Thursday, July 30, 2020

Nabi palsu sejak Zaman Rosulullah

Berikut ini nabi palsu yang sudah ada bahkan sejak zaman Rasulullah Muhammad ﷺ

1. Abhalah bin Ka’ab bin Ghauts Al Kadzdzab alias Al Aswadi Al Ansi.
2. Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal.
3. Musailamah bin Tsumamah bin Habib Al Kadzdzab
4. Sajah binti Al Harits bin Suwaid.
5. Mukhtar bin Abi Ubaid.
6. Mirza Ali Mohammad.
7. Mirza Husein Ali.
8. Mirza Ghulam Ahmad.
9. Rashad Khalifa.
10. Asy Syaikhah Manal Wahid Manna.

Dan masih banyak lagi lainnya. Wal iyadhu biLlah...
.

Wednesday, July 15, 2020

Isabella sang pembunuh massal

ISABELLA SANG PEMBUNUH MASAL

Tahukah Anda bahwa “Jagal Wanita yang ada pada lukisan”

Dialah orang yang membongkar kuburan Kaum Muslimin kemudian dia gambar salib pada bagian dada dan wajah jenazah kuburan tersebut setelah jatuhnya kota Granada.

⁦Dia juga yang mendirikan inkuisisi Spanyol dan ia memaksa kaum Muslimin untuk memeluk Kristen atau dibunuh (jika menolak)
Dialah Isabella : Ratu Kastila.
.
Anehnya Eropa mau memproduksi dan menggambarkan bahwa dia adalah seorang Ratu Adil dan mencintai masyarakatnya (tanpa membedakan ras).
.
Lebih parahnya lagi film ini disiarkan juga oleh chanel Muslim 
ﻫﻞ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻥ “ ﺍﻟﺴﻔﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺑﺎﻟﺼﻮﺭﺓ ”
ﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻨﺒﺶ ﻗﺒﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﺗﺮﺳﻢ ﺍﻟﺼﻠﻴﺐ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻭﺭﻫﻢ ﻭﻭﺟﻮﻫﻬﻢ ﺑﻌﺪ ﺳﻘﻮﻁ ﻏﺮﻧﺎﻃﺔ؟
ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻣﺮﺕ ﺑﺈﻧﺸﺎﺀ ﻣﺤﺎﻛﻢ ﺍﻟﺘﻔﺘﻴﺶ ﺍﻹﺳﺒﺎﻧﻴﺔ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺗﺠﺒﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﻧﺪﻟﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻋﺘﻨﺎﻕ ﺍﻟﻤﺴﻴﺤﻴﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻘﺘﻞ .
‏( ﺇﻳﺰﺍﺑﻴﻼ : ﻣﻠﻜﺔ ﻗﺸﺘﺎﻟﺔ )
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻌﺠﻴﺐ ﺃﻥ ﺍﻷﻭﺭﻭﺑﻴﻴﻦ ﻗﺎﻣﻮﺍ ﺑﺈﻧﺘﺎﺝ ﻓﻴﻠﻢ ﻳﻈﻬﺮﻫﺎ ﺑﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﻌﺎﺩﻟﺔ ﻭﺍﻟﺘﻲ ﺗﺤﺐ ﺷﻌﺒﻬﺎ ﻭﺗﺒﺜﻪ ﻗﻨﻮﺍﺕ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
Via Fb Tegar Alfianto
.
April Mop, Fakta Sejarah Kekejaman Tentara Salib Membantai Ribuan Muslim Spanyol.
Ilustrasi Pembantain Muslim Spanyol oleh Tentara Salib.
.
Islamedia – April Mop merupakan budaya Barat yang dikenal dengan The April’s Fool Day. Pada 1 April itu, orang boleh dan sah-sah saja menipu teman, orang tua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, maka dirinya juga akan tertawa atau minimal mengumpat sebal, tentu saja bukan marah sungguhan, dengan mengatakan, “April Mop!”.
.
Namun banyak umat Islam yang ikut-ikutan merayakan April Mop ini tidak mengetahui, bahwa April Mop, atau The April’s Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.
.
Saat itu terjadi pembantaian ribuan umat Islam di Granada Spanyol di depan pelabuhan. Dengan tipuan akan diberangkatkan ke keluar Andalusia dengan kapal-kapal yang disediakan oleh Ratu Isabella, Muslim Andalusia malah dikonsentrasikan dan dengan mudah dibantai habis dalam waktu sangat singkat oleh ratusan pasukan salib yang mengelilingi dari segala penjuru.
.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara salib segera membantai umat Islam Spanyol tanpa rasa belas kasihan. Mereka kebanyakan terdiri atas para perempuan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Jerit tangis dan takbir membahana. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
.
Bagi umat kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.
.
Itulah akhir dari kejayaan Islam di Andalusia. Sebuah peradaban Islam yang dimulai dari perjuangan Tariq Bin Ziyad pada tahun 711 M dan berakhir pada 1487 M. Selama tujuh abad lebih peradaban ini telah menyumbangkan kepada dunia, kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan Ilmu Pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad.
.
Namun ada sebuah kisah yang sangat memilukan. Pada 2 Januari 1492, kardinal Devider memasang salib di atas Istana Hamra; istana kerajaan Nashiriyah di Spanyol. Tujuannya sebagai bentuk proklamasi atas berakhirnya pemerintahan Islam di Spanyol.
Kaum Muslimin dilarang menganut Islam, dan dipaksa untuk murtad. Begitu juga mereka tidak boleh menggunakan bahasa Arab, siapa yang menentang perintah itu akan dibakar hidup hidup setelah disiksa dengan berbagai cara. Gereja di masa pemerintahan monarki Raja Ferdianand dan Isabella membuat Dewan Mahkamah Luar Biasa atau yang dikenal dengan Lembaga Inkuisi sebuah lembaga peradilan yang bertugas untuk menghabisi siapa saja orang-orang di luar Katholik. Lembaga ini kemudian bermetamorfosa menjadi Opus Dei.
.
Empat abad setelah jatuhnya Islam di Spanyol, Napoleon Bonaparte pada 1808 mengeluarkan instruksi untuk menghapuskan Dewan Mahkamah Luar Biasa tersebut. Dan di sinilah kisah ini berawal. Ditulis oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya At Ta’asub Wat Tasamuh (hal 311-318).

Tentara Prancis menemukan tempat sidang Dewan Mahkamah Luar Biasa itu di sebuah ruang rahasia di dalam gereja. Di sana ada alat alat penyiksaan seperti alat pematah tulang dan alat pengoyak badan. Alat ini untuk membelah tubuh manusia. Ditemukan pula satu peti sebesar kepala manusia. Di situlah diletakkan kepala orang yang hendak disiksa. Satu lagi alat penyiksaan ialah satu kotak yang dipasang mata pisau yang tajam. Mereka campakkan orang orang muda ke dalam kotak ini, bila dihempaskan pintu maka terkoyaklah badan yang disiksa tersebut.
.
Di samping itu ada mata kail yang menusuk lidah dan tersentak keluar, dan ada pula yang disangkutkan ke payudara wanita, lalu ditarik dengan kuat sehingga payudara tersebut terkoyak dan putus karena tajamnya benda benda tersebut. Nasib wanita dalam siksaan ini sama saja dengan nasib laki laki, mereka ditelanjangi dan tak terhindar dari siksaan.

Inilah jawaban untuk kita, mengapa saat ini, kita tidak menemukan bekas-bekas peradaban Islam yang masih hidup di Spanyol. Seolah-olah tersapu bersih, sebersih-bersihnya. Inilah balasan Barat terhadap Muslim.

Kajian Hj. Irena Handono
islamedia.id – Jumat, 1 April 2016
(nahimunkar.org)

Semoga bermanfaat,
Baca, Pahami, Renungkan, Pikirkan, Putuskan.

Tuesday, July 14, 2020

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYYUDDIN AL-NABHANI

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYYUDDIN AL-NABHANI

Oleh: Ustadz Yuana Ryan Tresna

Muara dalam ilmu hadits adalah terkait penerimaan dan penolakan sebuah hadits. Saat mengkaji kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, barangkali muncul pertanyaan, bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits? Berikut uraiannya:

Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.

يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329)

“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332)

“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(

“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).

الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339)

“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342)

“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)

Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345)

“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347)

“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350)

“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

*Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan*

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,

ولا يحتج بالضعيف مطلقاً

Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,

ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.

Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,

فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً

Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء

dengan kesimpulan,

والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد

Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,

وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به

Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن

Perhatikan ungkapan berikut,

كان يتقوى بمتابع أو شاهد

Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.

Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan selama kedha'ifannya tidak parah.

Bandung, 8 Oktober 2018

===
> https://t.me/yuanaryantresna/
> https://www.fb.com/yuanaryantID/
> https://www.instagram.com/yuanaryantresna/

Monday, July 6, 2020

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Pengantar

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.

Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.

Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.

Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).

Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.

Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Adakah Filsafat dalam Islam?

Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),  penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.

Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.

Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).

Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).

Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.

Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.

Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.

Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).

Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.

Seiring dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.

Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a'lam

Sumber: 
https://telegra.ph/PENGARUH-FILSAFAT-TERHADAP-KEMUNDURAN-ISLAM-04-13

. . . 
Pendapat Profesor Fahmi Amhar terkait Kerancuan Sejarah Filsafat
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210427854185086&id=1005666222

Saturday, May 16, 2020

Jeritan Petani di Tengah Pandemi

#OpiniKu
Jeritan Petani di Tengah Pandemi

Melanjutkan pembahasan sebelumnya terkait derita yang melanda petani saat ini. Saat seharusnya mereka bersuka cita mendapatkan hasil  melimpah buah jerih payahnya. Namun, ternyata itu semua hanya mimpi bagi petani. Sungguh menyedihkan sekali, apalagi saat pandemi saat ini. 

Jika negara yang seharusnya diharapkan hadir saat kondisi seperti ini, namun lagi-lagi "bagai berdiang di abu dingin". Wajarlah demikian, selama kapitalisme yang berkuasa, maka selama itu pula, kekayaan hanya akan dimiliki oleh segelintir orang. Siapa lagi kalau bukan kapitalis (pemilik modal). 

Maka, sudah saatnya para petani berpikir untuk keluar dari jeratan kapitalisme yang akan terus memiskinkannya secara terstruktur. Saatnya kembali kepada solusi yang bersumber dari aqidah Islam yakni kembali pada sistem Islam yang bersumber dari Zat yang mencipta segala makhluk.

Dalam Islam, negara memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur berbagai kebijakan dalam seluruh aspek kehidupan dengan sistem politik yang diatur oleh negara. 

Dalam bidang pertanian, pemerintah membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Mekanisme pasar yang berjalan normal, perekonomian akan berjalan dengan sebaik-baiknya. Begitu terjadi gangguan dalam mekanisme pasar, perekonomian akan goncang dan distribusi kekayaan akan tersumbat. Maka, adalah sebuah kewajiban jika secara preventif negara menjaga agar mekanisme pasar dapat berjalan. Negara juga akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridlaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga baik harga maksimum maupun harga dasar. Terdapat riwayat tentang hal ini.
“Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus Sunan).

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dibandingkan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridlaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak kezaliman.

Meskipun demikian pemerintah diperbolehkan bertindak secara langsung untuk menjual maupun membeli barang-barang kebutuhan masyarakat jika itu dilakukan untuk menjamin agar “mekanisme harga” yang berlaku menghasilkan harga keseimbangan yang wajar. Artinya pemerintah boleh melakukan intervensi secara tidak langsung dengan jalan bertindak sebagai pelaku pasar (pembeli maupun penjual). Namun negara tidak boleh melakukan penetapan harga, baik harga dasar maupun harga maksimum. 

Pemerintah juga harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual maupun yang dilakukan oleh pembeli. Penipuan dilakukan oleh penjual dengan jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembeli. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda :
“Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)

Allahu a'lam bishowwab

Friday, May 15, 2020

Kisah Ummu Syarik (Syuraik) Episode 01

_*Kisah Ummu Syarik (Syuraik) Episode 01*_

_Ummu Syarik bernama asli Ghaziyah binti Jabir bin Hakim. Ia adalah wanita dari Quraisy yang berasal dari Bani Amir bin Lu’ai. Sejarah mencatat, sang mujahidah pernah menjadi istri Abu al-Akr ad-Dausi, Ummu Syarik bersama suaminya tinggal di Tihamah._

_Penduduk Tihamah kala itu menyembah & mempersembahkan kurban kepada berhala yang bernama Hasyara. Hingga suatu hari suaminya mengajak membawa kurban kepada berhala Hasyara, Namun Ummu Syarik terlihat ada keraguan mengenai adat istiadat yang menurutnya tidak sesuai dengan realita & panggilan hatinya, Namun akhirnya Ummu Syarik akhirnya menuruti keinginan suaminya. Hingga akhirnya cahaya Islam terdengar sampai Tihamah._

_*Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muru’ah yang diperhitungkan orang banyak. Di bumi Daus ia dibesarkan dalam keluarga yang mulia dan terhormat. Ia dikaruniai bakat sebagai penyair, hingga nama dan kemahirannya termahsyur di kalangan banyak suku.*_

_*Ditambah lagi dia adalah sosok yang beradab, cerdas dan pintar. Ia adalah seorang penyair yang memiliki perasaan yang peka dan lembut. Dia amat mengerti dengan manis dan pahitnya pembicaraan sehingga kalimat yang diucapkannya mengandung bobot magis bagi yang mendengarnya.*_

_*Kaumnya mengadukan tentang Rasulullah SAW di Mekkah, Yang mereka anggap bisa menyihir siapapun yang bertemu dengan Nya. Kaumnya mewanti-wanti Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi jika mau ke Mekkah, Ath-Thufail pun berjanji akan menutupi kupingnya dengan kapas agar tak terpengaruh dengan sihir Rasulullah SAW.*_

_*Al Thufail meninggalkan rumah tinggalnya di Tihamah menuju Mekkah. Kala itu pergumulan masih terus berlangsung antara Rasulullah dengan para Quraisy. Masing-masing pihak membutuhkan pendukung dan sahabat.*_

_*Al Thufail mengisahkan: “Aku tiba di Mekkah. Begitu para pemimpin Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan mereka menyambutku dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan diriku dengan begitu terhormat.*_

_*“Lalu para pemimpin dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya Thufail. Engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang disini yang mengaku bahwa ia adalah seorang Nabi yang telah merusak urusan dan mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami. “Kami khawatir ia dapat mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau berbicara dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari pembicaraannya; sebab ia memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang dapat memisahkan seorang anak dari ayahnya, dan seorang saudara dari saudaranya, dan seorang istri dari suaminya.”*_

_*Al Thufail berkata: “Demi Allah, mereka terus saja menceritakan kepadaku tentang keanehan kisah Muhammad. Mereka membuat diriku dan kaumku menjadi takut dengan keajaiban perilaku Muhammad.*_

_*“Sehingga akupun bertekad untuk tidak mendekat kepadanya, dan untuk tidak berbicara atau mendengar apapun darinya. Saat aku datang ke Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil berkah dengan para berhala yang ada di sana sebagaimana kami melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan berhala-berhala tadi, akupun menutup telingaku dengan kapas karena khawatir telingaku mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad.*_

_*“Akan tetapi bagitu aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati Rasulullah SAW sedang berdiri melakukan shalat dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang biasa kami lakukan. Rasulullah SAW melakukan ibadah bukan seperti ibadah yang biasa kami kerjakan. Aku senang melihat pemandangan ini. Aku menjadi tercengang dengan ibadah yang dilakukannya.*_

_*“Aku mulai mendekat kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga aku begitu dekat dengannya.”*_

_*“Kehendak Allah berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya yang hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik.*_

_*“Dan aku berkata dalam diri sendiri: ‘Celaka kamu, wahai Thufail… engkau adalah seorang yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang diucapkan orang ini?’ Jika yang dibawa olehnya adalah kebaikan maka akan aku terima, jika itu adalah keburukan maka akan aku tinggalkan.”*_

_*Al Thufail masih mengisahkan: “Kemudian aku masih terdiam sehingga Rasulullah SAW kembali ke rumahnya. Aku mengikuti Beliau dan begitu ia masuk ke dalam rumahnya, akupun turut masuk. Aku berkata: ‘Ya Muhammad, kaummu telah menceritakanmu kepadaku bahwa kamu begini dan begitu. Demi Allah, mereka terus-menerus membuatku khawatir darimu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengarkan ucapanmu.*_

_*‘Kemudian kehendak Allah berkata lain, sehingga aku mendengar sebagian dari ucapanmu, dan aku mengaggap hal itu adalah baik… maka ceritakanlah urusanmu padaku…!’*_

_*“Beliau menceritakan urusannya kepadaku. Beliau juga membacakan untukku surat Al Ikhlas dan Al Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih baik daripada ucapan Beliau. Dan aku tidak pernah melihat urusan yang lebih lurus daripada urusannya.*_

_*“Pada saat itu, aku bentangkan tanganku kepadanya, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan akupun masuk Islam.”*_

_*Thufail bin Amr beranjak mengikuti Rasulullah SAW pulang kerumah Nya, Setelah bertanya banyak tentang Islam kepada Rasulullah SAW, Sebelum beranjak pulang Thufail bin Amr berkata,*_
_"Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Untuk itu, berdoalah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi bukti bagiku tentang urusan yang kudakwahkan kepada mereka."_ 
_*Rasulullah SAW pun berdoa,*_ 
_"Ya Allah, karuniakanlah suatu tanda baginya.”_

_Maka Thufail pun pulang kepada kaumnya dengan tanda tiba-tiba di kedua matanya ada cahaya seperti lentera._

_Kedatangan Thufail bin Amr di tunggu-tunggu oleh kaumnya, Mereka heran & takjub melihat mata Thufail bin Amr  bercahaya seperti lentera._

_Kemudian Thufail bin Amr pulang kembali di tengah kabilah Daus untuk menyeru mereka kepada Islam, Namun kaumnya justru menghina dan mencacinya, Seraya mengatakan bahwa mata Thufail bin Amr terkena kutukan karena meninggalkan agama nenek moyang mereka._

_*Thufail berdoa,*_ 
_“Ya Allah, janganlah dia ada di wajahku. Aku khawatir kaumku mengira bahwa cahaya tersebut adalah tanda bahwa aku keluar dari agama mereka.”_

_Kemudian cahaya tersebut pindah ke ujung cambuknya dan orang-orang bisa melihat sinar di cambuknya bagaikan lentera._

_Kemudian Thufail bin Amr mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah SWT, Kaumnya menghina & menghardiknya, Lalu Thufail bin Amr naik ke atas gunung & membakar Hasyara (Patung sesembahan kaumnya) dengan cemeti tersebut._

_*Kaum Thufail bin Amr akhirnya bersepakat mencabut mandat kepemimpinannya, Hanya Ummu Syarik yang mendukung Thufail bin Amr.*_

_*Thufail bin Amr senantiasa mengajak kaumnya kepada Islam secara lembut seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah, Namun Kaumnya justru menghina dan mengucilkannya, hingga akhirnya ia tidak bisa lagi menahan kesabaran untuk tetap bersama mereka dan atas perlakuan mereka.*_

_Abul Akr ad-Dausi bercerita kepada istrinya Ummu Syarik mengenai Thufail bin Amr yang akan meninggalkan kaumnya (Hijrah) setelah tidak tahan dengan perlakuan mereka._

_Ummu Syarik yang telah merasakan hidayah dari Allah SWT lewat perantara Thufail bin Amr, membenarkan apa yang telah risalah Rasulullah SAW bawa & mengajak suaminya untuk menerima Islam, berkat kecakapan berbicara Ummu Syarik & Izin dari Allah SWT akhirnya Abul Akr ad-Dausi menyatakan keIslamannya._

_Kemudian Abul Akr ad-Dausi berniat mengikuti Thufail bin Amr berhijrah ke Madinah, Semula Ummu Syarik mau mengikuti perjalanan tersebut, Akan tetapi Suaminya melarangnya karena bahaya yang menghantui perjalanan mereka. Ummu Syarik pun Ikhlas melepas kepergian suaminya & berpesan untuk tidak mengkhawatirkannya._


_*Insya Allah kisah Ummu Syarik akan berlanjut esok hari*_

Ummu Syarik, Kiprah Dakwah Sang Mujahidah

_*Ummu Syarik, Kiprah Dakwah Sang Mujahidah*_

_Ummu Syarik menyebarkan agama Islam di kalangan wanita-wanita Quraisy._
_*Jumat , 12 Jul 2019, 19:00 WIB*_

*Red: Agung Sasongko*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cahaya iman mulai menerangi kalbunya sejak Rasulullah SAW menyampaikan risalah Islam di Makkah. Ia begitu bersimpati terhadap kebenaran ajaran Islam yang disebarkan Nabi Muhammad SAW. Keimanannya yang semakin membaja membuat Ummu Syarik al-Qurasyiyyah membaktikan hidupnya untuk mengibarkan panji-panji Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah

Ummu Syarik bernama asli Ghaziyah binti Jabir bin Hakim. Ia adalah wanita dari Quraisy yang berasal dari Bani Amir bin Lu’ai. Sejarah mencatat, sang mujahidah pernah menjadi istri Abu al-Akr ad-Dausi. Ia berjasa  dalam menyebarkan agama Islam di kalangan wanita-wanita Quraisy.

