Wednesday, March 8, 2023

WAJIB MENDENGAR & TAAT PADA PEMIMPIN MESKIPUN BERHATI SETAN ?

 WAJIB MENDENGAR & TAAT PADA PEMIMPIN MESKIPUN BERHATI SETAN ?


( Meluruskan Gagal Faham Terhadap Sebuah Hadits )


PAHAMI baik-baik dan baca dengan cermat. 


Orang kalau sudah berjenggot, bergamis, atau bercelana cingkrang (diatas mata kaki), lalu ngomongnya pakai dalil qur’an dan hadits, apalagi ngomongnya di TV atau Radio tertentu; langsung dianggap sudah pasti benar, langsung dianggap ‘oh ini ahlus sunnah sejati’; sehingga kalau ada berbeda dengan yang disampaikannya ini, berarti ‘salah’ atau ‘sesat’.


Demikianlah diantara fenomena keterpurukan intelektual yang sedang menimpa sebagian kaum muslimin dewasa ini, padahal kebenaran itu bukan sekedar di ukur dengan yang namanya DALIL, tetapi juga perlu ISTIDLAL (cara menggunakan dalil).


Artinya, ketika dalil sudah benar, lalu bagaimana cara menggunakan dalil itu agar pemahaman dan pengamalan terhadap dalil itu juga benar. Inilah garis lurus syari’at/manhaj salaf yang sesungguhnya.


Kalau hanya terpesona dengan orang yang menyampaikan pakai dalil, maka syi’ah pun punya dalil, khawarij kuburiyyun bani klenik dan mu’tazilah juga punya dalil, kelompok sesat jabariyyah dan murji-ah pun juga pakai dalil. 


Lalu kenapa mereka tetap sesat?


Ya, karena bukan dalil nya yang salah, melainkan cara mereka menggunakan dalil (ISTIDLAL) itulah yang salah sehingga menjadikan mereka sesat dan menyesatkan.


Mari kita bahas dengan cermat.


Segelintir orang memaksakan ummat ini untuk MENTAATI PEMIMPIN (PENGUASA) MESKIPUN BERHATI SETAN dalilnya:


Pertama:

Hadits dari ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, di riwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﺃُﻭْﺻِﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّﻭَﺟَﻞَّ , ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺄَﻣَّﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻋَﺒْﺪٌ ﺣﺒﺸﻲ .


“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah (memimlin) kalian adalah seorang hamba sahaya (budak hitam)”.


Kedua:

Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, diriwayatkan Imam Muslim. Rasulullah bersabda,


ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃَﺋِﻤَّﺔٌ ﻟَﺎ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ ﺑِﻬُﺪَﺍﻱَ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﻨُّﻮﻥَ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲ، ﻭَﺳَﻴَﻘُﻮﻡُ ﻓِﻴﻬِﻢْ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮﺏُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ ﻓِﻲ ﺟُﺜْﻤَﺎﻥِ ﺇِﻧْﺲٍ، ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﺖُ : ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺻْﻨَﻊُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﺇِﻥْ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺖُ ﺫَﻟِﻚَ؟، ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻭَﺗُﻄِﻴﻊُ ﻟِﻠْﺄَﻣِﻴﺮِ، ﻭَﺇِﻥْ ﺿُﺮِﺏَ ﻇَﻬْﺮُﻙَ، ﻭَﺃُﺧِﺬَ ﻣَﺎﻟُﻚَ ﻓَﺎﺳْﻤَﻊْ ﻭَﺃَﻃِﻊْ .


“Nanti setelahku ini akan ada seorang pemimpin yang tidak berpetunjuk dengan petunjukku (dalam teori) dan tidak pula bersunnah dengan sunnahku (dalam praktek). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia”.

Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada Al-MIR (pemimpin) itu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.”

-selesai-


Baik, kita bahas..


#PERTAMA:

DUA HADITS tersebut diatas yang sering menjadi dalil untuk dua hal:


1. Membenarkan adanya kepemimpinan TIDAK MEMAKAI SYARI’AT di muka bumi;

2. Mewajibkan mendengar dan taat kepada kepemimpinan itu, meskipun ia berhati setan, harta kita diambil, punggung kita dipukul.


Hadits-hadits tersebut selalu diulang-ulang oleh para penjilat penguasa (mulukiyyah/murji’ah gaya baru), tetapi anehnya hadits-hadits tentang para syuhada’ yang terbunuh melawan pemimpin zhalim tidak pernah mereka bahas, tidak pernah mereka dengang-dengungkan.


Padahal sabda Nabi,

 “jihad yang paling afdhal adalah amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpin zalim”. ini juga kan hadits shahih, sebagaimana hadits-hadits yang mereka nukil diatas, dan itu di praktekkan oleh Salafus Shalih, tetapi kenapa tidak pernah mereka bahas?


Disinilah letak standar ganda nya para penyembah mulk (penguasa) itu. Syari’at (Al-Qur’an & As-Sunnah) menjadi keset di bawah kaki mereka demi kekuasaan, demi ketebaran nama, demi banyaknya jamaah..


#KEDUA:

Baginda Rasulullah ‘Alaihi Shalawatu Wa Salam bersabda :


ﺇﻥ ﺃُﻣِّﺮ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻋﺒﺪٌ ﻣُﺠﺪَّﻉٌ ﺃﺳﻮﺩُ ، ﻳﻘﻮﺩُﻛﻢ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻓﺎﺳﻤَﻌﻮﺍ ﻟﻪ ﻭﺃَﻃﻴﻌﻮﺍ ” .


“Jika kalian di pimpin oleh seorang hamba sahaya yang hitam berambut keriting, yang memimpin kalian DENGAN KITAB ALLAH, maka taatlah kepadanya”.

( ini hadits shahih riwayat Imam Muslim )


Perhatikan hadits ini dengan cermat. Sabda Rasulullah, “Maka Taatlah kalian selama ia memimpin dengan KITABULLAH…sekali lagi: DENGAN KITABULLAH.


Nah, inilah hadits yang menjelaskan (atau tafsir) dari hadits yang sering mereka nukil diatas. Harusnya di korelasikan dalil-dalil yang ada, jangan ambil separoh-separoh. hancur agama ini jika cara mereka beristidlal seperti itu.


Pertanyaan saya..apakah sama pemimpin yang memimpin berdasarkan KITABULLAH, dengan pemimpin yang memimpin berdasarkan UNDANG-UNDANG SEKULER?


Apalagi Undang-undang sekuler itu dijadikan asas tunggal dan ideologi bangsa/negara?


Yang kita bahas sekarang adalah hukumnya, undang-undangnya. Yang mana, mau tidak mau kita harus akui bahwa undang-undang yang ada saat ini bukanlah undang-undang ISLAM.


#KETIGA:

Dalam batas syari’at, ada dua poin penting yang sering DISEMBUNYIKAN oleh kaum mulukiyyun (penjilat penguasa) ini, yaitu:


1. Ketaatan mutlak itu hanya berlaku untuk Allah dan Rasul-Nya; sehingga kepada Ulil Amri/

pemerintah yang berhukum pada Syariat pun, ketaatan itu sifatnya terbatas (tidak mutlak);


2. Memberikan hak ketaatan mutlak (sekalipun harta kita diambil, punggung kita dipukuli) kepada orang-orang sekuler, anti Syariat atau menolak Syariat. ini tentu sangat MUSTAHIL. tidak mungkin Allah Ta’ala memberikan hak istimewa kepada kepemimpinan yang menentang-Nya dan menentang Rasul-Nya.


Dalilnya, Nabi bersabda:


ﺇﻥَّ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮَ ﻓﻲ ﻗﺮﻳﺶٍ ، ﻻ ﻳُﻌﺎﺩﻳﻬﻢ ﺃﺣﺪٌ ﺇﻻ ﻛﺒَّﻪ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻬِﻪ ، ﻣﺎ ﺃﻗﺎﻣﻮﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦَ


“Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan kaum muslimin) adalah dari Quraisy, tidak ada seorangpun yang menentangnya kecuali akan di campakkan oleh Allah wajahnya di neraka, selama MEREKA MEMIMPIN DENGAN MENEGAKKAN DIN”.

(Ini hadits Shahih riwayat Imam Bukhari dari sahabat Muawiyyah Bin Abi Sufyan Radhiyallahu’anhuma)


Perhatikan: Sabda Rasulullah, meskipun yang memimpin adalah kaum Quraisy, maka WAJIB MENTAATAINYA selama MEREKA MENEGAKKAN DIN (AGAMA).. sekali lagi..selama mereka menegakkan DIIN.


Dari sabda Nabi ini sangat jelas bagi orang-orang berakal bahwa SYARAT MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN, ITU TIDAK BERSIFAT MUTLAK. Ini sudah terlalu capek kami bahas berulang-ulang..mereka saja hanya muter-muter disitu.


Oleh karenanya, menjadikan dua hadits diatas sebagai dalil untuk “mendengar dan taat” kepada kepemimpinan TIDAK ISLAMI (tidak berlandaskan Al-Qur’an & As-Sunnah), ini adalah pengkhianatan besar kepada Allah, Rasul, dan Syari’at-Nya.


Sejak kapan para MUWAHHIDIN (AHLI TAUHID SEJATI) diperintah tunduk kepada kepemimpinan TANPA Syariat? 


Sejak kapan? 


Mana dalilnya? 


Mana praktek Salaf terhadapnya?


#KEEMPAT:

Dalam hadits ke-dua diatas, ada kata “laa yahtaduna bi hadyi” (mereka berpetunjuk tidak dengan petunjukku) dan “laa yastanuna bi sunnati” (mereka bersunnah tidak dengan Sunnahku). Kata-kata tersebut TIDAK BERMAKNA SECARA MUTLAK MEREKA MENINGGALKAN SYARI’AT..tapi bermakna mereka melakukan bid’ah. Karena di sana ada kata “yahtaduna” (berpetunjuk) dan “yastanuna” (bersunnah); artinya mereka masih menetapi PETUNJUK dan SUNNAH, namun tidak sesuai dengan apa yang Nabi lakukan/contohkan. 


Kalau mereka benar-benar meninggalkan Syariat, tentunya Nabi memakai kalimat “yakfuruna bi ayatillah wa sunnati nabiyih” (mereka kufur atas ayat Allah dan Rasul-Nya).

Kemudian di sana juga ada kata ﺍﻷﻣﻴﺮ (pakai alif lam ma’rifat sebagai bentuk mu’ayyan) yang artinya pemimpin..yang mana kata “Al-Amir” disini maknanya khusus, tidak umum. Artinya, itu kepemimpinan ISLAM, yang dibatasi hukum Syariat; karena asal kepemimpinan dalam Islam adalah TAAT SYARIAT.


Di sana juga ada kata “as sam’u wat tho’ah”. yang mana kata-kata seperti ini dalam Al-Qur’an sering disebut “sami’na wa atho’na”. Kata-kata ini adalah KHAS KETAATAN kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak berlaku bagi yang lain. Karena ia mengandung konsekuensi IMAN, seperti yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 285. Kata-kata ini HARAM dikeluarkan dari jalur KEIMANAN.


#KELIMA:

Setelah kita menjama’kan (mengkorelasikan) hadits-hadits tentang wajibnya mendengar dan taat pada ULIL AMRI, maka kembalikan pemahaman tentang Ulil Amri itu kepada para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Artinya, baca dan lihat penjelasan para Ulama dan Imam-imam Ahlus Sunnah terkait makna Ulil Amri dan penjelasan mereka tentang siapa dan bagaimana Ulil Amri itu. Sehingga tidak MAIN COMOT.


ULIL AMRI adalah ;


#SATU:

Didalam kitab fathul qadir 1/556, Imam Syaukani Rahimahullah mengatakan:


ﻭﺍﻷﻭﻟﻰ ﺍﻷﻣﺮ : ﻫﻢ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻭﺍﻟﺴﻼﻃﻴﻦ، ﻭﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻭﻻﻳﺔ ﻃﺎﻏﻮﺗﻴﺔ

“Ulil Amri adalah para imam, penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang Syar’i (yakni sesuai syariat) bukan kekuasaan Thoghut”.


#KEDUA:

Dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqolatun Mutanawwi’ah 1/ 117 cetakan Daarul Qasim lin Nasyr-Riyadh, Syaikh Bin Baz Rahimahullah mengatakan :


ﻷﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺣﺎﻛﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻳﺼﺢ ﻣﻨﻪ ﺍﻹﺟﺘﻬﺎﺩ، ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺣﺎﻛﻢ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻜﺎً ﺃﻭ ﺭﺀﻳﺲ ﺟﻤﻬﻮﺭﻳﺔ ﻳﺴﻤﻲ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺑﺸﺮﻉ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻳﻠﺰﻣﻬﻢ ﺑﻪ، ﻭﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺑﻴﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ .


“…Karena tidaklah setiap pemimpin di namakan seorang alim yang sehingga dibenarkan ia berijtihad, sebagaimana tidaklah setiap pemimpin, baik itu kedudukannya sebagai raja atau presiden di namakan “AMIRUL MUKMININ” (Ulil Amri), karena yang di namakan “AMIRUL MUKMININ (Ulil Amri) hanyalah seseorang “yang berhukum di antara rakyatnya dengan SYARI’AT ALLAH”

dan mengharuskan mereka atas itu, dan melarang mereka untuk menyelisihinya. Inilah yang telah di ketahui di antara Ulama Islam dan di kenal di kalangan mereka”.

-selesai-


Ini kata Syaikh Bin Baz, loch


MANHAJ MULUKIYYAH/MURJI-AH adalah “manhaj main comot yang penting aman” asal sudah jadi pemimpin, berkuasa, dengan cara apapun, maka ia langsung dianggap Ulil Amri dan wajib mendengar serta mentaatinya. sebagaimana ‘fatwa’

Ibrahim Ar-Ruhaili..


Kalau begitu, kafir Belanda yang menguasai indonesia selama 350 tahun (dalam jajahannya), antum anggap Ulil Amri dong?


Sehingga konsekuensi logisnya -dari buah fikir sungsang seperti ini- para pahlawan kemerdekaan itu “khawarij” semua??


Demikian pula Israel Yahudi yang sampai detik ini menguasai palestina (dalam jajahannya), Bashar Asad di Suriah di anggap Ulil Amri dong? 


Karena mereka berkuasa disana.. , sehingga konsekuensi logisnya -dari buah fikir prematur ini- Mujahidin dan semua pejuang Palestina dan Suriah itu “khawarij” semua ???


Wallahul musta’an. 


Semoga Allah menyelematkan ummat ini dari faham bebal kehinaan, kebodohan dan kesesatan pemikiran serta fitnah di akhir zaman.


#Tauhid Manhaj & Aqidah

TAK ADA YANG MENCINTAI INDONESIA

 TAK ADA YANG MENCINTAI INDONESIA


Oleh Moeflich H. Hart 


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena cintanya itulah, para ulama awal masuk ke Nusantara, mengislamkan negeri ini dan membawanya "min adz-dzulumāti ilā an-nūr" (dari kegelapan kepada cahaya pentunjuk), sehingga yang tadinya penduduk Nusantara yang menyembah dewa-dewa beralih menjadi menyembah Tuhan yang benar, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah menyiramkan hidayah di bumi Nusantara setelah ajaran-Nya didakwahkan oleh para ulama utusannya sebagai warāsatul anbiyā.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah negeri ini berada di bawah pemerintahan kesultanan² Islam, dengan kontrol dan bimbingan para ulama, mereka tidak sudi dan melakukan perlawanan bahkan pemberontakan ketika negeri subur nan berkah ini akan dikuasai oleh orang-orang kafir, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang, bangsa-bangsa asing kulit putih yang datang bergantian ingin menguasai negeri, merampas dan merampok kekayaan alamnya.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena kehendak bernegara sendiri (zelf-bestuur) agar penduduk Nusantara tidak terus berada dalam penguasaan kolonial asing, agar bermarwah, berharga diri dan bisa menentukan nasibnya sendiri, pertama kali disuarakan oleh seorang guru bangsa dan pemimpin Islam, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, dalam acara National Congress, NATICO-1 Central Sarekat Islam, 17-24 Juni 1916 di Bandung. Setelah diawali HOS Tjokroaminoto dan SI, kemudian ide zelf-bestuur itu terus menguat menjadi gerakan kemerdekaan seluruh komponen bangsa hingga bebas merdeka tahun 1945.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah Indonesia merdeka, dalam perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI, yang tadinya syariat Islam sudah disahkan sebagai Piagam Jakarta, untuk diberlakukan pada umat Islam Indonesia, agar negeri ini berkah dan diridhai, meneruskan kesultanan² Islam sebelumnya, sebagai hasil musyawarah bersama seluruh founding fathers dan tokoh-tokoh bangsa, tetapi kemudian, aspirasi yang sangat prinsipil dalam kehidupan umat itu, dengan sangat getir, pahit dan luka yang dalam, rela dihapuskan kembali demi untuk menghindari perpecahan negeri yang baru merdeka, demi keutuhan bangsa, demi kebersamaan semua dan demi toleransi yang tak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia. Padahal, perpecahan itu baru kekhawatiran, belum tentu terjadi. Umat Islam Indonesia memang luar biasa, sangat tak pantas mereka diajari toleransi, justru pada Islamlah yang lain harus belajar toleransi.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena ketika kerakusan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme ingin kembali melalui agresi militer Belanda dan Inggris, disambut oleh seruan Resolusi Jihad dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari, 22 Oktober 1945 dan kemudian pekikan takbir "Allahu Akbar" Bung Tomo dan para ulama dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang sekitar 6.000 - 16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena setelah peristiwa G 30 S/PKI, kemudian PKI dibubarkan oleh Presiden Soeharto dan dilarang hidup kembali oleh konstitusi melalui TAP XXV/MPRS/1966, umat Islamlah yang paling kuat anti PKI-nya untuk menjaga konstitusi dan mempertahankan Pancasila agar tidak diutak-atik menjadi Trisila.  PKI adalah ideologi anti-Tuhan yang terbukti menghalalkan segala cara, membunuh dengan sadis tujuh jenderal pahlawan revolusi.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena tak akan ada NKRI tanpa Mosi Integral Natsir 3 April 1950. Alias, tak akan ada NKRI tanpa peran dan jasa tokoh Islam. Mohammad Natsir adalah pemimpin Partai Islam Masyumi dan figur Islam yang sangat menonjol. Saat itu, sebagai pemimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS, ia ditugaskan oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk berkeliling melakukan lobi-lobi guna menyelesaikan berbagai krisis rasa persatuan di berbagai daerah. 


Dari hasil keliling daerah itu, Natsir berkesimpulan negara-negara bagian itu akan membubarkan diri alias berpisah dengan Republik Indonesia. Dengan lobi-lobi politiknya yang berpengaruh, Natsir mengajak dan meyakinkan mereka untuk bersatu dalam kesatuan negara yang baru 5 tahun berdiri. Demi menggolkan tujuan itu, ia kemudian merumuskan Mosi Integral yang disampaikan di Parlemen Sementara RIS, 3 April 1950. Mosi itu diterima dan negara-negara bagian itu akhirnya bersedia mengikatkan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak itulah NKRI dikenang sebagai hasil dari ”Mosi Integral Natsir." Menuduh umat Islam anti NKRI adalah kedunguan akut yang tak membaca sejarah. Rasa nasionalis yang didasari kebodohan.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena negara merdeka yang dijalankan tanpa pelaksanaan syariat Islam bagi umat Islam, negeri ini kemudian berjalan tanpa keberkahan. Yang awalnya ekonomi koperasi Pancasila jadi kapitalisme liberal, tadinya demokrasi Pancasila jadi demokrasi liberal. Hingga era reformasi, ketidakadilan sosial, ekonomi dan hukum terasa dimana-mana. Pancasila hanya tulisan dan slogan bukan bukti dan pengamalan. "Pancasila itu gak ada, manaa...? Yang ada hanya tulisan dan burung Garuda," kata budayawan Sudjiwo Tedjo. 


Hutang besar numpuk, negara lemah, kedaulatan terancam bahaya. Bawah sadarnya, umat Islam itu mengatakan dengan penuh keyakinan, kalau Piagam Jakarta dulu (Pancasila Bersyari'ah) tidak diubah, Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Pasti ada keberkahan dari langit karena negaranya shaleh menjamin pelaksanaan pelaksanaan syariat Islam alias hukum Tuhan. Tuhan pun akan sayang, melindungi Indonesia, keamanan dan kesejahteraannya, melimpahkan barokah rizki-Nya. Baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

 

Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena kini saat kedaulatan negara terancam, umat Islam dan para ulamalah yang paling sadar dan konkret berjuang dengan selalu mengingatkan dan menegur pemerintah dan negara untuk kembali pada Pancasila yang murni dan konsekuen, yang malah dimusuhi tak henti-henti dengan cap radikal karena negara malah mengabdi pada oligarki. 


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena aspirasi syariat Islam terus-menerus diperjuangkan justru untuk menyelamatkan negeri dari kehancuran dan sebagai tanggung jawab yang tinggi pada bangsa dan negara. Umat Islam sangat yakin, agama itu way of life, jalan keselamatan seperti selama ini diamalkan secara pribadi-pribadi,  tapi tanggungjawab ini malah dituduh radikal dan berbahaya. Asing bin Aseng sangat senang dengan tuduhan ini. Mereka joget riang gembira, melakukan tos tangan, tertawa sambil minum beer dan arak. 


Tuduhan-tuduhan radikal itu adalah kesadaran para penuduhnya sendiri di bawah sadar yang ketakutan pada ajaran agamanya sendiri akibat agamanya tidak dihayati dan dijiwai. Sehatkah berpikir, agama diturunkan untuk merusak kehidupan dan membuat kekacauan padahal selama itu juga justru yang mereka anut? Dalam kekacauan pikiran, absennya akal sehat dan kelemahan penghayatan itu, masuklah bisikan² syetan berupa kecurigaan² tak beralasan dan ketakutan terhadap gambaran agamanya sendiri yang dipompakan dari luar yang disebut Islam phobia. 


Dan yang menderita dari ketaksadaran dan kegelapan pikiran itu adalah umat Islam lagi sebagai mayoritas yang selama ini justru paling terdepan dalam tanggungjawab dan pembelaannya terhadap negeri. Ini bukan ilusi tapi fakta sosial politik sepanjang sejarah Indonesia, sejak era kolonial hingga zaman revolusi kemerdekaan. 


Sedangkan bangsa dan negara ini akan kacau, terpecah belah, bila agama dominan dalam kehidupan publik dan politik, itu adalah pikirannya Snouck-Hurgronje-isme yang mengendap dalam bawah sadar benak publik yang tak menghayati agama. Terpecah belah itu justru sekarang, sejak pilpres 2014 masyarakat terbelah dalam stigma sebutan cebong-kampret, kadrun-PKI, terus-terusan bertengkar panas sesama warga negara, tak ada kehangatan dan keakraban rakyat antar kelompok, yang semuanya ditepuk tangani dengan meriah oleh oligarki.


Tak ada yang mencintai Indonesia melebihi umat Islam, karena atas seluruh jasa, kontribusi dan peran umat Islam dalam membangun negara dan merawatnya, tetap berdo'a dengan tulus dan kecintaan dengan do'anya Nabi Ibrahim AS: "Rabbij'al hādzā baladan āmina!" (Tuhanku, jadikanlah ini negeri, negeri yang aman sentosa).***

Saturday, March 4, 2023

WALISONGO ITU SIAPA? DARI MANA?

 WALISONGO ITU  SIAPA? DARI MANA?  


https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/03/walisongo-itu-siapadari-mana.html?m=1


Baca biar gagal tidak paham...


Walisongo Adalah Utusan Khalifah Utsmaniyah101dunia - Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Kondisi ini tidak lepas dari peranan para ulama yang disebut sebagai Walisongo (sembilan wali). Sedikit orang yang mengetahui siapa sebenarnya Walisongo dan berasal dari mana kah mereka.


Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam.


Pada tahun 1404 M (808 H) Sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah dengan maksud untuk meminta sejumlah ulama agar diberangkatkan ke pulau Jawa. Para ulama yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kemampuan dalam segala bidang agar nantinya akan memudahkan proses penyebaran Islam.


Dengan keterangan di dalam kitab tersebut kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Walisongo adalah para ulama yang sengaja diutus Sultan pada masa kekhalifahan Utsmani. Saat itu terdapat 6 angkatan keberangkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Jadi jumlah sebenarnya bukan sembilan ulama tetapi jauh lebih banyak.

Angkatan satu dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim asal Turki yang berangkat pada tahun 1400an. Beliau adalah ulama yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan sistem pengairan. Dengan berbekal keahlian tersebut maka beliau menjadi peletak dasar berdirinya kesultanan di pulau Jawa dan juga berhasil memajukan pertanian di pulau ini.

Angkatan pertama ini juga terdiri dari dua orang ulama yang berasal dari Palestina yaitu Maulana Hasanuddin dan Sultan Aliudin. Dua orang ulama ini berdakwah di Banten dan mendirikan kesultanan Banten. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banten yang merupakan keturunan dari Sultan Hasanuddin memiliki hubungan secara biologis dengan rakyat Palestina.


Selain itu ada Syekh Ja'far Shadiq yang diberi julukan sebagai Sunan Kudus dan Syarif Hidayatullah yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Kedua ulama ini juga berasal dari Palestina. Dalam proses dakwah beliau, Sunan Kudus membangun sebuah kota di Jawa Tengah yang kemudian disebut kota Kudus. Nama kota tersebut berasal dari kata Al Quds (Jerusalem).


Masyarakat Nusantara pertama kali mengenal Islam pada abad 7 Masehi atau abad 1 Hijriah. Pengaruh Islam sangat besar pada situasi politik saat itu. Dengan semakin berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ketika itu, maka bermunculan lah berbagai kerajaan dan kesultanan Islam seperti Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang, Ternate, Tidore, Bacan (Maluku), Pontianak, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Kutai, Sambas, Banjar, Pasir, dan Sintang.


Sedangkan kesultanan yang berdiri di Jawa di antaranya adalah Demak, Pajang, Cirebon, dan Banten. Di Sulawesi, syariat Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Daerah Nusa Tenggara hukum Islam diterapkan dalam kesultanan Bima.


•Perjalanan Dakwah Wali Songo


Sebelum tiba di tanah Jawa, pada umumnya para ulama ini singgah terlebih dahulu di Pasai. Penguasa Samudera Pasai yang hidup pada tahun 1349-1406 Masehi, Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah adalah orang yang mengantarkan Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.


Sejak tahun 1463 Masehi semakin banyak ulama Jawa yang menggantikan ulama yang telah wafat atau berhijrah ke tempat lain. Para ulama pengganti tersebut di antaranya:


- Raden Paku (Sunan Giri)


Beliau adalah putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu yang merupakan putri dari Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan. 


- Raden Said (Sunan Kalijaga)


Beliau adalah putra Bupati Tuban, Adipati Wilatikta atau disebut juga Raden Sahur. Berdasarkan sejarah masyarakat Cirebon, julukan Kalijaga berasal dari nama salah satu desa di Cirebon bernama Kalijaga. Saat Raden Said bermukim di desa tersebut, beliau sering berdiam diri dengan berendam di kali (jaga kali).


- Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)


Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Nama Bonang berasal dari nama sebuah desa di Rembang. 


- Raden Qasim Dua (Sunan Drajad)


Seperti halnya Sunan Bonang, beliau juga adalah putra Sunan Ampel. Dengan demikian Sunan Drajad adalah saudara dari Sunan Bonang.


Para ulama diberi gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian dan berarti Tuanku, maka dapat disimpulkan bahwa saat itu dakwah Islam telah berjalan dengan baik dan mendapat kehormatan dari kalangan pembesar Kerajaan Majapahit.


•Para Ulama Penyebar Agama Islam Di Nusantara


Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:


1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.

2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.

4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.

5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.

6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.

7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.

8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.

9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.


Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir

4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina

8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina

9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.


Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir

4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :


1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan

2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :


1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :


1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim

2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah

3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak

4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon

5. Sunan Kudus, asal Palestina

6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang

7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim

8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim

9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim


•Hubungan Kesultanan Nusantara Dengan Kerajaan Islam di Turki dan Arab


Hubungan antara kerajaan Islam Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah juga dapat diketahui dari keterangan seorang sejarahwan, Bernard Lewis, yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1563 Masehi pembesar kerajaan Aceh mengutus seseorang ke Istanbul guna meminta bantuan melawan Portugis. Dia berusaha meyakinkan Khilafah bahwa raja-raja di kawasan tersebut telah bersedia memeluk Islam jika Khalifah Utsmaniyah mau menolong mereka.


Namun sayangnya pada saat itu Kekhalifahan Utsmaniyah sedang mengalami berbagai permasalahan genting yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria dan mangkatnya Sultan Sulaiman Agung. Setelah terhambat selama dua bulan akhirnya mereka membentuk sebuah armada perang yang terdiri dari 19 unit kapal perang dan beberapa kapal pengangkut persenjataan dan persediaan untuk dikirim ke Aceh.


Hal yang disayangkan adalah sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Kapal yang tiba di Aceh hanya dua unit saja dan langsung digunakan untuk mengusir Portugis. Catatan Sejarah mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai arsip dokumen negara Turki dan buku-buku yang ditulis oleh sejarahwan dunia.


Selain itu dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri juga disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer dari Khalifah Utsmaniyah berupa senjata disertai pengajar yang khusus dikirim untuk mengajarkan cara pemakaiannya.


Kaitan antara kesultanan Banten dengan kerajaan di Timur Tengah juga dapat terlihat dari gelar-gelar kehormatan yang diberikan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara. Gelar tersebut di antaranya:


- Kesultanan Banten


Abdul Qadir dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.


- Kesultanan Mataram


Pangeran Rangsang memperoleh gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami dari Syarif Mekah pada tahun 1641 Masehi.


Pada tahun 1652 hubungan antara kesultanan Aceh dan Turki juga semakin erat dengan adanya pengiriman utusan Aceh ke Turki dalam upaya meminta bantuan meriam. Khalifah Utsmaniyah mengirim 500 orang pasukan Turki untuk mengawal pengiriman meriam dan amunisi. 


Selanjutnya pada tahun 1567, Sultan Salim II mengirim armada ke Sumatera. Melihat kedekatan antara kaum muslimin di Nusantara dengan Kekhalifahan Utsmaniyah, seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, mengatakan, "Di kota Mekah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslim di Nusantara."


Menjelang abad modern pun hubungan tersebut masih terjalin baik, terbukti pada akhir abad 20 konsulat Turki di Jakarta pernah membagikan Al Quran atas nama Sultan Turki. Istanbul juga pernah mencetak tafsir Al Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili. Pada halaman depan tafsir al Quran tersebut tertulis "Dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam." Pada saat itu yang disebut Sultan Turki adalah Khalifah yang merupakan pemimpin Khilafah Utsmaniyah berpusat di Turki.


Snouck Hurgronje juga pernah mengatakan bahwa pada umumnya rakyat di Indonesia terutama mereka yang tinggal di pelosok daerah di seluruh tanah air, memandang Stambol (sebutan untuk Khalifah Utsmaniyah) masih sebagai raja bagi seluruh orang mukmin yang saat itu kekuasaannya agak berkurang karena adanya penguasaan orang kafir di Indonesia.


Melihat fakta-fakta sejarah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa memang Nusantara pada jaman dahulu adalah bagian dari khilafah baik saat kekuasaan Khilafah Abbasiyah Mesir maupun Khilafah Utsmaniyah Turki.


Berdasarkan bentuk kekhalifahan saat itu, Syarif Mekah adalah seorang gubernur pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk daerah Hijaz. Karena itu penganugerahan gelar sultan kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam dan bukan gelar semata. 


•Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia


Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang ditargetkan akan diberi dakwah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan disampaikan kepada Khalifah.


Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus dakwah Islam dan menjadi bagian dari Khilafah?


Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.


Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. 4 tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni tersebut merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.


Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China.


Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.


Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Umumnya mereka mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat terkenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.


Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.


Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.


Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa saat itu.


Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri berhasil mendidik ribuan santri yang akhirnya dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.


•Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah


Pada masa penjajahan, Belanda berusaha menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekuler melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama.


Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial Belanda.


Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.


Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.


Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.


Demikianlah, syariat Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekuler. Hukum-hukum sekuler ini terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَأَشْغِلِ الظَّالِمِينَ بِالظَّالِمِينَ، وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِينَ وَعلَى الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين


#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah


#KhilafahAjaranIslam #IslamRahmatanLilAlamin

#DemokrasiSistemKufur

#DemokrasiWarisanPenjajah


#tintasiyasi

https://t.me/abulwafaromli

abulwafaromli.blogspot.com

Tuesday, February 28, 2023

MENGENAL SYARI'AT ISLAM

 MENGENAL SYARI'AT ISLAM. 


Syari’at secara etimologi berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar

شرَع - يشرَع - شَرْعا - شِرَاعة - وشرِيعة

Berarti "Memulai sesuatu hal", "Nampak, jelas, dan terang", dan juga bisa berarti "Sumber-sumber air".


Sedangkan secara terminologi,

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah mendefinisikan Syari'at Islam adalah:


خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع


Artinya: Seruan Pembuat hukum (Allah) yang berhubungan dengan aktivitas hamba, berupa tuntutan, pemberian pilihan atau penetapan. (asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3 hal: 37)


Syari'at Islam atau yang biasa di sebut dengan hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.


Hukum taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat atau untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara keduanya yakni berbuat dan meninggalkan.


Misal ayat tuntutan untuk berbuat:


خذ من أموالهم صدقة

"Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka". (QS. At-Taubah: 103).


Misal ayat tuntutan untuk meninggalkan:


لا يسخر قوم من قوم

"Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain". (QS. Al-Hujurat:11). 


Dan Yang menunjukkan boleh memilih (mubah) misal ayat:

  

فإذا قضيت الصلوة فانتسروا فى الأرض

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi". (QS. Al-Jumu’ah: 10).


Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesuatu telah menjadi sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.

Misalnya, perintah Allah swt.


السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما

"Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya". (QS. Al-Maidah: 38).

Di sini pencurian menjadi sebab terhadap hukum potong tangan.


Sabda Rasulullah saw yg diriwayatkan oleh at Tirmidzi:


لا تقبل صلاة بغير طهور

"Tidak di terima shalat tanpa dengan bersuci".

Bahwa bersuci adalah menjadi syarat untuk shalat.


Sabda Rasulullah saw yg diriwayatkan Abu Dawud:

 

ليس للقاتل شيئ

"Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu".

Di hadits ini pembunuhan menjadi pencegah seorang pembunuh mewarisi harta yang di bunuh.


Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah.

Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah di sebabkan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah (mukim).

Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu uzur (halangan). Seperti shalatnya orang musafir.


Azimah meliputi 5 macam hukum, yaitu:


1. Wajib. 

2. Haram. 

3. Mandub (sunnah).

4. Makruh. 

5. Mubah.


Bagi kehidupan seorang muslim, hukum syara' itu ibarat rel bagi sebuah kereta api. Kemana pun kereta itu pergi berjalan, maka ia tidak boleh lepas tanpa relnya.

Tegasnya, Sebagai seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara'. Kenapa? Karena:


A. Seluruh amal perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.

 

فوربك لنسألنهم أجمعين. عما كانوا يعملون (الحجر: ٩٢ـ٩٣)


"Maka demi Tuhanmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semua, tentang apa saja yang pernah mereka lakukan". (QS. Al-Hijr: 92 - 93)


B. Satu-satunya pihak yang berhak memberikan penilaian atas status perbuatan manusia akan baik dan buruknya adalah Allah Swt.


واللّٰه يعلم وأنتم لا تعلمون. (البقرة: ٢١٦)

"Dan Allah maha mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui". (QS. al - Baqarah: 216).


C. Allah telah memberikan akal dan menurunkan petunjukNya kepada manusia.


ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيئ...  (النحل: ٨٩)

"Telah Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) sebagai penjelas untuk tiap-tiap sesuatu". (QS. an-Nahl: 89).


D. Allah telah melarang manusia melakukan sesuatu perbuatan tanpa mengetahui status hukumnya.

Allah berfirman:


ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا (الإسراء: ٣٦)

"Janganlahh kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati itu semuanya akan dimintai pertanggungjawaban". (QS. Al- Isra': 36).


Dengan demikian, wajib bagi setiap Muslim senantiasa menyandarkan seluruh perbuatannya dengan syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu apapun, kecuali jika sesuai dengannya.


Karenanya, terdapat kaidah ushul:


الاصل في الافعال التقيد بالحكم الشرعي

"Hukum asal perbuatan itu terikat dengan hukum syara'".


Artinya, hukum asal semua perbuatan manusia itu memiliki hukum syariahnya yang wajib di ketahui sebelum melakukan perbuatan. Karena pada hakikatnya tujuan melakukan perbuatan bagi seorang hamba adalah dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. Sedangkan di terimanya sebuah ibadah selain syaratnya ikhlas karena Allah adalah harus sesuai dengan petunjuk syari'ah.


Hukum syariah adalah seruan dari Pembuat hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, bukan untuk suatu benda. Ketika seruan itu untuk suatu benda, maka karena suatu benda itu ada hubungan erat dengan sebuah perbuatan.


Sedangkan hukum yang terkait dengan suatu benda itu datang melalui dalil umum yang menjelaskan hukum perbuatan. Adapun dalil yang secara khusus untuk suatu benda merupakan pengecualian atas dalil umum tersebut. Karena setiap suatu benda pada dasarnya hukumnya adalah mubah (halal). Karena itu, untuk mengharamkan suatu benda dari benda-benda itu perlu adanya nash atau dalil syara', sebab firman Allah SWT:


وسخر لكم ما في السماوات وما في الأرض جميعا منه

"Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari Allah". (QS al-Jatsiyah: 13).


Dari sinilah ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal suatu benda, yaitu:


الاصل في الأشياء الإباحية ما لم يرد دليل التحريم

"Hukum asal suatu benda adalah mubah (halal) selagi belum ada dalil yang mengharamkannya".


Dengan ini sebenarnya jumlah haramnya suatu benda sangatlah sedikit, dan jumlah halalnya sangatlah banyak. Sebab nash-nash sahih yang mengharamkan suatu benda jumlahnya itu sedikit. Sedangkan sebuah benda-benda yang tidak ada keterangan halal-haramnya, dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah (halal).


Syariat Islam di bebankan kepada manusia di kelompokkan dalam tiga bagian:


1. Individu.

2. Jama’ah/Kelompok

3. Negara


Beban hukum (taklif) dari Allah SWT.  yang mengatur kehidupan individu ini antara lain mencakup so'al: akidah, ibadah mahdah, pakaian, makanan, minuman dan akhlaq. Maka seorang individu muslim yang telah baligh, berakal dan mampu dalam wilayah tersebut wajib terikat dengan syari'at.


Taklif kepada kelompok/jama’ah adalah dakwah yakni amar makruf nahi munkar, dan setiap perbuatan yang berstatus hukum fardlu kifayah. 


Sedangkan taklif pada negara antara lain mencakup: politik (dalam negri ataupun luar negri) pemerintahan, ekonomi, pendidikan,peradilan, jinayat, uqubat, futuhat, hubungan luar negeri, militer, perang, dll.


Pelaksanaan pembebanan syari'at ini baik untuk individu, jama’ah maupun negara harus secara menyeluruh dan serentak.


Tujuan penerapan (Gool setting) syari'ah, atau yang biasa di kenal dengan istilah "Maqoshidusy Syari'ah" dalam hal ini Imam asy-Syatibi menjelaskan ada lima, yakni untuk:

Hifdzud din (menjaga agama). Hifdzun nafs (menjaga jiwa). Hifdzul aql (menjaga akal).

Hifdzul mal (menjaga harta).

Hifdzun nasab (menjaga keturunan).


Sedangkan menurut pendapat yang lain, maqaashidusy syari'ah ada 8, yakni dg ketambahan untuk menjaga kehormatan, masyarakat dan negara.


Inilah sekilas penjelasan tentang hukum syari'at yang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap hamba yang mengaku beriman untuk di terapkan dalam semua lini kehidupan.


Apabila terdapat kondisi dimana negara tidak menerapkannya seperti sekarang ini, dan palah justeru menerapkan sistem kufur demoKERAsi kapitalisme, maka wajib bagi umat Islam mengupayakan dan memperjuangkan terbentuknya sebuah institusi yang akan menerapkannya secara keseluruhan, dan institusi itu adalah KHILAFAH.


Sebab Rasulullah Saw bersabda :


ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

"Barang siapa yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at (pada khalifah) maka matinya mati jahiliyah". (HR. Muslim).


والله أعلم

Thursday, February 23, 2023

NU BENCI KHILAFAH BUTA SEJARAH

 NU BENCI KHILAFAH BUTA SEJARAH


Ruangan ini merupakan tempat yg biasanya digunakan untuk meyambut dan menjamu tamu penting di ponpes Tebuireng, Jombang, Jatim yg didirkan Kh. Hasym Asy'ari 


Ruangan ini sangat bersejarah. Salah satu tempat penting Kh. Hasym Asy'ari melahirkan gagasan pendirian NU pada 1926 lalu. 


Di sini susananya tenang. Jauh dari hiruk-pikuk aktivitas politik praktis sebagaimana yg ditampilkan oleh oknum PBNU dan PCNU di wilayah lain. 


Dari sini saya dapat banyak cerita orisinil tentang sejarah pendirian NU di masa lalu. 


Pendirian NU, tidak terlepas dari pembentukan Komite Hijaz di tahun yg sama. Sementara pendirian Komite Hijaz tidak terlepas dari upaya Kh. Hasym Ashari dan muridnya Kh. Wahab Chasbullah (kelompok Islam tradisionil) mendukung upaya HOS Tjokroaminoto dan Kh. Mas Mansur merespon kejatuhan Khilafah Utsmaniyyah di Turki. 


Dalam setiap pembabakan Sejarah Indonesia, didapati Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan yg kuat. Mulai dari era Hindu-Budha, invasi Barat, masa Hindia-Belanda, perjuangan kemerdekaan, pergulatan politik di BPUPKI dan PPKI hingga pra kemerdekaan. 


Sejak awal kemunculannya di nusantara, Masyarakat muslim tidak hanya berminat dalam memperbincangkannya saja. Melainkan juga merasa berkewajiban mendakwahkan dan menerapkannya. 


Oleh sebab itu ketika kejatuhannya di tahun 1924, umat Islam tanah air turut menunjukan perhatiannya. 


Salah satu wujud perhatian itu adalah lewat digelarnya permusyawaratan, bernama Kongres Umat Islam yang muncul dengan penggagasnya H.O.S Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Agus Salim. 


Kongres Umat Islam menghimpun para ulama di Nusantara untuk menemukan solusi keumatan terbaik. Terhitung dalam kurun waktu antara 1921 hingga 1941, kongres tahunan Umat Islam telah dilakukan sebanyak 12 kali di berbagai tempat dari Cirebon, Garut, Surabaya hingga puncaknya di Yogyakarta pada November 1945. 


Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menulis, tujuan diadakannya Kongres ini adalah untuk menyikapi kondisi umat Islam di dunia pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyah di Turki sekaligus menyikap situasi dalam negeri Indonesia yang pada masa itu banyak terjadi pelecehan terhadap Islam dan pemeluknya, terutama dari kelompok sekuler dan zending. 


Sementara itu buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat bahwa tujuan diadakannya Kongres Umat Islam adalah untuk menggalang persatuan umat, mengurangi perselisihan furu’iyyah dengan semangat pan Islamisme yg digagas oleh Sultan Abdul Hamid II. 


Tujaun paling pentingnya adalah mendorong persatuan kaum muslimin tanah air untuk saling bekerjasama  mengembalikan kekuasaan khilafah global yang selama ratusan tahun menjadi sandaran kekuatan umat Islam tanah air dari rongrongan invasi dan kekejaman Barat. 


Menyambut gagasan Tjokroaminoto, pendiri Muhammadiyah, Kh. Ahmad Dahlan hadir dalam Kongres Umat Islam pertama di Cirebon pada 1921. Kongres ini kemudian dilanjutkan di Garut pada tahun 1922 di bawah pimpinan Agus Salim dan Pengurus Besar Muhammadiyah. 


Puncak kongres umat Islam tanah air terjadi ketika para Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir menggelar Kongres Muktamar Dunia untuk merespon kejatuhan Khilafah Ustmani pada 3 Maret 1924. 


Menanggapi undangan Al-Azhar, umat muslim kembali menggelar Kongres Al Islam luar biasa di Surabaya pada 24-26 desember 1924. Dihadiri oleh 1000 kaum muslimin, Kongres Umat Islam ini melahirkan berdirinya Centraal Comite Chilafat (CCC) yang digagas sebagai delegasi umat Islam Indonesia. 


Centraal Comite Chilafat atau CCC sendiri adalah komite yang beranggotakan puluhan muslim dari berbagai latar belakang. Di dalamnya ada Tjokroaminoto dari Central Sarekat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, Haji Fachrodin dari PP Muhammadiyah, dan Suryopranoto dari PSI. Meskipun pada akhirnya Muktamar Khalifah di Kairo batal digelar. 


Tak mau ketinggalan, dalam Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta, tokoh Islam tradisional, Kiai Wahab Chasbullah, murid Kh. Hasym Asy'ari turut ambil bagian merespon penaklukan itu dengan mengusulkan delegasi CCC di kemudian hari mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. 


Dari CCC inilah, oleh kelompok muslim tradisional membentuk satu utusan baru bernama Komite Hidjaz. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat Komite Hidjaz dengan tokoh utama Kh. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kh. Wahab Chasbullah, Kh.i Bisri dari Denanyar, dll. 


Lewat komite hidjaz dengan organisasi induk Nahdatul Ulama, Kh. Hasym Asy'ari, Wahab Cahsbullah dan tokoh Islam tradisionil lainnya turut menggalang persatuan kaum muslimin tanah air  bekerjasama menyelesaikan masalah khilafah yang saat itu menjadi problem bagi dunia Islam. 


Jika HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan (kelompok Islam Modern) orientasi perjuangannya lebih ke arah politik kepemimpinan khilafah, maka Kh. Hasym Asy'ari lebih ke  Keputusan untuk mengirimkan delegasi ke saudi dalam rangka memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab.  


Perjuangan dakwah NU masa lalu, erat kaitannya dengan upaya mendukung penegakan khilafah baik secara aksioma maupun dogma. Maka sangat bersifat ahistoris dan aidelogis jika NU dipakai sebagai alat untuk mendukung pemerintahan sekuler melawan, mendiskreditkan, menentang setiap jengkal dakwah untuk mengembalikan penerapan Khilafah. 


Dengan maraknya sikap antipati masyarakat terhadap NU, sudah saatnya PBNU dan PCNU mengembalikan jati diri NU ke jalan yg lurus, sebagaimana yg dicontohkan Kh. Hasym Asy'ari dan Kh. Wahab Chasbullah !!!

KEBENARAN TAZKIYAH SYAIKH MUTAWALLI ASY SYA'RAWI ATAS SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI

 KEBENARAN TAZKIYAH SYAIKH MUTAWALLI ASY SYA'RAWI ATAS SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI

رحمهما الله تعالى 


"صحابي أخر لغير زمانه ..."

"Bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan."


Asy Syaikh Muhammad an-Nadiy, mengkonfirmasi sebagaimana berikut.


أما العبارة التي قالها الشيخ محمد متولي الشعراوي بحق الشيخ تقي الدين النبهاني من أنه "صحابي أخر لغير زمانه ..."


فهي عبارة صحيحة نقلها عنه الدكتور عبد الحليم الرمحي الذي كان يدرس مع كل من الشيخين: الشيخ تقي الدين النهاني والشيخ محمد متولى الشعراوي في جامعة الأزهر الشريف في مصر. 


والدكتور عبد الحليم الرمحي لا زال حيا يرزق قد قارب التسعين عاما وكان أستاذ الشريعة في الجامعة الأردنية.


لعل إجابتي واضحة ومفهومة.


"Adapun kalimat yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi berkenaan dengan pribadi Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa beliau "bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan... dst."


Maka itu ungkapan benar (valid) yang dinukil langsung dari Beliau oleh Dr. Abdul Halim al Rumhi yang dulunya memamg pernah belajar bersama kedua Syaikh tersebut: yaitu Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dan Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi di Universitas al-Azhar asy-Syarif Mesir.


Dr. Abdul Halim ar-Rumhi sendiri beliau masih hidup hingga sekarang, dengan dikaruniai usia hampir mencapai 90 tahun. Beliau adalah seorang guru besar di bidang syariat Universitas Yordan. 


Semoga jawabanku ini jelas dan mudah dimengerti."


Sumber: Ust. Ahmad Syahreza

Terjemahan: Azizi Fathoni


________________


Redaksi lengkap tazkiyah tersebut berbunyi:


الشيخ تقي الدين النبهاني 

صحابي أُخر لغير زمانه، كان يديم السكوت، واذا تكلم حديثه لؤلؤ، قوي الحجة مقنعا متصلبا للراي الذي آمن به


"Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani itu bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan. Lebih sering diam. Tapi jika beliau angkat bicara perkataannya bagaikan mutiara. Argumentasinya kuat memuaskan serta memegang teguh pendapat yang diyakininya." 


http://www.youtube.com/watch?v=Pfuql90gpoM

Wednesday, February 15, 2023

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) TERTOLAK SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

 PIAGAM PBB BISA MENJADI SUMBER HUKUM ISLAM?


by _KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi S.Si, M.Si_


https://abulwafaromli.blogspot.com/2023/02/piagam-pbb-bisa-menjadi-sumber-hukum.html?m=1


Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) TERTOLAK SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM, berdasarkan 4 (empat) alasan sebagai berikut : 


 *Pertama,* tertolak secara normatif, yaitu tertolak berdasarkan ilmu Ushul Fiqih. 


 *Kedua*, tertolak secara historis, yaitu tertolak berdasarkan sejarah bahwa cikal bakal PBB adalah aliansi negara-negara Kristen Eropa untuk menghadapi futuhat Khilafah Utsmaniyah. 


 *Ketiga*, tertolak secara empiris, yaitu tertolak berdasarkan fakta empiris bahwa PBB telah gagal mewujudkan perdamaian dan mencegah perang. 


 *Keempat*, tertolak secara politis, yaitu tertolak karena PBB adalah instrumen politik negara-negara kafir penjajah. 


BERIKUT URAIAN MASING-MASING ALASAN : 


• Pertama, Piagam PBB tertolak secara normatif, yaitu tertolak sebagai sumber hukum Islam, berdasarkan ilmu Ushul Fiqih. Imam Syafi’i, radhiyallāhu ‘anhu, menyatakan bahwa sumber hukum Islam (mashādirul ahkām), haruslah bersumber dari wahyu dari langit, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah : “Suatu pendapat tidaklah menjadi keharusan (berlaku mengikat) dalam setiap-tiap kasus, kecuali berdasarkan Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya SAW, dan apa saja selain keduanya [haruslah] mengikuti keduanya (Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya).” (Imam Syafi’i, Jimā’ al-’Ilmi, Juz VII, hlm. 285). 

Imam Syafi’i, radhiyāllahu ‘anhu, menjelaskan pula, dari Al-Qur`an dan As-Sunnah itulah, para ulama kemudian mengistinbath sumber-sumber hukum Islam lainnya, yaitu Ijma’ dan Qiyas : “Tidaklah pantas sama sekali seseorang berkata mengenai sesuatu, bahwa sesuatu itu halal atau haram, kecuali berdasarkan ilmu. Dan dasar ilmu yang dimaksud, adalah berita [dalil] dari al-Kitab, atau dari As-Sunnah, atau dari Ijma’ , atau dari Qiyas.” (Imam Syafi’i, Al-Risālah, pentahqiq Muhammad Syakir, hlm. 39).


Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa Piagam PBB sama sekali tertolak dan tidak dapat menjadi sumber hukum Islam,  Alasannya karena Piagam PBB tidaklah bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau derivat dari keduanya), melainkan bersumber dari kesepakatan sejumlah manusia yang menandatangani Piagam PBB : “The UN Charter was signed on 26 June 1945 by representatives of the 50 countries attending the United Nations Conference on International Organization in San Francisco.”  Sumber : https://www.un.org/en/about-us/history-of-the-un/preparatory-years 


Hukum yang bersumber dari manusia itu, yaitu hukum yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dalam istilah Al-Qur`an disebut dengan istilah hukum thaghut atau hukum jahiliyah. 

Allah SWT berfirman : “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa` : 60). 

Allah SWT berfirman : “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Ma`idah : 50). 


Syekh Nāshir ‘Abduh Al-Lahbiy, seorang ulama yang mukhlis, dalam majalah Al-Waie, terbitan Beirut, Lebanon, edisi 230, Rabi’ul Awal 1427 H (April 2006 M) mengkritik PBB dan Piagam PBB dengan kalimat yang tajam sbb:  “Sesungguhnya PBB adalah organisasi yang didirikan oleh negara kafir dan Piagamnya menyimpang dari agama Islam. Dalam Piagam PBB tersebut tidak terdapat pemikiran Islam apa pun. Maka berhukum kepada PBB dan Piagam PBB adalah berhukum kepada thaghut dan sekaligus merupakan ajakan untuk berhukum kepada syariah kufur di muka bumi.”  

Sumber : https://www.al-waie.org/archives/article/3035 


• Kedua, tertolak secara historis, yaitu Piagam PBB tertolak sebagai sumber hukum islam berdasarkan sejarah bahwa cikal bakal PBB adalah aliansi negara-negara Kristen Eropa untuk menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyah. Berdirinya PBB, termasuk landasannya berupa Piagam PBB, latar belakang historisnya sebenarnya cukup panjang, tidak bisa disederhanakan hanya berlatar belakang pendek seputar Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945).  Cikal bakal PBB menjulur jauh ke belakang sejak adanya aliansi negara-negara Kristen Eropa untuk menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyah abad ke-16 M. Futūḥāt Khilafah Utsmaniyah itu terjadi akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 Masehi, yang berhasil menaklukkan negeri-negeri Kristen Eropa, seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria. Futūḥāt berhenti tahun 1529 di pintu gerbang kota Wina, Austria. Inilah yang mendorong negara-negara Kristen Eropa membentuk aliansi guna menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyyah. Aliansi itu awalnya terdiri dari negara-negara Kristen Eropa saja, tapi dalam perkembangannya menerima keanggotaan negara Kristen dari luar Eropa, dan akhirnya menerima keanggotaan semua negara baik Kristen maupun non Kristen, dari Eropa dan non Eropa. Di abad ke-20, aliansi itu bertransformasi pada tahun 1920 menjadi LBB (Liga Bangsa-Bangsa), lalu pada tahun 1945 menjadi PBB. (Perserikatan Bangsa-Bangsa). (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafāhīm Siyāsiyyah, hlm. 160-163). 


Berdasarkan penjelasan historis tersebut, sungguh tidak pantas sebuah negeri muslim bergabung dengan PBB atau menjadikan Piagam PBB sebagai acuan dasar untuk membangun peradaban. Hal itu dikarenakan cikal bakal PBB justru adalah aliansi negara-negara kafir dari Eropa untuk menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyah. Itu artinya, negeri muslim yang bergabung atau mendukung PBB sesungguhnya telah memposisikan dirinya menjadi bagian dari aliansi dari negara-negara kafir, untuk berhadap-hadapan dengan Khalifah dan negara Khilafah yang justru merupakan representasi pemimpin umat Islam global dan sistem pemerintahan Islam yang ada saat itu. 


Mendukung PBB artinya adalah mendukung dan mengikuti negara-negara kafir, sesuatu yang sebenarnya sudah dilarang dengan tegas oleh Rasulullah SAW : Dari Abu Sa'id RA,”Bahwa Nabi SAW bersabda, ’Kalian sungguh akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak kalian pasti akan tetap mengikuti mereka.’ Kami bertanya, ’Wahai Rasulullah, (apakah yang baginda maksud itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, ”Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari, no. 3917). 


• Ketiga, tertolak secara empiris, yaitu Piagam PBB tertolak sebagai sumber hukum Islam berdasarkan fakta empiris bahwa PBB telah gagal mewujudkan perdamaian dan mencegah perang.  Mereka yang mencermati secara kritis peran PBB dalam menyelesaikan berbagai konflik dan perang di berbagai kawasan dunia, akan menyimpulkan bahwa PBB adalah lembaga yang “impoten” , lembaga yang gagal (failure), serta lembaga “un-faedah” (tak berguna/useless) dalam mengatasi konflik atau perang di berbagai kawasan dunia. 

Bukti nyata, apa peran PBB dalam menghentikan perang Ukraina dan Rusia sejak Februari 2022 hingga Februari 2023 saat ini ?  Berhasilkah PBB mencegah atau menghentikan perang Ukraina dan Rusia tersebut? Jadi, kalau ada yang bilang PBB merupakan lembaga internasional yang bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dan harmonisasi dunia, bla bla bla, maka buktinya adalah zonk, alias tidak ada ! Itu hanya omongan dusta, tak ada buktinya. Berikut ini contoh-contoh penilaian kritis terhadap kinerja PBB akhir-akhir ini dalam perang Ukraina dan Rusia. 


PBB adalah lembaga yang tak bisa berbuat lebih banyak (doing more) dalam menyetop perang Ukraina dan Rusia.

PBB adalah lembaga yang gagal (failure) memediasi Ukraina dan Rusia yang berperang sejak Februari 2022  Sumber : https://www.ijr.org.za/2022/09/30/un-security-council-failure-to-mediatein-the-russia-ukraine-conflict/ 

PBB adalah lembaga un-faedah (useless) dalam perang Ukraina dan Rusia sejak Februari 2022 hingga Februari 2023 saat ini.  Sumber : https://warontherocks.com/2022/07/the-united-nations-hasnt-beenuseless-on-ukraine/


Dari berbagai penilaian kritis tersebut, jelaslah bahwa PBB adalah lembaga yang terbukti un-faedah, lemah dan gagal dalam menghentikan perang Ukraina dan Rusia.  Lalu bagaimana mungkin kita umat Islam menjadikan PBB dan piagam PBB sebagai dasar untuk membangun fiqih peradaban yang baru?  Fiqih Peradaban macam apakah yang akan dapat dibangun atas dasar dukungan kepada PBB dan piagamnya, jika PBB adalah lembaga yang terbukti unfaedah, lemah dan gagal dalam menghentikan perang? 


• Keempat, tertolak secara politis, yaitu Piagam PBB tertolak sebagai sumber hukum Islam berdasarkan alasan karena PBB adalah instrumen politik negaranegara kafir penjajah. 


Mereka yang mempunyai kesadaran politik global, akan memahami bagaimana hubungan PBB dengan negaranegara kafir imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, yakni PBB sebenarnya sekedar alat (tool) bagi kepentingan negara-negara kafir penjajah itu untuk terus mendominasi dan menghisap kekayaan alam dunia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafāhīm Siyāsiyyah, hlm. 169- 170). 

Penilaian kritis dari kelompok sosialis AS tahun 1946 terhadap PBB : “UNO Is U.S. Tool” (PBB adalah alat Amerika Serikat). Sumber ://www.ebay.com/itm/37362665981


Dengan demikian, pertanyaan kritisnya, bagaimana mungkin kita umat Islam memihak dan mendukung PBB, bahkan Piagam PBB-nya mau dijadikan sumber hukum Islam, padahal PBB hanyalah kepanjangan tangan dari kepentingan politik Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya? 


_*Kesimpulannya*_, berdasarkan kritik di atas, yaitu kritik dari segi normatif, historis, empiris, dan politis, sungguh tidak pantas kita umat Islam mendukung PBB atau menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam. Wallāhu a’lam. (USAJ).


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَأَشْغِلِ الظَّالِمِينَ بِالظَّالِمِينَ، وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِينَ وَعلَى الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين


#istiqomahdijalandakwah

#janganpalsukankhilafah


#KhilafahAjaranIslam #IslamRahmatanLilAlamin

#DemokrasiSistemKufur

#DemokrasiWarisanPenjajah


#tintasiyasi

https://t.me/abulwafaromli

abulwafaromli.blogspot.com

Friday, February 10, 2023

PBB: Kendaraan Politik AS

 PBB: Kendaraan Politik AS


Oleh M. Anwar Iman


“Pada lima belas tahun pertama berdirinya, PBB tak lebih dari perpanjangan tangan Departemen Luar Negeri AS,” demikian pernyataan Profesor Yash Tandon dari The University of Dar es-Salam, Kairo.


Pernyataan ini tidaklah berlebihan, bahkan realitas PBB sebagai kendaraan politik AS, tetap dan terus berlangsung hingga kini. Sikap bungkam PBB terhadap kebiadaban Zionis Israel akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti. Pasalnya, AS memang meridhai tindakan brutal tersebut.


 PBB: Antara Konsep dan Realitas


Kecerdikan dan kelicikan negara-negara kafir Barat, khususnya Amerika, tampaknya telah berhasil me-make up Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi sebuah organisasi yang tampil bagaikan pahlawan internasional. Buktinya, negara-negara di dunia, tak terkecuali negeri-negeri Islam, masih memberikan loyalitas dan kepercayaan kepada organisasi ini. Bahkan, keberadaannya pun dianggap sebagai suatu keniscayaan. Padahal, PBB terbukti telah gagal dalam menyelesaikan berbagai masalah internasional.


Jauh panggang dari api, itulah pepatah yang tepat bagi PBB. Organisasi internasional terbesar yang sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa ini, konon didirikan di atas asas persamaan kedaulatan bagi semua anggota; dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan. Akan tetapi, semua itu tidak lebih dari sekadar retorika belaka. Pasalnya, pemberiaan hak istimewa (previllege) kepada segelintir negara yang tergabung ke dalam anggota tetap Dewan Keamanan jelas bertolak belakang dengan konsep persamaan dan kesetaraan bagi semua anggota, sebagaimana yang didengungkan. Hak istimewa yang dikenal dengan hak veto ini merupakan hak khusus yang hanya dimiliki oleh lima negara: Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina. Dengan hak vetonya, kelima negara tersebut dapat melarang atau menolak suatu keputusan. Padahal, sejak awal pendiriannya, lembaga ini telah memiliki 51 anggota asli, yaitu negara-negara yang ikut menandatangani Piagam PBB dalam Konferensi San Fransisco tahun 1945. Anehnya, ke-51 negara tersebut tidak memiliki kesetaraan hak. Inilah cacat bawaan terbesar PBB dari sejak kelahirannya.


Awal Dominasi AS di PBB


Sebelum PBB berdiri, Presiden AS Woodrow Wilson telah terlebih dahulu merintis organisasi internasional yang bernama Liga Bangsa Bangsa (League of Nations). Gagasan pendirian organisasi ini dicetuskan tahun 1918, sebelum Perang Dunia I berakhir. Dalam pidatonya di depan Konggres, tanggal 8 Januari 1918, Wilson mengungkapkan beberapa syarat untuk mewujudkan perdamaian. Syarat-syarat itu terdiri dari 14 pasal, yang selanjutnya dikenal dengan Fourteen Points. Pasal ke-14 dari syarat-syarat itu menyebutkan perlunya pembentukan suatu perserikatan negara-negara yang akan memberi jaminan keamanan kepada semua negara tanpa membeda-bedakan apakah negara itu besar atau kecil.1 Perserikatan negara-negara yang disebutkan dalam pasal ini akhirnya terwujud dengan terbentuknya Liga Bangsa Bangsa tahun 1919. Sejak itu, AS mulai menanamkan pengaruhnya dalam organisasi internasional ini, yang selanjutnya berubah menjadi United Nation (UN) atau Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada akhir Perang Dunia II, tahun 1945.


Ditetapkannya Lake Succes New York sebagai markas PBB bukanlah suatu kebetulan. Semua itu tidak lepas dari upaya AS untuk menjadikan PBB sebagai underbouw-nya. Hal ini tidak terlalu sulit bagi Amerika, apalagi AS merupakan penopang sebagian besar anggaran belanja PBB melalui iuran anggotanya.


Saat itu, AS memang merupakan negara yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi terbesar. Dalam tahun 1943, produksi persenjataan AS tiga kali lebih besar dari persenjataan Jerman, Inggris, ataupun Uni Soviet.2 GNP Amerika maju pesat sebesar 50 persen, Eropa Barat kehilangan seperempat ekonomi mereka, sementara pertumbuhan ekonomi Uni Soviet tertahan selama satu dasawarsa.3


Pada akhir tahun 1950, ekonomi AS besarnya tiga kali ekonomi Uni Soviet, lima kali ekonomi Inggris, dan sepuluh kali ekonomi Jepang.4 Dengan perimbangan kekuatan yang demikian, sangat mudah bagi AS untuk menanamkan dominasinya atas PBB. Sebaliknya, sangat sulit bagi PBB untuk tidak “berbaik hati” kepada negeri Paman Sam ini. Oleh karena itu, jadilah PBB sebagai alat legitimasi AS untuk memaksakan berbagai kebijakannya dalam konstelasi politik dunia. Dengan memanfaatkan organisasi internasional ini, AS dapat memperkokoh kedudukannya sebagai negara adidaya nomor satu.


Sebagai sebuah negara yang tegak di atas suatu ideologi, yaitu kapitalisme, wajar jika AS mempunyai ambisi untuk menjadikan ideologinya dianut oleh seluruh bangsa dan negara. AS meyakini bahwa ideologi yang dimilikinya adalah ideologi terbaik yang layak diberlakukan bagi setiap negara. Oleh karena itu, dengan menggunakan berbagai sarana dan cara, termasuk cara paksa, AS selalu berusaha menggapai ambisinya tersebut. Sikap semacam ini diakui sendiri oleh salah seorang warga AS pemenang Hadiah Nobel bidang sastra. Pengakuan yang dikutip oleh Douglas K. Steveson, dalam bukunya, American Life and Institution, 1987, menyebutkan, “Kita yakin bahwa pemerintahan kita adalah lemah, bodoh, suka memaksa, tidak jujur, dan tidak efisien. Meski demikian, pada saat yang sama, kita pun sangat yakin bahwa sistem kita merupakan sistem pemerintahan terbaik di dunia, dan kita pun ingin memberlakukannya pada setiap negara.”


 Cikal-Bakal PBB dan Kiprahnya Pasca Keruntuhan Daulah Islam


Meskipun PBB baru berdiri pada tahun 1945, “embrio” organisasi ini sesungguhnya telah ada jauh sebelum kelahirannya. Pada akhir abad ke-16 M, Negara-negara Kristen Eropa membentuk apa yang mereka sebut sebagai Keluarga Eropa. Organisasi inilah yang menjadi “embrio” PBB. Jadi, PBB, setidaknya embrionya, telah hadir dalam pentas politik internasional sejak saat itu.


Terbentuknya Keluarga Kristen Internasional (KKI) ini lebih dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Negara-negara Kristen Eropa terhadap kekuatan Negara Islam. Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Islam ketika itu, benar-benar mampu menggentarkan mereka. Penaklukan wilayah Eropa berhasil dilakukan satu demi satu; mulai dari Yunani, Rumania, Albania, Yugoslavia, Hungaria, Austria, sampai berhenti di gerbang kota Wina.5


Hingga pertengahan abad ke-17 M, kekuatan KKI ini tampaknya belum cukup efektif untuk menghadapi Negara Islam. Pada tahun 1648, Negara-negara Kristen Eropa mengadakan Konferensi Westphalia, dan menetapkan berbagai aturan untuk mengatur hubungan antar mereka. Sejak saat itu, muncullah Komunitas Internasional. Komunitas ini terdiri dari berbagai negara Kristen tanpa membedakan bentuk negara (kerajaan maupun republik) ataupun agama negara (Katolik maupun Protestan). Pada mulanya, komunitas ini dikhususkan bagi negara-negara Eropa Barat, tetapi kemudian diikuti oleh negara-negara Kristen di luar Eropa. Sementara itu, Negara Islam tidak diperkenankan bergabung sampai pada paruh kedua abad ke-19 M.


Ketika Negara Islam mulai melemah, yang dikenal dengan sebuatan “Orang Sakit dari Eropa” (The Sick Man of Europe), ia mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota Komunitas Internasional itu. Hanya saja, usulan tersebut ditolak. Keanggotaan Negara Islam dalam Komunitas Internasional baru diterima pada tahun 1856, yaitu setelah Negara Islam bersedia memenuhi persyaratan yang amat berat. Persyaratan itu adalah kesediaan Negara Islam untuk meninggalkan Islam sebagai dasar hubungan internasional, dan meggantinya dnegan sejumlah hukum Eropa.6 Inilah sukses awal Komunitas Internasional—yang menjadi “embrio” PBB— dalam kriprahnya menghadapi kekuatan Negara Islam.


Setelah Daulah Islam hancur tahun 1924, semakin mudah bagai Komunitas Internasional untuk mengokohkan kedudukannya. Saat itu, Komunitas Internasional telah berubah wujud menjadi Liga Bangsa Bangsa (LBB). Pada tahun 1945, setelah berakhirnya PD II, LBB berubah lagi menjadi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ditinjau dari percaturan politik internasional secara umum, AS-lah yang akhirnya unggul dalam kurun waktu itu. Oleh karena itu, AS pula yang selanjutnya mendominasi kendali organisasi internasional tersebut.


Keanggotaan PBB, pada awalnya, terbatas bagi negara-negara yang menjadi musuh Jerman, yakni negara Kristen dan negara-negara yang mengikuti mereka. Akan tetapi kemudian, dalam rangka memperkokoh hegemoninya, AS memperluas keanggotaan PBB sehingga menjadi terbuka untuk seluruh negara di dunia. Meskipun begitu, AS dan negara Kristen Eropa lainnya, tetap tidak mentoleleransi peraturan apa pun yang akan disusupkan ke dalam peraturan PBB dan Hukum Internasional. Peraturan yang lahir dari ideologi kapitalis kufurlah yang menjadi satu-satunya sumber peraturan PBB dan Hukum Internasional.


 Strategi PBB Mengokohkan Kapitalisme


Strategi PBB dalam mengokohkan peranannya di pentas politik internasional sesungguhnya lebih mencerminkan strategi AS dalam memanfaatkan organisasi ini. Dominasi AS di PBB telah menjadikan organisasi bangsa-bangsa ini sarana yang efektif bagi negara adidaya tersebut untuk memposisikan dirinya sebagai pemain tunggal dalam percaturan politik dunia. Oleh karena itu, wajar jika kiprah PBB lebih banyak diwarnai oleh ambisi-ambisi AS.


Ada beberapa strategi yang digunakan AS untuk memanfaatkan PBB bagi kepentingan dirinya. Di antaranya:


1. Mengokohkan kedudukan PBB sebagai organisasi internasional yang berwenang menyelesaikan masalah-masalah dunia yang dihadapi berbagai bangsa dan negara.


Strategi ini dilakukan dengan cara membangun opini dunia bahwa PBB merupakan organisasi yang bersifat internasional, meskipun tidak seluruh negara yang ada masuk menjadi anggota. Dengan sifat internasional ini, PBB menjadi satu-satunya pihak yang berwenang dan dapat dipercaya untuk membahas masalah-masalah internasional. Selain itu, negara-negara yang dilibatkan dalam percaturan politik internasional dibatasi hanya bagi mereka yang bergabung menjadi anggota PBB saja. Hal ini menjadikan negara-negara yang tidak menjadi anggota atau menolak menjadi anggota tersingkir dan tidak mampu memberikan pengaruh terhadap percaturan politik internasional. Fenomena semacam ini pernah dialami Rusia pasca Perang Dunia I dan Spayol pasca Perang Dunia II.7


2. Mengokohkan kedudukan PBB sebagai organisasi internasional yang mempunyai legitimasi untuk merumuskan aturan-aturan yang menjadi sumber hukum internasional.


Dengan mengeksploitasi sifat keinternasionalannya, PBB dan sejumlah badan perlengkapannya—seperti Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi, dan lain-lain—dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengeluarkan aturan, perundang-undangan, keputusan, piagam, resolusi, atau apa pun namanya yang berlaku bagi masyarakat internasional. Prof. Frans E. Likadja, S.H., dalam bukunya, Desain Intruksional Dasar Hukum Internasional, menyebutkan, sulit disangkal bahwa keputusan Majelis Umum PBB mempunyai kekuatan dan pengaruh yang besar sekali bagi perundang-undangan nasional masing-masing negara dan turut berpengaruh terhadap pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional.8 Yang perlu digarisbawahi, bahwa aturan, hukum, perundang-undangan, ataupun piagam yang dihasilkan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat universal, sebagaimana yang mereka propagandakan. Akan tetapi, semua produk peraturan tersebut semata-mata berasal dari ideologi kapitalis. PBB bahkan tidak metoleransi masuknya aturan lain, selain yang dikehendakinya, meskipun anggotanya heterogen.


3. Memperbanyak lembaga-lembaga atau institusi yang menjadi underbouw PBB.


Dengan memperbanyak lembaga-lembaga yang menjadi underbouw PBB sekaligus memperkuat dominasinya atas lembaga tersebut, AS dapat memperluas pengaruhnya dalam berbagai sektor. Keberadaan IMF sebagai lembaga keuangan internasional, misalnya, jelas telah menjadi alat bagi Amerika untuk menjerat negara-negara debitur (pengutang) dan memaksakan kebijakan-kebijakannya atas negara tersebut. Ketika sebuah bangsa telah melakukan kontrak bantuan (baca: utang), maka ia benar-benar tidak mungkin meraih kembali posisi menentukan nasib sendiri.9 Berkenaan dengan bahaya utang ini, Phillip A. Benson, Presiden Asosiasi bangkir Amerika (1939) mengatakan, “Tidak ada jalan yang lebih langsung untuk memperoleh kontrol atas sebuah bangsa dibandingkan melalui sistem kreditnya.”10


Bagaimana Amerika dapat mendominasi kebijakan IMF? Jawabannya, AS-lah penopang modal terbesar di IMF, sementara besarnya persentase modal itulah yang menentukan kekuatan suara dalam lembaga keuangan ini. Sebanyak 20 negara industri menguasai 59 persen suara di IMF, dan 19 persen suara di antaranya dikuasai oleh Amerika.11


4. Memberikan kewenangan yang luas kepada Dewan Keamanan (Security Council).


Dewan yang bertugas menjaga agar jangan sampai timbul peperangan antar negara ini berwenang memberikan putusan—bahkan mengambil tindakan—apa pun terhadap suatu negara yang menurutnya layak mendapatkan sanksi. Melalui dominasinya dalam Dewan Keamanan ini, AS dapat memaksakan keinginannya dan mengambil segala tindakan atas negara-negara yang dianggap membahayakan kepentingannya. Contohnya adalah aneksasi Kuwait oleh Irak tahun 1990. Atas peristiwa ini, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomor 678 yang isinya memberikan legitimasi kepada Amerika dan sekutunya untuk menggunakan segala cara, jika sampai tanggal 5 Januari 1991, Irak tidak mundur dari Kuwait.12 Akhirnya, terjadilah penggempuran besar-besaran terhadap Irak oleh pasukan multinasional pimpinan AS. Namun anehnya, sikap serupa tidak dilakukan oleh AS terhadap Israel yang jelas-jelas telah merampas tanah kaum Muslim dengan membunuh dan mengusir mereka dari tempat tinggalnya. Apa yang terjadi? PBB justru mengeluarkan resolusi No. 242 dan 381 yang mengakui berdirinya negara Zionis Israel.


5. Membuka kesempatan lebar-lebar bagi negara-negara untuk masuk menjadi anggota.


Dengan semakin banyaknya negara yang menjadi anggota PBB, kedudukan organisasi ini mejadi semakin kokoh di mata internasional. Hal ini akan memperkuat kewibawaan dan pengaruh PBB dalam pentas politik internasional.


6. Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dalam berbagai bidang.


Atas nama PBB, AS mensponsori berbagai KTT untuk mensosialisasikan ide-ide dan pemikiran kufurnya di dunia. Sebagai contoh, tahun 1994, di Cairo, Mesir, diselenggarakan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan atau ICPD (International Conference on Population and Development). KTT yang diselenggarakan oleh PBB ini, dengan biaya yang hampir seluruhnya ditanggung AS, bertujuan untuk mendapatkan konsensus internasional bagi program aksi untuk 20 tahun mendatang guna mengerem jumlah penduduk dunia. Dalam draft action plan-nya setebal 113 halaman, terdapat beberapa usulan untuk mencegah ledakan penduduk, di antaranya: aborsi, homoseksual, dan hubungan seks di luar nikah. Usulan semacam ini jelas usulan yang sarat dengan nilai-nilai barat yang kufur itu.‘


Demikianlah beberapa strategi Amerika dalam memanfaatkan PBB sebagai alat untuk mengotrol dan mengendalikan percaturan politik Internasional. Semua strategi tersebut digunakan semata-mata untuk mengokohkan ideologi kapitalismenya dan membendung munculnya kekuatan lawan, yaitu Islam dan komunis-sosialis. Sebaliknya, terhadap sejumlah negara yang berhaluan sama, seperti Inggris, Prancis, dan sebagainya, AS berusaha untuk menciptakan ketertergantungan mereka kepadanya; juga mencegah hal-hal yang dapat menggeser posisinya sebagai negara adidaya nomor satu.


Kekuatan Islam jelas merupakan ancaman nomor satu bagi AS, khususnya setelah Uni Soviet runtuh. Meskipun kekuatan Islam secara real, dalam bentuk sebuah Negara Khilafah, saat ini tidak ada, Amerika tetap cemas terhadap kemungkinan munculnya kekuatan tersebut. Oleh karena itu, dengan standar gandanya, Amerika selalu memanfaatkan PBB untuk menjegal munculnya kekuatan Islam.


 PBB Harus Diapakan?


Bagaimana sesungguhnya keberadaan PBB dan hukum bergabung ke dalamnya menurut pandangan Islam? Perkara ini penting diketahui oleh kaum Muslim, agar mereka dapat bersikap dengan benar, sesuai ketentuan Islam; tidak sekadar ikut-ikutan dan larut dalam arus opini yang muncul di tengah masyarakat.


Ditinjau dari segi asasnya, jelas PBB berdiri di atas asas yang bertentangan dengan hukum Islam. Organisasi ini didirikan di atas ideologi kufur Barat. Ideologi inilah yang dijadikan sebagai asas dalam pembentukan berbagai aturan, yang selanjutnya, secara dusta, dinamai sebagai Hukum Internasional. Hukum ini kemudian digunakan untuk mengatur hubungan antar bangsa-bangsa di dunia.


Ideologi kufur Barat ini pula yang dijadikan sebagai landasan dalam menyusun berbagai piagam atau deklarasi. Apa yang dinamakan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), misalnya, jelas merupakan representasi nilai-nilai kekufuran tersebut.


Atas dasar ini, keberadaan PBB adalah haram. Bergabung menjadi anggotanya juga haram. Allah Swt. mewajibkan kaum Muslim untuk berhukum hanya pada syariat-Nya semata, dan mengharamkan mereka untuk berhukum kepada thâghût. Allah Swt. berfirman:


Apakah kalian tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan sebelum kalian? Mereka hendak berhukum kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS an-Nisa’ [4]: 60).


Selain itu, ditinjau dari segi peranannya, PBB dan badan-badan perlengkapannya tidak lebih dari sekadar sarana bagi negara kafir, khususnya AS, untuk mengokohkan imperialismenya, terutama atas negeri-negeri Islam. Organisasi-organisasi ini terbukti telah menjadi sarana yang efektif bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Atas dasar ini, bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut telah membuka jalan dan kesempatan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Tindakan semacam ini adalah haram. Allah Swt. berfirman:


Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141).


Jelaslah, ditinjau dari sisi mana pun, keberadaan PBB adalah haram, dan bergabung dengan organisasi tersebut juga haram. Adalah kemunkaran yang amat besar jika para penguasa kaum Muslim bergabung dan berhukum pada PBB.


Organisasi inilah yang telah menimpakan berbagai musibah dan bencana tanpa henti-hentinya atas kaum Muslim. Hancurnya Khilafah Islam; terpecah-belahnya negeri-negeri Islam, munculnya krisis Palestina, Somalia, Bosnia, Perang Teluk; dan sederetan bencana lainnya tiada lain merupakan “buah karya” organisasi ini. Sejak berdirinya, PBB telah berperan “menyelesaikan” tidak kurang dari 150 pertikaian regional maupun internasional, dan untuk itu lebih dari 20 juta nyawa telah melayang. Inilah antara lain “prestasi” PBB.


Dengan melihat semua itu, bagi negeri-negeri Muslim, hanya ada satu tindakan yang dibenarkan syariat terhadap PBB, yaitu keluar dari organisasi ini dan membubarkannya. Satu-satunya wadah yang wajib dijadikan kaum Muslim untuk mengikat dan mempersatukan negeri-negeri mereka adalah Negara Khilafah; bukan organisasi seperti PBB dan yang serupa. Persatuan negeri-negeri Muslim dalam wadah Negara Khilafah inilah yang dapat membebaskan mereka dari berbagai krisis yang menimpa mereka.


M. Anwar Iman, aktivis Hizbut Tahrir, tinggal di Bogor.


Catatan Kaki:

1 W. Surya Endra, Kamus Politik, Study Group, Surabaya, 1979, hlm. 169.

2 Paul Kennedy, The Rise and Fall of Great Power: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, New York: Random House, 1987, hlm. 355.

3 Ibid, hlm. 368, 363.

4 Ibid, hlm. 369.

5 Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Al-Izzah, Bangil, 2001, hlm. 53.

6 Ibid, hlm. 56.

7 Hizb at-Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, 1969, Cet. ke-3, hlm. .

8 Frans E. Likadja dan Daniel frans Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 147.

9 Abdur-Razzaq Lubis et al, Jerat Utang IMF, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 159.

10 Ibid, hlm. 159.

11 Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta, 1999, hlm. 97.

12 Global, Jurnal Politik Internasional 2, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 33.


Sumber tulisan: https://www.angelfire.com/journal2/alhidayah/Artikel/PBB_kendaraan_politik_AS.htm

Sunday, February 5, 2023

Benarkah Khilafah Bukan Satu-satunya Sistem Pemerintahan Dalam Islam?

 Benarkah Khilafah Bukan Satu-satunya Sistem Pemerintahan Dalam Islam? 


Soal:


Benarkah khilafah bukan satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam? Jika benar, apa dasarnya? Apakah, penerapan sistem Monarchi, Republik dan sejenisnya pasca runtuhnya Khilafah Islam bisa dijadikan sebagai dalil, bahwa di dalam Islam, ada sistem lain?


Jawab:


Untuk menilai, apakah Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam atau tidak: Pertama, harus merujuk pada nas syariah; al-Quran dan as-Sunnah serta dalil syariah yang lain, khususnya Ijmak Sahabat. Mengapa? Karena hanya al-Quran dan as-Sunnahlah yang menjadi representasi Islam. Adapun Ijmak Sahabat, karena merupakan kesepakatan Sahabat, bisa menyibak adanya dalil dari wahyu yang menyatakan apa yang mereka sepakati itu.


Kedua, memeriksa dan memastikan apakah ada di dalam nas-nas syariah tersebut sistem pemerintahan lain selain Khilafah, yang dinyatakan sebagai sistem Islam? Jika tidak ada, apakah sistem lain selain Khilafah itu bertentangan atau tidak dengan sistem Khilafah?


Dalam nas-nash syariah kita tidak menemukan sistem lain, selain Khilafah. Pemangkunya disebut Khalifah. Allah SWT berfirman:


وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ ٣٠

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, “Sungguh Aku menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Imam al-Qurthubi [w. 671 H] menyatakan:


Ayat ini merupakan asal (dasar) dalam pengangkatan Imam dan Khalifah yang wajib didengarkan dan ditaati titahnya. Dengan itu suara kaum Muslim menyatu. Dengan itu pula hukum-hukum tentang Khalifah bisa diterapkan. Tidak ada perbedaan di antara umat dan para imam mazhab mengenai kewajiban tersebut, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-‘Asham, yang memang tuli tentang syariah.


