Wednesday, July 24, 2019

_KH. Dr. Ir. Achmad Nawawi, MA (Ketua MUI Depok)_

HTI PENGAMAL PANCASILA SEJATI*

_KH. Dr. Ir. Achmad Nawawi, MA (Ketua MUI Depok)_

_Selama bergaul dengan syabab Hizbut Tahrir, saya tidak menemukan bahwa HTI anti Pancasila atau tuduhan-tuduhan miring lainnya._

*Analisa ringan saya tentang ide yang ditawarkan HTI dengan Pancasila sbb:*
.
_1. Pada sila pertama dari Pancasila jelas terlihat bahwa HTI memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pada s.ila pertama ini ditunjukkan bahwa kalimat *"Ketuhanan Yang Maha Esa"* adalah kalimat Tauhid, yakni_ ﻻﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ .
.
2_ . Pada sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab, HTI selalu menunjukkan keadilan, bahkan menuntut keadilan di semua sektor kehidupan sebagai masukan kepada penyelenggara negara. Tujuannya adalah agar negeri ini (Indonesia) menjadi bangsa yang terdepan dalam menegakkan keadilan hukum, ekonomi, pendidikan, dll. Begitu juga HTI menginginkan agar bangsa kita sebagai bangsa yang terdepan dalam adab (berakhlak mulia). Dan ini juga (beradab) telah dimainkan oleh para syabab HTI. Mereka para pemuda gerakan Islam yang memuliakan dan melayani ulama, para tokoh, mengedepankan tata krama sopan santun dan berdialog untuk kemajuan. Hal ini saya secara pribadi merasakan kehangatan persaudaraan tsb. Inilah yang membuat HTI dicintai alim ulama (para kyai, habaib, ustadz) dan para tokoh._
.
_3. Pada sila ke-3, saya tidak pernah mendengar dari para aktifis HTI mempermasalahkan persatuan di negeri ini. HTI sangat anti perpecahan, apalagi sampai NKRI dipecah menjadi beberapa koloni negara2 bagian kekuatan asing, seperti lahirnya Papua merdeka dll. Yang terbaca justru HTI menginginkan menjadi kuat dalam persatuan, sehingga tidak menutup kemungkinan negara/bangsa lain tanpa paksaan akan bergabung dengan negeri kita untuk melawan penjajahan di atas dunia sebagai yang termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945._
.
_4. Pada sila ke-4 malah semakin terlihat jika HTI cinta pada kepemimpinan yang hikmah dengan azas musyawarah (lihat Ali Imron ayat 159). Boleh saya sampaikan disini bhw tertera dalam teks Pancasila tidak ada pernyataan bahwa negara Indonesia dalam mempertahankan kepemimpinan menggunakan sistem demokrasi ala Barat yang liberal, yang pemilihan langsung oleh rakyat. Yang ada justru dengan PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN, yang dalam Islam ditunjuk melalui lembaga AHLU AL-HALLI WA AL-AQDI. Saya melihat bahwa pembentukan MPR merupakan representasi lembaga AHLU AL-HAALLI tsb, meskipun untuk sekarang semakin menghilang peranan dan fungsinya karena adanya amandemen dari UUD 1945._
.
_5. Pada sila ke-5 saya malah semakin melihat bahwa HTI ingin menjadikan Indonesia menjadi negara terkuat di dunia dengan mewujudkan keadilan sosial. Hal ini terbaca dengan seringnya HTI menyuarakan adanya perampokan SDA Indonesia yang super kaya dan makmur, bahkan bisa dikatakan sebagai surganya dunia. Dan ini oleh HTI tidak boleh dikuasai pihak asing. Jadi dalam hal ini HTI meminta pemerintah untuk mengevaluasi ulang kerjasama dengan pihak asing, seperto dengan Freeport dll-nya._
Jika *usulan HTI ini* dijadikan rujukan para penyelenggara negara, *_maka kemakmuran dan kenyamaan rakyat dalam arti luas akan semakin terasa. Yang merasakan bahagia tinggal di Indonesia tidak hanya pada kelompok tertentu, seperi tidak hanya umat Islam, tapi juga semua umat beragama._*
Inilah yang disebut *BALDAH THOYIBAH WA ROBBUN GHOFUR...* Dan ini akan mewujudkan RAHMATAN LIL ALAMIN."

STATEMENT SAID AQIL SIROJ DILURUSKAN OLEH ULAMA DARI MESIR

STATEMENT SAID AQIL SIROJ DILURUSKAN OLEH ULAMA DARI MESIR

Masih punya malu kah kamu SAS ????
Baru baru ini Grand syekh Al Azhar kembali datang berkunjung ke Indonesia untuk yang kespekian kalinya.

Diantara kunjungannya Syekh Ahmad Tayyib diundang untuk berkunjung ke kantor PBNU. Di tempat acara dipasang banner dengan kata kata dari bahasa arab yg kurang lebih artinya :

"Dari Islam Nusantara menuju kedamaian Alam semesta."

KH Said Aqil pun berbicara dengan bahasa Arab guna menjelaskan kepada syekh Ahmad Thayyib tentang apa itu Islam Nusantara. Beliau menjelaskan bahwa Islam nusantara adalah Islam orang Nusantara Indonesia, Malaysia, Brunei yang penuh toleransi anti ektrimisme dan radikal, Tidak sama dengan islam Arab (sambil tertawa ringan).

Kemudian Syekh Ahmad Thayyib pun langsung menjawab secara tegas meluruskan pernyataan dari Said Aqil, Beliau mengatakan :

"Seandainya saja Allah tahu bahwa bangsa Indonesia lebih pantas dari bangsa Arab untuk menerima dan mengemban Risalah penutup kenabian, maka Risalah tidak akan diturunkan kepada Nabi Muhammad. (disambut oleh tawa para hadirin).
Syekh Ahmad menjelaskan kembali :

"Allah yang maha tahu dan Allah memilih Bangsa Arab untuk mengemban dan melanjutkan dakwah Rasulullah Sholallahu 'alaihi wa sallam karena Allah tahu bangsa Arab lah yang mampu menyebarkan agama ini sampai ke seluruh penjuru dunia.

"Berbeda dengan nabi nabi yang Allah utus sebelumnya yang memang masa kenabiannya terbatas dan jangkauan dakwahnya juga terbatas contohnya seperti nabi nabi bani israil maka dipilih nabi dari selain bangsa arab. Namun ketika diutus Nabi Muhammad nabi yang syariatnya akan selalu dijunjung hingga akhir zaman dan wajib di imani oleh seluruh manusia di seluruh penduduk bumi maka Allah memilih bangsa Arab yang pertama menerima dakwah ini dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia."

Syekh Ahmad Thayyib melanjutkan :

"Sungguh tidak sah iman kalian kecuali kalian mencintai orang Arab ini (yakni nabi Muhammad Sholallahu 'alaihi wa sallam) lebih dari kalian mencintai diri kalian keluarga kalian bangsa kalian dll. dalam arti lain kalau kalian anti dan sentimen terhadap bangsa Arab maka tidak sah iman kalian."

"Kami belajar tentang sejarah masuknya Islam disini. Bukankah yang membawa Islam ke negeri kalian ini adalah orang orang Arab? seandainya saja orang orang Arab itu tidak datang kesini dan mengajarkan kalian bagaimana ajaran Islam maka mungkin kalian sampai saat ini masih berada dalam keyakinan umumnya orang orang Timur Asia yang keyakinannya bertentangan dengan kebenaran (animisme, dinamisme, menyembah patung, pohon dll)."

"Bukankah anda tahu bahwa Rasulullah SAW marah besar ketika orang orang saling membangga-banggakan sukunya ada yang mengucap saya dari suku Aus saya dari Khazraj nabi marah sampai memerah wajahnya. Maksudnya agar Ummat Islam tidak fanatik kesukuan tapi menganggap semua muslimin adalah saudara tanpa membeda bedakan suku dan ras."
Islam Nusantara sangat menyesatkan. Ingin menjauhkan muslimin dari sumbernya langsung. Rasulullah orang Arab, para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in dominan orang Arab. Ketika propaganda untuk membenci Arab disebar maka hakikatnya adalah memutus jalur sanad sehingga ilmu akan hilang. Sebagaimana orang2 syiah berdalil hanya yang sampai kpd imam mereka.

Semoga Allah menjaga keduanya agar tetap berada di jalan yang hak dan menjauhkan muslimin dari faham yang menyesatkan dan kembali kepada Islam yg dibawa oleh orang Arab (Rasulullah dan para sahabatnya).
Semoga Bermanfaat...

[5:45 01/07/2018] Mutmainah Wahyu H:

COPAS DARI WA ULAMA NU PROF BAHARUN
AKUI ISLAM NUSANTARA MEMBATALKAN KEISLAMANNYA

Wednesday, 20 Jun, 2018
Oleh: Ferry Is Mirza *)

ISLAM Nusantara belakangan digemakan di mana-mana. Tetapi, berhati-hatilah jika anda mengakui keberadaan agama Made in Indonesian ini. Karena, bila disertai dengan keyakinan maka bisa membatalkan keislaman kita atau kita keluar dari Islam.
Islam Nusantara diproklamirkan pada tahun 2016 oleh pimpinan organisasi Islam di negeri ini. Dan kini marak dibincangkan setelah beredar video seorang tokoh Islam Nusantara menjelaskan, "Islam Nusantara adalah agama yang sejati, sedangkan Islam Arab itu adalah agama penjajah".
Waspadalah ini. Jangan dianggap sepele, karena :

1. Mengandung arti tidak mengakui lagi agama yg diturunkn Allah kepada Nabi Muhammad SAW di Arab (Mekkah-Madinah).
2. Mendustakan ayat2 Al Quran bahwa Islam adalah agama sejati, satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
3. Mengandung kebencian kepada agama yang diturunkan Allah di Arab dan kebencian terhadap ajaran-ajarannya karena dianggap menjajah bangsa kita.
Dengan demikian pernyataan tersebut bermakna :
1. Tidak mengakui lagi Islam yang diajarkan Nabi Muhammad sebagai agama untuk bangsa ini.
2. Tidak mengakui berarti telah meninggalkan dan menggantinya dengan agama inovasi dan modifikasi sendiri yang disebut Islam Nusantara.
3. Bila mengakui Islam Nusantara sebagai agama yang sejati, maka telah rusaklah kalimat sahadat kita. Artinya, telah berada di luar area Islam yang disebarkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT.
Bila kita ikut-ikutan mengakui Islam Nusantara berarti ikut-ikutan keluar dari Islam Muhammad, kafir terhadap Islam Muhammad dan mempertuhankan ulama pendiri Islam Nusantara.
Oleh karena itu, wahai saudaraku, jagalah sahadatmu dengan menjaga akidah dan perkataanmu. Islam itu hanya satu, yaitu yang turun di Arab dan yang disebarkan oleh Rasulallah dan berlaku untuk seluruh umat manusia.
Jangan terkecoh pada Islam Nusantara yang dianggap sebagai agama yang sejati. Itu adalah tipu daya setan untuk menyesatkan dan merusak keislaman kita.
Jangan terbuai pada gelar pendirinya atau banyaknya pengikutnya. Tetapi percayalah hanya kepada Islam yang sejati yang diturunkan Allah SWT di tanah Arab.
Bila hatimu mengakui Islam Nusantara sebagai agama sejati, maka lebih baik berhentilah shalat, berhentilah berkiblat ke Masjidil Haram. Karena tiada gunanya bagi orang-orang yang mendustakan Islam, yang telah meninggalkan Islam. Sebab, bila sahadat kita telah rusak maka tidak akan diterima segala amal ibadah kita. Berpegang teguhlah pada Islam yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan ridhakan hatimu pada agama yang diridhai Allah.

* ) Ferry adalah wartawan senior NU, tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur
[5:45 01/07/2018] Mutmainah Wahyu H: FENOMENA ‘NDOMPLENG’…

Fenomena ‘ndompleng’ nama bangsa atau simbol negara untuk memuluskan langkah memerangi Islam
=====
Ini strategi lain yang digunakan oleh barisan pengecut dan munafiqun dalam merongrong Islam dari dalam.
Makanya,

– Yang tadinya namanya Islam Liberal, sekarang berganti menjadi Islam Nusantara.
– Yangg tadinya kesyirikan dan kemaksiatan, sekarang berganti nama menjadi bagian dari ‘kearifan lokal’.
– Ada yangg membaca Alquran dengan langgam jawa.
– Ada yang ibadah sai dengan membaca dzikir pancasila.
– Ada yang bershalawat untuk pancasila.
Dan masih banyak lagi, dan mereka akan mengembangkan varian-varian lain dari langkah ini.

Mereka mengambil langkah ini, agar orang-orang yang melawan mereka bisa dituduh sebagai oknum yang tidak pancasilais .. tidak setia kepada negara .. tidak menghargai kekayaan budaya bangsa!!
Paham kan .. bagaimana liciknya mereka?!
Mereka kira Allah tidak tahu apa isi hati mereka .. mereka kira Allah membiarkan agamaNya .. mereka kira Allah akan diam saja.

Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik baik pembuat makar, silahkan kalian berbuat makar terhadap agama Allah .. Allah pasti akan membalas makar kalian.

Katakan kepada mereka: bahwa taat kepada pemerintah yang sah selama bukan maksiat adalah akidah kita .. pancasila sebagai dasar negara, kita hormati dan junjung tinggi, karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam .. dan kita akan membela negara RI, sebagai bentuk pembelaan kita terhadap darah kaum muslimin sebagai mayoritas penduduknya.

Tapi tetap saja kami akan memerangi kesyirikan dan kemaksiatan .. meski kalian berusaha menempelkannya dengan bangsa kami dan simbol negara.

Karena setiap kesyirikan dan kemaksiatan akan menjadikan negara ini tidak aman, tidak berkah, bahkan runtuh, sebagaimana umat-umat terdahulu menjadi hancur dan binasa karena kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Ingatlah membela Islam, berarti menjaga keutuhan bangsa dan negara ini.
Silahkan dishare .. semoga bermanfaat.
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
======= =======

Kenapa justru negara maju yg bukan berpenduduk mayoritas Islamlah yg islam

Seorang Teman bertanya :

Kenapa justru negara maju yg bukan berpenduduk mayoritas Islamlah yg islami; bersih, aman, makmur, minim korupsi dan suap.

Sy copaskan jawaban sy :
Suatu negara akan berhasil bangkit kalau sdh tegak ideologinya, mau komunis, sekuler (kapitalis) maupun Islam.
Ideologi islam belum ditegakkan di negeri2 kaum muslimin.

Negara2 yg maju dgn tingkat korup dan suap yg rendah, bersih aman san makmur itu karena mereka hidupnya sudah ideologis.
Ideologi = pemikiran mendasar yg melahirkan peraturan
Ideologi = perekat antara faham / pemikiran dan perbuatan
Ideologis = sadar hukum, takut hukum. Apa aturan yg pikir & ditulis, itu yg dijalankan.
Hidup ideologis = hidup yg berintegritas.
Ideologi dalam konteks negara adalah bagai pondasi pada bangunan. Tak akan kokoh dan hebat kalau tdk ada pondasi.
Indonesia pun bisa bangkit jadi maju kalau jadi negara yg ideologis.

Malaysia sedang menuju menjadi negara maju, dia bangkit, di atas ideologi sekuler. Singapur - Hongkong - Taiwan - Korea sdh lebih dulu.

China bangkit dengan ideologi komunisnya.
Indonesiapun kalau mau bisa² saja.
Pertanyaannya sekarang, kalau mau bangkit, Indonesia dengan umat islamnya ini mau bangkit maju di atas ideologi apa?
Kapitalisme, komunisme, atau Islam?
Mumpung belum ideologis, warga indo bisa pilih mau ideologi mana.

This is where "dakwah islam ideologi" comes in, supaya kaum muslimin indonesia cenderung kepada tegaknya ideologi islam.
*sy hanya mengembangkan bab pertama, paragraf pertama, kalimat pertama yg ada di kitab pertama yg dikaji di hizbut tahrir. "BANGKIT".

Kalimat ini yg akan menjadi solusi kebangkitan kaum muslimin.
Ada yg ingat bgmn bunyi lengkap kalimatnya?
Rahmawan Puspawijaya

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

TERUNGKAP, SEJAK AWAL NU DAN MUHAMMADIYAH MENOLAK PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA.

Oleh : Ali Baharsyah


Jangan terburu2 menuduh PKI atau radikal kepada mereka yang tidak setuju pancasila. Kerena tokoh2 Islam pendiri bangsa Ini juga menolak Pancasila.
NU ketika masih bergabung dengan PPP pasca dibubarkannya Partai Masumi dianggap kelompok garis keras oleh rezim orde baru karena paling lantang menolak Pancasila.
Dibawah ini ada satu tulisan panjang tapi menarik dibawa ditulis oleh salah seorang staf UGM disarikan dari desertasi doctoral Faisal Ismail.
Selamat Membaca.
....
NU dan Pancasila: Dulu dan Kini
admin - Oktober 23, 2017
Azis Anwar | CRCS | Perspektif


Nahdlatul Ulama (NU) kini telah menjadi salah satu ormas Islam yang lantang mendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Diberitakan di website NU, peringatan Hari Santri 22 Oktober tahun ini mengambil tema Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI.
Di antara ormas-ormas Islam, NU paling keras suaranya dalam mendukung penerapan Perppu 2/2017 untuk membubarkan ormas yang mengampanyekan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Sepekan sebelum peringatan Hari Santri, dikabarkan lebih dari 20 ribu Nahdliyin berkumpul di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mendeklarasikan “Front Penggerak Pancasila”.

Terkait sikapnya dengan Pancasila, sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. Di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini berubah seiring perubahan rezim dan konfigurasi politik.


Masa Perumusan


Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” (“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemelo
eknja”) setelah kata “Ketoehanan”, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hasil kesepakatan Panitia Sembilan.

Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.

Perwakilan Indonesia Timur Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Usulan Kiai Wahid Hasyim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPK.

“Tujuh kata” beserta turunannya itu baru dicoret dalam pertemuan selama 15 menit yang diinisiasi oleh Mohammad Hatta pada pagi hari menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD. Dalam lobi singkat untuk mencoret “tujuh kata” itu, Mohammad Hatta membujuk tokoh Islam.

(Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPK. Jika anggota BPUPK dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, anggota PPKI tersusun terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim [NU], Ki Bagus Hadikoesoemo [Muhammadiyah], Kasman Singodimedjo [komandan PETA], dan Teuku Hasan [Aceh].)

Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.


Masa Orde Lama


Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain.


Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri (bapak dari Menteri Agama sekarang), menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.


Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui dekret presiden 5 Juli 1959. Dekret ini menyatakan UUD ‘45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45. (Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.)


Masa Orde Baru


Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi—Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Pada 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun berrisiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri keluar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.


Perubahan Sikap


Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa. PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai/organisasi tetap hidup atau dibubarkan.


NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan keluar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).
NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984; Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain.


Argumen bernada anekdotal dari Kiai Achmad Siddiq misalnya menyatakan: “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?”
Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. (Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi was-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian—istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada 2015.) Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi was-syahadah itu.

Ideologis atau Pragmatis?


Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatarbelakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?
Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tak menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. (Pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP dan membuat suara PPP jatuh.)

Namun penjelasan dari Gus Dur,

sebagaimana tertuang dalam pengantar terhadap buku Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila (1989), tampak ingin menunjukkan bahwa itu merupakan manuver ideologis yang selaras dengan ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah. Menurut Gus Dur, NU dalam Konstituante memperjuangkan Islam karena itu bagian dari “idealisme”. Tapi karena ia tak berhasil, harus ada pilihan lain, yaitu alternatif ketiga sebagai darus-shulh. Dalam penjelasannya, Gus Dur mengutip kaidah fikih (dan Gus Dur kerap kali mengutip beragam kaidah fikih untuk menjelaskan manuver politiknya) yang berbunyi “apa yang tak dapat diwujudkan semuanya, jangan tinggalkan semuanya” (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).
Saya pribadi tak sepenuhnya puas dengan penjelasan Gus Dur ini. Salah satu pertanyaan yang masih tersisa adalah: mengapa argumen seperti yang disampaikan Gus Dur itu tak muncul sejak awal perumusan Pancasila dan dalam sidang Konstituante? Andai saja demikian sedari awal, dan NU misalnya bergabung dengan kelompok Pancasila, kemungkinan Konstituante untuk mencapai kuorum lebih besar; kita punya konstitusi baru yang lebih kuat sebagai suatu produk konsensus; dan dampaknya besar terhadap diskursus umat Islam sejak republik ini baru berusia remaja.
Kendati demikian, di luar soal apakah ia merupakan manuver ideologis atau pragmatisme politik, yang jelas sikap rezim terhadap umat Islam sejak pertengahan 1980-an mulai melunak—kecuali tentu terhadap yang masih kukuh menolak asas tunggal Pancasila. Satu dekade terakhir Orde Baru kerap ditandai sebagai era “rapprochement” rezim dengan umat Islam: larangan jilbab bagi siswi-siswi sekolah dicabut; bisnis judi SDSB dibubarkan; dan rezim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Kalau memakai perspektif utilitarian yang berpandangan bahwa keberhasilan manuver politik dinilai bukan dari idealisme ideologis melainkan pada hasilnya yang lebih bermaslahat secara umum (dalam hal ini, umat Islam), keputusan NU pada awal 1980-an itu berhasil. Dengan menerima Pancasila, rezim tak lagi punya alasan untuk menekan umat Islam secara umum, sehingga energi umat Islam bisa dialihkan ke hal lain, bahkan mengkritik kebijakan rezim Orde Baru lainnya. Pada kenyataannya, Gus Dur dan NU bisa tetap kritis terhadap Orde Baru. Bila Orde Baru mendirikan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi.


Pascareformasi


Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada (sejak dulu pun demikian—satu contoh yang terkenal: pada 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri/keluar dari NU yang dipimpin Gus Dur.)
Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP.


Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. Di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. Di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.
Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebinekaan dan hubungan agama negara melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.[]


*Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS UGM. Sebagian besar data sejarah dalam tulisan ini diambil dari disertasi doktoral Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila di McGill University pada 1995. Gambar ilustrasi di atas diambil dari website NU.

Tuesday, July 23, 2019

Faceapp dan sains prediksi

FACEAPP & SAINS PREDIKSI

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.

Beberapa hari terakhir ini, banyak orang latah ikut-ikutan mencoba aplikasi FaceApp.  Aplikasi ini bisa membuatkan wajah usia lanjut dari sembarang foto orang yang kita pilih.  Kita bisa saja menguji kemampuan aplikasi ini dengan menggunakan misalnya foto muda Jokowi atau Prabowo, lalu “foto tua” rekaan FaceApp kita bandingkan dengan foto mereka sekarang.

Sebagian muslim mengharamkan penggunaan FaceApp.  Ada tiga alasan yang mengemuka.  Alasan pertama mengatakan bahwa mengubah foto mahluk hidup adalah termasuk aktivitas tashwir (melukis mahluk bernyawa), berdasarkan hadits “Pelaku tashwir, akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR Bukhari-Muslim).

Alasan kedua adalah bahwa itu termasuk kebohongan, karena FaceApp menghasilkan foto yang tak sesuai realitas.  Sedang alasan ketiga adalah bahwa itu mirip mendatangi dukun ramal dan bertanya seperti apa wajah kita kala tua, padahal Nabi pernah berkata,  “Barangsiapa mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230).

Manatul hukmi dari fatwa di atas ditolak oleh sejumlah ilmuwan muslim.  Manipulasi foto adalah hal yang biasa dilakukan, bahkan kadang tidak disadari pengguna.  Software pada camera ponsel sekarangpun misalnya, sudah dilengkapi algoritma semisal autobalancing, agar wajah tampak lebih jelas.  Pada situasi tertentu, wajah yang gelap akan tampak lebih cerah.  Apakah proses yang memanipulasi sebagian pixel foto ini termasuk tashwir?

Teknologi manipulasi gambar atau image processing memang dapat digunakan untuk apa saja.  Yang positif bisa membuat foto yang diambil dalam kondisi kurang cahaya, menjadi seindah aslinya bila cukup cahaya.  Namun kadang ini digunakan berlebihan sehingga menjadi lebih indah dari aslinya.  Walhasil sampai ada calon anggota DPD yang melaporkan lawannya (yang menang) ke Mahkamah Konstitusi karena konon lawannya itu mengedit fotonya menjadi jauh lebih cantik dari kenyataannya.
Sedang soal bahwa FaceApp itu hanya software prediksi sebagai hasil algoritma deep learning, maka tentu berlebihan untuk menyamakan itu seperti tebakan dukun ramal, yang sama sekali tidak menggunakan dasar ilmiah tetapi bisikan jin atau khayalan belaka.

Sebenarnyalah, FaceApp adalah produk teknologi 4.0, yaitu kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI).  Seperti juga revolusi industri 1.0, kehadiran teknologi sering disikapi berlebihan oleh sebagian agamawan.

Ketika penerangan kota dengan gas dipasang di kota Koln Jerman pada 1819, koran “Kolnische Zeitung” pada editorial tanggal 28 maret 1819 masih mencela proyek itu.  Alasannya, “gelapnya malam adalah ciptaan Tuhan, dan seharusnya manusia tidak mengubah ciptaan Tuhan”.

Kondisi umat Islam di abad-21 ini berbeda dengan nenek moyang mereka.  Umat Islam generasi awal masih memiliki sikap yang jauh lebih positif terhadap sains.  Hasilnya, tahun 950 M, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak!  Tidak ada yang mengharamkan penerangan malam hari dengan alasan itu mengubah ciptaan Tuhan berupa gelapnya malam.

Sains memang memiliki 2 fungsi utama.  Fungsi pertama adalah untuk lebih memahami cara kerja alam semesta.  Sains memberikan penjelasan yang lebih masuk akal, mengapa ada hujan, mengapa ada petir, atau mengapa ada gerhana.  Sains menunjukkan bahwa fenomena alam itu memiliki kaidah kausalitas.  Sains mengkonfirmasi sabda Nabi bahwa gerhana bulan atau matahari tak berhubungan dengan kelahiran atau kematian seseorang, namun adalah tanda-tanda kekuasaan Allah.  Bagi seorang muslim, di balik keteraturan fenomena alam semesta tersembunyi misteri abadi dari keesaan Allah, Sang Maha Pencipta.

Fungsi kedua dari sains adalah memprediksi secara ilmiah peristiwa di masa depan, agar dapat diantisipasi lebih baik.  Karena ada astronomi, kita bisa tahu kapan matahari terbit atau terbenam, kapan musim panas atau dingin tiba, dan kapan gerhana akan terjadi.  Karena ada meteorologi, kita bisa tahu kapan terjadi hujan, badai atau kekeringan.  Karena ada geologi, kita tahu apakah suatu lokasi itu rawan longsor atau gempa, dan karena itu kita tahu, bangunan seperti apa yang cocok didirikan di sana.

Nah prediksi-prediksi ilmiah ini tentu jauh dari realitas seorang dukun ramal yang sama sekali tidak menggunakan metode ilmiah yang rasional dan dapat teruji siapapun.

Prediksi ini memang juga belum terjadi, sehingga tidak pula bisa kita sebut kebohongan.  Seberapa akurat prediksi ini?  Di astronomi, gerakan matahari, bulan, bintang atau planet dapat terprediksi sampai hitungan menit.  Mungkin hanya meteor atau asteroid saja yang belum bisa diprediksi dengan cukup baik dari jauh-jauh hari.  Kita berani katakan, prediksi astronomi itu akurat sampai 99,7%.  Sedang di meteorologi, akurasi prediksi tidak setinggi itu, walaupun diperkirakan masih lebih baik dari 50%.  Persoalannya adalah, tidak di semua tempat tersedia data meteorolgi yang cukup akurat.

Makin tersedia data terkini yang akurat dalam jumlah besar, makin baik algoritma untuk memprediksi kondisi masa depan.  Untuk itulah, situs seperti FaceApp menggunakan trik “FaceApp Challenge” untuk mengumpulkan sample foto wajah ratusan juta manusia.  Kelak, data ini bisa dipakai untuk mencari saudara atau teman yang terpisah puluhan tahun.  Cukup dengan menghadapkan wajah lama orang itu ke FaceApp, orang bisa memperkirakan wajahnya kini.  Tentu saja tidak 100% benar, tetapi itu prediksi yang paling mungkin dilakukan.  Banyak orang sudah akan tertolong.

Algoritma adalah istilah yang dipakai untuk menghormati Muhammad ibn Musa Al-Khwarizmi (780-850 M), matematikawan muslim yang membangun langkah-langkah berhitung dengan menggunakan angka desimal dan menulis kitab Aljabar w Almuqobalah.

Apa yang dimulai Al-Khwarizmi dilanjutkan oleh Al-Jazari, ahli mesin yang membangun berbagai alat-alat otomatis yang terprogram dengan baik seperti robot-robot musisi dan jam gajah yang sangat terkenal itu.  Sebuah perpaduan sempurna teknologi, karya seni dan upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam era revolusi industri 4.0, teknologi robot baru benar-benar menjadi serius bila dipadu dengan algoritma artificial intelligence.  Dan umat Islam mendapat tantangan untuk menjadi pengendali teknologi ini, agar tidak digunakan untuk menjajah, tetapi sebaliknya, untuk membebaskan dunia dari penjajahan.

Sunday, July 21, 2019

Mata Uang Daulah Khilafah, Bagaimana Konversinya?

Mata Uang Daulah Khilafah, Bagaimana Konversinya?

Oleh: Nasrudin Joha
.
Ada anggapan, ketika nanti daulah Khilafah tegak mata uangnya dinar dirham (emas perak). Bagaimana duit yang ada di kantong masyarakat ? Apakah langsung dinyatakan tidak berlaku ? Bagaimana duit rupiah yang ada pada tabungan ? Apakah nilainya semua hangus ? Apakah ketika Khilafah tegak, semua orang kehilangan nilai uang dan tabungannya karena bukan dinar dan dirham ?
.
Memang benar, mata uang daulah Khilafah kelak yang akan dijadikan alat transaksi dan satuan penyimpan nilai adalah barang yang secara dzatiyah memang memiliki nilai, barang tadi adalah emas dan perak.
.
Namun untuk dijadikan mata uang, negara juga dapat menerbitkan uang kertas sejumlah cadangan emas atau perak yang ada pada kas negara (representasi money). Uang yang ada, baik dalam bentuk kertas maupun nominal digital dalam simpanan tabungan -sebelum tegaknya daulah- tetap diperhitungkan nilainya, setelah dikonversi dalam satuan nilai dinar dan dirham.
.
Uang kertas yang dijamin tadi, dapat diterbitkan dengan pecahan nilai yang disesuaikan dengan kebutuhan. Negara, juga dapat langsung menerbitkan mata uang dalam bentuk natural emas dan perak dengan nilai pecahan tertentu, misalnya : 1 dinar, 1/4 dinar, 1 dirham, 10 dirham, dan seterusnya.
.
Sebelum semua interaksi pertukaran menggunakan dinar dirham, baik natural emas perak maupun representasi Fiat money (uang kertas), Negara untuk sementara waktu dapat melegalkan penggunaan mata uang sebelumnya -setelah nilainya di standarisasi dengan nilai dinar dirham- dan mencetak uang kertas baru (Fiat money) untuk diedarkan ditengah masyarakat dengan nilai dan nominal dinar dirham sebagai penggantinya.
.
Fungsi lembaga perbankan yang menyimpan dana publik, dapat diadopsi dalam fungsi lembaga Baitul Mal. Nilai tabungan penduduk, secara otomatis dikonversi kedalam satuan digital dengan nilai dinar dan dirham.
.
Seluruh lembaga perbankan ada pada kendali negara dan dilekatkan pada fungsi Baitul mal atau pada divisi Al masholihin Nas, yakni lembaga khusus yang melayani kemaslahatan umum.
.
Untuk memudahkan konversi, negara mengalihkan nilai uang sebelumnya kepada nilai dinar dan dirham. Contohnya, jika satu dinar setara 4,25 gram emas, maka rupiah yang bernilai setara dengan harga 4,25 gram emas dikonversi menjadi nilai satuan 1 dinar. Misalkan saja setiap 1 dinar setara dengan 4 juta rupiah, maka tabungan dengan nilai 20 juta rupiah, dikonversi menjadi senilai 4 dinar.
.
Setiap rupiah -yang dikumpulkan masyarakat dan ditabung ke lembaga perbankan umum baik swasta maupun perbankan penerintah disatukan di divisi Baitul Mal- maka nilai uang kertas itu langsung dikonversi kedalam nilai dinar dan dirham. Seluruh uang kertas sebelumnya setelah masuk Baitul Mal di musnahkan.
.
Misalkan saja ada orang setor 4 juta rupiah ke rekening tabungannya, maka petugas Baitul mal akan mencatat pertengahan nilai tabungan sebesar 1 (satu) dinar.
.
Selanjutnya Negara dapat mencetak uang kertas yang telah disesuaikan dengan cadangan emas yang ada pada negara, untuk diedarkan ditengah masyarakat menggantikan mata uang sebelumnya. Perlahan namun pasti, uang kertas dengan nominal dinar atau dirham akan menggantikan uang kertas sebelumnya.
.
Seluruh mesin anjungan tunai mandiri, diisi uang kertas baru dinar dirham yang telah distandarisasi dengan nilai cadangan emas dan perak di kas negara. Negara mengharamkan pertukaran Valas, kecuali yang dilakukan secara real, secara kontan.
.
Bagaimana jika negara tidak memiliki cadangan emas ? Sementara peredaran uang kertas dengan nilai dan nominal dinar dirham dibutuhkan, padahal Fiat money yang dicetak negara haruslah uang representatif, yakni uang yang di back up emas dan liquid ?
.
Jawabnya, konversi nilai uang sebelumnya yang berbentuk kertas dilakukan secara berkala, sambil melihat ketersediaan emas yang ada. Adapun konversi uang dengan nilai digital, berupa nilai tabungan yang dimiliki masyarakat, dapat langsung dikonversi dengan nilai dinar dan dirham, secara seketika dan serta merta.
.
Udah dulu ya, pasti Anda di kepalanya banyak burung atau bintang. Karena itu, rehat dulu. Untuk merincinya, Anda perlu diskusi bukan sekedar membaca tulisan ini. Ajaklah orang, yang menurut Anda bisa memberikan penjelasan mengenai hal ini.

PENJAJAH BERTOPENG HUMANIS

PENJAJAH BERTOPENG HUMANIS
_______
Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lamanya bangsa ini dijajah oleh Belanda di antaranya disebabkan banyaknya pribumi yang bermental budak. Tanpa adanya pencerahan yang disampaikan oleh Para Pahlawan bangsa, mereka tidak mempunyai keberanian untuk menentang penjajah. Mereka akan tetap berada pada kondisinya yang tertindas di bawah telapak kaki Belanda. Apalagi mereka mencitrakan diri sebagai kaum yang humanis dan peduli kepada pribumi.

Bayangkan, tiga ratus lima puluh tahun lamanya bangsa ini diperas oleh Belanda. Sebuah rentang waktu yang tidak sebentar. Apabila kita hitung saja dengan perjalanan hidup seseorang, maka minimalnya itu sudah lebih dari tujuh keturunan. Berarti sudah tujuh generasi negeri ini dijajah.
Lalu kemana saja rakyat Indonesia selama itu? Tidak adakah perlawanan mereka terhadap Belanda? Sebenarnya ada perlawanan dari rakyat nusantara terhadap penjajah, tetapi jumlahnya hanya beberapa saja. Pribumi yang acuh dengan keadaan lebih banyak daripada mereka yang lantang menggelorakan semangat perlawanan.

Mereka yang tidak peduli pada umumnya, selain karena takut melawan, juga karena mempunyai prinsip ‘Siapa saja yang menjadi pemimpin yang penting bisa bekerja. Tidak peduli apakah itu orang asing, orang kafir, yang penting bisa memimpin.’ Apalagi dibuktikan bahwa Belanda mampu membangun infrastruktur berupa transportasi kereta api dan jalan raya.
Begitulah mental budak yang ada pada sebagian pribumi di masa lalu, yang membuat penjajah bisa bertahan lama mencengkeram Nusantara. Lebih-lebih, sebagian dari mereka ada yang menjadi pegawai Belanda, menjadi demang, yang diberikan tunjangan hidup olehnya. Tidak peduli Belanda itu asing, kafir, yang penting ia sudah mendapat pekerjaan darinya.
Saya tidak tahu, seandainya rakyat Indonesia yang saat ini hidup ditempatkan pada suasana penjajahan (fisik) dahulu, mereka akan berada di kubu siapa. Apakah di kubu Pangeran Diponegoro yang berani menentang kebijakan-kebijakan Belanda, atau justru di kubu penjajah, dengan alasan tidak apa-apa Belanda kafir juga, yang penting bisa bekerja.

Terlebih lagi, Belanda pada saat itu sudah mencengkeram kuat sebagian besar keraton di Nusantara, yang kala itu pemerintahan yang sah bagi pribumi. Andai orang Indonesia yang saat ini diposisikan pada zaman itu, adakah di antara mereka yang berani menentang kerajaannya, atau justru mereka bersikap lembek dengan alasan bahwa biar bagaimanapun juga Raja-raja itu adalah ulim amri yang sah dan wajib ditaati. Tidak peduli sekalipun keratonnya sudah menjadi kaki tangan penjajah.

Semua itu adalah imajinasi saya, yang terpantik dari sebuah realita, bahwa saat ini pun banyak orang yang tidak peduli dengan aturan kepemimpinan dalam Islam. Tidak masalah seseorang kafir ataupun bukan, yang penting bisa bekerja maka ia akan mendukungnya. Tidak peduli aseng, asing atau bukan, asalkan bisa memberi modal maka ia akan memuliakannya.
Seperti itulah mental budak yang menjangkiti sebagian pribumi. Tidak berani menentang, apalagi melawan. Asalkan masih bisa makan, masih bisa ibadah, siapapun pemimpinnya, kafir, asing, aseng ataupun bukan, maka ia akan menjadi kacung setianya. Andai saja dahulu negeri ini semua rakyatnya semacam itu, saya yakin Belanda tidak akan pernah hengkang seperti sekarang ini.

# Alumni212
# ReturnTheKhilafah
Cirebon, 13 Februari 2019
__________
___________
Alhamdulillah, Penulis telah selesai menyusun Naskah Buku yang berjudul "Ketika Kiai Dipertuhankan" (Fenomena Hancurnya Agama2 Samawi), Terbitan Al-Azhar Press, Bogor.
Untuk pemesanan dan bedah buku silahkan hubungi no. 0817 011 7771

Saturday, July 20, 2019

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH, KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH, KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ada yang aneh dari penyataan Ahmad Ngisomudin, di persidangan PTUN, 15 Maret 2018 yang lalu, bahwa mendirikan Khilafah, khususnya di Indonesia, hukumnya haram, karena menyalahi kesepakatan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Ngisomudin mengakui, bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun.[1]
Yang menarik, ahli lain yang dihadirkan pemerintah di persidangan PTUN berikutnya, 29 Maret 2018, ketika ditanya, “Apakah NKRI ini telah menerapkan syariat Islam?” Dijawab, “Tidak”. Kemudian, ditanya oleh Jubir HTI, Ustadz Ismail Yusanto, “Boleh tidak, mengubah kesepakatan dengan kesepakatan yang lebih baik?” Dijawab, “Boleh”. Dia menambahkan, “Kecuali mengubah NKRI.” Sambil mengutip Q.s. al-Maidah: 1:
﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻭْﻓُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮﺩِ﴾ ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : 1 ]
“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” [Q.s. al-Maidah: 01]
Q.s. al-Maidah: 01 ini memang sering dibajak, dan digunakan tidak pada konteksnya. Termasuk untuk melegitimasi kesepakatan yang menyalahi, bahkan membatalkan hukum Allah yang sudah ma’lumun min ad-dini bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], seperti kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban menegakkannya kembali, ketika tidak ada.
Makna Sebenarnya Q.s. al-Maidah: 1
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, dalam kitabnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna ayat ini sebagai berikut:
ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ﴾ ﻳﻘﺎﻝ : ﻭﻓﻰ ﻭﺃﻭﻓﻰ ﻟﻐﺘﺎﻥ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻭْﻓَﻰ ﺑِﻌَﻬْﺪِﻩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ﴾ ‏[ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 11 ‏] ، ﻭﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﻭَﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻭَﻓَﻰ﴾ ‏[ ﺍﻟﻨﺠﻢ : 37 ‏] .. ﻓﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻠﻐﺘﻴﻦ .
﴿ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮْﺩِ﴾ : ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻟﺮﺑﻮﻁ، ﻭﺍﺣﺪﻫﺎ ﻋﻘﺪ؛ ﻳﻘﺎﻝ : ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻟﻌﻬﺪ ﻭﺍﻟﺤﺒﻞ، ﻭﻋﻘﺪﺕ ﺍﻟﻌﺴﻞ ﻓﻬﻮ ﻳﺴﺘﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻭﺍﻷﺟﺴﺎﻡ .
ﻓﺄﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺑﺎﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﺎﻟﻌﻘﻮﺩ؛ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺴﻦ : ﻳﻌﻨﻲ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻘﻮﺩ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻫﻲ ﻣﺎ ﻋﻘﺪﻩ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ؛ ﻣﻦ ﺑﻴﻊ، ﻭﺷﺮﺍﺀ، ﻭﺇﺟﺎﺭﺓ، ﻭﻛﺮﺍﺀ، ﻭﻣﻨﺎﻛﺤﺔ، ﻭﻃﻼﻕ، ﻭﻣﺰﺍﺭﻋﺔ، ﻭﻣﺼﺎﻟﺤﺔ، ﻭﺗﻤﻠﻴﻚ، ﻭﺗﺨﻴﻴﺮ، ﻭﻋﺘﻖ، ﻭﺗﺪﺑﻴﺮ، ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ، ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ؛ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺎ ﻋﻘﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ، ﻛﺎﻟﺤﺞ، ﻭﺍﻟﺼﻴﺎﻡ، ﻭﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ، ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ، ﻭﺍﻟﻨﺬﺭ، ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻃﺎﻋﺎﺕ ﻣﻠﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ . ﻭﺃﻣﺎ ﻧﺬﺭ ﺍﻟﻤﺒﺎﺡ ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺔ؛ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ .
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﴿ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺑِﺎﻟْﻌُﻘُﻮْﺩِ﴾، ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺑﻤﺎ ﺃﺣﻞ ﻭﺑﻤﺎ ﺣﺮﻡ ﻭﺑﻤﺎ ﻓﺮﺽ ﻭﺑﻤﺎ ﺣﺪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ؛ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ : ﻗﺮﺃﺕ ﻛﺘﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﷺ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺘﺒﻪ ﻟﻌﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﺣﻴﻦ ﺑﻌﺜﻪ ﺇﻟﻰ ﻧﺠﺮﺍﻥ ﻭﻓﻲ ﺻﺪﺭﻩ : ‏( ﻫﺬﺍ ﺑﻴﺎﻥ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﺎﻟﻌﻘﻮﺩ ﻓﻜﺘﺐ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺮﻳﻊ ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ ‏) .
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺰﺟﺎﺝ : ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﻌﻘﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺑﻌﻘﺪﻛﻢ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﺭﺍﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﻌﻤﻮﻡ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺎﺏ؛ ﻗﺎﻝ ﷺ : ‏( ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ‏) ﻭﻗﺎﻝ ﷺ :
‏( ﻛﻞ ﺷﺮﻁ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﺷﺮﻁ ‏) ، ﻓﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﺃﻭ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻭﺍﻓﻖ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻱ : ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﻓﺈﻥ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﺭﺩ؛ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﷺ : ‏( ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ ).
Firman Allah SWT: “Aufû” [tunaikanlah], ada yang mengatakan, “Wafâ wa Aufâ” adalah dua bahasa [lafadz yang berbeda]. Allah SWT berfirman: “Wa man Aufâ bi ahdihi mina-Llâh” [Siapakah yang lebih memenuhi janjinya ketimbang Allah?]. Allah SWT juga berfirman: “Wa Ibrahîma al-ladzî wafâ” [dan Ibrahim yang telah menunaikan [janjinya]]... Maka, Dia mengumpulkan dua bahasa [lafadz yang berbeda] tersebut.
“Bi al-Uqûd”: Lafadz, “Uqûd” artinya, “Rubûth” [ikatan]. Bentuk tunggalnya adalah, “Aqdun” [akad]. Ada yang mengatakan, “Aqadtu al-‘Ahda wa al-Habla” [aku mengikat janji dan tali]. “Aqqadtu al-‘Asla” [aku “mengikat” madu].[2] Lafadz tersebut digunakan untuk sejumlah makna dan jisim.
Allah SWT menitahkan, agar memenuhi akad. Al-Hasan berkata, maksudnya adalah akad-akad agama, yaitu apa yang diakadkan oleh seseorang terhadap dirinya, seperti akad jual, beli, ijârah, menyewakan lahan, nikah, talak, muzâra’ah [kerjasama bagi hasil pertanian], perdamaian, menguasakan milik, memberi pilihan [takhyîr], memerdekakan dan membebas budak, dan perkara lain, selama tidak keluar dari syariah. Begitu juga apa saja bentuk ketaatan yang diakadkan untuk dirinya, semata karena Allah, seperti haji, puasa, i’tikaf, qiyamullail, nazar, dan ketaatan dalam agama Islam lainnya. Adapun nazar yang mubah, maka berdasarkan kesepakatan umat tidak wajib ditunaikan. Itu dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi.
Ibn ‘Abbas berkata: “Aufû bi al-‘Uqûd” [Tunaikanlah akad-akad itu], maksudnya adalah apa saja yang dihalalkan, apa saja yang diharamkan, apa saja yang difardhukan, dan apa saja yang telah ditetapkan dalam semua perkara. Begitu juga Mujahid dan yang lainya berpendapat yang sama. Ibn Syihab berkatab: “Aku membaca surat Rasulullah yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, ketika baginda saw. mengutusnya ke Najran, di permulaan surat itu dinyatakan: “Ini adalah penjelasan kepada umat manusia, dari Allah dan Rasul-Nya, wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” Baginda pun menuliskan ayat-ayat tersebut di dalamnya, sampai firman Allah yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah Maha Menyegerakan perhitungan-Nya.” [Q.s. al-Maidah: 4]
Az-Zujaj menjelaskan: Maknanya adalah tunaikanlah akad Allah kepada kalian, dan akad kalian kepada sesama kalian. Ini semua merujuk kepada pendapat berdasarkan keumuman lafadznya, dan ini merupakan pendapat yang sahih dalam konteks ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang Mukmin itu sesuai dengan syarat yang mereka tetapkan.”, baginda saw. juga bersabda, “Tiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka statusnya batil, meski terdiri seratus syarat.” Maka, baginda saw. menjelaskan, bahwa syarat atau akad yang wajib ditunaikan adalah apa yang sesuai dengan kitab Allah, yaitu agama Allah. Jika tampak menyalahi [agama Allah], maka wajib ditolak. Sebagaimana sabda baginda saw, “Siapa saja yang melaksanakan suatu perbuatan, yang tidak menetapi tuntunan kami, maka perbuatan tertolak.” [3]
Imam as-Syafii [w. 204 H], dalam kitabnya, Ahkâm al-Qur’ân, juga menjelaskan:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺳﻌﺔ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﻮﻃﺒﺖ ﺑﻪ، ﻓﻈﺎﻫﺮﻩ ﻋﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻋﻘﺪ . ﻭﻳﺸﺒﻪ ‏( ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ‏) : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ‏( ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ‏) ﺃﺭﺍﺩ ‏[ ﺃﻥ ‏] ﻳﻮﻓﻮﺍ ﺑﻜﻞ ﻋﻘﺪ - : ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻤﻴﻦ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻳﻤﻴﻦ . ﻭﻛﻞ ﻋﻘﺪ ﻧﺬﺭ : ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﺪﻳﻦ ﻟﻠﻪ ﻃﺎﻋﺔ، ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ – ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﻣﻨﻬﺎ – ﻣﻌﺼﻴﺔ .
Imam as-Syafii berkata: “Ini karena luasnya bahasa Arab, yang digunakan untuk menyampaikan seruan [khithab]. Secara dhahir tampak umum, meliputi semua akad. Juga (Allah Maha Tahu) seakan-akan: Allah [Tabaraka wa Ta’ala] menginginkan agar mereka menunaikan semua akad: Apakah berupa sumpah, atau bukan. Juga semua akad nazar. Jika dalam kedua akad tersebut hanya berisi ketaatan kepada Allah, atau –dalam perkara yang diperintahkan untuk ditunaikan-- bukan untuk maksiat kepada-Nya.” [4]
Jadi, berdasarkan penjelasan Imam as-Syafii [w. 204 H] dan al-Qurthubi [w. 671 H] di atas, jelas bahwa perintah menunaikan akad di sini meliputi semua akad, dengan syarat tidak menyalahi hukum Allah. Sebaliknya, jika menyalahi hukum Allah, maka akad tersebut tidak boleh dilaksanakan. Terlebih, sudah menyalahi hukum Allah, akad yang sama juga digunakan untuk menghalangi tegaknya hukum Allah, maka lebih tidak boleh lagi. Lebih-lebih lagi, menghalangi tegaknya hukum Allah yang disepakati oleh para ulama’ sebagai perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], dan merupakan kewajiban paling agung [a’dham al-wajibat], maka jelas tidak boleh.[5]
Status Kesepakatan untuk Mengharamkan Kewajiban
Dalam kitabnya, al-‘Uqûd, al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa bagian paling depan dari akad-akad itu adalah akad [ikatan] keimanan, yang mengikat manusia dengan Allah SWT, yang mengharuskannya untuk mengakui ketuhanan-Nya. Pengakuan ini mengharuskannya untuk beribadah dengan sempurna, terikat secara utuh, taat secara mutlak, dan berserah diri secara totalitas kepada Allah, Rabb semesta alam.
Akad [ikatan] keimanan inilah yang seharusnya menjadi sumber dan pondasi semua akad dan ketentuan hidup. Dari sini, maka “ikatan keimanan” itu masuk dalam konsepsi dasar akidah, yang diikat di dalam kalbu, bahkan dengannya ikatan dan hubungan dengan sesama manusia itu dibangun. Khususnya, antara sesama orang Mukmin, yang secara khusus diseru oleh Allah dalam seruan-Nya ini.[6]
Karena itu, jika akad-akad yang ada dalam kehidupan manusia ini bersumber dan didasarkan pada akidah Islam, serta terikat sepenuhnya dengan hukum Allah, maka akad-akad ini merupakan akad yang sah. Sebaliknya, jika akad-akad ini tidak bersumber dan dibangun berdasarkan akidah Islam, serta tidak terikat dengan hukum Allah, maka akad-akad ini pasti menyimpang. Itulah, mengapa para fuqaha’ membagi akad ini menjadi akad yang sah, fasad dan bathil.[7]
Akad yang fasid adalah akad yang terlaksana dan dianggap ada, tetapi karena tidak memenuhi ketentuan syara’ yang ditetapkan, maka akad ini tidak mempunyai pengaruh. Seperti jual-beli barang yang cacat. Jika pembelinya tidak menerima, maka akad jual-belinya bisa dibatalkan. Lebih parah dari akad yang fasid adalah akad bathil, karena akad ini tidak bisa diperbaiki, disebabkan akad melakukan keharaman, atau meninggalkan kewajiban, sekalipun pelakunya sama-sama suka. Transaksi zina adalah akad bathil, meski sama-sama suka. Karena akad ini adalah akad untuk melakukan keharaman. Begitu juga, akad untuk mengharamkan Khilafah adalah akad yang bathil, karena adanya Khilafah, telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum Muslim, hukumnya wajib.
Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, menjelaskan:
ﺃﺣﻜﺎﻣﻪ : ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻭﺟﻮﺩ ﺷﺮﻋﻲ، ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻌﺪﻡ، ﻭﻻ ﻳﻨﺘﺞ ﺁﺛﺎﺭﻩ، ﻭﻻ ﻳﻨﻘﻠﺐ ﺇﻟﻰ ﺻﺤﻴﺢ، ﻭﻟﺘﺼﺤﻴﺤﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺇﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺑﻌﺪ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺳﺒﺐ ﺑﻄﻼﻧﻪ
“Hukumnya: Akad bathil itu, secara syar’i tidak ada. Status hukumnya seperti tidak ada. Ia juga tidak menimbulkan dampak [akibat]. Juga tidak bisa berubah menjadi sah. Untuk mengubahnya menjadi sah, maka akadnya harus diulang, setelah sebab [yang menyebabkan] kebathilannya dihilangkan.” [8]
Selain itu, para ulama’ juga telah membahas tentang kesepakatan ini dalam Ahkam as-Shulh [Hukum perdamaian]. Shulh [perdamaian] itu sendiri bertujuan untuk mencapai kesepakatan, dan menghilangkan perselisihan di antara para pihak. Ini sesuai dengan hukum asal mu’amalah itu sendiri. Hanya saja, syarat-syarat yang disepakati, dan mengikat para pihak tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda:
ﺍَﻟﺼُّﻠْﺢُ ﺟَﺎﺋِﺰٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺇِﻻَ ﺻُﻠْﺤًﺎ ﺃَﺣَﻞَّ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ ﺃَﻭْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺣَﻼَﻻً
‏[ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ]
“Kesepakatan damai di antara kaum Muslim itu boleh, kecuali kesepakatan damai yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.” [Hr. At-Tirmidzi]
Karena itu, bisa dikatakan semua fuqaha’ telah sepakat, bahwa kesepakatan damai [sulh], jika menyangkut hak Allah, seperti kewajiban zakat, haji dan jihad, misalnya, sekalipun semua orang sepakat hukum ini dibatalkan, maka kesepakatan seperti ini bathil, dan tidak berlaku. Begitu juga, jika semua orang sepakat untuk membatalkan pelaksanaan hudud, seperti sanksi bunuh bagi orang murtad, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshan, cambuk bagi pezina ghairu muhshan, dan sebagainya, maka kesepakatan seperti ini juga bathil, dan tidak berlaku.[9]
Nah, karena itu tidak ada satu pun ulama’ kaum Muslim, yang menyatakan, bahwa berjuang menegakkan Khilafah, yang wajib, menjadi haram hukumnya, karena dianggap melanggar kesepakatan. Justru sebaliknya, jika ada kesepakatan yang melarang kaum Muslim untuk menegakkan Khilafah, maka kesepakatan seperti ini jelas bathil, dan tidak berlaku. Bahkan, jika seluruh manusia sepakat, haram hukumnya menegakkan Khilafah, maka kesepakatan ini pun bathil, dan tidak berlaku, karena membatalkan apa yang diwajibkan oleh Allah.
Kesepakatan Mengharamkan Persatuan dan Kesatuan Umat
Allah menyatakan, bahwa umat Islam ini adalah satu, beragama satu, Tuhannya satu, kitab sucinya satu, Nabinya satu. Mereka juga merupakan satu tubuh, yang disatukan dalam satu negara, Khilafah. Dengannya, persatuan dan kesatuan umat ini benar-benar terwujud dengan nyata. Allah SWT berfirman:
﴿ ﺇِﻥَّ ﻫَٰﺬِﻩِ ﺃُﻣَّﺘُﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُﻭﻥِ ﴾ ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 92 ]
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” [Q.s. al-Anbiya’: 92]
Karena itu, para ulama sepakat, tentang kewajiban adanya satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertama, Imam an-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, menyatakan:
ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻴﻔﺔ، ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ، ﻭﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﻃﻠﺒﻬﺎ ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻘﺪﻭﺍ ﻟﻠﺜﺎﻧﻲ ﻋﺎﻟﻤﻴﻦ ﺑﻌﻘﺪ ﺍﻷﻭﻝ، ﺃﻡ ﺟﺎﻫﻠﻴﻦ، ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ، ﺃﻭ ﺑﻠﺪ، ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ، ﻭﺍﻵﺧﺮ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻩ .. ﻭﺍﺗﻔﻖ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻌﻘﺪ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﻋﺼﺮ ﻭﺍﺣﺪ، ﺳﻮﺍﺀ ﺍﺗﺴﻌﺖ ﺩﺍﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻡ ﻻ ..
“Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil, dan haram ditunaikan. Juga harus bagi yang kedua untuk menuntutnya, baik mereka telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak. Baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.”[10]
Kedua, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyatakan:
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻰ : ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ ﻓﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ : ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ – ﺃﻱ ﺣﺪﻳﺚ : ‏( ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ .. ‏) ﺣﻜﻢ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻷﻭﻝ، ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻮﻓﺎﺀ ﺑﻬﺎ، ﻭﺳﻜﺖ ﻋﻦ ﺑﻴﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ، ﻭﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺮﻓﺠﺔ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ، ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ : ﻓﺎﺿﺮﺑﻮﺍ ﻋﻨﻖ ﺍﻵﺧﺮ ..
“Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadits ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah bai’at yang pertama”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadits Arfajah, dalam Shahih Muslim, telah menyatakannya, ketika menyatakan, “Maka, penggalah leher yang terakhir [dari keduanya]..”[11]
Ketiga, Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
ﻓﺼﻞ : ﻭﺇﺫﺍ ﻋﻘﺪﺕ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ﻟﻢ ﺗﻨﻌﻘﺪ ﺇﻣﺎﻣﺘﻬﻤﺎ، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻸﻣﺔ ﺇﻣﺎﻣﺎﻥ ﻓﻲ ﻭﻗﺖ ﻭﺍﺣﺪ
“Pasal: Jika imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka imamah [Khilafah] keduanya tidak sah. Karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.”[12]
Keempat, Imam al-Farra’, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:
ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻳﻦ ..
“Tidak boleh [haram] mengangkat imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.”[13]
Inilah pendapat berbagai ulama’ kaum Muslim, tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan merupakan pendapat Hizbut Tahrir, tetapi para ulama’ muktabar di kalangan Ahlussunnah. Bahkan, ketika Imam al-Haramain al-Juwaini, menyatakan:
ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻟﺸﺨﺼﻴﻦ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻋﻨﺪﻱ : ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻘﺪﻫﺎ ﻻﺛﻨﻴﻦ ﻓﻲ ﺻﻘﻊ ﻭﺍﺣﺪ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ، ﻗﺎﻝ : ﻓﺈﻥ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻹﻣﺎﻣﻴﻦ، ﻭﺗﺨﻠﻠﺖ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺷﺴﻮﻉ ﻓﻠﻼﺣﺘﻤﺎﻝ ﻓﻴﻪ ﻣﺠﺎﻝ، ﻭﻫﻮ ﺧﺎﺭﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﺍﻃﻊ .
“Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”[14]
Dalam konteks ini, Imam an-Nawawi dengan tegas menyanggah pendapat ini, dengan menyatakan:
ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻓﺎﺳﺪ، ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻭﺍﻟﺨﻠﻒ، ﻭﻟﻈﻮﺍﻫﺮ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ .
“Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama’ salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadits.”[15]
Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolahan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.[16]
Itulah pendapat para ulama’ muktabar tentang kedudukan satu Khilafah dan Khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama’ kaum Muslim.[17]
Selain itu, pendapat di atas juga menyepakati keharaman adanya lebih dari satu negara bagi umat Islam. Karena itu, kesepakatan untuk mendirikannya merupakan kesepakatan untuk menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Karena itu, kesepakatan seperti ini juga tidak boleh.
Wallahu a’lam.[]
[1] Ahmad Ngisomudin, M. Ag. Alias KH. Ahmad Ishomuddin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah, makalah yang disampaikan sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN, 15 Maret 2018, hal. 13.
[2] Maksud, “Aqqadtuhu al-‘Asla” adalah saya mengaduk madu itu hingga kental.
[3] Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet I, 1425 H/2004 M, Juz I/1004-1005.
[4] Al-Imam al-Mu’adzdzam wa al-Mujtahid al-Muqaddam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Idris as-Syafii, Ahkâm al-Qur’ân, Maktabah al-Khanji, Caero, cet II, 1414 H/1994 M, Juz II/66.
[5] Al-Imam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, menyatakan, “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan untuk mengurus urusan umat manusia adalah kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia ini tidak akan berdiri, kecuali dengannya.” Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Juz XXVIII/390.
[6] al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, al-‘Uqûd, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, hal. 6.
[7] al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, Juz I/1412-1413.
[8] Idem, hal. 1413.
[9] Idem, hal. 1243.
[10] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40.
[11] Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497.
[12] Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[13] Imam al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
[14] Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[15] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.
[16] Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Juz I/336.
[17] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497; al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9; al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.
LINK: https://mediaumat.news/haram-mendirikan
-khilafah-karena-menyalahi-kesepakatan/

ISRA' MI'RAJ

ISRA' MI'RAJ

Copas Dari Twitter KH. Hafidz Abdurrahman
1- Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw terjadi, setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah. Setelah tekanan terhadap dakwah meningkat, dan Nabi mencari dukungan [nushrah] untuk melindungi dakwah. Tapi, dukungan yang dicari gagal.
2- Nabi mendatangi Bani Hanifah, Bani Hamdan, Bani Amir bin Sha'sha'ah, dan lain-lain, termasuk Bani Tsaqif di Thaif. Semuanya menolak seruan dakwah Nabi, termasuk permintaan dukungan. Bahkan di Thaif, Nabi dilempari batu hingga berdarah.
3- Nabi beristirahat di kebun anggur, milik Utbah dan Syaibah bin Rabi'ah. Di sana Nabi berdoa mengadukan nasibnya kepada Allah. Termasuk penghinaan dan penistaan mereka kepada Nabi. Dari kebun ini, Nabi bermalam di Wadi Nakhlah.
4- Di Wadi Nakhlah, Malaikat Jibril dan Malaikat Penunggu Gunung datang menemui Nabi, menawarkan bantuan untuk membinasakan Bani Tsaqif, tapi ditolak Nabi. Justru baginda saw. doakan, "Semoga kelak dari mereka ada yang menyembah-Nya."
5- Ini isyarat, bahwa Allah telah mengabulkan doa Nabi, sekaligus datangnya pertolongan-Nya. Nabi kembali ke Makkah, singgah di Jabal Nur, tepatnya di Gua Hira'. Zaid bin Harisah diutus menemui Muth'im agar mau memberi perlindungan.
6- Nabi saw pun kembali ke Makkah di bawah perlindungan Muth'im bin Adi. Tidak lama setelah kembali ke Makkah, Nabi saw. pun benar-benar mendapatkan pertolongan Allah, melalui bisyarah [kabar gembira], perjalanan Isra' dan Mi'raj.
7- Inilah peristiwa sebelum Isra' dan Mi'raj. Dalam perjalanan itu, Malaikat Jibril memberi pilihan kepada Nabi, khamer dan susu. Nabi pun memilih susu. Pilihan yang tepat, kata Jibril, "Anda telah membimbing umat Anda kepada fitrah".
8- Umat Fitrah. Umat yg hanif. Umat yang menjadi tulang punggung tegaknya Islam, untuk memimpin dunia, menggantikan Bani Israel. Dua syarat ini, Islam sebagai agama yang memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah, diemban oleh umat fitrah.
9- Nabi kemudian ditunjuk menjadi imam bagi para Nabi dan Rasul di pelataran yang sekarang berdiri Masjid Kubah Shakhra'. Ini sekaligus mengesahkan pengalihan mandat memimpin dunia, dari Bani Israel kepada Nabi saw. dan umatnya.
10- Setelah itu, Nabi pun dimi'rajkan ke Sidratul Muntaha, disambut oleh para penghuni langit. Seolah Allah ingin katakan kepada Nabi, "Meski penduduk bumi menolakmu, tapi lihatlah para penghuni langit! Mereka menerima dan menyambutmu."
11- Setelah peristiwa ini, Nabi saw. pun kembali ke Makkah. Pendek kata, setelah itu, pertolongan Allah benar-benar datang. Kaum Aus dan Khazraj dari Yatsrib pun bersedia memenuhi seruan Nabi. Mereka masuk Islam. Mush'ab dikirim ke sana.
12- Peristiwa masuk Islamnya Aus dan Khazraj ini kemudian ditandai dengan Bai'at Aqabah I. Setelah mereka dipersiapkan Mush'ab selama 1 tahun, mereka kembali menemui Nabi di Makkah, dan memberikan Bai'at Aqabah II, menyerahkan kekuasaan.
13- Begitulah, Isra' dan Mi'raj memiliki arti yang sangat penting dan strategis, bukan sekedar titah shalat 5 waktu. Tetapi, lebih dari itu, penyerahan mandat memimpin dunia, dari Bani Israel kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya.
14- Moment Isra' dan Mi'raj 27 Rajab, sekaligus dijadikan moment Runtuhnya Khilafah 28 Rajab, yang merupakan konspirasi Yahudi, Inggris dan Perancis, mewakili Bani Israel, boleh jadi karena paham makna di balik peristiwa 27 Rajab.
15- Sayangnya, banyak umat Islam yang tidak mengerti. Maka, mestinya, moment 27 dan 28 Rajab harus dijadikan momen Kebangkitan Umat Nabi Muhammad saw. untuk merebut kembali tampuk kepemimpinan dunia, dengan syariah dan Khilafah.
# KhilafahAjaranIslam
# ReturnTheKhilafah

HARMONI ANTARA UNIVERSALITAS DAN KEARIFAN LOKAL

HARMONI ANTARA UNIVERSALITAS DAN KEARIFAN LOKAL

Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi dakwah Islam yang berjuang dengan sungguh-sungguh agar Islam tegak di muka bumi, dan memberikan kerahmatan kepada seluruh alam. Sebagai organisasi dakwah Islam, maka visi dan misi HT adalah Islam itu sendiri. Sementara Islam sediri di bawa oleh Rasulullah untuk seluruh alam. Rasulullah, secara pribadi, memang orang Arab, tetapi Rasulullah di utus secara universal untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku dan kebangsaannya. Allah berfirman dalam surat al-Anbiya ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Jadi, Islam memang universal. Islam melihat manusia sebagai manusia. Manusia dari suku dan bangsa apapun adalah sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Islam yang universal ini pula yang didakwahkan HT, yaitu dakwah yang univiversal dan mendunia, yang menembus batas-batas suku, bangsa, geografis, dan semua “batas imajiner” lainnya.
Namun, dengan pejuangan yang universal seperti ini, memang tidak dipungkiri membuat khawatir pihak-pihak tertentu yang selama ini berusaha untuk menjaga kearifan lokal, tradisi, budaya, atau hal-hal yang bersifat unik lainnya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ada banyak pihak yang menyebut HT dengan sebutan gerakan trans-nasional, tentu dengan “bumbu penyedap”, bahwa trans-nasional itu berbahaya, mengerikan, tak-manusiawi, bahkan akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat yang damai dan harmoni.
Benarkah HT sebagai gerakan universal akan menghancurkan semua hal yang bersifat lokal: tradisi, adat, kebiasaan, pakaian, atau kearaifan-kearifan tertentu? Banyak yang khawatir, kalau Khilafah tegak “sarung” akan diganti dengan “gamis”. Ada yang beranggapan, Khilafah adalah penjajahan budaya Arab. Bahkan banyak yang sudah membayangkan bahwa tahlilan dan mauludan akan dilarang. Dan masih banyak ketakutan-ketakutan dan fobia-fobia lainnya.
Tulisan singkat ini akan berusaha mengulasnya. Tulisan ini akan diawali dengan universalitas Islam, yang kedua akan membahas universalitas dakwah Islam, dan ketiga akan membahas dakwah HT serta pandangannya terhadap kearifan lokal.
*****
Universalitas Islam.
Memang benar, bahwa manusia dari bangsa manapun itu sama, meski ada perbedaan-perbe
daan yang menjadi ciri khasnya. Inilah pandangan Islam tentang manusia. Bahkan, seandainya kita tak mengunakan sudut pandang Islam, namun kita menggunakan akal sehat dan nurani yang bersih, kita pun akan mendapat kesimpulan yang sama: bahwa manusia adalah sama dari bangsa apapun mereka berasal, meski memang ada perbedaan-perbe
daan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Maka tak heran, Michael Jackson dulu menyanyikan lagu yang menggambarkan bahwa manusia adalah sama, we are the world.
Manusia itu sama, yaitu sama-sama manusia. Meski memang ada perbedaan-bedaan tertentu. Menurut Islam, kemulian seseorang bukan ditentukan oleh posisinya sebagai bangsa tertentu, tetapi ditentukan oleh sesuatu yang lebih fundamental, yaitu ketaqwaannya. Allah berfirman dalam surat al-Hujurat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Secara sederhana orang yang taqwa adalah orang yang baik hati dan baik perilakunya. Dalam Islam, baik adalah yang dianggap baik oleh Allah dan Rasul-Nya. Al-hasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabihu wa qabbahahu asy-syar’u. Jadi, orang yang paling baik, menurut Islam adalah orang yang perilakunya mengikuti Islam dengan kesadaran hati (pikiran) yang penuh. Orang baik seperti ini sangat mungkin ada di mana-mana: di Arab, di Eropa, di Amerika, di Afrika dan lain sebagainya. Orang jahat juga ada di mana-mana. Oleh karena itu baik-buruknya seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari kebangsaan atau tempat tinggal mereka. Adalah cara pandang yang sangat naif, jika kebakan dan keburukan orang ditentukan dari kebangsaannya, atau kesukuannya, atau tempat tinggalnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan?” (HR Ahmad).
Namun, demikian tidak dipungkiri, ada perbedaan-perbedaan diantara manusia. Jangankan antar bangsa, bahkan antar individu dalam keluarga pun (antara kakak dan adik) banyak sekali perbedaan. Pebedaan-perbedaan ini merupakan sesuatu yang biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perbedaan. Itu sesuatu yang fitri atau sesuatu yang alamiah.
Memang ada banyak hikmah di balik perbedaan tersebut, salah satunya kita bisa saling mengenali dan dunia ini menjadi indah karena banyaknya warna-warni. Bagaimana jadinya, jika manusia itu tidak ada perbedaan, pasti kita tidak akan bisa hidup, karena kita tidak bisa saling mengenali. Bahkan, kita tak akan bisa mengenali anak kita, istri kita, bahkan orang tua kita, seandainya semua manusia itu tidak memiliki perbedaan. Untungnya tidak ada yang benar-benar sama, sehingga kita bisa membedakan satu dengan lainnya. Demikian pula perbedaan antara bangsa. Tujuan utama Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenali. “Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenali.”
Namun demikian perbedaan apapun, termasuk perbedaan bangsa atau suku, juga bisa menjadi konflik yang berdarah-darah. Sejarah umat manusia, selalu diwarnai dan diramaikan dengan konflik berdarah-darah, karena berbagai perbedaan, terutama perbedaan suku dan bangsa. Karena itu, Islam datang untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Islam menjelaskan bahwa perbedaan itu sunnatullah, sesuatu yang memang diciptakan Allah, tetapi kebaikan dan keburukan bukan ditentukan dari sana. Meski Islam mengakui bangsa (nation) sebagai sunnatullah, namun Islam tidak mengakui nasionalisme, atau sentimen berdasarkan kebangsaan. Bahkan Islam, menganggap hal itu (ashobiyah, sukuisme, nasionalsime), selain menyebabkan konflik antar manusia, juga pelakunya tidak akan diakui oleh umat Muhammad. Tentu, harus dibedakan antara “cinta bangsa (nation)” dengan “nasionalisme”. Sebagian besar orang memang menganggap tak ada bedanya antara cinta bangsa dan nasionalisme. Padahal bedanya sangat fundamental, seperti bedanya kata “sosial” dengan “sosialisme”.
Jadi, sederhananya, Islam adalah ajaran universal dari tuhannya seluruh manusia, yaitu Allah. Manusia itu hakikatnya sama, meski ada pebedaan-pebedaan di sana-sini yang menjadi ciri khasnya. Perbedaan itu banyak sekali hikmahnya, namun juga ada potensi konflik, jika tidak dihayati dan disikapi dengan benar.
*****
Universalitas Dakwah Islam.
Karena Islam adalah ajaran yang universal, maka dakwah Islam pun juga universal. Artinya, dakwah Islam tidak boleh dibatasi hanya keluarga, kelompok atau bangsa tertentu. Meski memang, pada awalnya, dakwah diawali dari keluarga tertentu, atau kelompok tertentu atau bangsa tertentu.
Rasululullah sendiri mengawali dakwahnya dari keluarganya, yang tentu saja bangsa Arab, bahkan lebih spesifik lagi Bangsa Quraisy. Namun, seperti telah dijelaskan, bahwa secara sunnatullah tidak semua orang Quraisy itu baik, tetapi tidak semuanya jelek. Diantara mereka ada yang menerima dakwah Rasulullah, namun tak sedikit yang menolak dakwanya. Abu Jahal, Abu Sufyan, Abu Lahab, dan lain-lain semuanya adalah orang Arab, bahkan terdapat hubungan famili dengan Rasulullah saw.
Rasulullah sama sekali tidak membatasi dakwah Islam yang memang universal hanya kepada bangsa tertentu, Arab mislanya. Islam didakwahkan kepada siapa saja, dari bangsa manapun mereka berasal. Tanpa memang gender, level sosial, tingkat ekonomi mampun tingkat intelektualitasnya. Sebab, Islam memang ajaran universal dan harus didakwahkan secara universal. Akhirnya, ajaran Islam mulai diterima dak didakwahnkan oleh masyarakat, meski mereka dari berbagai bangsa yang berbeda. Kita lihat ada Salman Al-Farisi (berkebangsaan Persia), ada Shuhaib Ar-Rumi (berkebangsaan Romawi), ada Bilal Al-Habsi (berkebangsaan Habasah, Afrika) dan lain-lain.
*****
Universalitas Dakwah HT dan Pandangannya Terhadap Kearifan Lokal
Sebagai gerakan dawah Islam, maka HT berusaha mendakwahkan Islam apa adanya, yang memang universal, meski memang dakwah HT diawali oleh orang berkebangsaan Arab, yaitu Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani.
HT memandang semua manusia dan semua bangsa itu sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan yang manjadi ciri khasnya. Karena universalitas pandangan HT dan dakwahnya tersebut, dakwah HT diterima oleh manusia dari berbagai bangsa. Tetapi tak sedikit yang menolaknya, tentu yang menolak berasal dari bangsa yang berbeda-beda dan dengan alasan yang berbeda-beda. Maka, tak mengherankan aktivis dakwah HT ada yang orang Arab, Amerika, Eropa, Afrika, Australia, Asia, dan tentu saja Indonesia. Mereka memiliki cara pandang dan visi perjuangan yang sama, yaitu sebagai manusia yang memiliki tuhan yang sama, Allah swt.
Meski demikian, HT menyadari betul bahwa setiap manusia dan setiap bangsa memiliki perbedaan-perbe
daan yang melekat padanya. Oleh karena itu, meski HT memiliki cara pandang hidup yang universal, tetapi juga mengakomodasi hal-hal yang sifatnya lokal, atau orang sering bilang kearifan lokal.
Sekedar contoh, meski HT didirikan oleh orang Arab (Syeikh taqiyuddin) dan kitab mutabannatnya berbahasa Arab, tetapi dakwah HT disampaikan di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Karena orang lokal Indonesia berbahasa Indonesia. Jika HT mengabaikan aspek lokal, maka HT akan memaksakan dakwah di Indonesia menggunakan bahasa Arab.
Lalu, bagaimana sikap HT secara lebih jelas tentang “kearifan lokal” atau budaya lokal?
Untuk menjawab ini memang harus didefinisikan dahulu apa yang dimaksud dengan “kearifan lokal” atau budaya lokal itu? Dan harus diakui, tidak ada definisi yang baku tentang hal ini, sehingga penafsiran dari para pengguna istilah ini sangat beragam.
Namun terlepas dari definisi “kearifan lokal” atau budaya lokal, sebenarnya HT hanya menggunakan sudut pandang Islam dalam menilai. Dalam menilai perbuatan manusia, baik perbuatan yang sudah jadi kebiasaan atau belum, yang sudah jadi buadaya atau belum, Islam mengklasifikasi perbuatan manusia menjadi lima hukum, atau yang disebut al-af’al al-khamsah: yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Dalam pandangan HT, silaturahim pada saat hari raya misalnya, itu adalah sunnah. Silaturahim itu sunnah hukumnya di dalam Islam, baik pada saat hari raya atau di luar hari raya. Menutup aurat itu hukumnya wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara jenis kain dan model pakaian yang dijadikan penutup, maka itu hukumnya mubah. Bagi bapak-bapak, mau pakai batik, koko, gamis, sarung, celana atau apapun, maka semua itu mubah (dari aspek jenis pakain dan modelnya). Tentu, hal yang sifatnya mubah, sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi lokal. Kalau ke masjid, tentu akan lebih cocok menggunakan sarung, koko dan peci (atau semisalnya), kalau ke undangan walimah lebih cocok pakai batik (di Indonesia), kalau olah raga pakai kaos, dan lain sebagainya.
Contoh lain, judi itu hukumnya haram. Apapun namanya, lokal atau internasional, sudah tradisi atau belum, dianggap kearifan lokal atau tidak, maka itu jelas haramnya. Bahkan seandainya, judi dinamakan dengan “gotong royong pribumi ndeles”, maka tetap haram dalam pandangan Islam.
Intinya, perbuatan manusia, itu ada lima hukum. Termasuk sesuatu yang dianggap budaya atau tradisi juga masuk ke dalam lima hukum tadi. Bahkan, yang dianggap sebagai kearifan lokal, juga tak lepas dari lima hukum tadi.
Dengan demikian, kearifan lokal, yang masuk dalam kategori mubah, maka Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya, dan tentu saja HT tidak memeprmasalahkannya. Menggunakan peci misalnya, HT sama sekali tidak mempermasalahka
nnya. Bahkan juru bicara HTI, Ust Ismail Yusanto, kemana-mana menggunakan peci. Bahkan, jika kearifan lokal, itu termasuk yang diwajibkan Islam, maka Islam akan mewajibkannya. Dan tentu saja, HT akan memperjuangkan hal itu. Mislanya kearifan lokal, bahwa jika kita keluar rumah harus pakai penutup aurat, maka HT akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.
Sementara terhadap perbuatan-perbuatan yang masuk pada kategori khilafiyah dan bersifat personal, maka Islam tidak mempermasalahka
nnya. Maka HT juga sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya. Sekedar contoh: masalah tahlilal, maulud Nabi, membaca sholawat, dzikir setelah sholat, dan lain sebagainya, maka HT sama sekali tidak mencampuri hal itu. Itu diserahkan dan dikembalikan kepada individu uma Islam. Bahkan, seandainya Khilafah berdiri, Khilafah pun tak boleh ikut campur dalam urusan pribad yang diperselisihkan diantara madzhab-madzhab di dalam Islam.
Secara personal, aktifis HT juga dari latar belakang yang berbeda-beda. Yang dididik dengan pendidikan khas NU, ketika aktif berdakwah bersama HT, mereka tetap mengamalkan tahlilan, sholawatan dan lain sebagainya. Sebaliknya, yan dididik dengan pendidikan khas Muhammadiyah, ketika aktif di HT, mereka tetap memiliki pandangan seperti sebelumnya. HT ama sekali tidak mencampri hal-hal personal yang diperselisihkan diantara ulama.
*****
Inilah pandangan dan sikap HT secara umum. Dalam urusan perbuatan (af’al) mengacu kepada huku syariah yang lima. Sehingga apa yan disebut adat, budaya, kearifan lokal, dan lain sebagainya, akan dikembalikan kepada hukum lima tersebut. Sementara terkait dengan hukum benda (syai’) memang hanya ada dua hukum, yaitu halal dan haram.
Sementara terkai dengan berbagai hukum yang diperselisihkan diantara para ulama dan dalam urusan privat, maka HT sama sekali tidak masuk ke wilayah tersebut. HT mengembalikan kepada masing-masing anggota masyarakat untuk meyakini dan mengamalkan sesuatu yang dianggapnya dalilnya lebih kuat.
Jadi, jika ditanyakan apakah HT menolak kearifan lokal, maka jawabnya adalah suatu pertanyaan: kearifan lokal yang mana?
Jika yang dimaksud adalah kearifan lokal konser dangdut dengan mengumbar aurat dan goyangan mesum, maka dengan tegas HT menolak dengan sekeras-kerasnya. Jika yan dimaksud adalah kearifan lokal berbicara yang jujur, maka dengan tegas HT mewajibkannya dan akan tetap melakukannya apapun yang terjadi.
Tetapi, jika ada yang menuduh bahwa HT menolak kearifan lokal karena dakwahnya yang universal, maka HT hanya tersenyum dan berkata “terima kasih atas perhatiannya”.
Wallahu a’lam.