Secara sembunyi-sembunyi, Ummu Syarik berdakwah dan mengajak wanita-wanita Quraisy. Tanpa kenal lelah, ia berdakwah dan mendorong para wanita Quraisy agar memeluk agama Islam. Padahal, resiko yang akan dihadapinya begitu berat. Namun, dirinya rela mempertaruhkan nyawanya demi dakwah dan kebenaran.

Ancaman siksaan dan intimidasi terhadap keselamatan jiwa dan harta tak membuat  Ummu Syarik mundur dari medan dakwah. Baginya,  iman bukanlah sekedar kalimat yang diucapkan lisan, tetapi  pada hakikatnya iman memiliki konsekuensi, amanah yang mengandung kesabaran.

Kekuatan imannya pun sempat diuji. Allah SWT mengujinya  dengan berbagai fitnah. Gerak dakwah Ummu Syarik akhirnya tercium penduduk Makkah. Ia lalu ditangkap kafir Quraisy. Lalu mereja  berkata, ‘’Kalaulah bukan karena kaummu, kami akan berbuat sesuka hati kepadamu. Akan tetapi kami akan menyerahkan kamu kepada mereka.’’

Ummu Syarik mengisahkan penangkapan yang dilakukan penduduk Makkah atas dirinya. ‘’Maka datanglah keluarga Abu al-Akr yakni keluarga suamiku kepadaku. Kemudian berkata, ‘jangan-jangan engkau telah masuk kepada agamanya (Muhammmad)?. Aku menjawab, ‘Demi Allah aku telah masuk agama Muhammad.”

Mereka lalu  berkata, ‘’Demi Allah kami akan menyiksamu dengan siksaan yang berat.’’ Kemudian mereka membawaku dari rumah kami, kami berada di Dzul Khalashah (terletak di San’a) mereka ingin membawaku kesebuah tempat dengan mengendarai seekor unta yang lemah yakni kendaraan yang paling jelek dan kasar.

Mereka memberiku makan dan madu akan tetapi tidak memberiku setetes airpun. Hingga manakala tengah hari dan matahari telah terasa panas mereka menurunkanku dan memukuliku, kemudian mereka meninggalkanku di tengah teriknya matahari hingga hampir-hampir hilang akalku, pendengaranku dan penglihatanku. Mereka melakukannya selama tiga hari. Tatkala hari ketiga mereka berkata kepadaku, “Tinggalkan agama yang telah kau pegang!’’

Ummu Syarik berkata, ‘’Aku sudah tidak lagi dapat mendengar perkataan mereka kecuali satu kata demi satu kata dan aku hanya memberikan isyarat dengan telunjukku kelangit sebagai isyarat tauhid.’’

Ummu Syarik melanjutkan, ‘’Demi Allah tatkala aku berada dalam keadaan seperti itu ketika sudah berat aku rasakan, tiba-tiba aku mendapatkan dinginnya ember yang berisi air di atas dadaku, maka aku segera mengambilnya dan meminumnya sekali teguk.’’

‘’Kemudian ember tersebut terangkat dan aku melihat ternyata ember tersebut menggantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu mengambilnya. Kemudian ember tersebut menjulur kepadaku untuk kedua kalinya maka aku minum darinya kemudian terangkat lagi.’’

‘’Aku melihat ember tersebut berada di antara langit dan bumi. Kemudian ember tersebut menjulur kepadaku untuk ketiga kalinya,  maka aku minum darinya hingga kenyang dan aku guyurkan ke kepala, wajah dan bajuku.’’

Kemudian mereka keluar dan melihatku seraya berkata, ‘’Dari mana engkau mendapatkan air itu wahai musuh Allah?’’ Ummu Syarik  menjawab, ‘’Sesungguhnya musuh Allah adalah selain diriku yang memusuhi agama-Nya. Adapun pertanyaan kalian dari mana air itu, maka itu adalah dari sisi Allah yang direzekikan kepadaku.’’

Mereka segera pergi menengok ember mereka dan mereka dapatkan bahwa ember tersebut masih tertutup rapat dan belum terbuka. Maka mereka berkata, ‘’Kami bersaksi bahwa Rabb-mu adalah Rabb kami dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rezeki kepadamu di tempat ini setelah kami menyiksamu adalah Dia yang mensyari’atkan Islam.’’

Maka masuk Islamlah mereka dan semuanya berhijrah bersama Rasulullah SAW. Ummu Syarik  telah mengukir sebaik-baik contoh dalam berdakwah ke jalan Allah. Keteguhan  hatinya dalam memperjuangkan iman dan akidahnya di saat menghadapi cobaan layak diteladani.

_*sumber: Nisa' Haula ar-Rasul, karya mahmud al-Istanbuli, Mustafa Abu Nashr Asy-Syibli.*_

_*Kisah Ummu Syarik (Syuraik) Episode 02*_

_*Kisah Ummu Syarik (Syuraik) Episode 02*_

_Para pembesar kabilah Daus begitu juga Ummu Syarik, Mereka berkumpul & bermusyawarah setelah Thufail bin Amr & Abu al-Akr ad-Dausi telah masuk Islam serta bergabung dengan Rasulullah SAW di Mekkah._

_Mereka mempertanyakan sikap Ummu Syarik yang tidak berbuat apa-apa (Menghalangi) suaminya yang hijrah, Ummu Syarik dengan lantang dan tegas berkata, Bahwa suami seorang yang bebas & merdeka. Sehingga suaminya punya hak & kebebasan dengan jalan hidupnya._

_Tentu saja jawaban Ummu Syarik membuat kabilah Daus kecewa sekaligus curiga akan sikap Ummu Syarik._

_Kemudian salah satu kabilah Daus berkata,_
_*“Jangan-jangan engkau telah berada di atas agamanya (Muhammad)”.*_

_Keputusan akhirnya diambil oleh saudara-saudara dari Abu al-Akr ad-Dausi, Bahwa mereka berlepas diri dari Abu al-Akr ad-Dausi, Karena dianggap telah berkhianat & mengingkari agama nenek moyang mereka. Maka harta bendanya menjadi milik saudara-saudaranya, Ummu Syarik protes akan keputusan tersebut. Akan tetapi Ia tak berdaya melawan dari keluarga suaminya._

_*Sementara itu dengan susah payah menempuh perjalanan di malam hari guna menghindari kecurigaan kaum kafir Quraisy yang memusuhi Rasulullah SAW.*_

_Sementara Ummu Syarik secara sembunyi-sembunya dimalam hari keluar dari Tihamah. Beliau berniat menyusul suaminya ke Mekkah, Sementara di Mekkah sendiri suasana belum kondusif dengan Keislaman seseorang. Penduduk Quraisy masih menentang Risalah yang dibawa Rasulullah SAW, Kalaupun ada mereka menyembunyikan keIslamannya demi menjaga keselamatan diri & harta mereka._

_*Sementara di Tihamah terjadi kegemparan, Zunaim saudara Abu al-Akr ad-Dausi marah besar karena Ummu Syarik telah melarikan diri dari Tihamah. Namun beberapa orang lainnya menghibur Zunaim karena Ummu Syarik banyak meninggalkan harta benda, Tanah, hewan peliharaan dan lainnya yang mereka bisa rampas & ambil. Zunaim masih dongkol dengan kepergian Ummu Syarik karena dianggap telah mencoreng kewibawaan k & membawa malu keluarga besar suaminya. Zunaim berniat akan membawa kembali Ummu Syarik dengan bekerjasama dengan kabilah-kabilah di Arab.*_

_Ummu Syarik akhirnya diterima salah satu perempuan penduduk Mekkah yaitu Su'ad dengan diam-diam serta diliputi kewaspadaan tinggi demi keselamatan mereka._

_Ummu Syarik berjasa  dalam menyebarkan agama Islam di kalangan wanita-wanita Quraisy. Secara sembunyi-sembunyi,Ummu Syarik berdakwah dan mengajak wanita-wanita Quraisy.Tanpa kenal lelah, ia berdakwah dan mendorong para wanita Quraisy agar memeluk agama Islam. Padahal, risiko yang akan dihadapinya begitu berat. Namun, dirinya rela mempertaruhkan nyawanya demi dakwah dan kebenaran._

_Ummu Syarik tanpa mengenal curiga menyebarkan agama islam diantara wanita-wanita Quraisy, Tanpa sepengetahuannya ada salah seorang yang membongkar & membocorkan rahasia Ummu Syarik kepada Zunaim (keluarga suaminya) & pembesar kabilah Daus yang lagi mencari-carinya dengan imbalan sejumlah ternak & uang._

_Ummu Syarik yang mengetahui suaminya (Abu al-Akr ad-Dausi) telah berhijrah ke Yatsrib (Madinah) berniat menyusul suaminya pada malam hari untuk menghindari pengintaian dirinya yang lagi di cari-cari kabilah Daus._

_Rahasia perjalanannya sudah diketahui Zunaim & kabilah Daus, Sehingga saat hendak hijrah ke Yatsrib, Ummu Syarik mudah disergap & ditangkap oleh kaumnya sendiri untuk dibawa kembali ke Tihamah menghadapi siksaan yang telah dipersiapkan kaumnya._

_*Insya Allah kisah Ummu Syarik akan berlanjut esok hari*_

*Ummu Syarik Al-Qurasyiyyah Sang Da’iyah; Teladan Dakwah Muslimah

_*Ummu Syarik Al-Qurasyiyyah Sang Da’iyah; Teladan Dakwah Muslimah*_
_Maryam Imran_

Akhwatmuslimah.com – Sangat miris apabila banyak kaum muslim terutama kaum muslimah yang tidak mau terjun dalam mendakwahkan agama Alloh Subhanahu Wa Ta’ala di zaman ini. Alangkah baiknya jika kita merenungi perjalanan wanita mulia satu ini. Seorang wanita yang tetap berani “beramar ma’ruf nahi munkar” walau siksa, ancaman, dan ujian melandanya. Dia adalah Ummu Syarik Al-Qurasyiyyah.

Nama aslinya adalah Ghaziyah binti Jabir bin Hakim. Dia adalah salah seorang wanita Quraisy keturunan Bani ‘Amir bin Lu’ay. Dia adalah istri Abul Akir Ad-Dausi. Islam merasuk ke dalam hati Ummu Syarik saat dia berada di Makkah. Sejak iman telah merasuk ke dalam hatinya dan menyadari akan kewajiban agamanya yang lurus, dia pun mengisi hidupnya untuk menyebarkan dakwah tauhid, meninggikan kalimah Alloh, dan mengangkat panji-panji laa ilaaha illallooh Muhammadur Rasulullooh.

Dia memulai dakwahnya dengan mendatangi para wanita Quraisy secara sembunyi-sembunyi. Dia menyeru dan menganjurkan mereka masuk Islam tanpa pernah mengenal lelah dan bosan, meskipun ia tahu resiko yang akan menimpa diri dan hartanya akibat tindakannya itu. Menurutnya, iman bukanlah hanya sekedar ucapan lisan. Iman adalah sebuah hakikat yang menuntut adanya tanggung jawab, amanat yang harus ditunaikan, dan perjuangan yang membutuhkan kesabaran.