Dalam konteks Nabi Muhammad saw., Allah SWT berfirman:


وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩

Hendaklah kamu [Muhammad] menerapkan hukum di antara mereka mengikuti apa yang Allah turunkan dan janganlah Engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap  tipudaya mereka yang bisa memalingkan kamu dari sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).

Ayat ini jelas berisi perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. agar beliau memerintah umat manusia berdasarkan wahyu-Nya, sekaligus larangan untuk mengikuti hawa nafsu mereka karena bisa memalingkan dan meninggalkan sebagian ataupun keseluruhan wahyu yang telah Allah turunkan.


Dalam melaksanakan titah-Nya, Nabi saw. kemudian mendirikan negara di Madinah. Nabi sendiri yang menjadi kepala negaranya, Abu Bakar dan ‘Umar ra. sebagai wazir (pembantu)-nya. Negaranya disebut Daulah Nubuwwah karena yang memimpin adalah Nabi. Nabi saw. bersabda:


تَكُوْنُ النُّبُوَّة فِيْكُمْ مَا شَاءَ الله أَنْ تَكُوْنَ، ثمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

Ada era Kenabian  di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia tetap ada. Kemudian Dia akan mencabutnya jika Dia berkehandak untuk mencabutnya (HR Ahmad).

Mengenai Abu Bakar dan ‘Umar ra. jelas dinyatakan oleh Nabi saw.:


وَأَمَّا وَزِيْرَايَّ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

Dua pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar (HR at-Tirmidzi). 1

Nabi saw. tidak hanya menunjuk Abu Bakar dan ‘Umar sebagai pembantu, tetapi juga para sahabat yang lain. Ada yang menjadi anggota Majelis Syura, Wali, Qadhi, Panglima Perang, Penulis Wahyu, Pemungut Zakat, dan sebagainya. Nabi saw. telah memerintah Daulah Nubuwwah ini selama 10 tahun di Madinah. Islam pun tegak sebagai peradaban dan sistem kehidupan secara kaffah. Menebar rahmat ke seluruh penjuru dunia. Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuannya, dalam sepuluh tahun, Nabi saw. telah berperang 28 kali, yang langsung beliau pimpin sendiri.2 Ditambah 70 kali pengiriman detasemen militer semasa hidup beliau, yang dipimpin oleh para Sahabat. Persia dan Romawi pun tidak berkutik. Seluruh Jazirah Arab tunduk di bawah kekuasaan Islam. Wilayahnya ketika itu meliputi Saudi Arabiyah, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan Yaman.


Sebelum wafat, Nabi saw. bersabda:


كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَاِئيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِي خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خَلَفَاءُ فَتَكْثِرُ

Dulu Bani Israil telah diperintah oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Nabi saw. dengan jelas tidak menyebut penggantinya dengan sebutan yang lain, selain Khalifah, bentuk jamaknya, Khulafa’. Institusi yang menggantikan Daulah Nubuwwah ini disebut oleh Nabi saw. sendiri dengan istilah, Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.


Tidak hanya menyebut pemangku dan institusinya. Nabi saw. pun berpesan untuk memegang teguh “tuntunan” tersebut dan tidak melepaskannya. Beliau bersabda:


عَلَيْكُمْ بِسُنَّتي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهْدِيِّين مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Kalian wajib menggenggam Sunnahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah ia (Sunnahku dan Sunnah mereka) dengan gigi geraham (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Karena itu, begitu Nabi saw. wafat, para Sahabat sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Mengangkat khalifah sebagai pengganti Nabi saw. (sebagai kepala negara, red.). Karena itu mereka mengadakan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Akhirnya, disepakatilah, Abu Bakar as-Shiddiq ra. sebagai khalifah. Beliau menggantikan Nabi saw. dalam mengurus urusan agama dan dunia.3


Sejak Abu Bakar memerintah, kemudian ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan al-Hasan ra. mereka disebut Khulafa’ Rasyidun. Institusinya disebut Khilafah Rasyidah. Istilah Khilafah terus digunakan meski kadang mengalami kesalahan dalam penerapannya. Sebut saja Khilafah Umawiyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Dasarnya adalah hadits Muslim di atas.4 Meski ada juga yang mensyaratkan, harus dari kalangan Quraisy, baru layak disebut Khalifah, dan Khilafah.


Karena itu, baik Imam an-Nawawi maupun Ibn Khaldun, sepakat bahwa Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin, atau Imamah dan Khilafah, adalah sinonim; kata yang berbeda dengan konotasi yang sama.5


Dari semua nas syariah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, maupun dalil syariah, yaitu Ijmak Sahabat, juga penjelasan para ulama mu’tabar, jelas bahwa tidak ada sistem pemerintahan lain di dalam Islam, kecuali Khilafah.


Dalam praktiknya memang ada penyimpangan. Pada era Khilafah Umawiyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyah, misalnya, suksesi kepemimpinan dilakukan dengan sistem waris, sebagaimana yang dipraktikkan dalam sistem Monarchi. Ini merupakan kesalahan dalam menerapkan sistem Khilafah. Bukan berarti tidak lagi menggunakan sistem Khilafah.


Adapun penerapan sistem Monarchi, Republik, Demokrasi dan sebagainya, pasca runtuhnya Khilafah, hingga saat ini baru terjadi setelah era penjajahan negara-negara Barat di negeri kaum Muslim. Itu pun setelah mendapatkan justifikasi dan legalisasi dari para intelektual yang telah mengenyam pendidikan Barat. Mereka menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Monarchi, Republik, Demokrasi.


Padahal faktanya tidak demikian. Faktanya, Monarchi, Republik dan Demokrasi tidak bersumber dari Islam, bahkan bertentangan dengan Islam. Karena itu tidak ada satu nas dan dalil syariah pun yang bisa digunakan untuk membuktikan keberadaan sistem tersebut di dalam Islam.


WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki:


1        Al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadhi fi Syarh Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., Juz X/113.


2        Az-Za’im ar-Rukn Syit Mahmud Khatthab, ar-Rasul al-Qaid, Mansyurat Dar Maktabah al-Hayat, Beirut, Cetakan II, t.t., hal. 286-292.


3        Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz IV/664; Al-Imam al-‘Allamah al-Hafidz as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Cetakan I, 1408 H/1988 M,  hal. 52-53; as-Shun’ani, Subul as-Salam, Juz II/111.


4        ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imamah al-‘Udhma ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, Mu’assah Thabah li al-I’lam, Mesir, Cetakan III, 1434  H/2013 M,  hal. 40-41.


5        ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imamah al-‘Udhma ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, Mu’assah Thabah li al-I’lam, Mesir, Cetakan III, 1434  H/2013 M,  hal. 32; Imam an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin, Juz X/49; Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 190.


#minang #minangtaatsyariah #minangbertauhid #bukittinggibertauhid #kotapadang #padang #sumbar #sumaterabarat #solok #kotasolok #solokselatan #padangpanjang #bukittinggi #pariaman #kotapariaman #payakumbuh #maninjau #agam #sawahlunto #dharmasraya #batusangkar #lubukbasung #lubukalung #minangkabau #Lenteraminang #Lenteraminang #adatbasandisyaraksyarakbasandikitabullah #katamutiara #muhammadsaw #islam #hijrah # #syarakid

Friday, February 3, 2023

ASAL NAMA KERAN AIR : AL HANAFIYAH

 ASAL NAMA KERAN AIR : AL HANAFIYAH


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 


Dalam bahasa arab keran air disebut dengan istilah Hanafiyah. Namanya sama dengan sebutan salah satu dari empat madzhab fiqih ahlusunnah wal jama'ah, yakni madzhab Hanafiyah.


Apakah ada hubungannya ? Iya ternyata ada hubungan antara madzhab Hanafi dengan sebab penamaan keran air dengan nama al Hanafiyah ini.


Di masa lalu, termasuk di negeri Mesir, sarana berwudhu di masjid-masjid adalah menggunakan sumur atau juga kolam buatan. Di mana jama'ah yang bersuci menggunakan gayung untuk menciduk air atau bahkan langsung memasukkan anggota tubuh yang dibasuhnya ke dalam kolam buatan tersebut.


Karena cara bersuci yang demikian, di mana banyak orang yang mengambil air dengan kedua telapak tangannya serta mencelupkan langsung kakinya saat membasuh kaki, sehingga air bekas bersuci itu otomatis kembali ke dalam kolam.


Akhirnya timbul bencana kesehatan di beberapa daerah, di mana orang berpenyakit menular juga berwudhu di tempat sama, sehingga menularkan berbagai penyakit. Air menjadi tercemar. 


Akhirnya beberapa masjid berinisiatif membuat aliran air lewat pipa dan memberikan keran sebagai sarana berwudhu. Yang paling terkenal adalah masjid yang dibangun Ali Pasha pada tahun  1448 M yang banyak disebut sebagai sebab munculnya kontroversi penggunaan keran untuk berwudhu.


Kala itu mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah tegas menyatakan bahwa penggunaan keran untuk berwudhu adalah bentuk dari perbuatan bid'ah yang tercela. Sebab dipandang sebagai perbuatan muhdats (baru) yang masuk dalam ibadah ritual, yakni berwudhu.


Satu-satunya madzhab yang bersuara menyatakan bahwa keran air bukan perkara bid'ah pada saat itu adalah ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah. Karena itulah kemudian uniknya, keran air dalam bahasa arab ikut disebut dengan nama madzhab ini : Hanafiyah.


Setelah berlalu sekian waktu, madzhab lain akhirnya bisa menerima kehadiran "Hanafiyah" untuk di jadikan sarana berwudhu. Tak terkecuali masjid- masjid di Indonesia yang masyarakatnya bermadzhab Syafi'iyah.


Dahulu di era tahun 80 an masih banyak kita jumpai masjid dengan kolam wudhunya (jeding). Tapi sekarang, nyaris sudah tidak ada. Semua masjid telah menggunakan keran air. Kalau toh masih ada masjid dengan kolam di halamannya, biasanya itu hanya untuk memperindah taman  dan halaman masjid saja, tidak difungsikan sebagai sarana untuk bersuci.


Dari sini kita belajar bahwa fatwa dan hukum itu bisa mengalami pergeseran. Boleh jadi di suatu masa sesuatu itu nyaris dihukumi bid'ah, tapi begitu di masa berikutnya bisa jadi para ulama akan menganggap itu sebagai perkara yang mubah saja. 


Dan kasus-kasus serupa banyak kita jumpai juga di zaman kita ini. Contohnya, pada awal mula maraknya penggunaan alat rekam video dan foto, nyaris ulama-ulama di negara tertentu seperti yang ada di Arab Saudi mengharamkannya, karena dianggap hukumnya sama dengan melukis makhluk hidup yang ada larangannya dalam agama.


Begitu ada ulama seperti syaikh Yusuf al Qaradhawi menfatwakan bahwa foto hukumnya boleh dan tidak sama dengan hukum menggambar, banyak pihak terutama para bocil yang membully dan menuduh beliau dengan tuduhan sesat.


Namun dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang tadinya mengharamkan, sudah mulai bisa menerima fatwa kebolehan media rekaman visual. 


Ada yang masih membolehkan video tapi tidak membolehkan foto, ada yang membolehkan foto tapi seperlunya. Meski tetap ada saja yang keukeuh dengan fatwa lamanya. Pokoknya haram. Ketika mereka yang mengharamkan ternyata punya jejak digital video dan foto, katanya itu karena darurat....


Ya nggak masalah. Paling tidak suara sudah tidak bulat lagi dalam mengharamkan dan menuduh yang membolehkan potografi dengan vonis bid'ah dan sesat. 


Saya dulu tahun 90 an punya teman yang paling keras mengharamkan foto. Saya ingat betul, dia pernah marah dan sesudahnya saya tidak ditegur sampai sekian lama, sebabnya karena masuk ke majelisnya dan saat itu saya menenteng kamera.


Sampai era instagram dan facebook masuk, eh ternyata keadaan sudah berubah. Malah dia keranjingan posting foto selfi dan upload video pendek aktivitas sehari-harinya.


Saya pun bisa tersenyum, meski sempat bingung, mau mengucap apa setelahnya : Alhamdulillah atau innalillah ?