Sunday, October 3, 2021

ADANYA KESAN PEMBIARAN TERHADAP SIMBOL KOMUNISME BELUM TENTU NEGERI INI DIKUASAI KOMUNISME

 ADANYA KESAN PEMBIARAN TERHADAP SIMBOL KOMUNISME BELUM TENTU NEGERI INI DIKUASAI KOMUNISME


Pertama, sebagaimana sudah dipahami bahwa negara kapitalis, bukanlah negara komunis. Negara kapitalis asasnya adalah sekularisme, yaitu paham yang mengharuskan pemisahan aturan agama terhadap aturan politik (negara) atau aturan dunia. Jadi, liberalisme (paham kebebasan) menjadi ide yang sangat dijunjung tinggi. Orang bebas mau berbuat apa saja, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain, dan asal tidak memaksakan kepada orang lain. Ini tentang kapitalisme-liberalisme yang asasnya adalah sekularisme.


Kedua, karena liberalisme begitu dijunjung tinggi, maka orang bebas mau berbuat apa saja. Mau sekafir apa pun seseorang, dipersilakan. Mau setakwa apapun seseorang, juga dipersilakan. Ini hukum asal kapitalisme. Jadi, sebenarnya, tidak ada masalah dan tidak ada persoalan orang mau menyuarakan tentang komunisme yang mengingkari adanya Tuhan atau mengingkari adanya agama, tidak masalah. Pun demikian, tidak ada masalah orang mau menyuarakan tentang syariat Islam atau khilafah, tidak ada masalah. Yang masalah cuma satu, yaitu mengganggu orang lain atau memaksa orang lain. Apalagi pake kekerasan. Jelas itu masalah dalam negara kapitalis. Karena itu, Pak Ansyaad Mbai dulu pernah bilang, tidak masalah mau mendakwahkan khilafah, asal tidak menggunakan kekerasan atau aksi-aksi terorisme.


Ketiga, perlu dipahami, sekalipun kapitalisme dan komunisme adalah dua ideologi yang bertentangan (yang satu masih mengakui adanya Tuhan dan yang satunya mengingkari adanya Tuhan), tetapi kedua ideologi tersebut sepakat bahwa tata nilai dalam kehidupan, harus ditentukan oleh akal manusia. Artinya, aturan Tuhan tidak boleh diikutsertakan dalam membahas tentang tata nilai kehidupan. Dan tentu bukan hanya tentang tata nilai, tetapi juga tentang sistem pengaturan kehidupan, baik itu sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan, dan sebagainya.


Karena itu, dalam negara kapitalis, adalah suatu keniscayaan bahwa simbol-simbol tentang komunisme akan lebih diberikan kebebasan di ruang publik, daripada simbol-simbol yang berangkat dari akidah Islam. Sebab, komunisme secara jelas tidak membawa-bawa agama, sedangkan Islam justru membawa-bawa agama. Bahkan, Islam itu sendiri adalah agama.


Jadi, jangan heran, jika di negara kapitalis seperti di negeri ini, simbol-simbol komunisme lebih diberikan kebebasan daripada simbol-simbol Islam. Atau dengan kata lain, jangan heran jika di negara kapitalis, ada kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunis, dan terjadi pelarangan atas simbol-simbol Islam. Pembiaran itu, bukan karena negara ini sudah dikuasai komunisme, atau sudah berubah menjadi komunis. Tetapi karena negara ini menganut paham kebebasan, dan negara ini sedang mengarah pada sifat sekular-radikal, yaitu BENAR-BENAR ingin menghilangkan unsur agama dalam kehidupan publik, atau BENAR-BENAR ingin meminimalisir peran agama.


Ini sebenarnya sudah pernah dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani puluhan tahun yang lalu, ketika konflik ideologi atas nama Perang Dingin (Cold War) masih terjadi pada tahun 1950-an. Beliau menyatakan dalam bukunya Nizhamul Islam,


"Sedangkan ideologi kapitalisme mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya lahirlah ideologi sekular, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak. Mereka–baik yang mengakui eksistensi-Nya maupun yang tidak—hanya memfokuskan bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan. Jadi, sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan Pencipta atau yang mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan."


Syaikh Taqiyuddin menyatakan, "Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak." Ini artinya, bagi para kapitalis, apakah agama itu ada atau tidak, diakui atau tidak; apakah Tuhan itu dibahas atau tidak, Tuhan diakui atau tidak; itu tidak penting. Karena itu, adanya orang komunis di dalam negara kapitalis, itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa dalam kehidupan publik, agama tidak diikutsertakan. Jadi, jangan heran jika sekarang ini ada kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunis. Itu bukan karena negara ini sedang berubah menjadi komunis. Bukan. Tetapi justru negara ini malah semakin menunjukkan jadi diri sebagai negara kapitalis, yang benar-benar ingin menghilangkan pengaruh agama dalam kehidupan publik.


Jika negara ini memang sedang mengarah pada komunisme, maka kebijakan politik pasti akan terlihat komunistik, yaitu meminimalisir interaksi dengan institusi-institusi kapitalis. Misalnya memutuskan hubungan dengan PBB, IMF, World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya. Sudahkah hal semacam ini terwujud? Lalu, mengapa Indonesia malah menjadi tuan rumah pertemuan IMF beberapa tahun yang lalu di Bali yang menghabiskan biasa sampai ratusan miliyar?


Jadi, adanya kesan pembiaran terhadap simbol-simbol komunisme yang selama ini ada dalam sebuah negara kapitalis demokrasi, belum tentu menunjukkan bahwa negara tersebut sedang dikuasai komunisme. Sebaliknya, justru negara kapitalis tersebut sedang benar-benar memperlihatkan dirinya sebagai negara kapitalis sejati yang berasas pada ide kebebasan (liberalisme) yang lahir di Eropa. Ya, ide komunisme memang dibiarkan ada, dibiarkan dianut oleh warga negara, karena itu adalah bagian dari kebebasan. Tetapi tidak dengan Islam. Islam akan tetap dikebiri, dibatas-batasi pemunculannya di sektor publik. Karena yang jadi masalah adalah "dalam ranah publik, agama jangan ikut campur". Agama boleh ada, tapi cukup dalam diri penganutnya, cukup di masjid dan musola. Tidak boleh di ruang publik.


Wallahu a'lam.

Agus Trisa

No comments: