihi penduduk asli Bangsa Moro dan pemilik
sah dari tanah-tanah tersebut pada tahun 70-an di berbagai area di Mindanao.
Bersamaan dengan meningkatnya jumlah orang-orang Kristen, gangguan terhadap
Bangsa Moro Muslim juga meningkat. Tujuan utamanya adalah untuk meraih kekuasaan
politik.



Gerakan Ilaga dan Teror Orang-Orang Kristen

Pada tahun 1970 para penduduk Kristen di Tanah Air Moro mengorganisir dan
mendirikan sebuah organisasi bersenjata yang dinamai ILAGA yang para pemimpin
serta perintisnya adalah personil militer Kristen yang aktif, perwira
purnawirawan angkatan darat Kristen dan para politisi Kristen.

Organisasi teroris ini digerakkan dengan persetujuan pemerintah Manila.
Operasinya dimulai dengan membunuh individu muslim dilanjutkan dengan
pembantaian keluarga-keluarga muslim. Bersamaan dengan meningkatnya semangat
permusuhan, orang-orang kristen fanatik mulai menyerang desa-desa muslim,
membunuh wanita-wanita muslimah, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Para
teroris itu membakar rumah-rumah, masjid-masjid, madrasah-madrasah, buku-buku
Islam termasuk setiap kopian Al-Qur’an. Mereka menghancurkan ladang-ladang
pertanian Bangsa Moro, kebun buah-buahan, ladang-ladang dan hampir segala hal
yang dimiliki orang Muslim.

Otoritas pemerintah Filipina tetap tuli terhadap keluhan-keluhan kaum
Muslimin dan tidak menghiraukan seruan kaum muslimin untuk menciptakan
kedamaian. Kedamaian dan keteraturan telah menjadi agak genting. Darah orang
Islam yang tak bersalah berceceran di berbagai sudut tanah air Bangsa Moro.

Ketika peristiwa-peristiwa tersebut berkembang sehingga meningkatkan
ketegangan, kaum Muslimin tidak punya pilihan lain lagi kecuali balas memerangi
dan mempertahankan diri. Dalam perkembangan pergerakan Moro di tanah airnya,
kaum muslimin menyaksikan munculnya sebuah pergerakan revolusioner baru yang
berbeda dalam hal sifat dan pendekatan dari pergerakan Moro pada era yang lalu.
Elemen baru tersebut adalah para pemimpin Moro muda yang merupakan keturunan
dari kaum Muslimin yang gagah berani melawan Spanyol dan Amerika selama lebih
dari 400 tahun.

Dengan persenjataan yang kurang, para pembela kaum muslimin menunjukkan
superioritas mereka dalam perang. Ketika milisi teroris Kristen tidak mampu
menghadapinya, oknum-oknum dari Angkatan Darat Filipina turut campur dan
membantu ILAGA. Pada tahun 1972 Martial Law (Hukum Perang) diumumkan untuk
menerobos pertahanan kaum Muslimin.



Jihad Bangsa Moro Melawan Pemerintah Filipina

Bangsa Moro Muslim menderita berbagai macam tekanan dan ketidakadilan di bawah
pemerintahan Filipina. Pemerintah Filipina mendiskriminasi mereka sebagai warga
negara kelas dua, bahkan berlanjut mencapai titik terendah dengan memperlakukan
mereka secara tidak manusiawi. Pembunuhan Wanton terhadap kaum Muslimin dimulai
pada tahun 1972 dan puncaknya deklarasi Martial Law (Hukum Perang) pada tanggal
21 September tahun itu juga.

Selama rezim Martial Law, Angkatan Bersenjata Filipina melancarkan
serangan udara, laut dan darat besar-besaran terhadap desa-desa atau masyarakat
Muslim di Mindanao, Basilam, Sulu, Palawan dan Tawi-Tawi. Konon, sebagian
pengamat mengatakan serangan tersebut melebihi serangan yang dilakukan oleh
Jepang ke Pearl Harbour dan bagian-bagian lain di Pasifik selama Perang Dunia
II.

Pada tahap awal perang, Mujahidin Moro mampu untuk menahan agresi musuh dan
menghentikan gerak maju kekuatan militer Filipina yang berjumlah sekitar seratus
ribu personil yang menguasai udara dan laut secara penuh. Mujahidin mampu untuk
mempertahankan beberapa wilayah sebelum mundur ke hutan karena kekurangan
amunisi. Kali ini perang gerilya terus dilakukan tanpa henti, sehingga memaksa
Pemerintah Filipina meminta gencatan senjata sehingga diambil solusi damai
terhadap problem Bangsa Moro. Dengan demikian masuklah Perjanjian Tripoli pada
tahun 1976.

Meskipun demikian, serangan terhadap masyarakat muslim yang dilakukan oleh
militer dan milisi Filipina terus berlangsung, guna menumpas kekuatan perjuangan
Bangsa Moro. Bangsa Moro pun balas menyerang meski daya tahan hidup mereka dalam
keadaan darurat. Hingga berlanjut ke meja perundingan atas mediasi OKI.

Tiba-tiba sejarah berbalik terhadap rezim diktator Ferdinand Marcos.
Revolusi EDSA pada tanggal 24 Februari 1986 telah menggulingkan Marcos, dan
mengantarkan Corazon Aquino, janda musuh bebuyutan Marcos, Benigno Aquino Jr. ke
kursi kepresidenan. Di bawah rezim Aquino, mujahidin Bangsa Moro dijanjikan
gencatan senjata yang lain, kali ini dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front)
untuk merintis jalan menuju perdamaian, pembangunan dan kemajuan di tanah air.

Sayangnya, kesepakatan tersebut gagal mencapai sasarannya karena
Presiden Aquino menyelisihi perjanjian dengan MILF. Sehingga pertempuran antara
mujahidin MILF dan elemen-elemen Angkatan Bersenjata Filipina dan milisi-milisi
fanatiknya berlanjut secara sporadis diberbagai wilayah dari Davao Oriental di
Timur ke Surigao Del Norte di utara dan Tawi-Tawi di barat daya.

Sebagai upaya untuk mengakhiri aspirasi kaum Muslimin untuk mendirikan
negara Islam, pemerintah Aquino membuat dan mengumumkan Republic Act No. 6734,
sebuah undang-undang untuk mendirikan wilayah otonomi dalam Mindanao Muslim
(ARMM) di tanah air yang terdiri dari Sulu, Tawi-Tawi Lanao Del Sur dan
Maguindanao. Bagi penduduk Moro ini merupakan aturan yang dibuat untuk
memisahkan kaum muslimin di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas dengan
saudara-saudaranya yang lain di tanah air yang sama, dalam rangka melemahkan
kekuatan Bangsa Moro.

Agar tetap bertahan, Bangsa Moro tidak punya pilihan kecuali menolak
seluruh undang-undang yang bertentangan dengan eksistensi mereka. Berbekal
segala keterampilan untuk membela diri, mereka harus berjihad di jalan Allah dan
membayar harga kemerdekaan dari tekanan dan penjajahan dengan darah dan jiwa
mereka.

Dengan peran utama yang dimainkan oleh BIAF (Angkatan Perang Islam Bangsa
Moro), masyarakat bertempur dengan hebat untuk mempertahankan tanah air. Ujian
pun semakin berat setelah kini Angkatan Bersenjata Filipina dibantu militer AS
di bawah kampanye global perang melawan terorisme.

sumber : an-najah.net

No comments: