Thursday, February 23, 2023

NU BENCI KHILAFAH BUTA SEJARAH

 NU BENCI KHILAFAH BUTA SEJARAH


Ruangan ini merupakan tempat yg biasanya digunakan untuk meyambut dan menjamu tamu penting di ponpes Tebuireng, Jombang, Jatim yg didirkan Kh. Hasym Asy'ari 


Ruangan ini sangat bersejarah. Salah satu tempat penting Kh. Hasym Asy'ari melahirkan gagasan pendirian NU pada 1926 lalu. 


Di sini susananya tenang. Jauh dari hiruk-pikuk aktivitas politik praktis sebagaimana yg ditampilkan oleh oknum PBNU dan PCNU di wilayah lain. 


Dari sini saya dapat banyak cerita orisinil tentang sejarah pendirian NU di masa lalu. 


Pendirian NU, tidak terlepas dari pembentukan Komite Hijaz di tahun yg sama. Sementara pendirian Komite Hijaz tidak terlepas dari upaya Kh. Hasym Ashari dan muridnya Kh. Wahab Chasbullah (kelompok Islam tradisionil) mendukung upaya HOS Tjokroaminoto dan Kh. Mas Mansur merespon kejatuhan Khilafah Utsmaniyyah di Turki. 


Dalam setiap pembabakan Sejarah Indonesia, didapati Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan yg kuat. Mulai dari era Hindu-Budha, invasi Barat, masa Hindia-Belanda, perjuangan kemerdekaan, pergulatan politik di BPUPKI dan PPKI hingga pra kemerdekaan. 


Sejak awal kemunculannya di nusantara, Masyarakat muslim tidak hanya berminat dalam memperbincangkannya saja. Melainkan juga merasa berkewajiban mendakwahkan dan menerapkannya. 


Oleh sebab itu ketika kejatuhannya di tahun 1924, umat Islam tanah air turut menunjukan perhatiannya. 


Salah satu wujud perhatian itu adalah lewat digelarnya permusyawaratan, bernama Kongres Umat Islam yang muncul dengan penggagasnya H.O.S Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Agus Salim. 


Kongres Umat Islam menghimpun para ulama di Nusantara untuk menemukan solusi keumatan terbaik. Terhitung dalam kurun waktu antara 1921 hingga 1941, kongres tahunan Umat Islam telah dilakukan sebanyak 12 kali di berbagai tempat dari Cirebon, Garut, Surabaya hingga puncaknya di Yogyakarta pada November 1945. 


Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menulis, tujuan diadakannya Kongres ini adalah untuk menyikapi kondisi umat Islam di dunia pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyah di Turki sekaligus menyikap situasi dalam negeri Indonesia yang pada masa itu banyak terjadi pelecehan terhadap Islam dan pemeluknya, terutama dari kelompok sekuler dan zending. 


Sementara itu buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat bahwa tujuan diadakannya Kongres Umat Islam adalah untuk menggalang persatuan umat, mengurangi perselisihan furu’iyyah dengan semangat pan Islamisme yg digagas oleh Sultan Abdul Hamid II. 


Tujaun paling pentingnya adalah mendorong persatuan kaum muslimin tanah air untuk saling bekerjasama  mengembalikan kekuasaan khilafah global yang selama ratusan tahun menjadi sandaran kekuatan umat Islam tanah air dari rongrongan invasi dan kekejaman Barat. 


Menyambut gagasan Tjokroaminoto, pendiri Muhammadiyah, Kh. Ahmad Dahlan hadir dalam Kongres Umat Islam pertama di Cirebon pada 1921. Kongres ini kemudian dilanjutkan di Garut pada tahun 1922 di bawah pimpinan Agus Salim dan Pengurus Besar Muhammadiyah. 


Puncak kongres umat Islam tanah air terjadi ketika para Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir menggelar Kongres Muktamar Dunia untuk merespon kejatuhan Khilafah Ustmani pada 3 Maret 1924. 


Menanggapi undangan Al-Azhar, umat muslim kembali menggelar Kongres Al Islam luar biasa di Surabaya pada 24-26 desember 1924. Dihadiri oleh 1000 kaum muslimin, Kongres Umat Islam ini melahirkan berdirinya Centraal Comite Chilafat (CCC) yang digagas sebagai delegasi umat Islam Indonesia. 


Centraal Comite Chilafat atau CCC sendiri adalah komite yang beranggotakan puluhan muslim dari berbagai latar belakang. Di dalamnya ada Tjokroaminoto dari Central Sarekat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, Haji Fachrodin dari PP Muhammadiyah, dan Suryopranoto dari PSI. Meskipun pada akhirnya Muktamar Khalifah di Kairo batal digelar. 


Tak mau ketinggalan, dalam Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta, tokoh Islam tradisional, Kiai Wahab Chasbullah, murid Kh. Hasym Asy'ari turut ambil bagian merespon penaklukan itu dengan mengusulkan delegasi CCC di kemudian hari mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. 


Dari CCC inilah, oleh kelompok muslim tradisional membentuk satu utusan baru bernama Komite Hidjaz. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat Komite Hidjaz dengan tokoh utama Kh. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kh. Wahab Chasbullah, Kh.i Bisri dari Denanyar, dll. 


Lewat komite hidjaz dengan organisasi induk Nahdatul Ulama, Kh. Hasym Asy'ari, Wahab Cahsbullah dan tokoh Islam tradisionil lainnya turut menggalang persatuan kaum muslimin tanah air  bekerjasama menyelesaikan masalah khilafah yang saat itu menjadi problem bagi dunia Islam. 


Jika HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan (kelompok Islam Modern) orientasi perjuangannya lebih ke arah politik kepemimpinan khilafah, maka Kh. Hasym Asy'ari lebih ke  Keputusan untuk mengirimkan delegasi ke saudi dalam rangka memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab.  


Perjuangan dakwah NU masa lalu, erat kaitannya dengan upaya mendukung penegakan khilafah baik secara aksioma maupun dogma. Maka sangat bersifat ahistoris dan aidelogis jika NU dipakai sebagai alat untuk mendukung pemerintahan sekuler melawan, mendiskreditkan, menentang setiap jengkal dakwah untuk mengembalikan penerapan Khilafah. 


Dengan maraknya sikap antipati masyarakat terhadap NU, sudah saatnya PBNU dan PCNU mengembalikan jati diri NU ke jalan yg lurus, sebagaimana yg dicontohkan Kh. Hasym Asy'ari dan Kh. Wahab Chasbullah !!!

No comments: