Saturday, November 13, 2021

Tabanni dan Qiyas di dalam Ushul Fikih

 بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Tabanni dan Qiyas di dalam Ushul Fikih

Kepada Yahya Abu Zakariya


Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah menjaga Anda syaikhuna dan menolong Anda dalam mengemban amanah dan menguatkan Anda dengan pertolongan-Nya dalam waktu dekat dengan izin-Nya SWT.

Perkenankan saya syaikhuna dengan pertanyaan ini, semoga Allah menjaga Anda dan menambah Anda kekuatan dalam ilmu dan kesehatan.

Pertanyaan tentang ushul fikih.

Dinyatakan di buku asy-Syakhishiyyah al-Islâmiyyah juz I dalam topik al-Ijtihâd: “dan termasuk ijtihad adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr “siapa yang meminum, dia mabuk, dan siapa yang mabuk dia mengigau bicara tidak karuan, dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan baginya had orang yang membuat kebohongan (al-muftarî)”. Dan ia mengqiyaskan minum khamr kepada qadzaf sebab minum khamr itu dapat mengantarkan kepada qadzaf, sebagai bentuk perhatian kepada bahwa syara’ menempatkan apa yang mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempakan hubungan badan dalam mewajibkan iddah  pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari shahabat ridhawnullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak mereka atas ijthad”, selesai kutipan.

Pertanyaan: kita mengadopsi bahwa hudud, kafarah, rukhshah dan ibadah, di dalamnya tidak berlaku qiyas.

Lalu bagaimana kita menqiyaskan had minum khamr terhadap had qadzaf dengan ‘illat bahwa minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf?

Dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkan pada posisi hadats sebab dapat mengantarkan kepada hadats. Apakah mungkin mengqiyaskan tertutupnya akal, mabuk dan gila, karena itu dapat mengantarkan kepada hadats? Padahal ini termasuk ibadah. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda .


Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: benar ada perkara-perkara yang tidak kita adopsi:

1- Dinyatakan di buku Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr halaman 36-41 file word:

[Sistem-sistem Islam merupakan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah dan uqubat.

Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak disertai ‘illat. Rasul saw bersabda:

«حُرِّمَتِ الْخَمْرَةُ لِعَيْنِهَا»

“Khamr diharamkan karena zatnya”.

Adapun hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan muamalah dan uqubat maka disertai ‘illat. Sebab hukum syara’ di situ dibangun di atas ‘illat yang merupakan sesuatu yang membangkitkan pensyariatan hukum ... Maka nas yang di dalamnya dinyatakan hukum disertai ‘illat maka hukum itu memiliki ‘ilat dan dapat dilakukan qiyas terhadapnya. Dan nas yang di dalamnya dinyatakan hukum tidak disertai ‘illat maka tidak mengandung ‘illat sama sekali dan berikutnya terhadapnya tidak bisa diqiyaskan], selesai.

2- Dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii bab Syurûth Hukmi al-Ashli” halaman 346-347 file word:

[Yang kelima: hukum asal itu harus tidak dialihkan dari norma qiyas. Adapun apa yang dialihkan dari norma qiyas ada dua bagian:

Pertama: apa yang maknanya tidak dipahami, dan itu ada kalanya dikecualikan dari kaedah umum atau diawali dengannya. Apa yang dikecualikan dari kaedah umum semisal penerimaan kesaksikan Khuzaimah seorang diri, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Meski keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, dia dikecualikan dari kaedah umum. Sedangkan yang diawali dengannya, seperti jumlah rakaat, penentuan nishab zakat, kadar hudud dan kafarah. Seiring dengan keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, hanya saja dia dikecualikan dari kaedah umum. Di atas kedua penetapan itu, maka qiyas terhalang di dalamnya ...) selesai.

Kedua: adapun bagaimana tabanni (pengadopsian), maka untuk menjelaskannya kami sebutkan perkara-perkara berikut:

1- Dinyatakan di dalam penjelasan Pasal 3 Muqadimah ad-Dustûr:

( ... yang demikian itu bahwa hukum syara’ dan itu adalah seruan asy-Syari’ berkaitan dengan perbuatan hamba yang ada di dalam al-Quran dan hadits. Di situ ada banyak yang mengandung makna-makna menurut bahasa arab dan menurut syara’. Oleh karena itu, adalah wajar dan niscaya, orang berbeda dalam memahaminya ...

Olehnya itu merupakana hal yang wajib bagi seorang muslim untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu ketika dia mengambil hukum untuk perbuatan baik dia seorang mujtahid ataupun muqallid, khalifah atau bukan khalifah ...).

2- Dinyatakan di penjelasan Pasal 4 Muqaddimah ad-Dustûr sebagai berikut:

[Hanya saja, dari kejadian al-Ma’mun tentang fitnah kemakhlukan al-Quran tampak bahwa tabanni (pengadopsian) dalam pemikiran berkaitan dengan akidah telah menimbbulkan persoalan-persoalan untuk khalifah dan menimbulkan fitnah di antara kaum Muslim. Karena itu, khalifah berpandangan untuk tidak melakukan tabanni (pengadopsian) dalam akidah dan ibadah untuk menjauhkan dari persoalan dan perhatian terhadap keridhaan dan ketenteraman kaum Muslim. Tetapi tidak adanya pengadopsian (tabanni) dalam akidah dan ibadah itu tidak bermakna bahwa haram bagi khalifah mengadopsi dalam akidah dan ibadah itu. Tetapi maknanya adalah bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah. Sebab khalifah boleh mengadopsi dan juga boleh tidak mengadopsi, lalu khalifah memilih tidak mengadopsi. Olehnya itu di dalam Pasal tersebut digunakan ungkapan “tidak mengadopsi -lâ yatabannâ-”, dan tidak digunakan ungkapan “tidak boleh mengadopsi -lâ yajuzu an yatabannâ-”, yang menunjukkan bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi].

3- Dinyatakan di dalam Nasyarah Tabanni yang dikeluarkan pada 14/7/1998 sebagai berikut:

(... Tegaknya partai di atas ide dengan semua perbedaaan pendapat padanya dalam ushul dan furu’ merupakan perkara yang tidak mungkin, dan tidak sesuai dengan sebutan partai secara bahasa. Hizbu ar-rajuli, mereka adalah teman-teman orang itu yang berada di atas pendapatnya. Dari sini maka ide tabanni menjadi keharusan untuk Hizb. Karena itulah, di antara sifat terdepan Hizbut Tahrir sebagai partai ideologis adalah tabanni. Tabanni ini lah yang menjadikan Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai. Sebab Hizb tidak menjadi sebuah partai sampai memiliki pandangan yang satu pada setiap pemikiran, pandangan atau hukum syara’ yang mengikatnya. Sebab jika tidak ada pada Hizb kesatuan pemikiran maka tidak akan ada kesatuan entitas yang padu... (20 Rabi’ul Awwal 1419 H/14 Juli 1998 M).

Ketiga: sebagaimana yang Anda lihat dari apa yang telah disebutkan di atas, seorang muslim harus mengadopsi pada setiap apa yang dia perlukan baik dia seorang khalifah, ketua partai atau individu. Ini dari sisi asal pada setiap perkara. Hal itu sesuai hukum syara’ berkaitan dengan kewenangannya dan batas-batas tabanni yang diizinkan untuknya ... Tetapi, Hizb berpandangan setelah kejadian al-Ma’mun, untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah dengan pengecualian beberapa keadaan ... Kemudian Hizb menjadikan tabanni pada perkara-perkara dan tidak mengadopsi dalam perkara-perkara  karena sebab-sebab yang telah disebutkannya ...

Keempat: dan pertanyaan Anda tentang ijtihad Ali pada topik had peminum khamr, hal itu terjadi pada masa para shahabat. Mereka berijtihad dengan ijtihad yang syar’iy pada segala perkara.  Ketika Umar meminta pendapat mereka tentang had tertinggi pada kasus minum khamr, dinyatakan ijtihad-ijtihad ini dan di antaranya ijtihad Ali yang disebutkan ... Dan masalah tersebut telah kami jelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I. Di situ dinyatakan: ( ... dan ini yang tawatur kepada kita dari mereka secara tawatur tidak ada keraguan di dalamnya. Di antara hal itu, ucapan Abu Bakar ketika ditanya tentang al-kalâlah. Abu Bakar berkata: “saya katakan tentangnya dengan pendapatku. Jika benar maka itu berasal dari Allah, dan jika keliru maka itu berasal dariku dan dari setan, sementara Allah bebas darinya. Al-kalâlah adalah orang yang tidak punya anak dan bapak”. Dan ucapan Abu Bakar “aku katakan tentangnya dengan pandanganku” bukan bermakna bahwa pendapat ini berasal dari dirinya sendiri. Tetapi maknanya, saya katakan apa yang saya pahami dari lafal kalâlah di dalam ayat tersebut ...

Dan di antara ijtihad itu, dikatakan kepada Umar bahwa Samurah mengambil khamr dari para pedagang Yahudi pada ‘usyur dan menjadikannya cuka dan dia jual. Maka Umar berkata: “semoga Allah membinasakan Samurah,  Tidak kah dia tahu bahwa Nabi sw bersabda:

«لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمُ فَجَمَلُوْهَا فَبَاعُوْهَا» رواه مسلم من طريق ابن عباس

“Allah melaknat Yahudi, telah diharamkan bagi mereka lemak (gajih) lalu mereka cairkan dan mereka jual” (HR Muslim dari jalur Ibnu Abbas). 

Jadi Umar mengqiyaskan khamr terhadap lemak (gajih) dan bahwa pengharamannya adalah pengharaman harganya.

Di antara ijtihad itu adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr.

«مَنْ شَرِبَ هَذَى وَمَنْ هَذَى اِفْتَرَى فَأَرَى عَلَيْهِ حَدُّ الْمُفْتَرِيْ»

“Siapa yang minum (khamr) dia mengigau bicara tidak karuan dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan terhadapnya (dijatuhkan) had orang yang membuat kebohongan”.


Ali mengqiyaskan minum khamr terhadap qadzaf sebab minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf. Hal itu memperhatikan bahwa syara’ menjadikan hal yang dapat mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempatkan hubungan badan dalam mewajibkan ‘iddah pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak dari para shahabat atas ijtihad ...) selesai.

Seperti yang Anda lihat, seseorang harus mengadopsi pada setiap yang dia perlukan ... Tetapi, berdasarkan pemahaman kami terhadap kejadian pada masa al-Ma’mun, kami berpandangan untuk tidak mengadopsi dalam perkara-perkara dan kami mengadopsi dalam perkara-perkara lainnya ... dan topik ijtihad Ali ra yang Anda tanyakan, adalah terjadi pada masa para shahabat, yakni sebelum kejadian al-Ma’mun.

Adapun masalah had orang yang minum khamr, maka di situ ada dalil-dalil dari as-Sunnah dan Ijmak bahwa hadnya 40 kali dera atau 80 kali dera, dan itu ditetapkan dengan dalil-dalil yang shahih hingga bahwa telah shahih dari Ali ra sebagaimana yang ada di riwayat Ibnu Abiy Syaibah dari Abu Abdurrahman as-Sulami dari Ali, ia berkata:

شَرِبَ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ اْلْخَمْرَ وَتَأَوَّلُوْا اْلآيَةَ الْكَرِيْمَةَ، فَاِسْتَشَارَ فِيْهِمْ (يَعْنِي عُمَرٌ) فَقُلْتُ: أَرَىْ أَنْ تَسْتَتِيْبَهُمْ، فَإِنَّ تَابُوْا ضَرَبْتَهُمْ ثَمَانِيْنَ، وَإِلَّا ضَرَبْتَ أَعْنَاقَهُمْ لِأَنَّهُمْ اِسْتَحَلُّوْا مَا حُرِّمَ، فَاِسْتَتَابَهُمْ فَتَابُوْا، فَضَرَبَهُمْ ثَمَانِيْنَ ثَمَانِيْنَ

“Sekelompok orang dari penduduk Syam minum khamr dan mereka menakwilkan ayat yang mulia, lalu Umar meminta pendapat tentang mereka, maka aku katakan: “saya berpandangan, engkau minta mereka bertaubat, jika mereka bertaubat maka engkau dera mereka 80 kali dan jika tidak (bertaubat) maka engkau penggal leher mereka sebab mereka telah menghalalkan apa yang telah diharamkan. Maka Umar meminta mereka bertaubat dan mereka pun bertaubat dan Umar mendera mereka (masing-masing) 80 kali, 80 kali”.


Demikian juga, imam Muslim telah mengeluarkan di dalam hadits Hudhayn bin al-Mundzir tentang jilid al-Walid bahwa Ali bin Abiy Thalib ra berkata:

جَلَدَ النَّبِيُّ ﷺ أَرْبَعِيْنَ، وَأَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وَعُمَرٌ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ

Nabi saw mendera 40 kali, dan Abu Bakar mendera 40 kali dan Umar mendera 80 kali, dan semuanya adalah sunnah.

Kedua had ini merupakan had orang yang minum khamr. Dan tidak boleh selain kedua had ini secara mutlak. Sebab tidak ada dari Nabi saw dan tidak pula dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim bahwa beliau mendera selain 40 kali dan 80 kali ... Namun, bahwa boleh bagi khalifah untuk mewajibkan salah satunya. Yakni khalifah boleh memerintahkan salah satunya secara mengikat dan menjadikannya wajib. Sebab jika dia mewajibkan 80 kali maka yang 40 kali yang ditetapkan degan as-sunnah tercakup di dalamnya dan tambahan itu boleh dengan penilaian apa yang disepakati para shahabat adalah 80 kali. Dan jika khalifah mewajibkan 40 kali dera maka itu telah ditetapkan dengan as-Sunnah. Dan tambahan atas hal itu adalah boleh untuk imam, dan bukan wajib baginya. Maka tidak ada masalah baginya mewajibkan 40 kali dera saja.

Kelima: adapun pertanyaan Anda yang lain: (dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkannya pada posisi hadats karena dapat mengantarkan kepada hadats ... Lalu apakah mungkin kita qiyaskan atasnya, tertutup akal, mabuk dan gila karena semuanya itu mengantarkan kepada hadats, padahal ini semua termasuk bagian dari ibadah? ...). Jawabannya, bahwa di sini kita tidak mengqiyaskan, tetapi kita jawab sebagaimana yang ada di Ahkâm ash-Shalâh: (dan juga membatalkan wudhu adalah tidur, dan tertutup akal dengan selain tidur ... Adapun hilangnya akal dengan selain tidur maka itu adalah gila, tertutup akalnya, mabuk, atau sakit sehingga hilang akalnya sehingga wudhunya batal ... Dalil atas hal itu adalah Ijmak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir) selesai.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah-masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.


Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


27 Rabi’ul Awwal 1443 H

03 November 2021 M


https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78530.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3054830578096279


Thursday, November 11, 2021

Kritik Terhadap Fatwa MUI, Republik Bertentangan 180 Derajat dengan Model Kepemimpinan dalam Islam

 Kritik Terhadap Fatwa MUI, Republik Bertentangan 180 Derajat dengan Model Kepemimpinan dalam Islam

.

.

Ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menegaskan khilafah sebagai model kepemimpinan dalam Islam patut diapresiasi karena memang itu benar adanya. Tetapi kesimpulan Ijtimak Komisi Fatwa MUI yang menyebut republik di Indonesia termasuk model kepemimpinan dalam Islam tentu saja keliru dan wajib dikritisi. 

.

Setidaknya ada tujuh alasan yang menegaskan sistem pemerintahan republik yang diterapkan di Indonesia bukanlah mencakup model kepemimpinan dalam Islam. Justru bisa dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sedangkan khilafah, memang benar merupakan model kepemimpinan dalam Islam. 

.

Alasan tersebut tentu saja berdasarkan timbangan Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana Allah SWT berfirman:

.

_“Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits)”_ (QS An-Nisa' [4]: 59).

.

.

Pertama, republik di Indonesia identik dengan demokrasi yang secara konsep meniscayakan kedaulatan di tangan rakyat (apalagi secara de facto kedaulatan ada di tangan kafir penjajah dan oligarki). Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT).

.

Timbangan: 

.

Allah SWT berfirman, yang artinya: "Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah" (TQS Yusuf [12]: 40).

.

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI menafsirkan ayat tersebut dengan, "Keputusan yang adil tentang akidah, ibadah, dan ketentuan dalam muamalah yang benar itu hanyalah milik Allah, karena Dialah pencipta segalanya sehingga mengetahui segala sesuatu tentang ciptaan-Nya."

.

Maka tak aneh, meski Indonesia mengakui Ketuhanan yang Maha Esa dan kemerdekaan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa tetapi aturan dari Tuhan yang Maha Esa alias Allah yang Mahakuasa tidak diterapkan secara kaffah baik dalam bidang akidah, ibadah maupun  muamalah. Karena kedaulatannya secara de jure ada di tangan rakyat dan secara de facto ada di kafir penjajah dan oligarki.

.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan khilafah, kedaulatan di tangan As-Syaari' (Allah SWT). Sangat sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Yusuf [12]: 40 tersebut.

.

.

Kedua, sumber hukum republik/demokrasi di Indonesia campur aduk antara yang hak dan batil. Bahkan bisa dikatakan terlalu banyak batilnya.

.

Dalam republik/demokrasi di Indonesia syariat Islam bisa jadi sebagai salah satu bukan sebagai satu-satunya sumber hukum sehingga tercampurlah antara yang hak (syariat Islam) dan yang batil (bukan syariat Islam). Sedangkan dalam khilafah, syariat Islam sebagai satu-satunya sumber hukum.

.

Timbangan:

.

“Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 42).

.

.

Ketiga, tugas kepala negara republik/demokrasi di Indonesia menerapkan aturan buatan manusia.

.

Dalam negara republik/demokrasi di Indonesia, kepala negara (presiden) secara de jure bertugas untuk menerapkan aturan buatan manusia (DPR) secara de facto bertugas menerapkan aturan buatan kafir penjajah dan oligarki. Sedangkan dalam khilafah kepala negara (khalifah/imam/amirul mukminin) bertugas untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.

.

Timbangan:

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS Al Maidah [5]: 44).

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS Al Maidah [5]: 45).

.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah [5]:47).

.

.

Keempat, masa jabatan kepala negara republik/demokrasi di Indonesia priodik.

.

Dalam sistem republik/demokrasi di Indonesia masa jabatan presiden periodik 5 tahun sekali. Sedangkan dalam khilafah tidak ada periodeisasi, diganti hanya ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat.

.

Timbangan:

.

“Dengar dan taatilah pemimpin kalian sekali pun yang memimpin adalah seorang budak hitam, yang kepalanya seperti dipenuhi bisul”_ (HR al-Bukhari). Dalam riwayat lain, yakni riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan: _“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah”_ (HR Muslim).

.

.

Kelima, republik/demokrasi memecah belah kaum Muslim Indonesia dengan kaum Muslim di belahan dunia lainnya. 

.

Kepala negara dalam demokrasi merupakan pemimpin negara bangsa, sehingga kaum Muslim saat ini terpecah ke dalam lebih dari 57 negara bangsa (baik kerajaan maupun republik). Kepala negara dalam khilafah merupakan kepemimpinan umum kaum Muslim sedunia dan menyatukan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia.

.

Timbangan:

.

“Jika dibai'at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim dari Abu Sa’id al Khudri). Maknanya, kaum Muslim haram dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin.

.

.

Keenam, demokrasi tidak sesuai dengan misi penciptaan manusia.*

.

Dalam demokrasi taat kepada presiden tidak termasuk ibadah malah terkategori maksiat. Alasannya sudah disebutkan pada poin pertama, kedua dan ketiga. "Tidak boleh taat kepada makhluk untuk maksiat kepada Khalik (Pencipta)” (HR Muslim dan Tirmidzi). Sedangkan dalam khilafah, taat kepada khalifah termasuk ibadah. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits)" (QS an-Nisa' [4]: 59).

.

Timbangan:

.

“Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS adz-Dzariyyat [51]: 56).

.

.

Ketujuh, sanad demokrasi tidak nyambung ke Nabi dan Khulafaur Rasyidin.

.

Penerapan republik/demokrasi dicontohkan kaum kafir yang pasti masuk neraka. Sedangkan penerapan khilafah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahuanhum) yang dijamin masuk surga.

.

Timbangan:

.

“Wajib atasmu memegang teguh Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara-perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).[]

.

.

Depok, 6 Rabiul Akhir 1443 H | 11 November 2021 M

.

.

Joko Prasetyo

Jurnalis

Saturday, November 6, 2021

Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban

 Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban?


Soal:


Dengan keberhasilan Taliban menguasai kembali Afganistan, setelah 20 tahun berperang melawan AS dan pasukan koalisi, istilah “Imarat Islamiyyah” yang pernah digunakan dan diterapkan Taliban kembali menguat. Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban? Apakah sama dengan Khilafah?


 


Jawab:


Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa aspek politik yang harus dikemukakan, agar pertanyaan ini bisa dijawab dengan tepat.


Pertama: Taliban pernah berkuasa di Afganistan selama 1996 sampai 2001, atau 5 tahun. Ketika itu mereka sudah menerapkan apa yang disebut “Imarat Islamiyyah”, dengan menerapkan syariah Islam. Namun, dalam praktiknya, banyak penerapan hukum-hukum syariah yang tidak tepat, seperti melarang wanita bekerja, pergi ke sekolah, dan sebagainya.


Kedua: Saat berkuasa, Taliban pernah ditawari oleh Hizbut Tahrir, untuk mendirikan Khilafah dengan konsepnya yang sudah sangat jelas dan siap diterapkan dalam kehidupan, tetapi dengan tegas tawaran itu ditolak.


Ketiga: Taliban, sebelum diserang oleh Amerika dan koalisinya, pasca serangan WTC, 11 September 2001, telah melakukan penghancuran terhadap patung Budha, yang sempat dikritik oleh para ulama, termasuk Hizbut Tahrir. Pasalnya, ini merupakan perkara mubah, yang bisa dieksploitasi oleh negara-negara kafir penjajah untuk menyerang Afganistan, dengan alasan melindungi situs purbakala internasional. Akhirnya, terbukti. Serangan itu terjadi, tepat setelah Peristiwa 11/09/2001. Ini membuktikan kesadaran politik Taliban sebagai gerakan jihad dan politik sangat lemah.


Keempat: Setelah AS dan Koalisi menduduki Afganistan, selama 20 tahun, dan berperang melawan Taliban, mereka kalah. Lebih dari 4500 tentara AS mati sia-sia. Belum lagi tentara koalisi. Karena itu AS mencari cara agar bisa keluar dari Afganistan tanpa kehilangan muka. Sejak George W. Bush Junior lengser, digantikan Obama, keputusan penarikan pasukan AS dari Afganistan dan Irak dilakukan secara bertahap.


Keputusan final akhirnya dilakukan oleh Donald Trump, setelah menandatangi Perjanjian 29/02/2020 yang lalu. Namun, AS tidak ingin terlihat kalah. Karena itu AS sebelumnya meminta bantuan Inggris. Melalui tangan Qatar, Taliban diberi fasilitas membuka Kantor Perwakilan Politiknya di Qatar. Dari sini, Taliban mulai bisa keluar melakukan hubungan dengan berbagai pihak, termasuk ke Indonesia, dengan menemui sejumlah kalangan.


Isi perjanjian itu, antara lain, AS bersedia menarik pasukannya dari Afganistan. Karena itu rezim boneka yang dibentuk AS di Afganistan kehilangan sandaran kekuasaan, karena tidak didukung umat, dan pasukan AS. Karena itu dengan mudah Taliban, yang sudah menguasai 85% wilayah, akhirnya berhasil menguasai Kabul dan Istana Presiden Asyraf Ghani. Sang Presiden pun kabur dari sana.


Kelima: Setelah Taliban berkuasa, pada masa transisi ini, Taliban telah mengumumkan bentuk pemerintahannya, yaitu “Imarat Islamiyyah”, sebagaimana dulu pernah mereka terapkan selama 5 tahun. Namun, karena pengalaman buruk pada masa lalu, banyak muncul kekhawatiran. Karena itu Taliban melakukan berbagai kunjungan ke sejumlah instansi pemerintahan, termasuk menemui bekas Presiden sebelumnya, Hamid Karzai, yang notabene adalah antek Amerika.


Taliban saat ini memang melunak. Tidak seperti Taliban yang dulu. Karena itu “Imarat Islamiyyah” yang saat ini hendak diterapkan kemungkinan akan berbeda wajahnya dengan “Imarat Islamiyyah” yang dulu pernah mereka terapkan. Hanya saja, ada satu hal yang sama, lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan.


Keenam: Masuknya Cina, Rusia dan tekanan dunia internasional kepada Taliban, ditambah dengan lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan, dikhawatirkan akan membelokkan Taliban dari visi dan misi perjuangannya, memenangkan Islam dan kaum Muslim. Bukan sekadar berkuasa kembali. Apalagi melakukan Sinkretisme Islam dengan Sekularisme.


Tentu kita tetap berharap dan berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari berbagai jebakan setan yang terkutuk, baik dari kalangan jin maupun manusia. Dengan demikian kemenangan yang mereka raih tidak berujung pada kesia-siaan.


Karena itu berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menyimpulkan:


Pertama, “Imarat Islamiyyah” yang pernah diterapkan 5 tahun, antara 1996-2001, ketika Taliban berkuasa, jelas berbeda dengan Khilafah. Perbedaannya:


Khilafah adalah Negara Islam untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” adalah negara yang diklaim menerapkan Islam, hanya untuk wilayah tertentu, yaitu Afganistan.

Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah, yang dipilih oleh seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” dipimpin oleh seorang Amir, yang dipilih oleh rakyat di wilayah tertentu. Bahkan lebih spesifik lagi, dipilih oleh kalangan tertentu di kalangan mereka, baik yang disebut Ahlul Halli wa al-‘Aqdi, maupun yang lain.

Dalam praktiknya, “Imarat Islamiyyah” telah menerapkan syariah Islam meski tidak sempurna. Termasuk adanya sejumlah kesalahan dalam penerapannya, seperti larangan perempuan bekerja dan pergi ke sekolah. Berbeda dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dan sempurna. Karena itu kesalahan-kesalahan dalam penerapan syariah Islam seperti ini, insya Allah, tidak akan terjadi.

 


Kedua, adapun “Imarat Islamiyyah” yang akan mereka terapkan saat ini, jika faktor kelemahan kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan masih ada, ditambah tingginya tekanan dunia internasional, dan agen-agen mereka di dalam negeri, maka tidak menutup kemungkinan kompromi politik akan dilakukan, meski hasilnya, tetap dengan menggunakan nama “Imarat Islamiyyah”.


Jika ini sampai terjadi maka bentuk “Imarat Islamiyyah” Taliban ke depan justru semakin jauh dari Islam. Fa al-‘iyadzu billah. Kalau begitu, di mana masalahnya?


Sinkretisme Islam dengan Sekularisme. Apalagi dengan melabelinya dengan label Islam. Ini jelas haram. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢

Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan serta menutupi kebenaran, sementara kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 42).

 


Islam wajib diterapkan secara kaffah, tidak boleh setengah-tengah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh kalian yang nyata  (QS al-Baqarah [2]: 208).

 


Selebihnya, apakah kelak “Imarat Islamiyyah” Taliban akan menerapkan Islam secara kaffah, hingga menjadi tonggak tegaknya Khilafah, atau tidak, kembali kepada para pejuang yang ikhlas. Jika mereka berjuang karena Allah, dan benar-benar ingin menerapkan Islam secara kaffah, maka dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya serba mungkin. Dengan catatan, mereka harus mempunyai kesadaran politik dan pemahaman terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan dengan benar, jelas dan jernih. Jika semuanya itu ada, dengan izin dan pertolongan Allah, mereka akan menemukan Islam yang hendak mereka terapkan.


Namun, jika tidak, mereka akan kembali kalah, setelah mendapatkan kemenangan dalam perang 20 tahun. Kekalahan yang mungkin tidak mereka sadari. Sebaliknya, kaum kafir penjajah akan meraih kemenangan yang tidak bisa mereka raih melalui peperangan panjang.


WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Sunday, October 31, 2021

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN” HADITS PALSU

 "HUBBUL WATHON MINAL IMAN” HADITS PALSU


Oleh : Muhammad Shiddiq al-Jawi


Ungkapan “hubbul wathon minal iman” memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.


Namun sayang, sebenarnya ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.


Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :


1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan


2.. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.


Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :


1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);


2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);


3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).


Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.


Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.


Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.


Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.


Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :


1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;


2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;


3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.


(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)


Ringkasnya, ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.


Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i,Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).


Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).


Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan “hubbul wathon minal iman”sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :


“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawatir).


Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.


Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan Allah ini telah dekat kepada kita semua. Aamiin. [ ]

Wednesday, October 27, 2021

BAI'AT AQOBAH ADALAH METODE SYAR'I UNTUK MEGANGKAT NABI SAW SEBAGAI KEPALA NEGARA ISLAM

 BAI'AT AQOBAH ADALAH METODE SYAR'I UNTUK MEGANGKAT NABI SAW SEBAGAI KEPALA NEGARA ISLAM

(Kritik Khilmus | Edisi 16)


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/10/baiat-aqobah-adalah-metode-syari-untuk.html?m=1


Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Pada tulisan ini, insyaAllah, saya akan mengungkap fakta-fakta tersembunyi dibalik peristiwa Bai'at Aqobah Pertama dan Kedua. Tujuannya, untuk menjelaskan, bahwa daulah nubuwwah pimpinan Nabi Muhammad saw di Madinah dan daulah khilafah 'ala minhajin nubuwwah pimpinan Alkhulafa' Arrosyidiin, keduanya benar-benar telah memiliki wilayah kekuasaan sejak awal berdirinya. Dan tujuan selanjutnya, untuk membongkar kepalsuan khilafah yang tidak memiliki wilayah kekuasaan, bahkan mengingkarinya, sebagaimana Khilmus. Mereka tanpa tedeng aling-aling menegaskan, bahwa "khilafah adalah Al Jama'ah, bukan negara", dst. 


Dengan demikian, saya berharap, semoga Allah swt menyelamatkan kaum muslimin dari fitnah khilafah dan khalifah palsu, lantaran tulisan ini atau lantaran tulisan yang lainnya. Aamiin. 

====================


BAI'AT AQOBAH PERTAMA 


Ketika Quraisy Makkah semakin keras menyakiti kaum muslimin,  maka Nabi saw memulai dengan aktifitas Tholabun Nushroh-nya, guna menggalang dukungan, pertolongan dan perlindungan terhadap dirinya dalam upaya merealisasikan Mega Proyek penegakkan daulah nubuwwah, agar bisa menerapkan Islam secara kaffah tanpa hambatan berarti. Nabi menawarkan dirinya kepada banyak kabilah, dan klimaksnya di Aqobah di Mina, di sana beliau bertemu dengan enam orang Khozroj dari Yatsrib. Mereka adalah As'ad bin Zuroroh, Auf bin Al harits, Rofi' bin Malik, Quthbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah bin Amir bin Nabiy dan Jabir bin Abdullah. Nabi saw bersabda kepada mereka: "Siapakah kalian? ", mereka menjawab; "Kelompok dari Khozroj". Nabi bersabda; "Apakah dari sekutu Yahudi?", mereka menjawab; "Betul". Nabi bersabda; "Apakah kalian tidak mau duduk, Aku akan berbicara kepada kalian?", mereka menjawab; "Ya". Lalu mereka duduk bersama Nabi, lalu Nabi mengajak mereka kepada Allah, menawarkan Islam dan membacakan Alqur'an kepada mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain; "Wahai kaum! Ketahuilah, demi Allah!, sungguh dialah Nabi itu yang selama ini dijanjikan oleh Yahudi kepada kalian. Maka janganlah Yahudi mendahului kalian beriman kepadanya". Lalu mereka semua masuk Islam. Kemudian mereka kembali ke negerinya, Yatsrib. Dan ketika mereka sampai ke Yatssrib, maka mereka menuturkan kepada kaumnya berita tentang Nabi Muhammad saw. Sehingga sebutan Nabi populer di tengah-tengah mereka. Maka tidaklah ada rumah diantara rumah-rumah sahabat Anshor, kecuali di sana ada sebutan Nabi Muhammad saw. 


Hingga pada musim haji tahun berikutnya, datanglah dua belas laki-laki dari Anshor. Mereka bertemu Nabi di Aqobah di Mina. Lalu mereka berbaiat kepada Nabi. Mereka adalah sepuluh orang Khozroj, yaitu As'ad bin Zuroroh, Auf bin Alharits, Mu'adz bin Alharits, Dzakwan bin Abdi Qois, Ubadah bin Ashshomit, Quthbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah bin Amir bin Assulami, Al Abbas bin Ubadah, Yazid bin Tsa'labah, Rofi' bin Malik. Dan dua orang dari Aus, yaitu Uwaim bin Saidah dan Malik bin Attaihan. Itulah peristiwa bai'at Aqobah Pertama. 

(Ibnu Katsir, Albidayah Wannihayah, juz 3, bab Bad'u Islaami Anshor). 


Redaksi Bai'at Aqobah Pertama :

Ubadah bin Shomit berkata :

بَايَعَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ الأُولَى عَلَى أَنْ لا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلا نَسْرِقَ، وَلا نَزْنِيَ، وَلا نَقْتُلَ أَوْلادَنَا، وَلا نَأْتِيهِ بِبُهْتَانٍ نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا وَأَرْجُلِنَا، وَلا نَعْصِهِ فِي مَعْرُوفٍ، فَإِنْ وَفَّيْتُمْ فَلَكُمُ الْجَنَّةَ، وَإِنْ غَشِيتُمْ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَأُخِذْتُمْ بِحَدِّهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَإِنْ سُتِرْتُمْ عَلَيْهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَأَمْرُكُمْ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ

"Pada malam Aqobah pertama,, Rasulullah saw mengambil bai'at dari kami; "Agar kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akn membunuh anak-anak kami, tidak akan melakukan kebohongan kepada Nabi yang kami buat diantara tangan dan kaki kami, dan tidak akan mendurhakai Nabi dalam kebaikkan". (Nabi bersabda:) "Apabila kalian menepati, maka bagi kalian surga. Apabila kalian melanggar sesuatu yang dilarang dalam bai'at, lalu kalian dijatuhi hadnya di dunia, maka had itu menjadi kafaroh bagi kalian. Dan apabila kalian tertutup tirai (tidak diketahui) atas pelanggaran itu sampai hari kiamat, maka urusan kalian diserahkan kepada Allah, apabila Dia berkehendak maka mengazabnya, dan apabila Dia berkehendak maka memaafkannya". (HR Bukhari, kitab Manaqibul Anshor [3679]).


Bai'at Aqobah pertama disebut juga dengan baiat wanita, karena redaksinya sama dengan bai'at wanita. Seperti ini redaksi baiat wanita di dalam Alqur'an :

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

"Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia kepada Nabi sebagai amir / pemimpin), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah bai'at mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang". (QS Almumtahanah ayat 12).


Setelah peristiwa bai'at tersebut, Nabi saw mengutus Mush'ab bin 'Umair ke Yatsrib bersama mereka untuk membacakan Alqur'an dan mengajarkan Islam. (Ibnu Katsir, Albidayah Wannihayah, juz 3, bab Bad'u Islaamil Anshoor). 

==================


BAI'AT AQOBAH KEDUA


Setelah Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah, (pada bulan Dzul Hijjah tiga bulan sebelum hijrah ke Madinah / bulan Juni tahun 622 M) kekuarlah 73 laki-laki dan 2 perempuan dari Anshor pada musim haji. Dan mereka berbaiat kepada Nabi saw di Aqobah di Mina. 


Redaksi bai'at Aqobah Kedua :

Pada penggalan hadits yang panjang Jabir bin Abdullah ra berkata :

فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ عَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: «تُبَايِعُونِي عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي النَّشَاطِ وَالْكَسَلِ، وَعَلَى النَّفَقَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ، وَعَلَى الأَمْرِ بِالمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ، وَعَلَى أَنْ تَقُولُوا فِي اللهِ لَا تَأْخُذُكُمْ فِيهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ، وَعَلَى أَنْ تَنْصُرُونِي إِذَا قَدِمْتُ يَثْرِبَ فَتَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَزْوَاجَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ، وَلَكُمُ الْجنَّة».

Lalu kami berkata : "Wahai Rasulallah, atas dasar apa kami akan berbaiat kepada engkau". Lalu Nabi bersabda kepada mereka : "Berbaiat lah kalian kepadaku atas dasar mendengar dan ta'at dalam kondisi giat dan malas, memberi nafkah dalam kondisi sulit dan mudah; atas dasar amar makruf dan nahi munkar, berkata-kata (tidak diam) dalam menolong agama Allah, tidak takut celaan orang yang memcela dalam menolong agama Allah; dan atas dasar kalian menolongku ketika aku datang kepada kalian, lalu melindungiku dari perkara yang kalian melindungi diri kalian, istri-istri kalian dan anak-anak kalian dari padanya. Dan bagi kalian surga".

(HR Ahmad [14694]. Syu'aib Al-Arnauth berkata; Hadits Shahih dan ini isnad hasan; Baihaqi, Assunnan Alkubro [18191], dan Ashshauyani berkata; "Isnadnya Shahih", Assiroh Annabawiyyah kamaa ja-at fil Ahaadiitsish Shahiihah, 1/244).


Dan hadits Ubadah bin Ashshomit ra :

 عن عبادة بن الصامت قال: دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ.

Dari Mu'adz bin Ashshomit, ia berkata: "Rasulullah saw memanggil kami lalu kami membaiatnya. Maka pada pengambilan bai'at atas kami, Rasulullah membaiat kami atas dasar mendengar dan ta'at dalam kondisi senang kami dan benci kami, sulit kami dan mudah kami, dan ada monopoli atas kami, agar kami tidak merebut perkara pemerintahan dari pemiliknya. Nabi bersabda : "Kecuali ketika kami melihat kekufuran yang nyata, dimana kalian memiliki bukti dari Allah (Alqur'an) tentang kekufuran itu". 

(HR Muslim, Kitabul Imaroh, Babu Wujubi Tho'atil Umaro fi Ghoiri Ma'shiyatin wa Tahrimihaa fil Ma'shiyati [3536]).


Mereka membaiat Nabi satu persatu dimulai dari As'ad bin Zuroroh yang paling muda usianya. Kaum laki-laki sama berbaiat dengan memukul kedua tangan Nabi. Sedang dua perempuan yang ikut berbaiat bersama suaminya, maka Nabi bersabda kepada keduanya: "Aku benar-benar telah membaiat kalian. Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita".


Kemudian Nabi bersabda kepada mereka : "Keluarkan kepadaku dari kalian dua belas pemimpin (naqib) yang akan bertanggungjawab atas kondisi kaumnya". Lalu mereka mengeluarkan dari mereka dua belas  pemimpin. Sembilan dari Khozroj, yaitu; As'ad bin Zuroroh, Sa'ed bin Arrobii', Abdullah bin Rawahah, Rofi' bin Malik, Albaro' bin Ma'rur, Abdullah bin Amr bin Harom, Ubadah bin Ashshomit, Sa'ed bin Ubadah dan Almundzir bin Amr. Dan tiga orang dari Aus, mereka adalah; Usaid bin Hudhair, Sa'ed bin Khaitsamah dan Rifa'ah bin Abdilmundzir. Nabi bersabda kepada para pemimpin; "Kalian akan bertanggungjawab atas kondisi kaum kalian. Sebagaimana tanggungjawab nya Hawariyiin kepada Isa bin Maryam. Sedang aku bertanggungjawab atas kaumku".

(Ibnu Katsir, Albidayah Wannihayah, juz 3, Fashal: Qishotu Bai'atil Aqobatits Tsaniyah). 

====================


FAKTA-FAKTA TERSEMBUNYI DIBALIK BAI'AT AQOBAH KESATU DAN KEDUA 


•Fakta Pertama : 

Telah ada Aktifitas Tholabun Nushroh mendahului peristiwa bai'at, dimana dalam Siroh Ibnu Sa'ad, Nabi melakukannya sampai sebanyak lima belas kali kepada lima belas kabilah. Dan dengan aktifitas tholabun nushroh ini tidak sedikit dari ulama kaum muslimin yang hanya memahaminya sebatas tabligh dan dakwah Nabi saw kepada Allah dan kepada Islam, dimana tidak ada hubungan sama sekali dengan politik, apalagi untuk menegakkan negara. Karena Nabi sendiri melakukannya secara rahasia, dan tidak banyak melibatkan sahabat. Dalam kitab-kitab Siroh, para mushonnif memakai bab Al'ardhu 'alal Qabaili, bahwa Nabi saw telah menawarkan dirinya kepada sejumlah kabilah, Nabi meminta kepada mereka agar mau menjaga dan melindunginya, sehingga Nab bisa menyampaikan risalah Islam dalam keadaan aman. 


Padahal Nabi saw malakukan aktifitas Tholabun Nushroh sebagai upaya untuk menggalang dukungan dari orang-orang yang memiliki wilayah otonomi dan kemampuan untuk menegakkan institusi negara. Ini bisa kita pahami dari permintaan Bani Amir bin Sho'sho'ah, sebelum terjadi bai'at aqobah pertama, sebagai berikut; 

وطلب منه بنو عامر إن هم آمنوا به أن يجعل لهم أمر الرياسة من بعده، فقال لهم الأمر لله يضعه حيث يشاء

"Bani Amir meminta kepada Nabi, apabila mereka beriman kepada Nabi (lalu memberikan nushroh kepada Nabi untuk menegakkan daulah) agar Nabi memberikan perkara kepemimpinan daulah kepada mereka setelah wafatnya Nabi. Lalu Nabi berkata kepada mereka; "Perkara kepemimpinan itu milik Allah, Dia akan meletakkannya di tempat mana yang Dia kehendaki". (Muhammad Alhadhory Bik, Nurul Yaqin fi Siyroti Sayyidil Mursaliin, ban Al'ardhu 'alal Qobaili, Maktabah Daru Ihyail Kutubil 'Arobiyyati Indonesia; Siroh Ibnu Hisyam, 2/272 ; Ibnu Katsir, Albidayah Wannihayah, 2/139-140). 


Jadi aktifitas tholabun nushroh yang dilakukan oleh Nabi, adalah dalam rangka menambah kedudukannya, di samping sebagai Annabi dan Arrosul yang bertugas menyampaikan Wahyu dan mengajak manusia kepada Allah dan kepada Islam, juga sebagai kepala negara. Yaitu dengan aktifitas dakwah untuk menegakkan negara agar bisa menerapkan syariah Islam secara kaffah, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamiin. 


•Fakta Kedua :

Sahabat Anshor yang baru setahun dan dua tahun masuk Islam, adalah yang pertama kali membaiat Nabi saw, baik bai'at aqobah pertama maupun kedua, bukan sahabat muhajirin yang sudah lebih dari sepuluh tahun masuk Islam. Karena sahabat Anshor sudah punya wilayah otonomi untuk menjadi tempat berdirinya negara, juga mereka punya kemampuan untuk itu. Jadi baik SDA maupun SDM-nya sudah terpenuhi untuk berdirinya negara. 


Berbeda jauh dengan kondisi sahabat Muhajirin, meskipun secara SDM-nya terbilang unggul, tetapi secara SDA-nya, mereka sama sekali tidak memiliki wilayah otonomi. Karena Mekkah saat itu berada dalam kepemimpinan pembesar-pembesar Quraisy seperti halnya Abu Jahal yang berjuluk Abul Hakam, jabatan setara dengan presiden. 


Dari fakta ini, dapat kita pahami, bahwa rangkaian bai'at aqobah kesatu dan kedua adalah bai'at in'iqod, bai'at legal formal, sebagai metode sahnya pengangkatan Nabi saw menjadi kepala negara, meskipun riilnya baru terjadi setelah Nabi hijrah ke Medinah. Dan sebagai syarat sahnya bai'at dari orang-orang yang membaiat Nabi dengan bai'at in'iqod, yakni harus sudah punya wilayah otonomi untuk berdiri tegaknya negara Islam. 


Sedang bai'atnya kaum muslimin dari sahabat Muhajirin, laki-laki dan perempuan, setelah Nabi domisili di Madinah, adalah bai'at ta'at kepada Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Islam, dan bai'at ini wajib atas setiap muslim. Dan bai'at ta'at ini tidak sah sebelum terjadinya bai'at in'iqod. 


•Fakta Ketiga :

Reaksi Quraisy ketika mengetahui bai'at aqobah kedua. Mereka mendatangi tempat persinggahan sahabat Anshor dan berkata :

يامعشر الخزرج بلغنا أنكم جئتم لصاحبنا تخرجونه من أرضنا وتبايعونه على حربنا؟ 

"Wahai golongan Khozroj! Telah datang kepada kami berita, bahwa kalian telah datang kepada teman kami (Muhammad saw), kalian akan membawanya keluar dari tanah kami, dan kalian berbaiat kepadanya atas dasar perang terhadap kami?!".

Maka sahabat Anshor mengingkarinya. Dan orang-orang musyrik yang tidak menghadiri bai'at sama bersumpah kepada Quraisy, bahwa pada malam itu tidak terjadi apa-apa. Sedang Abdullah bin Ubaiy pembesar Khozroj juga berkata; "Sungguh kaumku tidak akan melepaskan sesuatu atasku dari peristiwa itu (seandainya mereka ngerti)".

(Muhammad Hadhoriy Bika, Nurul Yaqin fii siyroti sayyidil mursaliin, bab Al'aqobah Assaniyyah). 


Dari reaksi kafir Quraisy dapat kita pahami bahwa bai'at aqobah itu bukan bai'at iman dan pembenaran dengan kerasulan Nabi saw dan dengan risalah Islam. Tetapi lebih dari itu, menunjukkan bahwa bai'at aqobah adalah baiat perang terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Ini juga menunjukkan bahwa sahabat Anshor membaiat Nabi saw dalam kapasitasnya sebagai amir daulah, sebagai pemimpin negara. Ini juga bisa dipahami dari setibanya Nabi saw di Madinah, beliau langsung membuat dan menetapkan Piagam Madinah sebagai UUD negara moderen pertama di dunia. 


•Fakta Keempat :

Sebelum terjadi bai'at aqobah atau sebelum sahabat Anshor membai'at Nabi, sahabat Muhajirin sekelas Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dll. tidak membaiat Nabi dan Nabi pun tidak menyuruh mereka berbai'at. Ini artinya, mereka hanya wajib mengimani, membenarkan dan ta'at kepada Muhammad sebagai Annabi dan Arrosul, mereka tidak diwajibkan bai'at kepadanya. Dan dengan fakta ini semakin jelas, bahwa bai'at adalah metode syar'i untuk mengangkat pemimpin negara Islam. Dan redaksi bai'at aqobah kedua di atas benar-benar telah menunjukkan hal demikian. 

=================


PENUTUP

Dengan mengkaji fakta bai'atnya kaum muslimin kepada Abu Bakar setelah Rasulullah saw wafat dan kepada Alkhulafa' Arrosyidiin setelah Abu Bakar wafat, tersingkap bukti yang jelas, bahwa bai'at itu terbagi menjadi dua, bai'at in'iqod dan bai'at ta'at. Dimana setelah Nabi saw wafat, kaum muslimin dari pembesar sahabat Anshor dan Muhajirin berkumpul di saqifah Bani Sa'idah untuk memilih pengganti Rasulullah saw dalam kepemimpinan agama dan negara. Dan dalam pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah telah terjadi dua gelombang bai'at. Pertama bai'at dari para pembesar sahabat atau ahlulhalli wal'aqdi yang mengesahkan Abu Bakar sebagai khalifah, yakni bai'at in'iqod. Kedua bai'atnya kaum muslimin secara umum, yakni bai'at ta'at. Juga praktek bai'at kepada para khalifah setelah Abu Bakar, semuanya sama, yaitu terdiri dari dua gelombang bai'at, bai'at in'iqod dan bai'at ta'at. Meskipun teknis pemilihan dan pengangkatan khalifahnya berbeda-beda. Dan semua bai'at tersebut terjadi setelah kaum muslimin memiliki wilayah kekuasaan yang terbentang luas.


Apa yang telah saya utarakan di atas bukan mengada-ada, apalagi akal-akalan, semuanya bisa dilacak dan dibaca dalam kitab-kitab siroh yang ada. Maka bagi siapa saja yang hatinya ikhlas serta akalnya cerdas, sangat mudah mencari dan menerima haq, juga sangat mudah membedakan khilafah ala minhajin nubuwwah yang asli dan yang palsu, yaitu dengan melihat kepada proses bai'atnya. 

Wallohu A'lam. [].

(Bersambung... )


#KhilafahAjaranIslam

#KhilafahAjaranAhlussunnah

#KhilafahAjaranAswaja

#KhilafahWarisanRasulullah

#IslamRahmatanLilAlamin

#IndonesiaBerkahDenganSyariah

#SyariahDiterapkanDenganKhilafah

#tintasiyasi

Monday, October 25, 2021

Hari santri nasional

 HARI SANTRI NASIONAL

Digging up the past


Oleh: Ust. M. Ismail Yusanto


Digging up the past adalah slogan yang sangat terkenal di kalangan para arkeolog. Ini mewakili semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban di masa lalu yang diharap bisa memberi pelajaran kepada kehidupan sekarang dan di masa mendatang.


Tapi slogan itu kiranya tepat juga dipakai oleh kita saat ini yang konsern pada pentingnya pelurusan sejarah. Terlebih setelah Presiden Jokowi - memenuhi janji kampanye saat pilpres tahun lalu - menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak lepas dari kiprah santri dan para kiai dalam melawan penjajah yang ketika itu terus berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan.


Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’iy. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.


++++


Kita tentu berharap, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan janji bagi kepentingan politik pencitraan, tapi ada misi yang lebih jauh, yakni usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah. Misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang.


Kita tahu, sejarah memang tidaklah netral. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi.


Setidaknya ada 3 kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.


Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah. Salah satu contoh paling nyata, ya soal Resolusi Jihad itu. Bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.


Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Tapi, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.


Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar” menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.


Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. Contohnya, siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar memang bersifat nasional, ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan rasis, serta sama sekali tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda. Tapi mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?


Ketiga, pengaburan konteks peristiwa sejarah. Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam – sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, kemana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangatlah tidak dikehendaki.

Padahal, spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan di masa lalu. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu dibawah bendera Islam. Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.


Oleh karena itu, penetapan Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang sejarah: tentang apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya, termasuk sejarah pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat. Sejarah dalam istilah al Qur’an sebagaimana kisah, mengandung ibrah atau pelajaran. Pengaburan apalagi penguburan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa didapat.


Maka, bila mengacu kepada sejarah yang benar tentang peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya, juga peran KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya serta peran Hizbullah – Sabilillah, kita tentu akan mendapatkan spirit Islam itu. Juga bahwa Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi untuk menyembah Sang Khaliq dan memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titahNya. Jadi, kebangkitan bukan hanya sebuah kata sloganistik, tetapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua. Itulah kebangkitan dengan spirit Islam, yang ketika itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. Spirit Islam semacam itulah yang diperlukan sebagai sumber kekuatan perjuangan guna membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi.


Jadi, Hari Santri Nasional mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tapi digging up the truth (mengungkap kebenaran)!

Saturday, October 16, 2021

Khilafah Tidak Ada Dalam Syariat Islam", Ahmad Dhani: Memangnya Demokrasi dan Republik Ada?

 "Khilafah Tidak Ada Dalam Syariat Islam", Ahmad Dhani: Memangnya Demokrasi dan Republik Ada?!


Sabtu, 16 Oktober 2021


Faktakini.info


*KHILAFAH TIDAK ADA DALAM SYARIAT ISLAM?*


By AhmadDhani


Ada Muslim yang berteriak “KHILAFAH TIDAK ADA DI SYARIAT ISLAM!”


Dalam hati saya... *”DUNGU”*


*APA DEMOKRASI ada di SYARIAT ISLAM?*


*APA REPUBLIK ITU ADA DI SYARIAT ISLAM?*


ABU BAKAR RA


UMAR BIN KHATAB RA


USTMAN bin AFFAN RA


ALI bin ABI THALIB RA


UMAR BIN ABDUL AZIZ


HARUN AL RASYID


SALAHUDDIN AL AYYUBI


MUHAMMAD AL FATIH


Mereka semua Tokoh KHILAFAH yang menguasai Dunia selama 1000 tahun .


( Maaf belum ada orang kita yang melampaui kebesaran mereka itu Tokoh KHILAFAH )


Mereka yang tidak terlalu peduli apakah KHILAFAH itu ada di SYARIAT ISLAM Atau tidak...


KHILAFAH itu , UNTUK  dan BAGI Muslim yang  *MENTAL nya SUPERIOR*, 


*SEJARAH MEMBUKTIKAN ITU*


*KHILAFAH* bukan untuk Muslim yang mental nya *INFERIOR* tapi teriak Revolusi.


*KHILAFAH* tidak cocok untuk *KITA ,*


*KITA* yang sukanya NGUTANG,


*KITA* yang sukanya JUALAN ASET NEGARA...


*KITA* YANG MATA UANG NYA TERUS AMBYAR TAPI PLONGA PLONGO.


*KITA* yang pengetahuan SEJARAH ISLAM nya minim.


*KITA* yang BUTA GEO POLITIK DUNIA.


*KITA* 


*K* oalisi


 *I* jtihad


*T* anpa


*A* kal


 *SIAPA YANG PALING TAKUT , HINGGA MENJADI PALING ANTI KHILAFAH ?*


Jawaban nya ,


Adalah *mereka yang sedang berkuasa saat ini*


Siapa? Luhut Binsar Panjaitan?


Dia cuma *pion* kecil


Siapa dong ?


Ya *AMERIKA* lah...


Loh kok?


Makanya *PENTING UNTUK TAU DAN PAHAM SEJARAH*


*AMERIKA* ITU  BARU  *74 TAHUN* BERKUASA ATAS DUNIA!!!


*KHILAFAH* PERNAH MENGUASAI DUNIA HAMPIR *800 TAHUN !!* ( meskipun di Interupsi sebentar oleh  *Perang Salib* hingga *Ekspansi Mongol* ).


Kenapa *AMERIKA* takut sekali dengan *KHILAFAH?*


*Karena mereka belajar Sejarah*


Di jaman *Dinasty ABBASIYAH* ,


ILMU DAN TEKHNOLOGI *di temukan.*


Jika tidak ada Ilmuan ilmuan Islam seperti 


1. *Muhammad ibn Musa AL Khwarizmi* ( 780M-850M ,Orang Iran ) Penulis buku *AL Jabar* buku dasar Matematika


2. *Ibn Sina*( 980M-1037M , Orang Iran ). Peletak dasar dasar ilmu Kimia-Bilologi dan Kedokteran.


3. *AL Ghazali* .(1058-1111 )  Ahli Filsafat Modern .


4. *Jalaulddin Rumi* ( 1207-1273 ) seorang SASTRAWAN HEBAT sebelum orang Eropa mengenal SASTRA.


Jika tidak ada MUSLIM HEBAT di masa KHILAFAH ISLAM,


Maka di Eropa pun tidak akan ada *Revolusi Ilmu Pengetahuan.*


Maka ,Jika Kalian Kagum dengan Amerika Yang baru 74 tahunan *MENGUASAI DUNIA*...


Maka , Mustahil bagi kalian jika tidak *mengagumi Khilafah* yang *MENGUASAI DUNIA* hampir *800 Tahun.*


Sebagai Ilustrasi Sejarah singkat PERADABAN MANUSIA dan BANGSA/RAS YANG MENJADI PEMIMPIN NYA.


1. *ISRAEL* ( Kerajaan Modern Pertama di DUNIA ) 


RAS : YAHUDI


Raja yang Terkenal : *Nabi Daud AS* ( KING DAVID ) dan Putra Mahkota *Nabi Sulaiman AS* ( KING SOLOMON )


Sekitar *1000 sebelum Masehi.*


*Menguasai Dunia 300* Tahun hingga Akhirnya di kalahkan oleh Bangsa *Babilonia.*


2. *BABILONIA ( IRAK )*


RAS : KULIT PUTIH ( KAUKASIAN )


Raja Yang terkenal : *NEBUCADNEZAR*


Menguasai Dunia dari *700 SM* 


Hingga di kalahkan oleh *Bangsa PERSIA*


3. *PERSIA ( IRAN )*


RAS : KULIT PUTIH ( KAUKASIAN )


Raja yang terkenal : DARIUS THE GREAT/ XERXES 


*Menguasai Dunia 150 TAHUN an*


Hingga akhir nya di kalah kan oleh ALEXANDER THE GREAT dari *Macedonia*


4. *MACEDONIA( Eropa )*


RAS : KULIT PUTIH ( KAUKASIAN )


Raja yang terkenal : ALEXANDER THE GREAT.


Berkuasa 200 tahunan dan di teruskan oleh *ROMAWI*


5. *ROMAWI*


RAS : KULIT PUTIH DAN YAHUDI.


Raja yang Terkenal : JULIUS CAESAR. NERO, CONSTANTINE THE GREAT.


*Berkuasa 500 Tahun*


6. *KHILAFAH*


RAS SEMIT ( ARAB DAN YAHUDI )DAN KULIT PUTIH ( PERSIA dan BABILONIA )


*Menguasai DUNIA + minus 800 tahun* semenjak Nabi Muhammad SAW ( 600 Masehi ) hingga KHILAFAH UTSMANI di TURKI.


Apapun selama KHILAFAH berkuasa ,


Ada juga kekuatan lain di belahan DUNIA yang juga menjadi *PUSAT PERDABAN* yaitu 


*KERAJAAN MATARAM KUNO di JAWA ( 800M-900M )*


Ada juga kekuatan MILITER Kerajaan INGRIS DAN PERANCIS ( semasa Perang Salib )


Dan Juga kekuatan besar *MONGOL* ( 1200M-1300M ) yang akhir nya me MUSNAHKAN *KHILAFAH ABBASIYAH*.


Meskipun setelah itu *KHILAFAH UTSMANI* mengembalikan *KEJAYAAN KHILAFAH* setelah *MENAKLUKKAN KONSTANTINOPEL tahun 1453 MASEHI*


Seiring dengan KHILAFAH USTMANI,


Bangkit juga kekuatan *EROPA*


SPANYOL dan PORTUGIS di periode awal 1400 an.


BELANDA di periode 1600 an


INGGRIS di periode 1700 an


JERMAN 1930 an


Dan PUNCAK nya


AMERIKA MEMENANGKAN PERANG DUNIA II ( Worl War 2 ) tahun 1945.


*SEJAK 1945 , BARULAH AMERIKA MENGUASAI DUNIA*


( RAS KULIT PUTIH DAN YAHUDI )


*SECARA FORMAL 74 TAHUN BERKUASA.*


WAJAR JIKA NGERI NGERI SEDAP KALO DENGAR KATA KHILAFAH ( Langsung kebayang *Sultan Salahudin* ).


Jadi yang menganggap *KHILAFAH* adalah *MUSUH,* bukan lah *PANCASILA* 


( PANCASILA tidak pernah menguasai DUNIA ) .


Tetapi 


DUNIA YANG SEKARANG DI PIMPIN OLEH AMERIKA lah yang TAKUT TERHADAP KEBANGKITAN KHILAFAH YANG PASTI akan TERULANG KEMBALI ( Roda KEKUASAAN pasti berputar )


Salam PANCASILA


Salam NKRI HARGA MATI


*AhmadDhani , 17 Agustus 2018*

Wednesday, October 13, 2021

MEMBAIAT KHALIFAH TANPA PENERAPAN SYARIAH

 MEMBAIAT KHALIFAH TANPA PENERAPAN SYARIAH


Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi


Tanya : 


Teman dialog saya pernah menyampaikan bahwasannya dia mengaku sudah membai'at atau memiliki khalifah. Meskipun, ketika saya tanya, mana wilayahnya, militer, dsb, dia menjawab belum ada dan lagi diusahakan. Karena menurut dia, yang penting adalah membai'at atau mengangkat khalifah dulu, soal perangkatnya (wilayah, militer, dll) menyusul. Jika harus nunggu militer dan wilayah dulu ada, maka akan terlalu lama. Keburu nanti jika mati, maka matinya terkategori mati jahiliyyah. Jadi angkat dulu khalifah meskipun belum ideal (bisa dikatakan khalifah darurat). Menurut dia lagi, pemahaman di atas berangkat dari hadits Rasul SAW "Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba'iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah" (HR Muslim). Pertanyaan saya : 1. Benarkah pemahaman teman dialog saya tadi diatas, yang penting "person khalifah" dulu, bukan "wilayah atau kekuasaan" ? 2. Bagaimana penjelasan soal hadits yang dijadikan dalil oleh teman dialog saya tadi ? Mohon ustad berkenan untuk menjawabnya. (Hamba Allah, bumi Allah). 


 


Jawab :


Untuk menjawab pertanyaan tentang “khalifah” perlu diketahui lebih dulu apa definisi “khalifah” secara syar’i, yaitu pengertian Khalifah sebagaimana dimaksudkan oleh nash-nash syariah (Al Qur`an dan As Sunnah). Definisi khalifah secara syar’i adalah :


 


هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان وفي تنفيذ الأحكام الشرعية


 


"Huwalladzy yanuubu 'an al ummah fi al hukmi wa al-sulthan wa fi tanfiidzi al-ahkam al-syar'iyyah" (khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan atau kekuasaan [as sulthaan] dan dalam penerapan hukum-hukum syariah). Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum --rahimahullah-- dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah, halaman 49.


 


Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara' di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Khalifah dalam definisi syar'i inilah yang dimaksud dalam hadits tersebut ("Barang siapa yang mati dalam kondisi tidak berba'iat kepada khalifah maka matinya mati jahiliyyah").


 


Maka dari itu, kalau seseorang diangkat sebagai khalifah tapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara', sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar'i. Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara' karena telah menyalahi nash-nash syara' dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariah. Untuk apa khalifah dibaiat kalau bukan untuk menjalankan kekuasaan dan menerapkan hukum-hukum syariah?


 


Memang benar, bahwa wajib setiap muslim mempunyai baiat di lehernya kepada khalifah dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada khalifah, matinya adalah mati jahiliyah (mati dengan dosa besar bukan mati kafir). Tapi ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar'i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah. Sama halnya dengan shalat yang merupakan kewajiban atas setiap muslim, dimana siapapun muslim yang tidak mau shalat diancam Allah SWT akan masuk ke dalam neraka Saqar (QS Al Mudatstsir : 42-43). Tapi ini tidak berarti seorang muslim boleh sholat secara sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat sah sholat, misalnya shalat tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya.


 


Perlu diperhatikan, bahwa kekeliruan mendasar teman Anda --hadaanallahu wa iyyahu—(semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan dia) adalah dia tidak mampu membedakan antara mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah). Kedua hal ini berbeda. Mengangkat khalifah adalah mengangkat seseorang menjadi khalifah. Ini tidak otomatis membuat tegak sistem Khilafah (ketika Khilafahnya tidak ada, seperti sekarang). Tapi menegakkan Khilafah (iqamatul Khilafah) secara otomatis akan berimplikasi adanya pengangkatan khalifah (nashbul khalifah).


 


Padahal, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah). Sementara teman Anda mempunyai pemahaman dasar, bahwa masalah yang perlu dipecahkan hanya sekedar mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara Khilafah-nya ada atau tidak. Di sinilah pangkal kekeliruan teman Anda. (Lengkapnya lihat kitab Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah, karya Wali Al-Fattah).


 


Dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam Syaikh Abdul Qadim Zalum, menerangkan bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah. Yaitu seorang khalifah itu wajib memenuhi syarat sbb :


(1) Muslim,


(2) Laki-laki,


(3) Baligh,


(4) Berakal,


(5) Adil (tidak fasik),


(6) Merdeka (bukan budak), dan


(7) Mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 50-53).


 


Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), maka suatu negeri (al balad, al quthr) wajib memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu;


 Pertama, kekuasaan yang ada pada negeri (al-balad) tersebut wajib merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali negara kafir.


Kedua, keamanan (al-amaan) di negeri tersebut berada di tangan kaum muslimin, baik di dalam negeri atau di luar negeri.


Ketiga, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara' di dalam negeri dan segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.


Keempat, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in'iqad (baiat pengangkatan khalifah), yaitu ketujuh syarat untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah) yang telah disebutkan di atas, yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka (bukan budak), dan mampu. (Abdul Qadim Zalum, Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 59-60).


 


Demikianlah penjelasan kami secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Abdul Qadim Zalum. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya. Aamiin.

Sunday, October 3, 2021

ADANYA KESAN PEMBIARAN TERHADAP SIMBOL KOMUNISME BELUM TENTU NEGERI INI DIKUASAI KOMUNISME

 ADANYA KESAN PEMBIARAN TERHADAP SIMBOL KOMUNISME BELUM TENTU NEGERI INI DIKUASAI KOMUNISME


Pertama, sebagaimana sudah dipahami bahwa negara kapitalis, bukanlah negara komunis. Negara kapitalis asasnya adalah sekularisme, yaitu paham yang mengharuskan pemisahan aturan agama terhadap aturan politik (negara) atau aturan dunia. Jadi, liberalisme (paham kebebasan) menjadi ide yang sangat dijunjung tinggi. Orang bebas mau berbuat apa saja, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain, dan asal tidak memaksakan kepada orang lain. Ini tentang kapitalisme-liberalisme yang asasnya adalah sekularisme.


Kedua, karena liberalisme begitu dijunjung tinggi, maka orang bebas mau berbuat apa saja. Mau sekafir apa pun seseorang, dipersilakan. Mau setakwa apapun seseorang, juga dipersilakan. Ini hukum asal kapitalisme. Jadi, sebenarnya, tidak ada masalah dan tidak ada persoalan orang mau menyuarakan tentang komunisme yang mengingkari adanya Tuhan atau mengingkari adanya agama, tidak masalah. Pun demikian, tidak ada masalah orang mau menyuarakan tentang syariat Islam atau khilafah, tidak ada masalah. Yang masalah cuma satu, yaitu mengganggu orang lain atau memaksa orang lain. Apalagi pake kekerasan. Jelas itu masalah dalam negara kapitalis. Karena itu, Pak Ansyaad Mbai dulu pernah bilang, tidak masalah mau mendakwahkan khilafah, asal tidak menggunakan kekerasan atau aksi-aksi terorisme.


Ketiga, perlu dipahami, sekalipun kapitalisme dan komunisme adalah dua ideologi yang bertentangan (yang satu masih mengakui adanya Tuhan dan yang satunya mengingkari adanya Tuhan), tetapi kedua ideologi tersebut sepakat bahwa tata nilai dalam kehidupan, harus ditentukan oleh akal manusia. Artinya, aturan Tuhan tidak boleh diikutsertakan dalam membahas tentang tata nilai kehidupan. Dan tentu bukan hanya tentang tata nilai, tetapi juga tentang sistem pengaturan kehidupan, baik itu sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan, dan sebagainya.


Karena itu, dalam negara kapitalis, adalah suatu keniscayaan bahwa simbol-simbol tentang komunisme akan lebih diberikan kebebasan di ruang publik, daripada simbol-simbol yang berangkat dari akidah Islam. Sebab, komunisme secara jelas tidak membawa-bawa agama, sedangkan Islam justru membawa-bawa agama. Bahkan, Islam itu sendiri adalah agama.


Jadi, jangan heran, jika di negara kapitalis seperti di negeri ini, simbol-simbol komunisme lebih diberikan kebebasan daripada simbol-simbol Islam. Atau dengan kata lain, jangan heran jika di negara kapitalis, ada kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunis, dan terjadi pelarangan atas simbol-simbol Islam. Pembiaran itu, bukan karena negara ini sudah dikuasai komunisme, atau sudah berubah menjadi komunis. Tetapi karena negara ini menganut paham kebebasan, dan negara ini sedang mengarah pada sifat sekular-radikal, yaitu BENAR-BENAR ingin menghilangkan unsur agama dalam kehidupan publik, atau BENAR-BENAR ingin meminimalisir peran agama.


Ini sebenarnya sudah pernah dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani puluhan tahun yang lalu, ketika konflik ideologi atas nama Perang Dingin (Cold War) masih terjadi pada tahun 1950-an. Beliau menyatakan dalam bukunya Nizhamul Islam,


"Sedangkan ideologi kapitalisme mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya lahirlah ideologi sekular, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak. Mereka–baik yang mengakui eksistensi-Nya maupun yang tidak—hanya memfokuskan bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan. Jadi, sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan Pencipta atau yang mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan."


Syaikh Taqiyuddin menyatakan, "Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak." Ini artinya, bagi para kapitalis, apakah agama itu ada atau tidak, diakui atau tidak; apakah Tuhan itu dibahas atau tidak, Tuhan diakui atau tidak; itu tidak penting. Karena itu, adanya orang komunis di dalam negara kapitalis, itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa dalam kehidupan publik, agama tidak diikutsertakan. Jadi, jangan heran jika sekarang ini ada kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunis. Itu bukan karena negara ini sedang berubah menjadi komunis. Bukan. Tetapi justru negara ini malah semakin menunjukkan jadi diri sebagai negara kapitalis, yang benar-benar ingin menghilangkan pengaruh agama dalam kehidupan publik.


Jika negara ini memang sedang mengarah pada komunisme, maka kebijakan politik pasti akan terlihat komunistik, yaitu meminimalisir interaksi dengan institusi-institusi kapitalis. Misalnya memutuskan hubungan dengan PBB, IMF, World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya. Sudahkah hal semacam ini terwujud? Lalu, mengapa Indonesia malah menjadi tuan rumah pertemuan IMF beberapa tahun yang lalu di Bali yang menghabiskan biasa sampai ratusan miliyar?


Jadi, adanya kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunisme yang selama ini ada dalam sebuah negara kapitalis demokrasi, belum tentu menunjukkan bahwa negara tersebut sedang dikuasai komunisme. Sebaliknya, justru negara kapitalis tersebut sedang benar-benar memperlihatkan dirinya sebagai negara kapitalis sejati yang berasas pada ide kebebasan (liberalisme) yang lahir di Eropa. Ya, ide komunisme memang dibiarkan ada, dibiarkan dianut oleh warga negara, karena itu adalah bagian dari kebebasan. Tetapi tidak dengan Islam. Islam akan tetap dikebiri, dibatas-batasi pemunculannya di sektor publik. Karena yang jadi masalah adalah "dalam ranah publik, agama jangan ikut campur". Agama boleh ada, tapi cukup dalam diri penganutnya, cukup di masjid dan musola. Tidak boleh di ruang publik.


Wallahu a'lam.

Agus Trisa

Iqamat Al-Khilafah: Kefardhuan yang Dipahami dengan Logika Tasyri’iyyah

 Iqamat Al-Khilafah: Kefardhuan yang Dipahami dengan Logika Tasyri’iyyah


Irfan Abu Naveed


Bahasan Khilafah itu bahasan syar’iyyah (min al-mabahits al-syar’iyyah), wajib dipahami dengan logika tasyri’iyyah, bukan logika khayaliyyah. Maka salah besar lari dari logika tasyri’iyyah shahihah kepada logika khayaliyyah untuk menegasikan adanya kefardhuan iqamat al-Khilafah.


Harus saya tegaskan: mereka yang menafikan kefardhuan menegakkan Khilafah selama ini, terbukti dalam dunia perdebatan, hanya bertolak dari logika khayaliyyah, tak ada yang berbobot ilmiah. Pendapat mereka tidak layak dilirik, dan wajib diabaikan.


Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H), ahli tafsir dan fikih yang menyusun kitab tafsir otoritatif yang memuat sajian fikih, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Keseluruhan dari Hukum-Hukum Al-Qur’an), tatkala menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً


“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)


Beliau menegaskan dalam kitab tafsirya tersebut: “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan:


هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه


Ayat ini adalah ashl dari mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar (perintahnya) dan dita’ati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum kepemimpinan Khalifah dengan keberadaannya. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam madzhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli tentang syariah, begitu pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.[1]


Padahal, al-Asham al-Mu’tazili dengan pendapat kontroversialnya (syadz) yang dipaparkan al-Qurthubi, tersirat masih mengakui wajibnya formalisasi syari’ah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni jika berbagai kewajiban syari’ah telah terlaksana, maka menurutnya tidak wajib mengangkat Khalifah. Dalam hal ini al-Asham tidak menyatakan “haram”, “berbahaya”, “radikal”, “ajaran teroris” dan perkataan-perkataan keji lainnya yang seringkali didengungkan kaum liberal di zaman ini. Artinya, jika al-Asham dengan pendapat syadz (tidak wajib) seperti itu saja divonis tuli terhadap hukum syari’at oleh ulama pakar tafsir dan fikih al-Hafizh al-Qurthubi, lalu bagaimana dengan kaum liberal penolak dan penista kewajiban penegakkan Khilafah? Kaum liberal yang selama ini tak kelu menstigma negatif Khilafah sebagai sesuatu yang berbahaya? Tentunya dengan logika al-Qurthubi, kondisi mereka jauh lebih buruk daripada al-Asham dan para pengikutnya.


Istilah “tuli terhadap syari’ah” dalam bahasa al-Qurthubi, menunjukkan bahwa pembahasan kefardhuan al-imâmah (Khilafah) dalam Islam itu persoalan hukum syari’ah yang sudah diketahui dan disepakati oleh para ulama, sehingga mereka yang menyelisihinya layak dinilai syadz, kontroversial, tidak bernilai dan keluar dari pendapat mu’tabar. Ditegaskan oleh al-Qurthubi dengan menukil dalil kokoh, ijma’ sahabat , yang menjadi sejelas-jelasnya dalil syara’ kewajiban menegakkan Khilafah, mengangkat Khalifah; menunjukkan bahwa kewajiban tersebut didasarkan pada dalil-dalil al-sam’i (bukan ‘aqli). Al-Qurthubi menegaskan:


وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين


Al-Imâmah merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini, dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim.[2]


Penulis “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah” :: Dosen Fikih Siyasah/Manthiq/Bahasa Arab


Marja’:

[1] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz I, hlm. 264.

[2] Ibid., hlm. 265.