Saturday, November 6, 2021

Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban

 Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban?


Soal:


Dengan keberhasilan Taliban menguasai kembali Afganistan, setelah 20 tahun berperang melawan AS dan pasukan koalisi, istilah “Imarat Islamiyyah” yang pernah digunakan dan diterapkan Taliban kembali menguat. Bagaimana status “Imarat Islamiyyah” yang diusung Taliban? Apakah sama dengan Khilafah?


 


Jawab:


Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa aspek politik yang harus dikemukakan, agar pertanyaan ini bisa dijawab dengan tepat.


Pertama: Taliban pernah berkuasa di Afganistan selama 1996 sampai 2001, atau 5 tahun. Ketika itu mereka sudah menerapkan apa yang disebut “Imarat Islamiyyah”, dengan menerapkan syariah Islam. Namun, dalam praktiknya, banyak penerapan hukum-hukum syariah yang tidak tepat, seperti melarang wanita bekerja, pergi ke sekolah, dan sebagainya.


Kedua: Saat berkuasa, Taliban pernah ditawari oleh Hizbut Tahrir, untuk mendirikan Khilafah dengan konsepnya yang sudah sangat jelas dan siap diterapkan dalam kehidupan, tetapi dengan tegas tawaran itu ditolak.


Ketiga: Taliban, sebelum diserang oleh Amerika dan koalisinya, pasca serangan WTC, 11 September 2001, telah melakukan penghancuran terhadap patung Budha, yang sempat dikritik oleh para ulama, termasuk Hizbut Tahrir. Pasalnya, ini merupakan perkara mubah, yang bisa dieksploitasi oleh negara-negara kafir penjajah untuk menyerang Afganistan, dengan alasan melindungi situs purbakala internasional. Akhirnya, terbukti. Serangan itu terjadi, tepat setelah Peristiwa 11/09/2001. Ini membuktikan kesadaran politik Taliban sebagai gerakan jihad dan politik sangat lemah.


Keempat: Setelah AS dan Koalisi menduduki Afganistan, selama 20 tahun, dan berperang melawan Taliban, mereka kalah. Lebih dari 4500 tentara AS mati sia-sia. Belum lagi tentara koalisi. Karena itu AS mencari cara agar bisa keluar dari Afganistan tanpa kehilangan muka. Sejak George W. Bush Junior lengser, digantikan Obama, keputusan penarikan pasukan AS dari Afganistan dan Irak dilakukan secara bertahap.


Keputusan final akhirnya dilakukan oleh Donald Trump, setelah menandatangi Perjanjian 29/02/2020 yang lalu. Namun, AS tidak ingin terlihat kalah. Karena itu AS sebelumnya meminta bantuan Inggris. Melalui tangan Qatar, Taliban diberi fasilitas membuka Kantor Perwakilan Politiknya di Qatar. Dari sini, Taliban mulai bisa keluar melakukan hubungan dengan berbagai pihak, termasuk ke Indonesia, dengan menemui sejumlah kalangan.


Isi perjanjian itu, antara lain, AS bersedia menarik pasukannya dari Afganistan. Karena itu rezim boneka yang dibentuk AS di Afganistan kehilangan sandaran kekuasaan, karena tidak didukung umat, dan pasukan AS. Karena itu dengan mudah Taliban, yang sudah menguasai 85% wilayah, akhirnya berhasil menguasai Kabul dan Istana Presiden Asyraf Ghani. Sang Presiden pun kabur dari sana.


Kelima: Setelah Taliban berkuasa, pada masa transisi ini, Taliban telah mengumumkan bentuk pemerintahannya, yaitu “Imarat Islamiyyah”, sebagaimana dulu pernah mereka terapkan selama 5 tahun. Namun, karena pengalaman buruk pada masa lalu, banyak muncul kekhawatiran. Karena itu Taliban melakukan berbagai kunjungan ke sejumlah instansi pemerintahan, termasuk menemui bekas Presiden sebelumnya, Hamid Karzai, yang notabene adalah antek Amerika.


Taliban saat ini memang melunak. Tidak seperti Taliban yang dulu. Karena itu “Imarat Islamiyyah” yang saat ini hendak diterapkan kemungkinan akan berbeda wajahnya dengan “Imarat Islamiyyah” yang dulu pernah mereka terapkan. Hanya saja, ada satu hal yang sama, lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan.


Keenam: Masuknya Cina, Rusia dan tekanan dunia internasional kepada Taliban, ditambah dengan lemahnya kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan, dikhawatirkan akan membelokkan Taliban dari visi dan misi perjuangannya, memenangkan Islam dan kaum Muslim. Bukan sekadar berkuasa kembali. Apalagi melakukan Sinkretisme Islam dengan Sekularisme.


Tentu kita tetap berharap dan berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari berbagai jebakan setan yang terkutuk, baik dari kalangan jin maupun manusia. Dengan demikian kemenangan yang mereka raih tidak berujung pada kesia-siaan.


Karena itu berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menyimpulkan:


Pertama, “Imarat Islamiyyah” yang pernah diterapkan 5 tahun, antara 1996-2001, ketika Taliban berkuasa, jelas berbeda dengan Khilafah. Perbedaannya:


Khilafah adalah Negara Islam untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” adalah negara yang diklaim menerapkan Islam, hanya untuk wilayah tertentu, yaitu Afganistan.

Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah, yang dipilih oleh seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Sebaliknya, “Imarat Islamiyyah” dipimpin oleh seorang Amir, yang dipilih oleh rakyat di wilayah tertentu. Bahkan lebih spesifik lagi, dipilih oleh kalangan tertentu di kalangan mereka, baik yang disebut Ahlul Halli wa al-‘Aqdi, maupun yang lain.

Dalam praktiknya, “Imarat Islamiyyah” telah menerapkan syariah Islam meski tidak sempurna. Termasuk adanya sejumlah kesalahan dalam penerapannya, seperti larangan perempuan bekerja dan pergi ke sekolah. Berbeda dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dan sempurna. Karena itu kesalahan-kesalahan dalam penerapan syariah Islam seperti ini, insya Allah, tidak akan terjadi.

 


Kedua, adapun “Imarat Islamiyyah” yang akan mereka terapkan saat ini, jika faktor kelemahan kesadaran politik dan pemahaman Taliban terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan masih ada, ditambah tingginya tekanan dunia internasional, dan agen-agen mereka di dalam negeri, maka tidak menutup kemungkinan kompromi politik akan dilakukan, meski hasilnya, tetap dengan menggunakan nama “Imarat Islamiyyah”.


Jika ini sampai terjadi maka bentuk “Imarat Islamiyyah” Taliban ke depan justru semakin jauh dari Islam. Fa al-‘iyadzu billah. Kalau begitu, di mana masalahnya?


Sinkretisme Islam dengan Sekularisme. Apalagi dengan melabelinya dengan label Islam. Ini jelas haram. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢

Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan serta menutupi kebenaran, sementara kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 42).

 


Islam wajib diterapkan secara kaffah, tidak boleh setengah-tengah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh kalian yang nyata  (QS al-Baqarah [2]: 208).

 


Selebihnya, apakah kelak “Imarat Islamiyyah” Taliban akan menerapkan Islam secara kaffah, hingga menjadi tonggak tegaknya Khilafah, atau tidak, kembali kepada para pejuang yang ikhlas. Jika mereka berjuang karena Allah, dan benar-benar ingin menerapkan Islam secara kaffah, maka dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya serba mungkin. Dengan catatan, mereka harus mempunyai kesadaran politik dan pemahaman terhadap “Islam Politik” yang hendak diterapkan dengan benar, jelas dan jernih. Jika semuanya itu ada, dengan izin dan pertolongan Allah, mereka akan menemukan Islam yang hendak mereka terapkan.


Namun, jika tidak, mereka akan kembali kalah, setelah mendapatkan kemenangan dalam perang 20 tahun. Kekalahan yang mungkin tidak mereka sadari. Sebaliknya, kaum kafir penjajah akan meraih kemenangan yang tidak bisa mereka raih melalui peperangan panjang.


WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

No comments: