Demokrasi Bukan Jalan Perubahan
Turki. Itulah negara yang dipromosikan AS sebagai model perpaduan Islam dan demokrasi; model negara Islam moderat. Banyak tokoh Islam pun mengamininya. Salah satunya, Ahmad Syafii Maarif. Beliau bahkan memuji, “Di tangan Erdogan, Islam menawarkan solusi, bukan slogan formalisme seperti yang diusung oleh berbagai kelompok yang buta realitas. Selamat Erdogan, tidak mudah bagi Anda menghapus citra Islam yang dituduh orang sebagai agama antidemokrasi. You are on the right track, for sure.”
Padahal pemerintahan Turki sendiri mendeklarasikan bahwa pemerintahannya itu sekular, bagaimana mungkin diklaim sebagai penerap Islam. Dalam pidato di markas besar partainya seusai kemenangan definitif (12/6/2011), Erdogan menyatakan, “Kita akan membuat sebuah konstitusi liberal sama sekali. Timur, barat, utara dan selatan akan menemukan diri dalam konstitusi ini,” terang Erdogan.
Erdogan juga berkali-kali menegaskan mendukung sekularisme Turki. Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4/2007), Erdogan menyatakan sikapnya mempertahankan sekularisme Turki. “Demokrasi, sekularisme dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan negara akan runtuh.”
Di sisi lain, kebijakan Turki terkait Israel tampak ambigu. Turki tampak keras terhadap Israel atas penembakan Kapal Marvimarmara. Namun, Turki tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Presiden Turki bahkan meminta Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) untuk mengakui hak Israel untuk eksis. Hal ini dilakukan setelah dilakukan “operasi diplomatik dan militer” Amerika Serikat di Turki. Bahkan dia mendukung dan memuji kebijakan Presiden AS Barack Obama. Dia menyatakan kebijakan Obama untuk membangun negara Palestina dalam perbatasan 1967 sebagai “langkah yang sangat penting”. Padahal bernegosiasi dengan Yahudi atas tanah yang diduduki tahun 1967 serta menuntut sebuah negara Palestina hanya di Tepi Barat dan Jalur Gaza sudah merupakan bentuk pengakuan yang terang-terangan terhadap entitas Yahudi, sekaligus bentuk pemberian legitimasi atas pendudukan wilayah yang dirampas tahun 1948. Hal ini menegaskan bahwa Turki merupakan model atas apa yang disebut sebagai Islam moderat—sebuah slogan Barat terhadap orang/negara yang menerima entitas Yahudi, tidak menyerukan penerapan syariah, menyanjung Barat dan diam dengan dominasi Barat di negegeri-negeri kaum Muslim. Oleh sebab itu, menyerukan agar meniru Turki dengan istilah “Membangun Tanpa Slogan Syariah” dan menempuh jalan demokrasi merupakan kekeliruan.
Demokrasi Bukan Jalan Perubahan Hakiki
Demokrasi digembar-gemborkan sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak di tangan rakyat. Padahal ini hanyalah mimpi di siang bolong. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal yang memang memiliki uang.
Bila perubahan yang dikehendaki adalah terwujudnya kesejahteraan, demokrasi pun bukan jalan untuk itu. Realitas menunjukkan bahwa Hongkong sangat pesat ekonominya sekalipun tanpa demokrasi. Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada triwulan pertama 2011 mencapai 8,1%; tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Adapun pertum-buhan ekonomi Taiwan mencapai 10,47% pada akhir 2010 (Okezone.com, 2/2/2011). Padahal kedua negara tersebut semiotoriter.
Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Adapun India, yang ketika itu sudah demokratis, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya. Vietnam yang secara de facto menganut sistem pemerintahan otoriter juga mendemonstrasikan kinerja ekonomi yang menawan sejak pertengahan 1990-an. Pada 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 7%, bahkan diduga akan menjadi raksasa baru ekonomi Asia (Antara, 7/5/2011). Singapura yang juga semiotoriter menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa perlu mengalami demokratisasi. Hal yang sama terjadi pada Tiongkok yang bisa tumbuh pesat seperti sekarang, meski pemerintahannya tetap otoriter. Sebaliknya, Indonesia yang dibangga-banggakan sebagai negara demokratis justru rakyatnya tetap miskin, sementar korupsinya makin merajalela.
Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970- 1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sebaliknya, negara-negara berkembang yang relatif demokratis seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990-an, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah. Di AS, misalnya, kemakmuran yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat AS bukanlah hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialismenya terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam rangka menyelesaikan masalah ekonomi dalam negerinya, AS menjajah Irak dan Afganistan untuk mendapatkan minyak. AS mendapatkan kemakmuran karena ’democratic imperialism’/(penjajahan demokra-tik) yang dia lakukan. Tidak pernah ada dalam sejarah suatu negara miskin, lalu berubah menjadi demokratis, dan melalui demokrasi itu negara tersebut menjadi sejahtera. Tidak ada! Realitas ini menggambarkan bahwa demokrasi bukanlah jalan bagi perubahan menuju kesejahteraan apalagi perubahan hakiki.
Kalau yang dikehendaki itu adalah perubahan sistem kehidupan, demokrasi hanya memberikan perubahan orang/rezim. Sistem yang diterapkan sama: sekular. Sekadar contoh, Indonesia dari awal kemerdekaan tetap menjalankan sekularisme. Memang, terjadi perubahan pendekatan mulai dari Sosialisme pada Orde Lama, Kapitalisme pada Orde Baru, dan Neoliberalisme pada era Orde Reformasi. Namun, sistemnya tidak berubah: sekularisme. Perubahan yang terjadi hanyalah perubahan rezim penguasa. Dengan demikian, berharap adanya perubahan hakiki pada demokrasi ibarat punduk merindukan bulan. Utopis!
Islam: Jalan Kebangkitan Hakiki
Kebangkitan hakiki adalah kebangkitan yang menjadikan manusia sebagai manusia dan mendudukkan Allah SWT sebagai sesembahannya. Melalui kebangkitan hakiki akan teraih kemuliaan. Kebangkitan ini laksana perubahan dari kegelapan menuju cahaya. Satu-satunya jalan menuju cahaya itu adalah Islam. Caranya, menaati aturan Allah Pencipta manusia, dan meninggalkan semua jalan hidup selain Islam, termasuk demokrasi (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257; QS al-An’am [6]: 153).
Rasulullah saw. menjelaskan dalam sunnah qawliyah maupun fi’liyah bahwa jalan penerapan Islam itu memerlukan kekuasaan pemerintahan Islam. Pada masa beliau wujud kekuasaan Islam. Kebangkitan dan perubahan hakiki sejatinya mengubah penyembahan manusia terhadap sesama manusia menjadi penyembahan manusia terhadap Allah SWT Pencipta manusia. Hal ini ditunjukkan oleh tegaknya syariah Islam sebagai wujud ketundukan manusia pada hukum-Nya. Keadaan ini akan melahirkan keamanan lahir dan batin dalam berbagai bidang. Berkaitan dengan hal ini Allah SWT menegaskan:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjanjikan empat hal yang saling terkait. Pertama: kekuasaan/kekhilafahan (istikhlaf). Kedua: peneguhan ajaran Islam (tamkinu ad-din). Ketiga: keamanan (al-amnu). Keempat: ibadah dan tidak syirik. Ujung dari semua ini adalah “Mereka tidak takut kecuali kepada-Ku” (Tafsir ath-Thabari, XIX/210).
Inilah kebangkitan hakiki. Adanya huruf waw (dan) dalam ayat itu menegaskan adanya keterkaitan yang kuat antara Khilafah, penera-pan syariah Islam, keamanan, serta kesejahte-raan baik dalam bidang materi, ruhiyah, akhlak maupun kemanusiaan (insaniyah). Dengan perkataan lain, perubahan yang hakiki hanya ada dalam penerapan syariah lewat kekuasaan Khilafah. Rasulullah saw. pun bersabda:
يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR Muslim).
Meniti Jalan Kebangkitan
Menjelang hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Muhammad saw. mendapatkan wahyu:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Duhai Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula dari tempat keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong-(ku).” (QS al-Isra’ [17]: 80).
Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah, “Rasul saw. tahu bahwa tidak ada kemampuan yang beliau miliki untuk melakukan hal itu (hijrah) kecuali dengan adanya kekuasaan. Karena itu, beliau memohon kekuasaan yang menolong Kitabullah, hukum Allah, kewajiban dari Allah dan kekuasaan yang menolong penegakkan agama Allah. Sebab, kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah yang Dia berikan di antara hamba-hamba-Nya. Andai saja tanpa kekuasaan niscaya orang kuat akan memakan orang lemah di antara mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim, V/111).
Dalam ayat ini setidaknya ada empat pelajaran yang dapat diambil terkait kebangkitan. Pertama: perlu memahami realitas buruk yang hendak dirubah. Kedua: perlu memahami realitas baik yang dituju sebagai pengganti realitas yang buruk tersebut. Ketiga: menempuh jalan perubahan itu sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Allah SWT. Keempat: perlu adanya kekuatan untuk keberhasilan kebangkitan itu.
Siapapun yang mengkaji sirah Rasulullah saw. akan menemukan setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh beliau sebagai penjelas dari hal tersebut. Beliau terus-menerus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Di dalamnya menyangkut penjelasan tentang kebobrokan kondisi Arab Jahiliah sekaligus tawaran Islam sebagai solusinya. Melalui jalan ini tumbuhlah kesadaran masyarakat, lalu masyarakat menuntut perubahan dengan penuh pengorbanan.
Nabi saw. tidak berhenti sampai di sini. Beliau pun mendakwahi para pemilik kekuatan (ahlul quwwah) dan meminta mereka untuk mendukung dakwah serta menolong beliau dalam meraih kekuasaan (thalab an-nushrah). Berkat kegigihan beliau, dengan izin Allah SWT, beliau mendapatkan pertolongan dari para pemimpin kabilah di Madinah sehingga tegaklah pemerintahan Islam pertama di Madinah.
Berdasarkan hal ini ada dua jalan yang mutlak ditempuh dalam menyongsong kebangkitan itu. Pertama: membangun kesadaran masyarakat tentang syariah dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi umat Islam dan seluruh umat manusia secara umum. Untuk itu, berbagai upaya pembinaan dan penyadaran perlu dilakukan terus di berbagai tempat dan kesempatan. Masyarakat yang sadar akan bersama-sama berjuang menuntut perubahan dengan tegaknya syariat dan Khilafah. Perjuangan masyarakat yang massif tidak akan pernah ada yang dapat menghalanginya. Satu-satunya pihak yang boleh jadi menjadi batu penghalang adalah para pemilik kekuatan. Untuk itu, perlu dilakukan aktivitas kedua: meraih dukungan dakwah dari para pemilik kekuatan. Oleh sebab itu, upaya thalab an-nushrah harus terus dilakukan dari berbagai pihak pemilik kekuatan, termasuk militer. Melalui jalan ini, insya Allah, kemenangan sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. 15 abad lalu akan diberikan kepada umatnya saat ini.
Menyerukan Kebenaran
Rasulullah saw., menjelang hijrah, juga mendapatkan perintah dari Allah SWT dalam lanjutan ayat di atas:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sungguh, kebatilan itu pasti lenyap.” (QS al-Isra’ [17]: 81).
Berdasarkan ayat itu, tugas umat Islam adalah menyampaikan kebenaran apa adanya. Ketika kebenaran tampak maka kebatilan akan lenyap. Kebatilan hanya akan kalah ketika kebenaran disuarakan dengan lantang (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]:18).
Kesimpulan
Jelaslah, demokrasi bukanlah jalan perubahan dan kebangkitan hakiki. Jalan kebangkitan umat Islam hanyalah syariah Islam dan Khilafah. Oleh sebab itu, setiap umat Islam perlu menyampaikan syariah Islam dan Khilafah dengan lantang. Tanpa itu, kebatilan akan terus merajalela. Sebab, orang yang diam dari menyatakan kebenaran adalah setan yang bisu (Al-Muwalat wa al-Mu’adat fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, 1/387).
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/10/03/demokrasi-bukan-jalan-perubahan/
No comments:
Post a Comment