Setelah melakukan dakwah secara bergerilya beberapa lama, Alloh berkehendak menguji dirinya dengan berbagai fitnah. Penduduk Makkah mengetahui kegiatannya dan menangkapnya. Mereka berkata: “Kalau bukan karena kaummu, tentu kami akan berbuat sesuka hati kepadamu. Akan tetapi, kami akan menyerahkan dirimu kepada mereka.”

Ummu Syarik menuturkan sendiri kisahnya: “Keluarga Abu ‘Akr keluarga suamiku datang kepadaku, lalu berkata: ‘Barangkali engkau telah memeluk agamanya (Muhammad).’ Aku menjawab: ‘Demi Alloh, aku memang telah memeluk agamanya.’ Mereka berkata lagi: ‘Tidak diragukan lagi, demi Alloh, kami pasti akan menyiksamu dengan siksaan yang berat.’ Mereka pun membawaku pergi dari tempat tinggalku. Waktu itu kami berada di Dzil Khalashah suatu tempat di Shan’a (ibu kota Yaman).

Mereka membawaku menuju suatu tempat. Mereka menumpangkan aku di atas punggung unta yang lambat jalannya, tanpa alas kaki atau pijakan kaki sama sekali. Mereka memberiku roti dan madu, tapi mereka tidak memberiku air minum walaupun setetes sampai tengah hari dan saat matahari sedang terik-teriknya. Dalam keadaan demikian, mereka singgah di sebuah tenda, sementara aku dibiarkan tetap berada di bawah terik matahari sehingga pikiran, pendengaran, dan penglihatanku seolah-olah telah hilang. Mereka memperlakukan aku seperti ini selama tiga hari. Pada hari ketiga, mereka berkata kepadaku: ‘Tinggalkan agamamu yang baru ini!’ Aku tidak mampu menangkap seluruh perkataan mereka, kecuali beberapa kata saja, dan aku hanya memberi isyarat dengan jariku ke langit sebagai ungkapan tauhid.”

Ummu Syarik melanjutkan kisahnya: “Demi Alloh, dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ada satu timba berisi air sejuk menggelantung di hadapanku. Setelah kuminum airnya satu teguk, timba itu terangkat, sehingga aku pun memperhatikannya. Ketika timba itu tergelantung di antara langit dan bumi, aku pun tidak bisa meraihnya. Timba itu kembali turun untuk kedua kalinya hingga aku bisa meminumnya satu teguk lagi, lalu terangkat lagi dan tergelantung di antara langit dan bumi. Tidak lama kemudian timba itu kembali turun untuk ketiga kalinya. Kali ini aku bisa minum sampai puas dan sisanya aku siramkan ke atas kepalaku, wajahku, dan pakaianku.

Melihat keadaanku, orang-orang yang membawaku bertanya: ‘Dari mana engkau dapatkan air, wahai musuh Alloh?’ Aku menjawab: ‘Sesungguhnya musuh Alloh adalah orang-orang selain aku, yakni mereka yang menyalahi dan memusuhi agama-Nya. Adapun pertanyaan kalian: ‘Dari mana datangnya air’, maka air itu adalah rezeki yang diberikan Alloh kepadaku.’

Mereka pun bersegera memeriksa wadah penyimpanan air mereka, barang kali air itu diambilkan dari sana. Setelah mereka mendapatkan bahwa air mereka tidak kurang sedikit pun, maka mereka berkata: ‘Kami bersaksi bahwa Tuhanmu adalah Tuhan kami juga dan bahwa yang memberimu air di tempat ini setelah kami memperlakukanmu sedemikian rupa adalah Tuhan yang mensyari’atkan Islam.’ Mereka lalu masuk Islam semuanya dan berhijrah ke pangkuan Rasulullah . “
Semoga Alloh mencurahkan rahmat-Nya kepada Ummu Syarik yang telah memberikan keteladanan dalam mendakwahkan agama Alloh, keteguhan hati dalam mempertahankan iman dan aqidah, serta sabar dalam menghadapi segala cobaan karena memegang teguh agama Alloh. Tidak pernah sedikit pun terlintas di hatinya untuk melepaskan aqidahnya agar bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan kematian. Dialah wanita yang karena keteguhan imannya dan kesabarannya menghadapi siksaan, dimuliakan Alloh dengan memberikan petunjuk kepada kaumnya untuk memeluk Islam.

Hal itulah yang seharusnya menjadi orientasi setiap muslim dalam aktivitas jihadnya. RasulullahShollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

_“… Demi Alloh, jika Alloh memberi petunjuk kepada seseorang lantaran dirimu, maka hal itu lebih baik bagimu daripada harta yang berlimpah.” [Muttafaq ‘alaih]_

_*Sumber: Buku “Shahabat wanita utama Rasulullah dan keteladanan mereka” karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli, Musthafa Abun Nashri Asy-Syilbi, fajrifm*_

Kisah ummu syarik eps 3

_*Kisah Ummu Syarik (Syuraik) Episode 03*_

_Ummu Syuraik adalah sosok muslimah yang memegang teguh keimanannya dan termasuk para perempuan yang masuk Islam di masa awal. Beliau ikut mendakwahkan Islam dengan cara sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu kafir Quraisy begitu menentang dakwah Nabi SAW di Mekkah._

_Kemampuannya mengakses jaringan perempuan-perempuan Quraisy dimanfaatkan untuk mendakwahkan agama Islam kepada para perempuan Quraisy supaya mencintai Islam, walaupun sangat berbahaya jika ketahuan oleh kafir Quraisy._

_Dakwah yang dilakukan oleh Ummu Syuraik telah banyak membawa perempuan-perempuan Quraisy masuk Islam. Sesuatu ketika dakwahnya diketahui oleh penduduk Mekkah dan kafir Quraisy, Mereka kemudian menangkapnya. Mereka berkata kepada Ummu Syuraik,_
_*“Andai bukan karena kaummu, tentu kami sudah menghabisimu. Kami akan mengembalikanmu pada kaummu”.*_

_Dalam kitab Nisa’ Haula Rasul, dijelaskan setelah penangkapan tersebut. Datanglah keluarga suaminya, kemudian bertanya kepadanya,_ _*“Jangan-jangan engkau telah masuk kepada agama Muhammad SAW.”*_

_Ummu Syuraik berkata,_ _*“Demi Allah SWT, aku telah masuk agama Muhammad SAW.”*_

_*“Kami akan menyiksamu dengan siksaan yang berat,”*_ _jawab salah satu keluarga._

_Setelah itu mereka membawa Ummu Syuraik ke sebuah tempat dengan mengendarai unta lemah,Unta yang dinaiki Ummu Syarik yaitu tanpa pelana serta paling jelek dan kasar. Mereka hanya memberi makan Ummu Syuraik roti dan madu tanpa air minum walau hanya setetes, riwayat lain mengatakan selama tiga hari Ummu Syuraik tidak dikasih makan._

_Ketika dalam perjalanan dan matahari berada di puncak panas yaitu tengah hari, mereka menurunkan Ummu Syuraik dan memukulinya. Mereka meninggalkannya di tengah terik matahari hingga hampir hilang akalnya, pendengarannya dan penglihatannya selama tiga hari._

_Mereka kemudian singgah di sebuah tempat, dan  saat istirahat, mereka menjemur Ummu Syuraik di bawah terik matahari sementara mereka berteduh.  Pada hari ketiga inilah Ummu Syuraik berada dalam keadaan lemah, karena tidak diberi air minum sama sekali._

_Pada hari ketiga, para pembawa Ummu Syarik itu berkata,_ _*“Tinggalkanlah keyakinanmu!”*_ 

_Ummu Syarik tidak mengerti ucapan mereka kecuali kata per kata. Ummu Syarik hanya bisa berisyarat dengan jari terlunjuknya mengarah ke langit yang berarti tauhid mengesakan Allah. Siksaan yang ia alami begitu berat.Saat itulah keimanan Ummu Syarik sedang diuji._

_Mereka kemudian singgah di sebuah tempat, dan  saat istirahat, mereka menjemur Ummu Syuraik di bawah terik matahari sementara mereka berteduh.  Pada hari ketiga inilah Ummu Syuraik berada dalam keadaan lemah, karena tidak diberi air minum sama sekali._

_Tiba-tiba sesuatu yang dingin menimpa badan Ummu Syuraik. Setelah dilihat dan dipegang, ternyata adalah tetesan air dari sebuah ember. Maka Ummu Syuraik kemudian meminumnya sedikit, lalu ember tersebut terangkat dan kembali lagi. Ummu Syuraik mengambilnya lagi dan meminumnya lagi. Kejadian tersebut terjadi sebanyak tiga kali._

_Ketika orang-orang yang membawanya terbangun, mereka amat terkejut karena melihat bekas tumpahan air ada dimana-mana dan mendapati Ummu Syuraik tampak lebih segar dari sebelumnya. Kemudian mereka menuduh Ummu Syuraik telah membuka wadah air yang dibawanya, lalu mengambil  air tersebut dan meminumnya._

_Kemudian mereka melihatku seraya berkata,_
_*”Dari mana engkau mendapatkan air itu wahai musuh Allah”*_

_Ummu Syarik menjawab,_
_*”Sesungguhnya musuh Allah adalah selain diriku yang menyelisihi diennya.Adapun pertanyaan kalian dari mana air itu, maka itu adalah dari sisi Allah yang direzekikan kepadaku”*_ 

_Mereka bersegera pergi menengok ember mereka dan mereka dapatkan bahwa ember tersebut masih tertutup rapat dan belum terbuka, Mereka pun kaget dengan kejadian tersebut._

_Lalu mereka berkata, kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rizki kepadamu di tempat ini. Orang-orang tersebut akhirnya masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah._

_Tak lama setelah hijrah ke Madinah, suaminya pun meninggal. Setelah beberapa lama menjadi janda, Ummu Syuraik menawarkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi._

_Aisyah yang merasa cemburu berkata kepada Ummu Syuraik,_ _*“Tidakkah seorang wanita merasa malu menghibahkan dirinya (untuk dinikahi)?”*_ 

_Mendengar kalimat Aisyah, Ummu Syuraik menjawab,_ 
_*“Ya, sayalah orangnya.”*_ 

_Kemudian Allah menyatakannya sebagai wanita mukminah melalui firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab ayat 50._

_Ketika ayat ini turun, Aisyah berkata kepada Rasulullah, _*“Sesungguhnya Allah telah menanggapi keinginanmu dengan segera.”*_ 

_Ketika Nabi tidak menerima permintaannya, maka Ummu Syuraik tidak pernah menikah lagi sampai akhir hayatnya._


_*@@@@@ T A M A T @@@@@*_