Tuesday, 05 April 2011 10:07
Kalangan liberal berusaha membangun sebuah sistem yang kondusif bagi berkembangnya paham liberal dengan berbagai cara secara terus menerus.
Bukan hal aneh bila kalangan liberal selalu membela Ahmadiyah. Soalnya, adanya kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi liberalisasi di Indonesia. Masih ingat kasus bentrokan Monas 2008? Setelah itu mereka berusaha menggugat keberadaan peraturan yang selama ini dianggap sebagai penghalang bagi proses liberalisasi tersebut.
Saat itu tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni IMPARSIAL (Rachland Nashidik), ELSAM (Asmara Nababan), PBHI (Syamsudin Radjab), DEMOS (Anton Pradjasto), Perkumpulan Masyarakat Setara (Hendardi), Desantara Foundation (M. Nur Khoiron) dan YLBHI (Patra M Zen) serta individu yakni Abdurrah-man Wahid, Musdah Mulia, M. Dawam Rahardjo dan Maman Imanul Haq, mengajukan permo-honan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penoda-an Agama.
Mereka menilai UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 bertentang-an dengan hak asasi manusia (HAM) karena di dalamnya ada la-rangan, “untuk tidak mencerita-kan, menganjurkan, atau meng-usahakan dukungan umum me-lakukan penafsiran tentang sua-tu agama yang dianut di Indo-nesia (Islam) atau melakukan kegiatan keagamaan yang me-nyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyim-pang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Untungnya, Mahkamah Konstitusi masih bisa jernih me-lihat permasalahan tersebut. Gu-gatan kaum yang mengagung-kan HAM dan kebebasan (liberal-isme) ditolak.
Sebelum itu mereka meng-gugat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman pluralisme, liberal-isme, dan sekulerisme agama. Mereka sangat marah dan kalap terhadap munculnya fatwa ter-sebut. Sampai-sampai Ulil Ab-shar Abdalla sempat menyata-kan, “MUI tolol dan ngawur” meski kemudian minta maaf.
Anehnya pemuja liberal-isme justru tak menghormati kebebasan tapi berusaha keras memaksakan pendapatnya me-lalui berbagai cara, mencerca MUI, dan sama sekali tidak meng-hormati pendapat MUI yang berbeda pendapat dengan me-reka. Seolah-olah semua orang harus sama dengan mereka.
Tak berhenti di situ, bela-kangan setelah adanya kasus Cikeusik, Temanggung, dan Pa-suruan, kaum liberal kian gencar menyuarakan pembubaran or-ganisasi masyarakat (ormas) Is-lam. Mereka tak peduli terhadap akar permasalahan yang sebe-narnya yakni penodaan agama oleh Ahmadiyah terhadap Islam.
Pasca kejadian bentrokan di berbagai tempat tersebut, kalangan liberal rajin mengada-kan forum-forum diskusi yang isinya menyerang Islam. Mereka berusaha menguasai opini di media massa dengan mengarah-kan bahwa Ahmadiyah hanyalah korban, karenanya harus dilin-dungi. Yang bersalah adalah umat Islam, lebih khusus yang mereka sebut sebagai kelompok garis keras.
Kalangan liberal ini berko-laborasi dengan insan media massa. Bahkan sesuatu yang tak ada sangkut pautnya dengan bentrok antar agama pun diplin-tir sedemikian rupa sehingga bisa menjatuhkan citra Islam dan kaum Muslimin. Sebagai contoh, bentrokan di Pasuruan. Ternyata itu adalah tawuran yang sudah biasa terjadi. Tapi kemudian di-blow up sedemikian rupa seolah-olah ini adalah kekerasan yang ditimbulkan oleh umat Islam karena tidak toleran terhadap kelompok yang lain.
Pemerintah sendiri seperti-nya sejalan dengan opini yang berkembang. Apalagi saat ini pemerintah melalui Badan Nasi-onal Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang menggarap pro-yek deradikalisasi secara massif. Proyek ini diarahkan untuk 'me-lawan' kalangan Islam yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Bersamaan dengan itu pemerintah sedang berancang-ancang merevisi undang-un-dang tentang keormasan. Undang-undang ini memungkinkan bisa digunakan untuk mem-persempit gerak, bahkan bisa memberangus, aktivitas gerakan Islam di Indonesia.
Di luar itu, pemerintah melalui aparat kepolisian mere-kayasa opini secara terus mene-rus tentang terorisme. Setiap ada penangkapan terhadap orang yang disangka teroris, selalu ada stigmatisasi negatif terhadap Islam. Seolah-olah begitulah gambaran pejuang Islam secara umum.
Seperti pernah disampai-kan oleh Ustadz Abu Bakar Ba'asyir kepada Media Umat, stig-matisasi negatif terhadap umat Islam seolah-olah umat Islam itu teroris merupakan tujuan dari musuh-musuh Islam. ”Memang tujuannya itu. Tujuannya adalah agar membuat pemerintah membatasi dakwah Islam kaffah,” katanya.
Ia menilai ini adalah bagian dari strategi global untuk mele-mahkan Islam di Indonesia yang sedang bangkit. ”Itu sunnatullah, wataknya orang kafir itu senan-tiasa membuat makar. Wa maka-ru wa makarallah, wallahu khay-rul makirin (Mereka membuat makar dan Allah pun membuat makar, dan makar Allah adalah makar terbaik-red),” jelasnya.
Ujung dari semua serangan dan rekayasa itu adalah memba-ngun paradigma berpikir baru bagi umat Islam Indonesia yang keluar dari frame dasar Islam. Umat Islam diarahkan agar rela berpikir cara Barat. Dengan begitu, mereka bisa menerima apapun yang datang dari Barat yang kafir tanpa ada resistensi sedikit pun. Kalau sudah demi-kian, Barat bisa tetap aman mengangkangi negeri Muslim dan mengeruk seluruh kekayaan alamnya. Inilah bahaya liberalisme yang sesungguhnya![] humaidi
Serangan Terorganisir Kaum Kafir
Gelombang liberalisasi yang bergulir di Indonesia tidaklah berjalan sendiri. Serangan demi serangan itu by design itu dilakukan oleh kalangan anti Islam baik yang ada dalam negeri maupun di luar negeri.
Menarik membaca laporan Rand Corporation—sebuah lembaga think tank AS— yang dikeluarkan tahun 2007 berjudul: Building Moderate Muslim Network. Rand mencoba memberikan strategi bagaimana menghadapi apa yang mereka sebut sebagai 'fundamentalis/radikalis' di dunia Islam. Caranya adalah dengan mendukung sepenuhnya kelompok liberal di dunia Islam.
Siapa mitra yang layak jadi 'teman' AS di dunia Islam? Mereka adalah 1) Akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan sekuler, 2) Mahasiswa muda religius yang moderat, 3) Komunitas aktivis, 4) Organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender, dan 5) Wartawan dan penulis moderat. Mereka ini dinilai mampu memberikan dampak perang pemikiran secara cepat di tengah masyarakat.
Rand Corp. merinci kriteria kalangan moderat-liberal yang dijadikan mitra AS, yakni: 1) Mendukung demokrasi, 2) Mengenal hak-hak manusia, termasuk di dalamnya kesetaraan gender dan kebebasan berkeyakinan, 3) Menghargai keberagaman, 4) Menerima sumber hukum yang non sektarian, 5) Menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan ilegal lainnya.
Dalam kajian tahun 2003 berjudul Civil Democratic Islam, lembaga ini membagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekuleris. Untuk menggempur kalangan yang mereka sebut fundamentalis, Amerika mendukung kelompok modernis, mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis, mengkonfrontasi dan menentang kaum fundamentalis, dan mendukung kaum sekuler secara selektif. Umat Islam dipecah belah dan diadu domba.[] humaidi
http://www.mediaumat.com/media-utama/2619-54-1001-cara-liberalkan-indonesi
No comments:
Post a Comment